Dwi Fitria
http://jurnalnasional.com/
Idealisme non konformis menginspirasi desain-desain avant garde Belanda.
Sebuah maket yang amat menarik berdiri di salah satu sudut ruang pameran pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis. Maket bangunan rumah itu berwarna coklat. Atapnya dibuat sedemikian rupa hingga salah satu ujungnya melandai hingga tanah. Sayap kanan bangunan dibuat mengikuti bentuk atap yang melandai, sementara tiga buah tiang menyangga bagian kanannya.
Yang lebih menarik adalah apa yang tertulis di secarik kertas yang tergantung di bagian bawah maket itu. Tertulis: Dogma Manifesto 2001. Isinya adalah poin-poin sumpah seorang arsitek yang bergabung dalam biro arsitektur ONIX, sebuah biro arsiktektur kenamaan di Belanda.
Isinya menyiratkan sebuah standar arsitektur sekaligus idealisme yang amat tinggi. Antara lain: Desain harus dibuat spesifik untuk lokasinya; Tidak boleh memakai bagian-bagian atau detail-detail yang sudah dirancang sebelumnya; Gambar dan maket dibuat dengan tangan. Model-model komputer bisa memvisualisasi arsitektur, tetapi program-program komputer tidak menghasilkan arsitektur; Bangunan tidak boleh mengandung konstruksi atau ornamen yang dangkal atau tidak perlu.
Dalam dunia arsitektur Belanda, Onix adalah sebuah biro yang mencoba membuat gebrakan dengan melepaskan diri dari pakem-pakem arsitektur Belanda yang cenderung seragam dalam mencipta.
Maket dengan filosofi dan idealisme mendalam itu adalah salah satu bagian dari pameran bertajuk Tangible Traces—Dutch Architecture and Design in the Making (Jejak-Jejak Nyata: Proses Pengembangan Arsitektur dan Desain Belanda). Sebuah pameran arsitektur Belanda yang digelar di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Kuningan yang berlangsung sejak 20 Februari hingga 27 Maret 2009 mendatang.
Dogma Manifesto 2001 tadi, seolah mewakili kecenderungan desain dan arsitektur Belanda, yang dalam kuratorial pameran disebut sebagai sebuah usaha untuk menggabungkan antara idealisme, seni dan kecenderungan kapitalisme proses globalisasi. Juga menjawab tantangan penyeragaman yang diakibatkan globalisasi, pembakuan dan komersialisasi.
Pameran ini menampilkan para arsitek dan desainer yang dalam karya-karyanya mampu menggabungkan konteks zaman, ketrampilan tinggi serta tradisi. Tangible Traces diikuti oleh Biro Arsitek Onix, perancang spasial Frank Havermans, perancang tekstil Claudy Jongstra, perancang mode Alexander van Slobbe serta perancang industrial Hella Jongerius.
Dalam pameran ini, Frank Havermans menghadirkan salah satu karya instalasi uniknya. Sebuah struktur kayu yang ia beri nama Kapkar/ TT-C2P. Struktur kayu yang sedikit mengingatkan orang akan tank baja tersebut berbentuk kotak tak simetris. Di sisi kiri dan kanannya dibentuk Havermans menyerupai piramida terbalik. Salah satu bagian di samping struktur ini menyerupai pintu tanpa daun, yang mengantarkan pengunjung ke sebuah ruangan sempit. Di ujung ruangan itu terpasanglah sebuah layar televisi yang merekam proses pembuatan Kapkar.
Havermans adalah seorang perancang spasial yang dengan sadar menjauhi dunia arsitektur baku. Ia selalu memilih menggunakan kayu-kayu yang murah. Saat merancang ia memilih membuat maket alih-alih membuat gambar. Maket itu sekaligus merupakan riset atas tingkat aplikasi sebuah desain. Instalasi yang ia buat adalah pembesaran dari maket akhir yang ia buat.
Pameran ini juga menghadirkan desain tekstil oleh Alexander Van Slobbe. Van Slobbe sebelumnya lebih dikenal sebagai perancang busana konveksi komersial. Ia cukup berhasil menelurkan koleksi busana lelaki yang ia beri nama SO.
Tahun 2003 ia sedikit mengubah haluannya dengan membuat label Orson + Bodil. Label barunya ini ia buat berskala kecil dan kerap menggabungkan unsur-unsur keterampilan tradisional di dalamnya. Van Slobbe menggunakan pola-pola rajutan Belanda abad 17.
Sebagian busana koleksinya dibuat dengan tangan. Dan banyak di antara desainnya menggunakan bahan vilt (kain dari bulu domba, bulu binatang lain atau serat. Jenis kain ini diproses dengan menggunakan zat lemak atau sabun, dengan penekanan berlapis-lapis).
Bahan vilt juga menjadi fokus desain Claudy Jongstra. Dalam Tangible Traces, ia menampilkan karya permadaninya yang ia namai GREID. Permadani yang dibuat dengan menggunakan campuran sutra mentah, campuran beberapa jenis bulu domba, dan kasa katun itu sekilas mirip perca dalam berbagai gradasi warna hijau lumut.
Jongstra terpesona pada vilt, yang sudah tercipta sejak tahun 6500 SM. Ia mengagumi proses produksi bulu domba tradisional itu, dan melihat kemungkinan pengembangan teknis penciptaan vilt. Hasilnya adalah vilt dalam berbagai tekstur, mulai dari yang halus hingga yang paling lembut.
Demi menjaga kualitas, Jongstra melakukan proses pembuatan dari awal hingga akhir. Selain itu ia juga memelihara kawanan domba jenis Drentse heidenschapen, jenis domba tertua Belanda, yang bulu-bulunya kerap menjadi pilihan Jongstra.
Secara keseluruhan pameran ini membuka cakrawala pengunjungnya dengan memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan terbaik penggabungan antara yang kontemporer dan yang tradisional.
Pameran ini diselenggarakan oleh Nederlands Architectururinstituut, dan merupakan sebuah pameran keliling. Sebelum singgah di Jakarta, Tangible Traces telah lebih dahulu menyapa publik Sao Paolo, Brazil pada November 2007 lalu.
http://jurnalnasional.com/
Idealisme non konformis menginspirasi desain-desain avant garde Belanda.
Sebuah maket yang amat menarik berdiri di salah satu sudut ruang pameran pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis. Maket bangunan rumah itu berwarna coklat. Atapnya dibuat sedemikian rupa hingga salah satu ujungnya melandai hingga tanah. Sayap kanan bangunan dibuat mengikuti bentuk atap yang melandai, sementara tiga buah tiang menyangga bagian kanannya.
Yang lebih menarik adalah apa yang tertulis di secarik kertas yang tergantung di bagian bawah maket itu. Tertulis: Dogma Manifesto 2001. Isinya adalah poin-poin sumpah seorang arsitek yang bergabung dalam biro arsitektur ONIX, sebuah biro arsiktektur kenamaan di Belanda.
Isinya menyiratkan sebuah standar arsitektur sekaligus idealisme yang amat tinggi. Antara lain: Desain harus dibuat spesifik untuk lokasinya; Tidak boleh memakai bagian-bagian atau detail-detail yang sudah dirancang sebelumnya; Gambar dan maket dibuat dengan tangan. Model-model komputer bisa memvisualisasi arsitektur, tetapi program-program komputer tidak menghasilkan arsitektur; Bangunan tidak boleh mengandung konstruksi atau ornamen yang dangkal atau tidak perlu.
Dalam dunia arsitektur Belanda, Onix adalah sebuah biro yang mencoba membuat gebrakan dengan melepaskan diri dari pakem-pakem arsitektur Belanda yang cenderung seragam dalam mencipta.
Maket dengan filosofi dan idealisme mendalam itu adalah salah satu bagian dari pameran bertajuk Tangible Traces—Dutch Architecture and Design in the Making (Jejak-Jejak Nyata: Proses Pengembangan Arsitektur dan Desain Belanda). Sebuah pameran arsitektur Belanda yang digelar di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Kuningan yang berlangsung sejak 20 Februari hingga 27 Maret 2009 mendatang.
Dogma Manifesto 2001 tadi, seolah mewakili kecenderungan desain dan arsitektur Belanda, yang dalam kuratorial pameran disebut sebagai sebuah usaha untuk menggabungkan antara idealisme, seni dan kecenderungan kapitalisme proses globalisasi. Juga menjawab tantangan penyeragaman yang diakibatkan globalisasi, pembakuan dan komersialisasi.
Pameran ini menampilkan para arsitek dan desainer yang dalam karya-karyanya mampu menggabungkan konteks zaman, ketrampilan tinggi serta tradisi. Tangible Traces diikuti oleh Biro Arsitek Onix, perancang spasial Frank Havermans, perancang tekstil Claudy Jongstra, perancang mode Alexander van Slobbe serta perancang industrial Hella Jongerius.
Dalam pameran ini, Frank Havermans menghadirkan salah satu karya instalasi uniknya. Sebuah struktur kayu yang ia beri nama Kapkar/ TT-C2P. Struktur kayu yang sedikit mengingatkan orang akan tank baja tersebut berbentuk kotak tak simetris. Di sisi kiri dan kanannya dibentuk Havermans menyerupai piramida terbalik. Salah satu bagian di samping struktur ini menyerupai pintu tanpa daun, yang mengantarkan pengunjung ke sebuah ruangan sempit. Di ujung ruangan itu terpasanglah sebuah layar televisi yang merekam proses pembuatan Kapkar.
Havermans adalah seorang perancang spasial yang dengan sadar menjauhi dunia arsitektur baku. Ia selalu memilih menggunakan kayu-kayu yang murah. Saat merancang ia memilih membuat maket alih-alih membuat gambar. Maket itu sekaligus merupakan riset atas tingkat aplikasi sebuah desain. Instalasi yang ia buat adalah pembesaran dari maket akhir yang ia buat.
Pameran ini juga menghadirkan desain tekstil oleh Alexander Van Slobbe. Van Slobbe sebelumnya lebih dikenal sebagai perancang busana konveksi komersial. Ia cukup berhasil menelurkan koleksi busana lelaki yang ia beri nama SO.
Tahun 2003 ia sedikit mengubah haluannya dengan membuat label Orson + Bodil. Label barunya ini ia buat berskala kecil dan kerap menggabungkan unsur-unsur keterampilan tradisional di dalamnya. Van Slobbe menggunakan pola-pola rajutan Belanda abad 17.
Sebagian busana koleksinya dibuat dengan tangan. Dan banyak di antara desainnya menggunakan bahan vilt (kain dari bulu domba, bulu binatang lain atau serat. Jenis kain ini diproses dengan menggunakan zat lemak atau sabun, dengan penekanan berlapis-lapis).
Bahan vilt juga menjadi fokus desain Claudy Jongstra. Dalam Tangible Traces, ia menampilkan karya permadaninya yang ia namai GREID. Permadani yang dibuat dengan menggunakan campuran sutra mentah, campuran beberapa jenis bulu domba, dan kasa katun itu sekilas mirip perca dalam berbagai gradasi warna hijau lumut.
Jongstra terpesona pada vilt, yang sudah tercipta sejak tahun 6500 SM. Ia mengagumi proses produksi bulu domba tradisional itu, dan melihat kemungkinan pengembangan teknis penciptaan vilt. Hasilnya adalah vilt dalam berbagai tekstur, mulai dari yang halus hingga yang paling lembut.
Demi menjaga kualitas, Jongstra melakukan proses pembuatan dari awal hingga akhir. Selain itu ia juga memelihara kawanan domba jenis Drentse heidenschapen, jenis domba tertua Belanda, yang bulu-bulunya kerap menjadi pilihan Jongstra.
Secara keseluruhan pameran ini membuka cakrawala pengunjungnya dengan memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan terbaik penggabungan antara yang kontemporer dan yang tradisional.
Pameran ini diselenggarakan oleh Nederlands Architectururinstituut, dan merupakan sebuah pameran keliling. Sebelum singgah di Jakarta, Tangible Traces telah lebih dahulu menyapa publik Sao Paolo, Brazil pada November 2007 lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar