Teknologi video menawarkan media ekspresi baru dalam wilayah privat.
Syifa Amori
http://jurnalnasional.com/
Kehadiran video telah menimbulkan suatu kekhawatiran dalam masyarakat kita. Khawatir akan terjadinya polusi kebudayaan dan nilai-nilai moral dan khawatir akan rusaknya struktur suatu bidang komunikasi massa, yaitu film.
Kata Pengantar, hal 1-2, oleh Asrul Sani (Ketua Harian Dewan Fim Nasional), Buku Seminar Pengelolaan Teknologi Video untuk Pembangunan, Jakarta 7-10 Desember 1981.
Apa yang dikemukakan Asrul Sani ini hanyalah salah satu dari beberapa quote yang dipajang sebagai bagian esensial pameran seni rupa Video Base bertema Video Sosial Historia di Bentara Budaya Jakarta dari 4-11 Maret.
Sama halnya dengan kutipan ceramah Jenderal Yoga Sugama dari Badan Koordinasi Intelijen Negara dalam Buku Seminar Pengelolaan Teknologi Video Untuk Pembangunan (7-10 Desember 1981). Sang Jenderal mengungkapkan bahwa video cassette termasuk kemajuan teknologi di bidang audio visual yang mengelompok dengan televisi atau film.
"Maka status, peredaran, dan penanganan terhadap isinya lebih praktis dan aman jika dimasukkan bersama ke dalam badan-badan yang bertanggung jawab terhadap pembinaan perfilman."
Pernyataan-pernyataan yang berkesan "takut" akan perkembangan teknologi video dan juga perluasan penggunaannya ini bahkan dipajang dekat pintu masuk ruang utama pameran malam itu, Rabu (4/3). Jadi memang agak sulit untuk mengabaikan isi tulisan jenderal ini.
Setelah membaca, entah mengapa, ada perasaan ingin tahu yang menyeruak mengenai karya yang dipamerkan Forum Lentang malam itu. Pengunjung dibuat penasaran, sebagaimanakah video bisa merepresentasikan kenyataan sampai-sampai membuat gusar elemen pemerintahan di masanya.
Yang menarik di ruangan utama ini adalah diputarnya beberapa video dokumentasi TVRI. Menurut Hafiz, koordinator dan kurator pameran ini, video yang dipamerkan tersebut merupakan hasil riset sejarah video di Indonesia yang merangkum perkembangan teknologi medium audio visual yang terbingkai dalam dua bagian yaitu Masa Analog (1962-1998) dan Masa Digital (1998-sekarang).
"Di sini kita melihat bahwa dalam sebuah sistem yang represif, ternyata di dalamnya ada juga kontrol informasi, termasuk video. Yang membuat fenomena video berbeda adalah karena begitu murahnya teknologi ini sehingga semakin dikuasai oleh individu yang mampu memproduksi informasi itu sendiri. Ini tentu menjadi ketakutan bagi orde baru," kata Hafiz yang mengamati bahwa perkembangan teknologi video beriringan dengan sejarah sosial. Setelah reformasi adalah masanya digital yang memungkinkan semua orang mengakses karya video, seperti internet dan web camera.
Dalam ruangan ini juga, para seniman Forum Lenteng berusaha menyampaikan bahwa sebuah media yang sama bisa diperlakukan dengan cara berbeda. Mulai dari video sebagai produksi media massa yang dikendalikan pemerintah dan media massa yang terbuka di era reformasi, video yang diproduksi domestik, hingga pemanfaatan video personal termutakhir, seperti webcam, dan hand phone.
Perbedaan ini tak hanya kental terlihat dari kualitas gambar, melainkan juga teknik pengambilan gambar, pilihan obyek, dan gerak-gerik obyek. Sebut saja video kawinan atau sunatan yang ada pada salah satu layar besar di ruangan utama tersebut. Video domestik ini menghadirkan gambar diam anggota keluarga yang berpakaian rapi dalam sebuah kenduri. Durasinya terasa panjang karena hanya menyoroti (dengan teknik zoom in sangat perlahan) beberapa anggota keluarga yang berdiri kaku dengan wajah tegang dalam pakaian rapi.
Lain halnya dengan kamera video yang dimanfaatkan anak sekolahan untuk mengabadikan momen kebersamaan mereka dengan teman seusia. Video yang ini tetap diam, tapi obyeknya lebih dinamis dengan berbagai pose dan full dialog. Di lain sisi, kepingan-kepingan video media massa dari berbagai masa dirangkai menjadi suatu instalasi. "Ini adalah suatu 'bungkusan' besar sejarah video yang telah menjadi suatu karya," kata Hafiz.
Bisa dibilang, karya seni video memang tak selamanya mempersentasikan hasil. Menurut perupa dan dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) Krisna Murti, bentuk seni karya video bisa saja terletak pada prosesnya. "Jadi tak mesti estetikanya berupa tampilan visual yang indah."
Atau juga menjadi sebuah karya seni ketika disajikan dalam "kemasan" tertentu dalam sebuah pameran seperti yang dilakukan Hafiz. Mungkin kelenturan nilai artistik video inilah yang membuat Hafiz menilai video sebagai produk media massa yang lebih terbuka dari sekadar seni.
"Jadi tidak perlu mengeksklusifkan diri sebagai seni yang tidak perlu diketahui masyarakat. Di sinilah Forum Lenteng berusaha membuat perbedaan. Semua video layak saja dipamerkan. Masyarakatlah yang akan memilihnya sebagai karya seni menurut konten yang dimuat atau penggarapannya yang spesial. Ada karya yang kontennya sangat bagus namun dibungkus dengan sederhana. Dan ada yang sederhana namun digarap dengan teknik rumit. Ini tergantung kreatornya," kata Hafiz lagi.
Karya Maulana M Pasha, misalnya, adalah video yang terbilang tidak terlalu rumit dalam tampilan visual. Namun karya berjudul Jalan Tak Ada Ujung ini brilian soal ide cerita dan muatan pesannya. Video yang sudah pernah meraih penghargaan 1st Winner Asean New Media Art 2007 dan Indonesian Art Award 2008 ini menggambarkan betapa arah dan alamat tak lagi pasti dan ketika petunjuk serta arahan mengajak berfantasi akan lokasi. Tidak ada patokan pasti, berjalan dalam sebuah labirin kota.
"Tadinya berangkat dari masalah pribadi yang kesulitan mengingat arah dan jalan. Ditambah kerisauan pribadi ketika ke rumah teman-teman yang rumahnya di gang yang membuat saya serta mungkin sebagian orang lain sering tersasar. Tapi setelah riset selama hampir lima bulan, saya malah menemukan fenomena bahwa telah terjadi pergeseran tata bangunan, khususnya di wilayah pinggir. Di sini, nama jalan tak bisa lagi jadi patokan," kata Maulana mengenai karyanya yang dipamerkan di sayap kiri bangunan utama Bentara Budaya.
Yang ditampilkan Maulana dan juga Gelar Agryano Soemantri lewat Ketika Aku Pulang, Tidak Ada Mamah di Depan Pintu, adalah karya yang berangkat dari ruang personal. Wilayah pribadi yang sebenarnya justru bisa saja mewakili emosi banyak orang lainnya. Semakin leluasa orang bisa mengakses karya video macam ini, semakin kuatlah posisi ruang personal. Yang menurut Krisna, bisa mengecilkan peran sentralisasi, baik pemerintah maupun korporasi.
"Teknologi sebenarnya netral, tapi jadi tidak netral dan saling tarik-menarik jika ada adu pengaruh dalam penggunaannya. Antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat," kata Krisna yang sedang menulis buku mengenai pola ini. Fokus bahasan Krisna adalah pada generasi tahun 2000-an yang menggunakan video tidak hanya sebagai teknologi gadget, tapi juga sebuah karya. "Inilah yang saya istilahkan melawan mainstream. Yaitu perlawanan terhadap penggunaan video sesuka yang berkuasa saja."
Begitulah, dengan Video Base: Video Sosial Historia, pengunjung diajak merunut dan merenungi pola sosial terkait perkembangan video sebagai aktivitas sosial.
Syifa Amori
http://jurnalnasional.com/
Kehadiran video telah menimbulkan suatu kekhawatiran dalam masyarakat kita. Khawatir akan terjadinya polusi kebudayaan dan nilai-nilai moral dan khawatir akan rusaknya struktur suatu bidang komunikasi massa, yaitu film.
Kata Pengantar, hal 1-2, oleh Asrul Sani (Ketua Harian Dewan Fim Nasional), Buku Seminar Pengelolaan Teknologi Video untuk Pembangunan, Jakarta 7-10 Desember 1981.
Apa yang dikemukakan Asrul Sani ini hanyalah salah satu dari beberapa quote yang dipajang sebagai bagian esensial pameran seni rupa Video Base bertema Video Sosial Historia di Bentara Budaya Jakarta dari 4-11 Maret.
Sama halnya dengan kutipan ceramah Jenderal Yoga Sugama dari Badan Koordinasi Intelijen Negara dalam Buku Seminar Pengelolaan Teknologi Video Untuk Pembangunan (7-10 Desember 1981). Sang Jenderal mengungkapkan bahwa video cassette termasuk kemajuan teknologi di bidang audio visual yang mengelompok dengan televisi atau film.
"Maka status, peredaran, dan penanganan terhadap isinya lebih praktis dan aman jika dimasukkan bersama ke dalam badan-badan yang bertanggung jawab terhadap pembinaan perfilman."
Pernyataan-pernyataan yang berkesan "takut" akan perkembangan teknologi video dan juga perluasan penggunaannya ini bahkan dipajang dekat pintu masuk ruang utama pameran malam itu, Rabu (4/3). Jadi memang agak sulit untuk mengabaikan isi tulisan jenderal ini.
Setelah membaca, entah mengapa, ada perasaan ingin tahu yang menyeruak mengenai karya yang dipamerkan Forum Lentang malam itu. Pengunjung dibuat penasaran, sebagaimanakah video bisa merepresentasikan kenyataan sampai-sampai membuat gusar elemen pemerintahan di masanya.
Yang menarik di ruangan utama ini adalah diputarnya beberapa video dokumentasi TVRI. Menurut Hafiz, koordinator dan kurator pameran ini, video yang dipamerkan tersebut merupakan hasil riset sejarah video di Indonesia yang merangkum perkembangan teknologi medium audio visual yang terbingkai dalam dua bagian yaitu Masa Analog (1962-1998) dan Masa Digital (1998-sekarang).
"Di sini kita melihat bahwa dalam sebuah sistem yang represif, ternyata di dalamnya ada juga kontrol informasi, termasuk video. Yang membuat fenomena video berbeda adalah karena begitu murahnya teknologi ini sehingga semakin dikuasai oleh individu yang mampu memproduksi informasi itu sendiri. Ini tentu menjadi ketakutan bagi orde baru," kata Hafiz yang mengamati bahwa perkembangan teknologi video beriringan dengan sejarah sosial. Setelah reformasi adalah masanya digital yang memungkinkan semua orang mengakses karya video, seperti internet dan web camera.
Dalam ruangan ini juga, para seniman Forum Lenteng berusaha menyampaikan bahwa sebuah media yang sama bisa diperlakukan dengan cara berbeda. Mulai dari video sebagai produksi media massa yang dikendalikan pemerintah dan media massa yang terbuka di era reformasi, video yang diproduksi domestik, hingga pemanfaatan video personal termutakhir, seperti webcam, dan hand phone.
Perbedaan ini tak hanya kental terlihat dari kualitas gambar, melainkan juga teknik pengambilan gambar, pilihan obyek, dan gerak-gerik obyek. Sebut saja video kawinan atau sunatan yang ada pada salah satu layar besar di ruangan utama tersebut. Video domestik ini menghadirkan gambar diam anggota keluarga yang berpakaian rapi dalam sebuah kenduri. Durasinya terasa panjang karena hanya menyoroti (dengan teknik zoom in sangat perlahan) beberapa anggota keluarga yang berdiri kaku dengan wajah tegang dalam pakaian rapi.
Lain halnya dengan kamera video yang dimanfaatkan anak sekolahan untuk mengabadikan momen kebersamaan mereka dengan teman seusia. Video yang ini tetap diam, tapi obyeknya lebih dinamis dengan berbagai pose dan full dialog. Di lain sisi, kepingan-kepingan video media massa dari berbagai masa dirangkai menjadi suatu instalasi. "Ini adalah suatu 'bungkusan' besar sejarah video yang telah menjadi suatu karya," kata Hafiz.
Bisa dibilang, karya seni video memang tak selamanya mempersentasikan hasil. Menurut perupa dan dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) Krisna Murti, bentuk seni karya video bisa saja terletak pada prosesnya. "Jadi tak mesti estetikanya berupa tampilan visual yang indah."
Atau juga menjadi sebuah karya seni ketika disajikan dalam "kemasan" tertentu dalam sebuah pameran seperti yang dilakukan Hafiz. Mungkin kelenturan nilai artistik video inilah yang membuat Hafiz menilai video sebagai produk media massa yang lebih terbuka dari sekadar seni.
"Jadi tidak perlu mengeksklusifkan diri sebagai seni yang tidak perlu diketahui masyarakat. Di sinilah Forum Lenteng berusaha membuat perbedaan. Semua video layak saja dipamerkan. Masyarakatlah yang akan memilihnya sebagai karya seni menurut konten yang dimuat atau penggarapannya yang spesial. Ada karya yang kontennya sangat bagus namun dibungkus dengan sederhana. Dan ada yang sederhana namun digarap dengan teknik rumit. Ini tergantung kreatornya," kata Hafiz lagi.
Karya Maulana M Pasha, misalnya, adalah video yang terbilang tidak terlalu rumit dalam tampilan visual. Namun karya berjudul Jalan Tak Ada Ujung ini brilian soal ide cerita dan muatan pesannya. Video yang sudah pernah meraih penghargaan 1st Winner Asean New Media Art 2007 dan Indonesian Art Award 2008 ini menggambarkan betapa arah dan alamat tak lagi pasti dan ketika petunjuk serta arahan mengajak berfantasi akan lokasi. Tidak ada patokan pasti, berjalan dalam sebuah labirin kota.
"Tadinya berangkat dari masalah pribadi yang kesulitan mengingat arah dan jalan. Ditambah kerisauan pribadi ketika ke rumah teman-teman yang rumahnya di gang yang membuat saya serta mungkin sebagian orang lain sering tersasar. Tapi setelah riset selama hampir lima bulan, saya malah menemukan fenomena bahwa telah terjadi pergeseran tata bangunan, khususnya di wilayah pinggir. Di sini, nama jalan tak bisa lagi jadi patokan," kata Maulana mengenai karyanya yang dipamerkan di sayap kiri bangunan utama Bentara Budaya.
Yang ditampilkan Maulana dan juga Gelar Agryano Soemantri lewat Ketika Aku Pulang, Tidak Ada Mamah di Depan Pintu, adalah karya yang berangkat dari ruang personal. Wilayah pribadi yang sebenarnya justru bisa saja mewakili emosi banyak orang lainnya. Semakin leluasa orang bisa mengakses karya video macam ini, semakin kuatlah posisi ruang personal. Yang menurut Krisna, bisa mengecilkan peran sentralisasi, baik pemerintah maupun korporasi.
"Teknologi sebenarnya netral, tapi jadi tidak netral dan saling tarik-menarik jika ada adu pengaruh dalam penggunaannya. Antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat," kata Krisna yang sedang menulis buku mengenai pola ini. Fokus bahasan Krisna adalah pada generasi tahun 2000-an yang menggunakan video tidak hanya sebagai teknologi gadget, tapi juga sebuah karya. "Inilah yang saya istilahkan melawan mainstream. Yaitu perlawanan terhadap penggunaan video sesuka yang berkuasa saja."
Begitulah, dengan Video Base: Video Sosial Historia, pengunjung diajak merunut dan merenungi pola sosial terkait perkembangan video sebagai aktivitas sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar