Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Lamongan! Mungkin nama ini terlalu tabu di tengah-tengah semua gendang pendengaran anak manusia. Atau bisa jadi anda akan mengerutkan dahi dan bahkan merasa takut ketika nama tersebut disebut. Ya, bagi saya itu wajar. Kota kecil yang terletak antara kota pudak Gersik dan kota Bojonegoro ini memang pada mulanya dipandang sebelah mata oleh kota-kota lain di sekitarnya. Kota yang belum memiliki talenta lokalitas yang mampu menyuarakan namanya di kanca perkembangan zaman. Namun, menjelang peristiwa peledakan bom di Bali, nama kota ini berkibar di ujung daun.
Entah pada waktu itu daunya tergerogoti ulat atau daun hijau muda yang segar. Yang jelas, kebanyakan orang yang mendengar nama Lamongan, hati mereka akan nggiris, ciut, dan takut. Mereka saling mengasumsikan akan betapa kerasnya jiwa-jiwa orang Lamongan. Tapi tidak apalah, yang penting sudah terkenal bahkan secara internasional. He....he....he...
Entah apa yang terjadi? Semenjak peristiwa peledakan bom itu seolah-olah hati dan jiwa masyarakat Lamongan terlecuti oleh cambuk membara. Mereka semua terbakar untuk berlomba-lomba mengibarkan panji Lamongan di muka publik lokal, nasional dan bahkan internasional. Bahwa Lamongan itu indah, damai, dan lembut. Dari berbagai lini, masyarakat dan Pemkot Lamongan berjuang sekuat tenaga serta semampunya untuk menjunjung tinggi nama Lamongan. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah membangun tempat pariwisata WBL (Wisata Bahari Lamongan) dan Goa Istanah Maharani yang bertaraf internasional, menyuarakan Lamongan lewat olahraga sepak bola, ada juga yang melalui seni dan sastra dan lain-lain.
Untuk yang lain tidak perlu disinggung sebab Pemkot Lamongan tengah serius menangani dan terjun di dalamnya. Jangan keras-keras, kita omongkan dari hati ke hati saja. Bagaimana nasib kesenian dan kesusastraan Lamongan kemarin, sekarang, dan ke depan?
Dari sisi kesenian tradisional. Pada mulanya cukup banyak kesenian tradisional yang berkembang di kota Lamongan. Mulai dari ludruk, sandur, wayang, kentrung dan lain-lain. Dalam bidang-bidang tersebut cukup banyak komunitas yang berdiri di dalamnya. Namun sekarang ini banyak yang udzur diri. Entah sebab apa, juga tidak mengerti. Yang jelas mungkin sebab kesejahteraan sosial-ekonomi yang kurang dapat dipenuhi. Kini keberadaannya hanya tinggal segelintir saja. Jika hendak dihitung; sandur hanya ada di Modo Kecamatan Ngimbang, Kentrung Ki Dalang Kusairi desa Solokuro, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Kasiran desa Randu Bener, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Sudikno desa Moro kecamatan Sekaran. Generasi muda sekarang terasa ogah dan gengsi untuk menekuti seni-budaya semacam itu. Hal itulah yang juga menyebabkan semakin menurunnya keberadaan seni-budaya di Lamongan.
Selain kesenian tersebut, dewasa ini yang sangat berkembang di Lamongan adalah seni teater. Keberadaan teater di Lamongan dapat di katakan telah menjamur. Entah itu komunitas teater yang eksistensinya dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh atau hanya sekedar momental dan bahkan hanya sekedar mengisi kegiatan ekstra sekolah. Komunitas-komunitas tersebut di antaranya adalah teater Taman Babat (pelajar sekolah MAN Babat), Aum (pelajar sekolah MA. Matholi’ul Anwar Simo), Rekat (SMUN Mantup), Intan (SMA 3), Mata Es, Roda (Unisda), STNK (Unisda), Kentrung Formalin (Unisla dan SMA 3), teater MATA (Kranji Paciran), teater KENTUT (Payaman Solokuro), Cicak, Sangbala (pelajar SD Canditunggal Kalitengah). Beberapa nama penggerak di dalamnya adalah Pringgo HR, Sutardi Cempet, Javed Paul Syata, Heri Ambon, Paidi, Rokim Edan, Luqman Tohek, Kadjie Bitheng MM, Rodli TL, Heru Kusubiantoro, dan lain-lain.
Akhir-akhir ini nama Lamongan terbang membumbung tinggi ke angkasa sambil menebar wewangi kasturi melalui bidang teater. Teater Sangbala yang diasuh oleh Rodli TL berhasil mengantongi juara dalam festival teater internasional. Anak-anak Sangbala dengan naskah yang berjudul Past Game berhasil menyingkirkan rival mainnya baik yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu tidak lepas dari kerja keras, perjuangan dan pengorbanan, serta ridha Tuhan Yang Maha Kuasa. Perjuangan yang dilakukan Sangbala tidak hanya dari segi tenaga, pikiran, material, melainkan juga dengan korban perasaan.
Konon dijelaskan oleh pembina Sangbala bahwa komunitas mereka berjuang mati-matian secara personal untuk dapat mengikuti even tersebut. Meskipun mereka sangat dipusingkan dengan masalah biaya pemberangkatan. Bagaimana tidak pusing, komunitas yang notabenenya bernaung dalam lembaga sekolah kecil serta terpencil dan masyarakat yang relatif berekonomi menengah ke bawah, harus memberangkatkan siswa yang cukup lumaya banyaknya. Segala usaha dilakukan demi mengikuti festival tersebut sebagai wakil Lamongan. Anehnya, saat mengajukan permohonan dana ke Pemkot Lamongan, komunitas ini justru malah dipingpong yang pada akhirnnya berakhir bolong. Tapi ada satu sukarelawan yang mungkin merasa iba, ia rela memberikan bantuan secara pribadi. Meskipun demikian, biaya masih kurang banyak. Jadi ya pembina Sangbala terpaksa harus ngutang dulu untuk menutup kekurang biaya pemberangkatan itu. Walhasil, Sangbala pun menang. Lantas apa yang dilakukan Pemkot Lamongan! Sambuatan hangat yang bagaimana yang diberikan! Penghargaan apa yang disandangkan! Sangbala telah mengharumkan nama Lamongan!
Selain Sangbala, keberadaan komunitas teater yang lain juga tidak boleh di pandang sebelah mata. Dengan eksistensi mereka, baik di lokal sendiri maupun di luar kota, perlahan tapi pasti, kredebilitas Lamongan akan terangkat dengan sendirinya. Mereka telah turut meramaikan kota Lamongan. Bahkan kerap mengadakan festival teater antarkota. Yang sungguh aneh dan riskan, pengayoman terhadap pekerja seni dan komunitas teater tersebut masih menunjukkan intensitas yang kurang. Buktinya, gedung kesenian saja masih belum terbangun di Lamongan. Masak, ada orang kok gak punya rumah! Padahal dari sisi kesenian, nama Lamongan berkompeten menyemburatkan sinar gilang-gemilang. Tapi sudah lumayan, sebab sudah ada janji dari pihak Pemkot Lamongan. Tapi kapan terealisasinya? Entah! Ini kalau tidak salah dengar sudah hampir tiga tahunan bahkan lebih, janji itu diujarkan. E.....nyatanya sepetak tanahnya saja masih kabur! Mudah-mudahan tanah di Lamongan tidak habis dibuat bangunan toko dan perumahan. Paling tidak, masih ada dua meter persegi untuk pemakaman kesenian di Lamongan. Maaf salah omong. Maksud saya dua puluh meter persegi untuk pembangunan gedung kesenian di Lamongan. He...he...he...
Dari bidang kesusatraan misalnya. Para pekerja dan penggiat sastra sangat montang-manting dalam membudayakan membaca, menulis, dan bekarya kepada masyarakat Lamongan khususnya. Mereka senantiasa mencari dan membentuk regenerasi penulis Lamongan dewasa ini. Selain itu juga menanamkan kepribadian yang menghargai karya dan kreatifitas orang lain. Bentuk usaha yang dilakukannya ada yang mengadakan even lomba menulis puisi tingkat SLTA se-Lamongan (Van Der Wijck Award ke-1), membuat antologi puisi tingkat SLTA, Seminar sastra di sekolah-sekolah, diskusi Candrakirana dan lain-lain. Hal itu tentunya juga tidak lepas dari peranan guru di sekolah-sekolah tertentu yang memposisikan diri sebagai pekerja sastra yang bergerak secara mendasar dan juga para sastrawan serta penulis Lamongan yang lain. Di sana ada Hery Lamongan, Nurel Javissyarqi, Pringgo HR, Bambang Kempling, Rodli TL, Alang Khoiruddin, Haris Del Hakim, Javed Paul Syata, A. Sauki Sumbawi, A. Rodli Murtadho, Rian Sindu, Joko Sandur, Imamuddin SA. Selain mereka masih ada sekian banyak sastrawan Lamongan baik yang bereksistensi di Lamongan sendiri maupun di luar Lamongan. Mereka di antaranya adalah Satyagraha Hoerip, Mashuri, Gaidurrahman El Mistsri, Isnaini Komaruddin, Nur Aziz Asmuni, Aris, Raslayno, Sutardi Cempet, N yeas, Heru Kusubiantoro, Edy Maherul Fata, D. Zaini Ahmad, Heri Kurniawan, Ridwan Rachid, Anis CH, M Bagus Pribadi, Ariandalu, Atrap S. Munir, Ali Makhmud, Ghaffur al-Faqqih, Heri Listianto, Arina Habaidillah, Dijah Lestari, Hartiwi, dan lain-lain. Entah eksistensi mereka saat ini masih mengalir laksana gemericik air atau telah membatu, yang jelas mereka semua pernah mengisi khasanah kesusastran di Lamongan.
Kajian dan diskusi sastra di Lamongan secara intens dilakukan setiap malam lima belas bulan purnama. Sebab itulah kegiatannya dinamakan Candrakirana. Kegiatan ini digerakkan oleh Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan). Selama beberapa tahun kegiatan ini berjalan dengan lancar dan bergairah. Yang menghadiri acara tersebut cukuplah banyak, bahkan sastrawan luar kota sempat menyinggahkan diri di dalamnya. Beberapa di antaranya ada Mas Gampang Prawoto (Bojonegara), HU Mardi Luhung (Gersik), dll. Namun belakangan ini sempat fakum beberapa saat sebab menurunnya greget regenerasinya. Puncaknya pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2006 dan 2007. Tak ada suatu usaha itu yang bebas dari hambatan. Itulah yang mungkin berlaku bagi Candrakirana waktu itu. Sekarang dengan format dan strategi yang baru, Candrakirana kembali mengibarkan benderanya. Semoga menemukan kembali keharuman namanya.
Buku-buku karya sastra yang menjadi tolok ukur kontribusi pengarang Lamongan cukup banyak. Entah itu dicetak secara terbatas atau disebar di kawasan lokal. Beberapa buku tersebut di antaranya adalah Memecah Badai (1999), Negeri Pantai (2000), Rebana Kesunyian (Kostela 2002), Imajinasi Nama (Kostela 2003), Bulan Merayap (DKL 2004), Lanskap Telunjuk (DKL 2004), Mozaik Pinggir Jalan (antologi puisi SLTA, DKL 2005), Absurditas Rindu (Sastra Nesia 2006), Khianat Waktu (DKL 2006), Memori Biru (DKL 2007), Jalan Cahaya (sajak-sajak SMA, DKL 2007), Gemuruh Ruh (Antologi Sastra Lamongan, 2008).
Di lembaga-lembaga sekolah SLTP dan SLTA tertentu ada juga yang menerbitkan buku antologi sendiri. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk memotivasi dan menumbuhkan gairah membaca dan menulis sejak dini juga sebagai salah satu bentuk usaha regenerasi sastrawan Lamongan. Selain itu juga diupayakan dengan cara mengundang penulis-penulis ternama seperti Raudal Tanjung Banua, KH. Zainal Arifin Toha (di MA Matholi’ul Anwar) dll, di lokalitas kampus Unisda ada Tengsu Cahyono, Setya Yuwana Sudikan, dll. Di antaranya buku-buku yang diterbitkan adalah, MTs Putra-Putri Simo; antologi puisi dan esai ringan Enjelai (bunga rampai catatan harian siswa 2005), Rinai Sukma dan Guratan Pelangi (Teater Mata Es 2005), Ponpes dan MA. Matholi’ul Anwar Simo; antologi cerpen Mawar Putih (2007), antologi cerpen dan puisi Kristal Bercahaya dari Surga (2008), antologi cerpen The Power of Love (2008).
Secara individual, para sastrawan Lamongan juga membukukan karya-karyanya. Di antaranya adalah Herry Lamongan; Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008), Nurel Javissyarqi; Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga, Ada Puisi Di Jogja, Tabula Rasa Kumuda, Tubuh Jiwa Semangat, Kekuasaan Rindu Sayang, Segenggam Debu Di Langit, Kajian Budaya Semi, Sarang Ruh, Sayap-Sayap Sembrani, Kulya Dalam Relung Filsafat, Batas Pasir Nadi, Kumpulan Cahaya Rasa Ardana, Trilogi Kesadaran, Balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, Mashuri; antologi puisi Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), Hubbu (novel 2007), Gaidurrahman El Mitsri; Kitab Dusta dari Surga, Langit Mekah Berwarna Jingga (novel 2008) dll, Pringgo HR; Sungai Asal (2005), Bambang Kempling; antologi puisi Kata Sebuah Sajak (2002), Alang Khoiruddin; Lorong Cinta (2000), Perjamuan Embun, Fenomena Sajak Religius (2003), Kontemplasi Sufistik (2004), Oase Cinta (2004), Majenun Mencari Kekasih (2004), Wanita: Pesona Paling Melati (2004), Seruling Cinta (2002), Percikan-Percikan Cinta, Haris Del Hakim; novel Berlabuh di atas Gelombang, Lars-liris, dll, Javed Paul Syata; Syahadat Sukma (2004), Tamasya Langit (2007), The Lamongan Soul (kumpulan sajak dan cerpen 2008), A. Sauki Sumbawi; Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen 2006), #2 (cerpen 2007), Dunia Kecil, Panggung dab Omong Kosong (novel 2007), Waktu di Pesisir Utara (novelet 2008), Maskerade (prosa pendek 2008), Rodli TL; novel Dozedlove (Pustaka Ilalang, 2006), Imamuddin SA; Esensi Bayang-Bayang, Sembah Rindu Sang Kekasih, Kidung Sang Pecinta, dan Sasmita Kembang Widerda, M. Rodli Murtadho; Pameran Makam (Pustaka Ilalang, 2008), Kadjie Bitheng; Negeri Dongeng (puisi 2006) dll.
Ada yang unik dari eksistensi sastrawan Lamongan. Keunikannya terletak pada bentuk dan gaya kreatifitas karya yang dihasilkannya. Meski dalam satu paguyuban Lamongan, dari setiap sastrawan memiliki ciri khas masing-masing secara personal. Memang cukup variatif. Tentunya variasi tersebut bertumpu pada latarbelakang sosial dan kedekatan emosional serta psikologi dari tiap pribadinya. Mereka tidak mencipta genosis sastra. Tapi mereka berdiri dengan kekuatannya sendiri-sendiri. Berdiri dengan selera masing-masing. Dan tetap bergerak dalam satu langka bersama dalam menuju muara yang sama pula; kesusastraan Lamongan dalam kanca pergulatan dunia.
Di Lamongan juga ada beberapa media cetak yang tengah menampung karya-karya dari luar daerah. Ambil saja Indupati, Tabloid Telunjuk (alm), Jurnal Sastra Timur Jauh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour. Tidak jarang penulis-penulis besar nasional berkenan menggoreskan karyanya di media tersebut. Beberapa di antaranya adalah Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Alfiyan Harfi, Y. Wibowo, Hamdy Salad, Gugun El-Guyanie, Iman Budhi Santosa, Fahrudin Nasrullah, Teguh Winarso AS, KH. Zainal Arifin Toha, KRT Suryanto Sastroatmodjo, dll (di jurnal kebudayaan The Sandour). Selain itu di Lamonngan juga ada penerbitan yang telah memiliki ISBN, yaitu Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, Sastra Nesia, dan La Rose. Semua penerbitan itu bergerak pada wilayah kesusastraan. Tidak jarang para penulis terkemuka menerbitkan karya-karyanya di penerbitan Lamongan. Seperti: dari Pustaka Pujangga ada Hudan Hidayat (esai, Nabi Tanpa Wahyu), Teguh Winarsho (novel, Kantring Genjer-Genjer), Binhad Nurrahmat (esai, Sastra Perkelaminan), Amuk Tunteja (cerpen, Marhalim Zaini), dari Pustaka Ilalang ada Supaat I Lathief (Sastra: Eksistensialisme-Mistisme Religius 2008 dan Psikologi Eksistensialisme 2008), dll.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergerakan sastrawan Lamongan juga turut berkembang. Demi menjalin relasi dan menyuarakan nama Lamongan di kawasan regional dan internasional, generasi muda sastrawan Lamongan mengambil inisiatif untuk membuat blog di internet. Mereka membentuk komunitas blog yang bernama Forum Sastra Lamongan (FSL). Seluk-beluk dan perkembangan sastra di Lamongan dan sekitarnya mereka dokumentasikan di sana guna memberi infomasi kepada pengunjung blog. Prioritas utamanya adalah para penulis dan sastrawan Lamongan. Anggota FSL pada dasarnya jarang bertemu secara bersama-sama. Mereka menjalin relasi dan persaudaraan dengan jalan lewat email, hand phone, dan bahkan kunjung ke rumah-rumah anggotanya. Itu sih dilakukan bagi mereka yang tengah memiliki sedikit kelonggaran waktu. Paling tidak, paling cepat sebulan ada yang kunjung ke rumah dan itu kadang dilakukan secara bergantian. Sebab semuanya bertumpu pada kondisional waktu dan kesibukan masing-masing. Selain itu juga sebab pengaruh tempat tinggal yang cukup berjauhan. Ada yang tinggal di Surabaya dan ada juga yang di Lamongan. Yang kerap mereka bahas tidak lain adalah bagaimana kesusastraan Lamongan ke depan. Bagaimana kesusastraan Lamongan dapat dikenal hingga taraf internasional. Hal itu kadang dilakukan sambil ngopi bareng di warung pinggir jalan raya atau sekedar di rumah saja. Nama-nama yang tergabung dan bergerak dalam FSL di antaranya adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, Haris Del Hakim, A Sauki Sumbawi, Javed Paul Syata, dan Imamuddin SA.
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/
Lamongan! Mungkin nama ini terlalu tabu di tengah-tengah semua gendang pendengaran anak manusia. Atau bisa jadi anda akan mengerutkan dahi dan bahkan merasa takut ketika nama tersebut disebut. Ya, bagi saya itu wajar. Kota kecil yang terletak antara kota pudak Gersik dan kota Bojonegoro ini memang pada mulanya dipandang sebelah mata oleh kota-kota lain di sekitarnya. Kota yang belum memiliki talenta lokalitas yang mampu menyuarakan namanya di kanca perkembangan zaman. Namun, menjelang peristiwa peledakan bom di Bali, nama kota ini berkibar di ujung daun.
Entah pada waktu itu daunya tergerogoti ulat atau daun hijau muda yang segar. Yang jelas, kebanyakan orang yang mendengar nama Lamongan, hati mereka akan nggiris, ciut, dan takut. Mereka saling mengasumsikan akan betapa kerasnya jiwa-jiwa orang Lamongan. Tapi tidak apalah, yang penting sudah terkenal bahkan secara internasional. He....he....he...
Entah apa yang terjadi? Semenjak peristiwa peledakan bom itu seolah-olah hati dan jiwa masyarakat Lamongan terlecuti oleh cambuk membara. Mereka semua terbakar untuk berlomba-lomba mengibarkan panji Lamongan di muka publik lokal, nasional dan bahkan internasional. Bahwa Lamongan itu indah, damai, dan lembut. Dari berbagai lini, masyarakat dan Pemkot Lamongan berjuang sekuat tenaga serta semampunya untuk menjunjung tinggi nama Lamongan. Salah satu bentuk usaha tersebut adalah membangun tempat pariwisata WBL (Wisata Bahari Lamongan) dan Goa Istanah Maharani yang bertaraf internasional, menyuarakan Lamongan lewat olahraga sepak bola, ada juga yang melalui seni dan sastra dan lain-lain.
Untuk yang lain tidak perlu disinggung sebab Pemkot Lamongan tengah serius menangani dan terjun di dalamnya. Jangan keras-keras, kita omongkan dari hati ke hati saja. Bagaimana nasib kesenian dan kesusastraan Lamongan kemarin, sekarang, dan ke depan?
Dari sisi kesenian tradisional. Pada mulanya cukup banyak kesenian tradisional yang berkembang di kota Lamongan. Mulai dari ludruk, sandur, wayang, kentrung dan lain-lain. Dalam bidang-bidang tersebut cukup banyak komunitas yang berdiri di dalamnya. Namun sekarang ini banyak yang udzur diri. Entah sebab apa, juga tidak mengerti. Yang jelas mungkin sebab kesejahteraan sosial-ekonomi yang kurang dapat dipenuhi. Kini keberadaannya hanya tinggal segelintir saja. Jika hendak dihitung; sandur hanya ada di Modo Kecamatan Ngimbang, Kentrung Ki Dalang Kusairi desa Solokuro, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Kasiran desa Randu Bener, Paguyuban Wayang Kulit Ki Dalang Sudikno desa Moro kecamatan Sekaran. Generasi muda sekarang terasa ogah dan gengsi untuk menekuti seni-budaya semacam itu. Hal itulah yang juga menyebabkan semakin menurunnya keberadaan seni-budaya di Lamongan.
Selain kesenian tersebut, dewasa ini yang sangat berkembang di Lamongan adalah seni teater. Keberadaan teater di Lamongan dapat di katakan telah menjamur. Entah itu komunitas teater yang eksistensinya dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh atau hanya sekedar momental dan bahkan hanya sekedar mengisi kegiatan ekstra sekolah. Komunitas-komunitas tersebut di antaranya adalah teater Taman Babat (pelajar sekolah MAN Babat), Aum (pelajar sekolah MA. Matholi’ul Anwar Simo), Rekat (SMUN Mantup), Intan (SMA 3), Mata Es, Roda (Unisda), STNK (Unisda), Kentrung Formalin (Unisla dan SMA 3), teater MATA (Kranji Paciran), teater KENTUT (Payaman Solokuro), Cicak, Sangbala (pelajar SD Canditunggal Kalitengah). Beberapa nama penggerak di dalamnya adalah Pringgo HR, Sutardi Cempet, Javed Paul Syata, Heri Ambon, Paidi, Rokim Edan, Luqman Tohek, Kadjie Bitheng MM, Rodli TL, Heru Kusubiantoro, dan lain-lain.
Akhir-akhir ini nama Lamongan terbang membumbung tinggi ke angkasa sambil menebar wewangi kasturi melalui bidang teater. Teater Sangbala yang diasuh oleh Rodli TL berhasil mengantongi juara dalam festival teater internasional. Anak-anak Sangbala dengan naskah yang berjudul Past Game berhasil menyingkirkan rival mainnya baik yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu tidak lepas dari kerja keras, perjuangan dan pengorbanan, serta ridha Tuhan Yang Maha Kuasa. Perjuangan yang dilakukan Sangbala tidak hanya dari segi tenaga, pikiran, material, melainkan juga dengan korban perasaan.
Konon dijelaskan oleh pembina Sangbala bahwa komunitas mereka berjuang mati-matian secara personal untuk dapat mengikuti even tersebut. Meskipun mereka sangat dipusingkan dengan masalah biaya pemberangkatan. Bagaimana tidak pusing, komunitas yang notabenenya bernaung dalam lembaga sekolah kecil serta terpencil dan masyarakat yang relatif berekonomi menengah ke bawah, harus memberangkatkan siswa yang cukup lumaya banyaknya. Segala usaha dilakukan demi mengikuti festival tersebut sebagai wakil Lamongan. Anehnya, saat mengajukan permohonan dana ke Pemkot Lamongan, komunitas ini justru malah dipingpong yang pada akhirnnya berakhir bolong. Tapi ada satu sukarelawan yang mungkin merasa iba, ia rela memberikan bantuan secara pribadi. Meskipun demikian, biaya masih kurang banyak. Jadi ya pembina Sangbala terpaksa harus ngutang dulu untuk menutup kekurang biaya pemberangkatan itu. Walhasil, Sangbala pun menang. Lantas apa yang dilakukan Pemkot Lamongan! Sambuatan hangat yang bagaimana yang diberikan! Penghargaan apa yang disandangkan! Sangbala telah mengharumkan nama Lamongan!
Selain Sangbala, keberadaan komunitas teater yang lain juga tidak boleh di pandang sebelah mata. Dengan eksistensi mereka, baik di lokal sendiri maupun di luar kota, perlahan tapi pasti, kredebilitas Lamongan akan terangkat dengan sendirinya. Mereka telah turut meramaikan kota Lamongan. Bahkan kerap mengadakan festival teater antarkota. Yang sungguh aneh dan riskan, pengayoman terhadap pekerja seni dan komunitas teater tersebut masih menunjukkan intensitas yang kurang. Buktinya, gedung kesenian saja masih belum terbangun di Lamongan. Masak, ada orang kok gak punya rumah! Padahal dari sisi kesenian, nama Lamongan berkompeten menyemburatkan sinar gilang-gemilang. Tapi sudah lumayan, sebab sudah ada janji dari pihak Pemkot Lamongan. Tapi kapan terealisasinya? Entah! Ini kalau tidak salah dengar sudah hampir tiga tahunan bahkan lebih, janji itu diujarkan. E.....nyatanya sepetak tanahnya saja masih kabur! Mudah-mudahan tanah di Lamongan tidak habis dibuat bangunan toko dan perumahan. Paling tidak, masih ada dua meter persegi untuk pemakaman kesenian di Lamongan. Maaf salah omong. Maksud saya dua puluh meter persegi untuk pembangunan gedung kesenian di Lamongan. He...he...he...
Dari bidang kesusatraan misalnya. Para pekerja dan penggiat sastra sangat montang-manting dalam membudayakan membaca, menulis, dan bekarya kepada masyarakat Lamongan khususnya. Mereka senantiasa mencari dan membentuk regenerasi penulis Lamongan dewasa ini. Selain itu juga menanamkan kepribadian yang menghargai karya dan kreatifitas orang lain. Bentuk usaha yang dilakukannya ada yang mengadakan even lomba menulis puisi tingkat SLTA se-Lamongan (Van Der Wijck Award ke-1), membuat antologi puisi tingkat SLTA, Seminar sastra di sekolah-sekolah, diskusi Candrakirana dan lain-lain. Hal itu tentunya juga tidak lepas dari peranan guru di sekolah-sekolah tertentu yang memposisikan diri sebagai pekerja sastra yang bergerak secara mendasar dan juga para sastrawan serta penulis Lamongan yang lain. Di sana ada Hery Lamongan, Nurel Javissyarqi, Pringgo HR, Bambang Kempling, Rodli TL, Alang Khoiruddin, Haris Del Hakim, Javed Paul Syata, A. Sauki Sumbawi, A. Rodli Murtadho, Rian Sindu, Joko Sandur, Imamuddin SA. Selain mereka masih ada sekian banyak sastrawan Lamongan baik yang bereksistensi di Lamongan sendiri maupun di luar Lamongan. Mereka di antaranya adalah Satyagraha Hoerip, Mashuri, Gaidurrahman El Mistsri, Isnaini Komaruddin, Nur Aziz Asmuni, Aris, Raslayno, Sutardi Cempet, N yeas, Heru Kusubiantoro, Edy Maherul Fata, D. Zaini Ahmad, Heri Kurniawan, Ridwan Rachid, Anis CH, M Bagus Pribadi, Ariandalu, Atrap S. Munir, Ali Makhmud, Ghaffur al-Faqqih, Heri Listianto, Arina Habaidillah, Dijah Lestari, Hartiwi, dan lain-lain. Entah eksistensi mereka saat ini masih mengalir laksana gemericik air atau telah membatu, yang jelas mereka semua pernah mengisi khasanah kesusastran di Lamongan.
Kajian dan diskusi sastra di Lamongan secara intens dilakukan setiap malam lima belas bulan purnama. Sebab itulah kegiatannya dinamakan Candrakirana. Kegiatan ini digerakkan oleh Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan). Selama beberapa tahun kegiatan ini berjalan dengan lancar dan bergairah. Yang menghadiri acara tersebut cukuplah banyak, bahkan sastrawan luar kota sempat menyinggahkan diri di dalamnya. Beberapa di antaranya ada Mas Gampang Prawoto (Bojonegara), HU Mardi Luhung (Gersik), dll. Namun belakangan ini sempat fakum beberapa saat sebab menurunnya greget regenerasinya. Puncaknya pada dua tahun terakhir yaitu tahun 2006 dan 2007. Tak ada suatu usaha itu yang bebas dari hambatan. Itulah yang mungkin berlaku bagi Candrakirana waktu itu. Sekarang dengan format dan strategi yang baru, Candrakirana kembali mengibarkan benderanya. Semoga menemukan kembali keharuman namanya.
Buku-buku karya sastra yang menjadi tolok ukur kontribusi pengarang Lamongan cukup banyak. Entah itu dicetak secara terbatas atau disebar di kawasan lokal. Beberapa buku tersebut di antaranya adalah Memecah Badai (1999), Negeri Pantai (2000), Rebana Kesunyian (Kostela 2002), Imajinasi Nama (Kostela 2003), Bulan Merayap (DKL 2004), Lanskap Telunjuk (DKL 2004), Mozaik Pinggir Jalan (antologi puisi SLTA, DKL 2005), Absurditas Rindu (Sastra Nesia 2006), Khianat Waktu (DKL 2006), Memori Biru (DKL 2007), Jalan Cahaya (sajak-sajak SMA, DKL 2007), Gemuruh Ruh (Antologi Sastra Lamongan, 2008).
Di lembaga-lembaga sekolah SLTP dan SLTA tertentu ada juga yang menerbitkan buku antologi sendiri. Semua itu dilakukan hanya semata-mata untuk memotivasi dan menumbuhkan gairah membaca dan menulis sejak dini juga sebagai salah satu bentuk usaha regenerasi sastrawan Lamongan. Selain itu juga diupayakan dengan cara mengundang penulis-penulis ternama seperti Raudal Tanjung Banua, KH. Zainal Arifin Toha (di MA Matholi’ul Anwar) dll, di lokalitas kampus Unisda ada Tengsu Cahyono, Setya Yuwana Sudikan, dll. Di antaranya buku-buku yang diterbitkan adalah, MTs Putra-Putri Simo; antologi puisi dan esai ringan Enjelai (bunga rampai catatan harian siswa 2005), Rinai Sukma dan Guratan Pelangi (Teater Mata Es 2005), Ponpes dan MA. Matholi’ul Anwar Simo; antologi cerpen Mawar Putih (2007), antologi cerpen dan puisi Kristal Bercahaya dari Surga (2008), antologi cerpen The Power of Love (2008).
Secara individual, para sastrawan Lamongan juga membukukan karya-karyanya. Di antaranya adalah Herry Lamongan; Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008), Nurel Javissyarqi; Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga, Ada Puisi Di Jogja, Tabula Rasa Kumuda, Tubuh Jiwa Semangat, Kekuasaan Rindu Sayang, Segenggam Debu Di Langit, Kajian Budaya Semi, Sarang Ruh, Sayap-Sayap Sembrani, Kulya Dalam Relung Filsafat, Batas Pasir Nadi, Kumpulan Cahaya Rasa Ardana, Trilogi Kesadaran, Balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat, Mashuri; antologi puisi Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), Hubbu (novel 2007), Gaidurrahman El Mitsri; Kitab Dusta dari Surga, Langit Mekah Berwarna Jingga (novel 2008) dll, Pringgo HR; Sungai Asal (2005), Bambang Kempling; antologi puisi Kata Sebuah Sajak (2002), Alang Khoiruddin; Lorong Cinta (2000), Perjamuan Embun, Fenomena Sajak Religius (2003), Kontemplasi Sufistik (2004), Oase Cinta (2004), Majenun Mencari Kekasih (2004), Wanita: Pesona Paling Melati (2004), Seruling Cinta (2002), Percikan-Percikan Cinta, Haris Del Hakim; novel Berlabuh di atas Gelombang, Lars-liris, dll, Javed Paul Syata; Syahadat Sukma (2004), Tamasya Langit (2007), The Lamongan Soul (kumpulan sajak dan cerpen 2008), A. Sauki Sumbawi; Interlude di Remang Malam (puisi, 2006), Tanpa Syahwat (cerpen 2006), #2 (cerpen 2007), Dunia Kecil, Panggung dab Omong Kosong (novel 2007), Waktu di Pesisir Utara (novelet 2008), Maskerade (prosa pendek 2008), Rodli TL; novel Dozedlove (Pustaka Ilalang, 2006), Imamuddin SA; Esensi Bayang-Bayang, Sembah Rindu Sang Kekasih, Kidung Sang Pecinta, dan Sasmita Kembang Widerda, M. Rodli Murtadho; Pameran Makam (Pustaka Ilalang, 2008), Kadjie Bitheng; Negeri Dongeng (puisi 2006) dll.
Ada yang unik dari eksistensi sastrawan Lamongan. Keunikannya terletak pada bentuk dan gaya kreatifitas karya yang dihasilkannya. Meski dalam satu paguyuban Lamongan, dari setiap sastrawan memiliki ciri khas masing-masing secara personal. Memang cukup variatif. Tentunya variasi tersebut bertumpu pada latarbelakang sosial dan kedekatan emosional serta psikologi dari tiap pribadinya. Mereka tidak mencipta genosis sastra. Tapi mereka berdiri dengan kekuatannya sendiri-sendiri. Berdiri dengan selera masing-masing. Dan tetap bergerak dalam satu langka bersama dalam menuju muara yang sama pula; kesusastraan Lamongan dalam kanca pergulatan dunia.
Di Lamongan juga ada beberapa media cetak yang tengah menampung karya-karya dari luar daerah. Ambil saja Indupati, Tabloid Telunjuk (alm), Jurnal Sastra Timur Jauh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour. Tidak jarang penulis-penulis besar nasional berkenan menggoreskan karyanya di media tersebut. Beberapa di antaranya adalah Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Alfiyan Harfi, Y. Wibowo, Hamdy Salad, Gugun El-Guyanie, Iman Budhi Santosa, Fahrudin Nasrullah, Teguh Winarso AS, KH. Zainal Arifin Toha, KRT Suryanto Sastroatmodjo, dll (di jurnal kebudayaan The Sandour). Selain itu di Lamonngan juga ada penerbitan yang telah memiliki ISBN, yaitu Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, Sastra Nesia, dan La Rose. Semua penerbitan itu bergerak pada wilayah kesusastraan. Tidak jarang para penulis terkemuka menerbitkan karya-karyanya di penerbitan Lamongan. Seperti: dari Pustaka Pujangga ada Hudan Hidayat (esai, Nabi Tanpa Wahyu), Teguh Winarsho (novel, Kantring Genjer-Genjer), Binhad Nurrahmat (esai, Sastra Perkelaminan), Amuk Tunteja (cerpen, Marhalim Zaini), dari Pustaka Ilalang ada Supaat I Lathief (Sastra: Eksistensialisme-Mistisme Religius 2008 dan Psikologi Eksistensialisme 2008), dll.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergerakan sastrawan Lamongan juga turut berkembang. Demi menjalin relasi dan menyuarakan nama Lamongan di kawasan regional dan internasional, generasi muda sastrawan Lamongan mengambil inisiatif untuk membuat blog di internet. Mereka membentuk komunitas blog yang bernama Forum Sastra Lamongan (FSL). Seluk-beluk dan perkembangan sastra di Lamongan dan sekitarnya mereka dokumentasikan di sana guna memberi infomasi kepada pengunjung blog. Prioritas utamanya adalah para penulis dan sastrawan Lamongan. Anggota FSL pada dasarnya jarang bertemu secara bersama-sama. Mereka menjalin relasi dan persaudaraan dengan jalan lewat email, hand phone, dan bahkan kunjung ke rumah-rumah anggotanya. Itu sih dilakukan bagi mereka yang tengah memiliki sedikit kelonggaran waktu. Paling tidak, paling cepat sebulan ada yang kunjung ke rumah dan itu kadang dilakukan secara bergantian. Sebab semuanya bertumpu pada kondisional waktu dan kesibukan masing-masing. Selain itu juga sebab pengaruh tempat tinggal yang cukup berjauhan. Ada yang tinggal di Surabaya dan ada juga yang di Lamongan. Yang kerap mereka bahas tidak lain adalah bagaimana kesusastraan Lamongan ke depan. Bagaimana kesusastraan Lamongan dapat dikenal hingga taraf internasional. Hal itu kadang dilakukan sambil ngopi bareng di warung pinggir jalan raya atau sekedar di rumah saja. Nama-nama yang tergabung dan bergerak dalam FSL di antaranya adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, Haris Del Hakim, A Sauki Sumbawi, Javed Paul Syata, dan Imamuddin SA.
1 komentar:
bro kentrung formalin tu bkn dari gabungan teater rasa,tp berdiri sendiri....makasih (anggota kentrung formalin)
Posting Komentar