Coba Lagi Memainkan Kartu Minyak
Suripto SH*
http://www.jawapos.com/
Benar-benar congkak. Itulah sikap Israel yang tak mau mengindahkan teriakan sebagian dunia agar menghentikan agresinya ke tengah Gaza, Palestina. Bahkan, PM Israel Ehud Olmert seperti menantang seluruh dunia muslim khususnya, tak akan pernah menghentikan serangannya sampai pemerintahan Hamas musnah.
Yang perlu kita tatap secara spesifik, adakah kemungkinan berdampak pada perkembangan ekonomi global yang kini masih dilanda krisis?
Kemungkinan dampak negatif itu ada. Salah satu faktor utamanya adalah kemungkinan negara-negara produsen minyak Arab bereaksi secara positif (terbangkit kesadarannya) untuk membela kepentingan kemanusiaan dan politik pemerintahan dan bangsa Palestina.
Meski sejauh ini dunia Arab sering dilanda krisis soliditas, sebagai sesama "darah" Arab, kemungkinan akan muncul kesadaran baru. Merasa terinjak-injak atas kebiadaban negeri Zionis yang melampaui batas itu, apalagi menantang demikian congkaknya.
Gejala kesadaran (solidaritas) itu sudah tampak. Beberapa hari lalu, negara-negara Arab Teluk -terutama Kuwait dan Uni Emirat Arab- mengambil sikap politik. Mereka mengurangi produksi minyaknya sebagai sikap moral untuk membela saudaranya (anak-bangsa Palestina).
Pengurangan itu sama artinya akan terjadi kontraksi juga terhadap volume ekspornya, baik ke negara-negara industri atau bahkan negara-negara importer lainnya. Jika langkah negara-negara Arab Teluk tersebut diikuti negara-negara produsen Arab lainnya, katakanlah Arab Saudi, Yordania, dan Syiria ditambah Iran, dunia akan benar-benar menghadapi situasi pahit: terjadi krisis energi bagi negara-negara importer minyak, termasuk Indonesia.
Memang, sejumlah negara industri kini sudah mengembangkan energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan industrinya. Tapi, fakta menunjukkan, mereka masih meletakkan ketergantungan pasok minyaknya dari bumi Arab.
Sementara itu negara-negara produsen minyak Arab hingga kini masih menguasai sekitar 45 persen di antara total kebutuhan energi minyak dunia. Persentase ketergantungan minyak Arab itu cukup signifikan. Maka, sungguh membahayakan bagi kelangsungan hidup industri negara-negara maju jika solidaritas Arab terjadi (mengurangi volume produksinya secara signifikan).
Jika Solidaritas Arab Terwujud
Yang perlu kita garis bawahi, jika negara-negara Arab -apalagi Iran- benar-benar menjawab agresi Israel dengan mengurangi produksi minyak secara signifikan, yang bakal kena dampaknya bukan hanya negara-negara industri, tapi juga negara importer, termasuk Indonesia. Dampak negatif yang paling dekat adalah ekonomi.
Seperti kita ketahui, beberapa pekan lalu terjadi kenaikan harga minyak dunia secara hiperbolik. Padahal, tingkat volume produksinya masih normal; relatif sesuai antara permintaan versus penawaran. Kenaikan harga minyak dunia ikut menambah kualitas krisis ekonomi global akibat mismanagement tata keuangan lembaga-lembaga perbankan, terutama di negeri AS.
Kini, krisis ekonomi global belum pulih, meski dilakukan aksi bersama dari negeri-negara Barat untuk mengatasinya. Harus kita akui, negara-negara lain masih terkena dampak buruknya. Bahkan, sedang tunggu giliran untuk krisis.
Bayang-bayang giliran bisa jadi kenyataan, tidak hanya bagi negara-negara yang belum terkena getah pahitnya, tapi negara-negara maju pun akan terlanda kembali krisis ekonomi babak berikut. Faktor utamanya, pengurangan volume impor minyak karena produksi minyak berkurang.
Tingkat pasok minyak yang kontraktif itu sangat berpotensi mengakibatkan lonjakan harga minyak "jilid II", setelah kini masih dalam posisi rendah -belum mencapai angka USD 50 per barel.
Menatap prediksi harga minyak yang berpotensi kembali naik, dunia ini -seluruh negara importer minyak Arab, dari komponen negara-negara maju bahkan negara-negara berkembang lain- seharusnya terpanggil untuk mengerem potensi tersebut.
Karena itu, the seven government (G-7) -tujuh negara-negara maju- seharusnya lebih terpanggil. Sebab, kepentingannya jauh lebih besar. Yaitu, selain mempertahankan roda industrinya, juga pemulihan krisis ekonomi domestiknya akibat mismanagement sistem lembaga keuangan mereka.
Pendekatan yang dilakukan sesungguhnya sederhana. Tidak harus merancang bagun kebijakan untuk menahan lajunya harga minyak, tapi cukuplah dengan memahami kepentingan negara-negara produsen minyak Arab.
Refleksinya, seluruh negara yang masih menggantungkan minyak Arab harus mampu meyakinkan Israel untuk menghentikan agresinya. Jika diplomasinya langsung tertuju untuk penyelematan anak-bangsa Palestina, misinya akan gagal total.
Karena itu, yang harus dikembangkan ialah membangun kesadaran elite Israel, bahkan para kapitalis Yahudi di mana pun, bahwa agresinya ke tengah Gaza akan berdampak lebih jauh terhadap krisis ekonomi global. Dan, hal ini pun -pada akhirnya- bukan hanya menggebuk ekonomi negara-negara maju dan importer lainnya. Juga, menggebuk kepentingan ekonomi kapitalis dunia, termasuk unsur Yahudi yang kampiun di sektor bisnis.
*) Wakil ketua Komisi III DPR, ketua Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP)
Suripto SH*
http://www.jawapos.com/
Benar-benar congkak. Itulah sikap Israel yang tak mau mengindahkan teriakan sebagian dunia agar menghentikan agresinya ke tengah Gaza, Palestina. Bahkan, PM Israel Ehud Olmert seperti menantang seluruh dunia muslim khususnya, tak akan pernah menghentikan serangannya sampai pemerintahan Hamas musnah.
Yang perlu kita tatap secara spesifik, adakah kemungkinan berdampak pada perkembangan ekonomi global yang kini masih dilanda krisis?
Kemungkinan dampak negatif itu ada. Salah satu faktor utamanya adalah kemungkinan negara-negara produsen minyak Arab bereaksi secara positif (terbangkit kesadarannya) untuk membela kepentingan kemanusiaan dan politik pemerintahan dan bangsa Palestina.
Meski sejauh ini dunia Arab sering dilanda krisis soliditas, sebagai sesama "darah" Arab, kemungkinan akan muncul kesadaran baru. Merasa terinjak-injak atas kebiadaban negeri Zionis yang melampaui batas itu, apalagi menantang demikian congkaknya.
Gejala kesadaran (solidaritas) itu sudah tampak. Beberapa hari lalu, negara-negara Arab Teluk -terutama Kuwait dan Uni Emirat Arab- mengambil sikap politik. Mereka mengurangi produksi minyaknya sebagai sikap moral untuk membela saudaranya (anak-bangsa Palestina).
Pengurangan itu sama artinya akan terjadi kontraksi juga terhadap volume ekspornya, baik ke negara-negara industri atau bahkan negara-negara importer lainnya. Jika langkah negara-negara Arab Teluk tersebut diikuti negara-negara produsen Arab lainnya, katakanlah Arab Saudi, Yordania, dan Syiria ditambah Iran, dunia akan benar-benar menghadapi situasi pahit: terjadi krisis energi bagi negara-negara importer minyak, termasuk Indonesia.
Memang, sejumlah negara industri kini sudah mengembangkan energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan industrinya. Tapi, fakta menunjukkan, mereka masih meletakkan ketergantungan pasok minyaknya dari bumi Arab.
Sementara itu negara-negara produsen minyak Arab hingga kini masih menguasai sekitar 45 persen di antara total kebutuhan energi minyak dunia. Persentase ketergantungan minyak Arab itu cukup signifikan. Maka, sungguh membahayakan bagi kelangsungan hidup industri negara-negara maju jika solidaritas Arab terjadi (mengurangi volume produksinya secara signifikan).
Jika Solidaritas Arab Terwujud
Yang perlu kita garis bawahi, jika negara-negara Arab -apalagi Iran- benar-benar menjawab agresi Israel dengan mengurangi produksi minyak secara signifikan, yang bakal kena dampaknya bukan hanya negara-negara industri, tapi juga negara importer, termasuk Indonesia. Dampak negatif yang paling dekat adalah ekonomi.
Seperti kita ketahui, beberapa pekan lalu terjadi kenaikan harga minyak dunia secara hiperbolik. Padahal, tingkat volume produksinya masih normal; relatif sesuai antara permintaan versus penawaran. Kenaikan harga minyak dunia ikut menambah kualitas krisis ekonomi global akibat mismanagement tata keuangan lembaga-lembaga perbankan, terutama di negeri AS.
Kini, krisis ekonomi global belum pulih, meski dilakukan aksi bersama dari negeri-negara Barat untuk mengatasinya. Harus kita akui, negara-negara lain masih terkena dampak buruknya. Bahkan, sedang tunggu giliran untuk krisis.
Bayang-bayang giliran bisa jadi kenyataan, tidak hanya bagi negara-negara yang belum terkena getah pahitnya, tapi negara-negara maju pun akan terlanda kembali krisis ekonomi babak berikut. Faktor utamanya, pengurangan volume impor minyak karena produksi minyak berkurang.
Tingkat pasok minyak yang kontraktif itu sangat berpotensi mengakibatkan lonjakan harga minyak "jilid II", setelah kini masih dalam posisi rendah -belum mencapai angka USD 50 per barel.
Menatap prediksi harga minyak yang berpotensi kembali naik, dunia ini -seluruh negara importer minyak Arab, dari komponen negara-negara maju bahkan negara-negara berkembang lain- seharusnya terpanggil untuk mengerem potensi tersebut.
Karena itu, the seven government (G-7) -tujuh negara-negara maju- seharusnya lebih terpanggil. Sebab, kepentingannya jauh lebih besar. Yaitu, selain mempertahankan roda industrinya, juga pemulihan krisis ekonomi domestiknya akibat mismanagement sistem lembaga keuangan mereka.
Pendekatan yang dilakukan sesungguhnya sederhana. Tidak harus merancang bagun kebijakan untuk menahan lajunya harga minyak, tapi cukuplah dengan memahami kepentingan negara-negara produsen minyak Arab.
Refleksinya, seluruh negara yang masih menggantungkan minyak Arab harus mampu meyakinkan Israel untuk menghentikan agresinya. Jika diplomasinya langsung tertuju untuk penyelematan anak-bangsa Palestina, misinya akan gagal total.
Karena itu, yang harus dikembangkan ialah membangun kesadaran elite Israel, bahkan para kapitalis Yahudi di mana pun, bahwa agresinya ke tengah Gaza akan berdampak lebih jauh terhadap krisis ekonomi global. Dan, hal ini pun -pada akhirnya- bukan hanya menggebuk ekonomi negara-negara maju dan importer lainnya. Juga, menggebuk kepentingan ekonomi kapitalis dunia, termasuk unsur Yahudi yang kampiun di sektor bisnis.
*) Wakil ketua Komisi III DPR, ketua Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar