Sabtu, 03 Januari 2009

PERCINTAAN DENGAN ALAM

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Sejumlah kritikus sastra yang berorientasi pada pendekatan sosio-kultural, berkeyakinan bahwa karya sastra tidak lahir secara serta-merta. Ia mula-mula sangat mungkin lahir dari sebuah peristiwa sebagai pengalaman selintasan, atau pengalaman melihat, mendengar, merasakan, bahkan sampai pada pengalaman dahsyat yang menakjubkan—menakutkan. Segala pengalaman itu mengeram, menduduki singgasana memori yang tak gampang dihilangkan begitu saja. Ia mengganggu—menggelisahkan. Lalu mengendap dan terus mengikuti segala gerak pikiran dan perasaannya.
Lalu, bersama kegelisahannya itu, ia menggoncang-goncangkan imajinasi dan intelegensianya. Maka, ketika ia sampai pada keputusan menjadikannya sebagai tugu peringatan atau monumen dalam deretan kata-kata, di situlah segala peristiwa itu wujud dalam bentuk karya sastra. Itulah proses panjang kelahiran sebuah karya (sastra).

Sastrawan, lantaran dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya tertentu, maka langsung atau tidak, keterpengaruhannya atas kondisi sekitar kerap mencelat begitu saja. Ia berada inheren dengan dirinya. Sastrawan sebagai anggota masyarakat, memang tidak dapat melepaskan diri dari faktor kemasyarakatan. Perilaku, etika, tata karma, norma, bahkan juga nilai-nilai moral yang berlaku dalam lingkungan sosial tertentu, kerap menjadi semacam perekat yang menyeret diri sastrawan –bahkan profesi apa pun—ke dalam tarik-menarik menjadi bagian dari segala sikap budaya itu, mengikutinya tanpa reserve sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat tradisional, melakukan pemberontakan sambil menawarkan nilai-nilai atau paradigma baru, atau ia melakukan kompromi-kompromi. Itulah aturan main ketika seseorang masuk dalam sebuah komunitas sosial—budaya tertentu.

Posisi sastrawan dalam kehidupan sosial, kerap juga melakukan pemberontakan melalui gagasan-gagasan kreatifnya. Kalaupun ia melakukan sejumlah kompromi, pilihan itu diterima dan ditawarkan kembali sebagai reaksi kritis atas sejumlah hal yang mungkin disetujui atau tidak disetujuinya. Peran sosial sastrawan sebatas itu. Justru dengan cara itu pula, sastrawan sedang mengekspresikan berbagai peristiwa individual itu menjadi bagian dari usaha memberikan sesuatu kepada masyarakatnya. Ia boleh jadi sedang melakukan proses membangun tugu peringatan atau monumen dirinya, tetapi sesungguhnya, ia sedang mengejawantahkan empati, simpati, antipati, bahkan juga kebencian dan sikap evaluatifnya atas sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar. Sesuatu itu bisa berupa peristiwa yang sangat individual, peristiwa sosial, peristiwa kultural, bahkan peristiwa yang menggoncangkan dunia.

Dengan dasar pemikiran dan konteks tersebut, kita dapat mencermati kepenyairan Tri Astoto Kadarie sebagai sebuah perjalanan ekspresif ketika ia coba menawarkan segala pengalamannya dalam bentuk larik-larik puisi. Maka, yang dapat kita tangkap adalah gebalau kegelisahan atas peristiwa yang sangat individual itu ke dalam peralatan puitik: metaforis, simbolis, ironis, paradoksal, atau bersengaja memanfaatkan imaji. Dalam konteks itu pula, buku yang memuat 164 puisi karya Tri Astoto Kadarie ini menjadi penting tidak sekadar menambah jumlah judul buku antologi puisi dalam peta perpuisian Indonesia, tetapi lebih jauh dari itu, kita memperoleh gambaran, betapa konsistensi pada profesi dan kepedulian pada apa pun yang berada di sekeliling kita, bagaimanapun juga, tetaplah menyembulkan makna. Dalam serangkaian peralatan puitik yang ditawarkannya itu, ada nilai di balik makna sintaksis segala lariknya, dan nilai itu, paling tidak, secara subjektif, mewartakan sebuah élan dalam menjalani kehidupan; serangkaian semangat untuk melakukan kompromi-kompromi atau menerima pengalaman itu sebagai bentuk tarik-menarik introspeksi dan retrospeksi atas segala pengalaman dalam berhubungan intim dengan alam di sekitar.

Dari sudut itu, puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi ini, tidaklah mengusung sebuah tema tertentu. Problem, makna, atau nilai apa pun yang berada di balik setiap peristiwa, bisa menjadi tema puisi –atau cerpen, sejauh kita dapat menangkap substansi, hakikat, ruh yang mengeram dan bersembunyi di belakang tirai peristiwa itu. Bukankah tema besar model apa pun tetaplah akan jatuh pada bentuk artifisial, jika sastrawan atau penyair yang bersangkutan gagal mengemaskannya ke dalam wilayah estetika.
***

Mencermati setumpuk puisi dengan berbagai-bagai tema, tidaklah sama dengan membaca penggalan berita sambil menikmati secangkir kopi. Kita seperti sedang menikmati potongan-potongan slide yang mewartakan bermacam peristiwa. Dan dalam setiap peristiwa itu, tersembunyi pesan tematik yang dibalut estetika puitik. Di sinilah perkara puisi menjadi sesuatu yang mudah diselesaikan jika kita membaca sebagai bentuk apresiasi belaka. Manakala kita mencoba menelusuri segala maknanya, mencoba menemukan endapan nilainya, seketika puisi berubah menjadi hamparan medan tafsir yang sangat luas. Itulah sebabnya, puisi yang dibentuk dengan larik kata-kata yang kemas, padat, dan metaforis, kerap memancarkan kekayaan tafsir yang luar biasa.

Meskipun demikian, tentu saja kita juga masih dapat melakukan simplifikasi dengan menarik benang merah melalui kecenderungan-kecenderungan tematik atau stilistik. Dengan cara itu, meski hasilnya berupa gambaran umum yang mencakup keseluruhan, setidak-tidaknya ia tetap dapat dianggap muwakil—representatif. Atas dasar pertimbangan itulah catatan ini coba memetakan kecenderungan-kecenderungan puitik yang coba ditawarkan Tri Astoto Kodarie.
***

Sejumlah besar puisi yang terhimpunan dalam antologi ini seperti hendak mewartakan percintaan aku lirik pada alam, lebih khusus lagi pada dunia laut. Laut dengan segala geraknya yang dinamis dan penuh gejolak, dan yang tak pernah diam itu, bagi penyair, seperti makhluk yang penuh misteri. Ia menghadapi kegamangan ketika ia menempatkan diri sebagai titik kecil dalam hamparan ombak. Tetapi, ia juga takjub dan terjerat pesonanya yang tak pernah berhenti bergerak. Jadi, di satu pihak, ia seperti dibetot kecemasan ketika laut memancarkan kedahsyatannya, tetapi sekaligus ia mencintai kedahsyatannya itu. Ambivalensi terus bergetayangan sampai akhirnya ia cenderung memilih untuk tidak menjawabnya.

Sejumlah besar puisi dalam antologi ini yang ditempatkan di bagian awal (periode 1980-an sampai 1990-an) menampakkan suasana suram, cemas, gamang, dan pertanyaan tentang masa depan. Begitu juga ketika ia berhadapan dengan Tuhan. Periksa saja puisi-puisinya yang bertajuk “Dahaga”, “Sepanjang Jalan KS”, “Di Hari J” dan sebagian besar puisinya yang menggambarkan perhubungannya dengan Tuhan,[1] seperti kerinduan seseorang yang cemas pada masa depannya yang penuh misteri. Akibatnya, Tuhan seperti ditempatkan dalam jarak yang jauh nun di sana, tetapi ia ingin memperoleh jawaban atas masa depannya yang masih penuh misteri itu.

Bagaimana kerinduan pada Tuhan dengan menempatkan Tuhan sendiri berada nun jauh di sana? Inilah yang saya maksudkan sebagai ambivalensi –kemenduaan yang bertolak belakang. Dalam hal ini, Tuhan laksana hendak dijadikan sebagai alat legitimasi untuk meneguhkan mitos masa depan. Tetapi, justru dengan cara itu pula, kerinduan Tri Astoto Kodarie pada Tuhan menjadi agak nyeleneh sendiri. Sebuah cara ekspresi yang aneh sebagaimana yang diperlihatkan penyair ketika ia memandang masa depannya yang masih disaputi misteri. Perhatikan salah satu bait dari puisi berjudul “Sepanjang Jalan KS”: kalaulah di sini bisa kuperoleh jarak/akan kuakhiri segala tualang/dan bergayut pada lenganMu// Jadi, petualangan itu akan diakhirinya, meski ada jarak membentang yang memisahkannya. Aku lirik sebenarnya masih dalam proses petualangan. Di sinilah, Tuhan menjadi alat legitimasi untuk meneguhkan harapan masa depan, dan bukan sebagai muara untuk penyatuan.

Perhatikan juga bait terakhir dari puisi berjudul “Lagu Senja”: tuhan, nampak lambaian-Mu dari masjid di ujung jalan/kulangkahkan hati meniti senja/menuju bilik-Mu yang dingin// “Senja” di sana bukanlah masa menjelang kematian, melainkan rentetan waktu an sich. Aku lirik melangkah ke rumah Tuhan (masjid) dan bukan hendak menjumpai Tuhannya. Jadi, Tuhan sekadar sesuatu yang diandaikan dapat menciptakan –bahkan mungkin juga memahami—harapan si aku lirik. Sementara, masjid sebagai tempat persinggahan yang di sana terbuka peluang untuk melakukan dialog. Kembali, Tuhan bagi Tri Astoto tetap ditempatkan berada entah di mana. Hubungan antara aku lirik dan Tuhan sebagai hubungan antara makhluk-Nya yang teraniaya dan Sesuatu yang dipercaya dapat memberi jalan keluar.

Begitulah, puisi-puisi Tri Astoto Kodarie yang bercerita tentang hubungan Aku—Tuhan memperlihatkan dua posisi secara vertikal. Meski Tuhan sendiri entah berada di mana, pada saat tertentu, aku lirik merasa perlu menyapa Tuhannya untuk menumbuhkan pengharapannya dalam pengelanaan menuju masa depan. Tuhan menjadi gayutan semata sebagai bentuk pengesahan bahwa masa depannya masih ada.
***

Perlakuan Tri Astoto Kodarie pada Tuhan ternyata berbeda dengan perlakuannya pada alam. Jika Tuhan ditempatkan sebagai alat legitimasi menatatp masa depan, maka alam bagi penyair menjadi alat metafora untuk melindungi kegelisahannya tidak pada pada persoalan masa depan, tetapi juga pada persoalan kehidupannya sendiri. Ada sesuatu yang disembunyikan dan tak terucapkan, dan sesuatu itu seperti makhluk misterius yang mencekam: perjalanan sang nasib. Dalam hal ini, alam –terutama dunia laut—menjadi semacam pelarian ketika segalannya seperti tak berjawab, ketika misteri itu justru memancarkan misteri baru.

Dalam posisi yang menempatkan alam sebagai pelarian, penyair tidak hendak menafikan kuasa alam, juga tidak hendak menolaknya, apalagi mengeksploitasinya untuk tuntutan hidup. Alam sebagai keniscayaan tentang perjalanan hidup. Seperti konsep sangkan para ning dumadi –eksistensialisme model Jawa, bahwa yang berasal dari alam akan kembali kea lam. Jadi, dalam pandangan penyair –setidak-tidaknya itu yang dapat kita tangkap dalam sejumlah besar puisinya—alam tidak lain sebagai titik berangkat dan sekaligus sebagai titik akhir perjalanan. Periksalah puisi yang berjudul “mengantar jenazah di saat hujan tengah hari”. Barisan para peziarah yang mengantarkan jenazah itu di suatu hari kelak, akan diperlakukan sama seperti halnya jasad yang tergolek di liang lahat. “esok pun kita bakal melewati jajaran pohon kamboja/yang dingin dan kaku/bersama sahabat-sahabat setia yang akan mengantarnya//.

Periksa juga puisi yang berjudul “elegi kepulangan” atau “dendang”. Konsep sangkan para ning dumadi itu diterjemahkan dalam bentuk keterasingan sebagaimana yang dilakukan Sitor Situmorang dalam “Hilangkan si Anak Hilang”. Eksistensi aku lirik pecah manakala kepulangannya itu justru menciptakan kehilangan harapan. Dalam “Dendang” justru seperti makin meneguhkan dirinya sebagai “anak hilang”, meski secara alegoris ia hendak menafikannya.

Secara keseluruhan, antologi puisi ini menggambarkan bagaimana sosok TriAstoto Kodarie tak dapat menghindar dari sikap reflektifnya dalam menggauli lingkungannya. Ia mencerap situasi di sekitar dan kemudian merefleksikannya kembali dengan alam –sebagian besar—sebagai alat metaforanya. Oleh karena itu, segala kegetiran dan reaksi atas ketidakberesan yang terjadi di lingkungan yang dijumpainya di daratan mana pun, di kota-kota yang disinggahinya, tidak disampaikan secara reaktif dalam bentuk teriakan lantang, tidak juga dalam bentuk protes, melainkan secara metaforis. Seolah-olah, biarlah persoalan dan segala kegetiran itu menjadi miliknya sendiri, meski ia sendiri tak yakin pada kualitas kemampuannya menghadapi situasi seperti itu dalam menapaki masa depan. Bukankah masa depan –bagi aku lirik—adalah makhluk misterius yang tak kunjung memperoleh jawaban?

Pilihan yang digunakan penyair adalah bercinta dengan alam. Maka, percintaannya dengan alam adalah bentuk kompromi dalam menghadapi kehidupan ini. Lihat saja puisi berjudul “dermaga”

sudah kuhitung dengan jari-jari gemetaran
perahu-perahu yang bersandar
atau buih ombak yang lamban berpacu
padahal pohon-pohon nyiur pun yakin
sejarah akan kembali dari pelayarannya
sudah kuhitung dengan jari-jari gemetaran
tentang pengembaraan para nelayan
di tengah laut luka
sembunyikan rahasia semesta!

Bahwa keakraban (: percintaan) dengan lingkungan alam sekitar dan dunia laut yang dicitrakan secara obsesif, menunjukkan betapa penyair menempatkan alam sebagaimana yang tersirat pada konsep sangkan para ning dumadi. Pencarian eksistensi si aku lirik seperti berkejaran dengan misteri alam. Maka, laut, ombak, pesisir, gelombang, nelayan, perahu, camar, air pasang, dan segala kosakata yang menjadi bagian kehidupan dunia laut laksana sudah menempel lekat dan menjadi bagian dari sikap hidupnya.

Meski demikian, kecenderungan itu tidak mengisyaratkan bahwa aku lirik tidak dihidupi dan menghidupi alam itu sendiri. Ia seperti penonton yang takjub pada kepiawaian akrobatik para pemain sirkus. Ia sekadar melakukan percintaan platonis dengan alam. Maka, langkah yang perlu dilakukan Tri Astoto Kodarie adalah bukan sekadar percintaan, melainkan persetubuhan dengan alam. Hanya dengan itu, alam –dan terutama laut—dapat mencengkeram ketakjubannya itu dan kemudian mengejawantah sebagai bagian dari suara alam.
***

Secara struktural, puisi-puisi dalam antologi ini, secara hamper maksimal, berusaha memanfaatkan metafora, simbolisme, bahkan juga paradoks. Permainan diksi seperti itu, tidak hanya menjadikan –seperti telah disebutkan—alam sebagai alat metafora, melainkan juga pencitraan simbolik, sebagaimana yang digunakannya dalam “Di antara Miliaran Badik” atau “Kado Perkawinan bagi Istri” dan sejumlah puisi lain yang tidak bercerita tentang alam, tetapi sesungguhnya ia menempatkannya dalam alam yang lebih luas: semesta! Dengan demikian, ketika ia bercerita tentang meja bilyar, Gerimis di Cipayung, atau sebuah jalan di kota tertentu, ia menarik persoalan itu ke dalam dunia mikro, sangat individual. Di belakang itu, ada hamparan alam yang lebih luas, yaitu dunia makro: semesta alam!

Di luar persoalan itu, larik-larik yang dibangun dalam pola persajakan Tri Astoto Kodarie berkecenderungan memanfaatkan persajakan dalam larik. Akibatnya, pola repetisi dan persamaan bunyi dalam banyak larik puisinya, menciptakan keindahan estetik tersendiri. Itulah estetika puitik!

Akhirnya mesti saya katakan, menikmati puisi dalam antologi ini, kita seperti sedang menziarahi deretan kota, jalanan dan gerimis, hamparan pantai, buih dan gelombang ombak, yang segalanya seperti paradoks antara kehidupan dalam tataran mikrokosmos dan makrokosmos. Agaknya, penyair masih sedang melakukan kompromi antara sikap hidup yang bersumber dari konsep para ning dumadi dengan kenyataan sosial yang penuh misteri. Seperti ombak laut, segalanya tak terduga. Ia masih mencari jawabannya yang juga misterius. Itulah hidup! Maka, jalanilah kehidupan ini dengan segala komprominya. Jika tidak, biarlah ia menjadi milik sendiri!

Selamat buat penyair Tri Astoto Kodarie atas antologinya yang penuh misteri!

Bojonggede, 18 Februari 2007

[1] Bandingkan ekspresi kerinduan Tri Astoto Kodarie pada Tuhan sebagaimana yang terungkap dalam puisi-puisinya itu dengan ekspresi puitik Amir Hamzah –yang rindu menyatu, Abdul Hadi WM –yang rindu berjumpa, atau Jamal D. Rahman –yang rindu pada pancaran kebesaran mahakarya-Nya. Orientasi kerinduan ini ternyata juga menjadikan ekspresi puitiknya berbeda tidak hanya menyangkut symbol-simbol yang digunakan, tetpai juga pada pilihan kata (diksi) dan metafora yang digunakannya. Jadi, makin jelas bagi kita, bahwa tema yang sama bisa diungkapkan berbeda bergantung pada pengalaman religiusitas masing-masing.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt