Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Mengapa citra Pegawai Negeri Sipil (PNS) seolah-olah begitu tinggi dan prestisius? Adakah yang salah dari cara pandang masyarakat (awam) yang seperti itu? Sesungguhnya anggapan menjadi PNS –meski gaji per bulannya serba kurang—dapat mengangkat status sosial, memberi rasa aman, dan menjanjikan masa pensiun lebih terjamin merupakan representasi sikap mental yang dibangun sejak masa kolonial Belanda dan terus berlanjut hingga kini. Pada zaman Belanda, masyarakat kita (pribumi) diposisikan sebagai kelompok marjinal.
Lihat saja, penduduk pribumi berada dalam kasta paling rendah. Setelah golongan Kulit Putih (Belanda), masyarakat Timur Jauh (Jepang dan Cina), bangsawan, dan ambtenar, barulah di sana bercokol penduduk pribumi sebagai inlander. Posisinya yang paling bawah itu inferioritas, dan tindak sewenang-wenang pihak swasta melakukan pemecatan (PHK) telah membentuk
Kontroversi boleh-tidaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS/KORPRI) menjadi pengurus partai politik, sesungguhnya tidak perlu terjadi jika semua pihak menempatkan masa depan bangsa dan negara ini di
atas segala-galanya. Kita memahami alasan Golkar ngotot mempertahankan hak politik PNS atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Kita juga menyambut gembira sikap KORPRI sebagai wadah PNS, pemerintah, dan sejumlah anggota dewan untuk menempatkan PNS dalam posisi yang netral. Di masa lalu, selama Orde Baru, KORPRI memang carut-marut dan selalu menjadi objek berbagai kepentingan.
***
Mengapa KORPRI selalu menjadi objek berbagai kepentingan. Lalu apa yang menjadi persoalan mendasar keberadaan KORPRI sehingga ia selalu ditempatkan dalam posisi yang demikian dan diperlakukan seperti barang tak berjiwa? Berikut ini kita coba membuat semacam anatomi berbagai masalah internal yang melekat dalam diri KORPRI. Tuntutan loyalitas, dedikasi dan pengabdian KORPRI selalu dikaitkan dalam kerangka bagian dari birokrasi pemerintah. Dalam pelaksanaannya, tuntutan itu ditempatkan dalam hubungan pimpinan dan bawahan, dan bukan dalam konteks tugas dan tanggung jawab. Akibatnya, apapun yang dilakukan pimpinan, harus selalu dijalankan bawahan tanpa reserve.
Sikap ini sesungguhnya peninggalan birokrasi kolonial. Uraian Robert Van Niel (1958; 1984) mengenai terbentuknya elite modern di Indonesia merupakan cikal bakal kekeliruan pemahaman menempatkan pegawai pemerintah sebagai aparat birokrasi. Jika pada zaman Belanda, pegawai pemerintah harus loyal dan mengabdi kepada pemerintah, tujuannya memang untuk melanggengkan kekuasan kolonial di tanah jajahan. Oleh karena itu, hubungan vertikal antara pimpinan--bawahan, dimaksudkan agar pimpinan --yang hampir seluruhnya orang-orang Belanda-- dapat mengawasi dan mengendalikan para pegawai yang menjadi bawahannya.
Selepas merdeka, posisi pimpinan dalam birokrasi sebagian besar diisi oleh tokoh-tokoh partai. Maka, dapat diduga, kepentingan partai selalu mendomplengi tugas aparat birokrasi. Akibatnya, terjadi konflik kepentingan dalam tubuh birokrasi pemerintah. Pada gilirannya, keberadaan pegawai pemerintah pecah dan masuk ke dalam konflik-konflik kepentingan tadi.
Memasuki zaman Orde Baru, disadari bahwa perpecahan pegawai pemerintah berakibat sangat buruk bagi jalannya roda pemerintahan. Salah satu langkah positif untuk mengatasi persoalan itu, dibentuklah Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI). Namun, di dalam perkembangannya, keberadaan KORPRI juga dimanfaatkan untuk kepentingan perolehan suara dalam setiap Pemilu.
Belakangan, dengan berbagai dalih KORPRI --di dalamnya termasuk PNS-- dituntut monoloyalitas hanya untuk satu golongan (:Golkar). Lewat perangkat birokrasi, anggota KORPRI digiring secara sistematik untuk kepentingan itu. Ditanamkan pula mitos bahwa pemerintah identik dengan Golkar. Oleh karena itu, menjadi pegawai negeri sama artinya dengan bekerja untuk Golkar. Lalu apa implikasinya bagi KORPRI dalam menjalankan tugasnya?
Pertama, hilangnya kemandirian peran KORPRI. Dengan pemahaman bahwa KORPRI bekerja untuk Golkar dan Golkar identik dengan pemerintah, maka loyalitas, dedikasi, dan pengabdiannya semata-mata demi kepentingan satu golongan. Akibatnya, terjadilah diskriminasi dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat. Dengan demikian, semboyan KORPRI sebagai abdi masyarakat yang bertugas semata-mata untuk melayani kepentingan masyarakat, hanyalah slogan belaka.
Kedua, mengingat KORPRI berada dalam struktur birokrasi pemerintah, maka peran yang dijalankan anggota KORPRI selalu dalam jalur vertikal; tidak terlepas dari hubungan atasan--bawahan. Akibatnya terjadi kekacauan dalam memahami tugas, peranan, dan tanggung jawab. Semua masuk dalam kotak hierarki tadi. Dalam hal-hal tertentu, struktur birokrasi pemerintah yang demikian, memang merupakan kemestian. Persoalannya menjadi lain jika kemudian terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Inilah yang terjadi dalam sebagian besar struktur birokrasi pemerintah selama ini.
Ketiga, sebagai akibat lanjutan dari butir kedua tadi, secara tidak langsung, terjadilah pemasungan kreativitas anggota (bawahan). Inisiatif individu terbelenggu oleh berbagai macam instruksi yang harus dijalankan tanpa reserve. Sikap kritis lalu dipandang sebagai pembangkangan dan mbalelo. Kesalahan atasan sebagai pemegang daulat kekuasaan menjadi sah dan mendapat toleransi seluas-luasnya. Sementara, apapun yang dilakukan bawahan, selalu berlindung di atas dalih "sekadar menjalankan tugas," meskipun tidak sesuai dengan hati nurani.
Keempat, dalam struktur birokrasi yang demikian, fungsi kontrol dengan sendirinya tidak berlaku. Kekuasaan menjadi alat untuk menjalankan tugas. Hubungan tugas yang berbau feodalisme ini, tentu saja secara langsung menciptakan begitu banyak aparat yang menjalankan tugasnya semata-mata lantaran kekuasaan, dan bukan atas dasar peranan dan tanggung jawab. Adanya "raja-raja" kecil di tingkat RT/RW dan kelurahan, misalnya, merupakan bentuk pengejawantahan tugas yang dijalankan atas dasar kekuasaan.
***
Dalam rangka menciptakan masyarakat madani (civil society) dan memasuki zaman Indonesia baru, keberadaan dan pemberdayaan KORPRI perlu diarahkan menuju profesionalisasi. Oleh karena itu, beberapa hal berikut ini patutlah menjadi bahan pertimbangan agar tujuan itu dapat tercapai dan kesalahan masa lalu tidak terulang kembali.
Pertama, kemandirian KORPRI sebagai pegawai pemerintah merupakan hal yang mutlak. Dengan kemandirian itu, ia tidak hanya dapat leluasa bekerja untuk semua golongan, tetapi juga dapat bertindak sebagai kekuatan tersendiri jika kelak ada partai /golongan yang berkuasa, melakukan penyelewengan. Dengan itu pula netralitasnya dan kredibilitas sebagai abdi masyarakat dapat pula dijalankan secara maksimal, tanpa hambatan psikologis lantaran ada berbagai tekanan kekuasaan.
Satu hal yang penting dari kemandirian itu adalah adanya kesadaran bahwa loyalitas, dedikasi, dan pengabdian KORPRI semata-mata untuk bangsa dan negara, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa. Jadi, partai manapun yang berkuasa, KORPRI akan tetap loyal, bekerja penuh dedikasi, dan mengabdi hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Jika suatu saat kelak ada partai yang berkuasa melakukan penyelewengan, KORPRI berhak melakukan pembangkangan. Dampaknya, KORPRI akan selalu menjadi mitra partai yang berkuasa dan bukan objek atau alat penguasa.
Kedua, KORPRI sebagai aparat birokrasi, memang tidak dapat menghindarkan diri dari hierarki atasan-bawahan. Meskipun demikian, hubungan dalam jalur vertikal itu harus diikuti pula oleh peranan sebagai abdi masyarakat dan tanggung jawab dalam menjalankan peranan itu. Dalam hal inilah, perlu ada pembedaan yang jelas antara pemerintah sebagai pihak yang dipercayai untuk mengelola negara dan KORPRI sebagai petugas yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara, dan bukan untuk kepentingan penguasa.
Ketiga, untuk pemberdayaan KORPRI dan kesadaran bahwa ia bekerja sebagai abdi masyarakat, maka penghargaan terhadapnya bukan semata-mata menyangkut soal loyalitas, dedikasi, dan kesetiaan semata-mata, tetapi juga prestasi kerja. Dengan demikian, penghargaan terhadap profesi menjadi salah satu hal yang utama. Jika ada anggapan bahwa etos kerja pegawai negeri sangat rendah, sesungguhnya lantaran instruksi dipahami secara membuta-tuli. Dalam hal ini, tanggung jawab masing-masing anggota menjadi salah satu kata kunci. Kepada siapa ia bertanggung jawab? Tentu saja kepada masyarakat dan negara. Dengan pemahaman seperti ini, siapapun yang menjadi pimpinan birokrasi, anggota KORPRI tetap terikat pada tugas pengabdiannya tadi. Dengan cara ini pula, dalih "sekadar menjalankan tugas," tidak berlaku jika itu menyimpang dari pengabdiannya kepada masyarakat dan negara.
Keempat, dalam struktur birokrasi yang bersifat vertikal, sudah saatnya pendekatan kekuasaan diganti dengan kewenangan dan kemitraan. Pimpinan memang lebih banyak mempunyai kewenangan dibandingkan bawahan. Tetapi janganlah kewenangan itu dijalankan berdasarkan kekuasaan, karena ia cenderung jatuh pada kesewenang-wenangan. Dengan pendekatan kewenangan, masing-masing akan menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab sesuai dengan wewenangnya. Dan wewenang itu dijalankan bersamaan dengan kesadaran bahwa semua bawahan adalah mitra kerja. Hubungan vertikal atasan--bawahan secara fleksibel diterapkan secara horisontal.
***
Demikianlah, keberadaan dan pemberdayaan KORPRI di masa mendatang perlu diarahkan pada profesionalisasi, meskipun ia berada dalam struktur birokrasi. Tentu saja inipun perlu dibarengi oleh usaha memberi kesejahteraan yang pantas agar tidak terjadi berbagai penyelewengan. Persoalannya kini tinggal bergantung pada KORPRI sendiri. Apakah akan terus-menerus menjadi alat penguasa dan objek yang tidak punya hati nurani, niscaya tidak. KORPRI mesti menjadi kekuatan moral yang secara konsekuen menjalankan semboyannya sebagai abdi masyarakat!
*) PNS FSUI, Depok.
http://mahayana-mahadewa.com/
Mengapa citra Pegawai Negeri Sipil (PNS) seolah-olah begitu tinggi dan prestisius? Adakah yang salah dari cara pandang masyarakat (awam) yang seperti itu? Sesungguhnya anggapan menjadi PNS –meski gaji per bulannya serba kurang—dapat mengangkat status sosial, memberi rasa aman, dan menjanjikan masa pensiun lebih terjamin merupakan representasi sikap mental yang dibangun sejak masa kolonial Belanda dan terus berlanjut hingga kini. Pada zaman Belanda, masyarakat kita (pribumi) diposisikan sebagai kelompok marjinal.
Lihat saja, penduduk pribumi berada dalam kasta paling rendah. Setelah golongan Kulit Putih (Belanda), masyarakat Timur Jauh (Jepang dan Cina), bangsawan, dan ambtenar, barulah di sana bercokol penduduk pribumi sebagai inlander. Posisinya yang paling bawah itu inferioritas, dan tindak sewenang-wenang pihak swasta melakukan pemecatan (PHK) telah membentuk
Kontroversi boleh-tidaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS/KORPRI) menjadi pengurus partai politik, sesungguhnya tidak perlu terjadi jika semua pihak menempatkan masa depan bangsa dan negara ini di
atas segala-galanya. Kita memahami alasan Golkar ngotot mempertahankan hak politik PNS atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Kita juga menyambut gembira sikap KORPRI sebagai wadah PNS, pemerintah, dan sejumlah anggota dewan untuk menempatkan PNS dalam posisi yang netral. Di masa lalu, selama Orde Baru, KORPRI memang carut-marut dan selalu menjadi objek berbagai kepentingan.
***
Mengapa KORPRI selalu menjadi objek berbagai kepentingan. Lalu apa yang menjadi persoalan mendasar keberadaan KORPRI sehingga ia selalu ditempatkan dalam posisi yang demikian dan diperlakukan seperti barang tak berjiwa? Berikut ini kita coba membuat semacam anatomi berbagai masalah internal yang melekat dalam diri KORPRI. Tuntutan loyalitas, dedikasi dan pengabdian KORPRI selalu dikaitkan dalam kerangka bagian dari birokrasi pemerintah. Dalam pelaksanaannya, tuntutan itu ditempatkan dalam hubungan pimpinan dan bawahan, dan bukan dalam konteks tugas dan tanggung jawab. Akibatnya, apapun yang dilakukan pimpinan, harus selalu dijalankan bawahan tanpa reserve.
Sikap ini sesungguhnya peninggalan birokrasi kolonial. Uraian Robert Van Niel (1958; 1984) mengenai terbentuknya elite modern di Indonesia merupakan cikal bakal kekeliruan pemahaman menempatkan pegawai pemerintah sebagai aparat birokrasi. Jika pada zaman Belanda, pegawai pemerintah harus loyal dan mengabdi kepada pemerintah, tujuannya memang untuk melanggengkan kekuasan kolonial di tanah jajahan. Oleh karena itu, hubungan vertikal antara pimpinan--bawahan, dimaksudkan agar pimpinan --yang hampir seluruhnya orang-orang Belanda-- dapat mengawasi dan mengendalikan para pegawai yang menjadi bawahannya.
Selepas merdeka, posisi pimpinan dalam birokrasi sebagian besar diisi oleh tokoh-tokoh partai. Maka, dapat diduga, kepentingan partai selalu mendomplengi tugas aparat birokrasi. Akibatnya, terjadi konflik kepentingan dalam tubuh birokrasi pemerintah. Pada gilirannya, keberadaan pegawai pemerintah pecah dan masuk ke dalam konflik-konflik kepentingan tadi.
Memasuki zaman Orde Baru, disadari bahwa perpecahan pegawai pemerintah berakibat sangat buruk bagi jalannya roda pemerintahan. Salah satu langkah positif untuk mengatasi persoalan itu, dibentuklah Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI). Namun, di dalam perkembangannya, keberadaan KORPRI juga dimanfaatkan untuk kepentingan perolehan suara dalam setiap Pemilu.
Belakangan, dengan berbagai dalih KORPRI --di dalamnya termasuk PNS-- dituntut monoloyalitas hanya untuk satu golongan (:Golkar). Lewat perangkat birokrasi, anggota KORPRI digiring secara sistematik untuk kepentingan itu. Ditanamkan pula mitos bahwa pemerintah identik dengan Golkar. Oleh karena itu, menjadi pegawai negeri sama artinya dengan bekerja untuk Golkar. Lalu apa implikasinya bagi KORPRI dalam menjalankan tugasnya?
Pertama, hilangnya kemandirian peran KORPRI. Dengan pemahaman bahwa KORPRI bekerja untuk Golkar dan Golkar identik dengan pemerintah, maka loyalitas, dedikasi, dan pengabdiannya semata-mata demi kepentingan satu golongan. Akibatnya, terjadilah diskriminasi dalam tugas-tugas pelayanan masyarakat. Dengan demikian, semboyan KORPRI sebagai abdi masyarakat yang bertugas semata-mata untuk melayani kepentingan masyarakat, hanyalah slogan belaka.
Kedua, mengingat KORPRI berada dalam struktur birokrasi pemerintah, maka peran yang dijalankan anggota KORPRI selalu dalam jalur vertikal; tidak terlepas dari hubungan atasan--bawahan. Akibatnya terjadi kekacauan dalam memahami tugas, peranan, dan tanggung jawab. Semua masuk dalam kotak hierarki tadi. Dalam hal-hal tertentu, struktur birokrasi pemerintah yang demikian, memang merupakan kemestian. Persoalannya menjadi lain jika kemudian terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Inilah yang terjadi dalam sebagian besar struktur birokrasi pemerintah selama ini.
Ketiga, sebagai akibat lanjutan dari butir kedua tadi, secara tidak langsung, terjadilah pemasungan kreativitas anggota (bawahan). Inisiatif individu terbelenggu oleh berbagai macam instruksi yang harus dijalankan tanpa reserve. Sikap kritis lalu dipandang sebagai pembangkangan dan mbalelo. Kesalahan atasan sebagai pemegang daulat kekuasaan menjadi sah dan mendapat toleransi seluas-luasnya. Sementara, apapun yang dilakukan bawahan, selalu berlindung di atas dalih "sekadar menjalankan tugas," meskipun tidak sesuai dengan hati nurani.
Keempat, dalam struktur birokrasi yang demikian, fungsi kontrol dengan sendirinya tidak berlaku. Kekuasaan menjadi alat untuk menjalankan tugas. Hubungan tugas yang berbau feodalisme ini, tentu saja secara langsung menciptakan begitu banyak aparat yang menjalankan tugasnya semata-mata lantaran kekuasaan, dan bukan atas dasar peranan dan tanggung jawab. Adanya "raja-raja" kecil di tingkat RT/RW dan kelurahan, misalnya, merupakan bentuk pengejawantahan tugas yang dijalankan atas dasar kekuasaan.
***
Dalam rangka menciptakan masyarakat madani (civil society) dan memasuki zaman Indonesia baru, keberadaan dan pemberdayaan KORPRI perlu diarahkan menuju profesionalisasi. Oleh karena itu, beberapa hal berikut ini patutlah menjadi bahan pertimbangan agar tujuan itu dapat tercapai dan kesalahan masa lalu tidak terulang kembali.
Pertama, kemandirian KORPRI sebagai pegawai pemerintah merupakan hal yang mutlak. Dengan kemandirian itu, ia tidak hanya dapat leluasa bekerja untuk semua golongan, tetapi juga dapat bertindak sebagai kekuatan tersendiri jika kelak ada partai /golongan yang berkuasa, melakukan penyelewengan. Dengan itu pula netralitasnya dan kredibilitas sebagai abdi masyarakat dapat pula dijalankan secara maksimal, tanpa hambatan psikologis lantaran ada berbagai tekanan kekuasaan.
Satu hal yang penting dari kemandirian itu adalah adanya kesadaran bahwa loyalitas, dedikasi, dan pengabdian KORPRI semata-mata untuk bangsa dan negara, dan bukan pada pemerintah yang berkuasa. Jadi, partai manapun yang berkuasa, KORPRI akan tetap loyal, bekerja penuh dedikasi, dan mengabdi hanya untuk kepentingan bangsa dan negara. Jika suatu saat kelak ada partai yang berkuasa melakukan penyelewengan, KORPRI berhak melakukan pembangkangan. Dampaknya, KORPRI akan selalu menjadi mitra partai yang berkuasa dan bukan objek atau alat penguasa.
Kedua, KORPRI sebagai aparat birokrasi, memang tidak dapat menghindarkan diri dari hierarki atasan-bawahan. Meskipun demikian, hubungan dalam jalur vertikal itu harus diikuti pula oleh peranan sebagai abdi masyarakat dan tanggung jawab dalam menjalankan peranan itu. Dalam hal inilah, perlu ada pembedaan yang jelas antara pemerintah sebagai pihak yang dipercayai untuk mengelola negara dan KORPRI sebagai petugas yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara, dan bukan untuk kepentingan penguasa.
Ketiga, untuk pemberdayaan KORPRI dan kesadaran bahwa ia bekerja sebagai abdi masyarakat, maka penghargaan terhadapnya bukan semata-mata menyangkut soal loyalitas, dedikasi, dan kesetiaan semata-mata, tetapi juga prestasi kerja. Dengan demikian, penghargaan terhadap profesi menjadi salah satu hal yang utama. Jika ada anggapan bahwa etos kerja pegawai negeri sangat rendah, sesungguhnya lantaran instruksi dipahami secara membuta-tuli. Dalam hal ini, tanggung jawab masing-masing anggota menjadi salah satu kata kunci. Kepada siapa ia bertanggung jawab? Tentu saja kepada masyarakat dan negara. Dengan pemahaman seperti ini, siapapun yang menjadi pimpinan birokrasi, anggota KORPRI tetap terikat pada tugas pengabdiannya tadi. Dengan cara ini pula, dalih "sekadar menjalankan tugas," tidak berlaku jika itu menyimpang dari pengabdiannya kepada masyarakat dan negara.
Keempat, dalam struktur birokrasi yang bersifat vertikal, sudah saatnya pendekatan kekuasaan diganti dengan kewenangan dan kemitraan. Pimpinan memang lebih banyak mempunyai kewenangan dibandingkan bawahan. Tetapi janganlah kewenangan itu dijalankan berdasarkan kekuasaan, karena ia cenderung jatuh pada kesewenang-wenangan. Dengan pendekatan kewenangan, masing-masing akan menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab sesuai dengan wewenangnya. Dan wewenang itu dijalankan bersamaan dengan kesadaran bahwa semua bawahan adalah mitra kerja. Hubungan vertikal atasan--bawahan secara fleksibel diterapkan secara horisontal.
***
Demikianlah, keberadaan dan pemberdayaan KORPRI di masa mendatang perlu diarahkan pada profesionalisasi, meskipun ia berada dalam struktur birokrasi. Tentu saja inipun perlu dibarengi oleh usaha memberi kesejahteraan yang pantas agar tidak terjadi berbagai penyelewengan. Persoalannya kini tinggal bergantung pada KORPRI sendiri. Apakah akan terus-menerus menjadi alat penguasa dan objek yang tidak punya hati nurani, niscaya tidak. KORPRI mesti menjadi kekuatan moral yang secara konsekuen menjalankan semboyannya sebagai abdi masyarakat!
*) PNS FSUI, Depok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar