Moh Samsul Arifin*
http://www.jawapos.com/
Terus terang saya terpikat dengan ''provokasi'' Sukardi Rinakit -dalam kata pengantar buku ini-- yang menyamakan sosok Letnan Jenderal (purn.) Kiki Syahnakri dengan Livius, ksatria Romawi yang berkarakter kuat, sayang pada rakyat, dan mempunyai kepemimpinan kuat. Inilah yang mengantar saya menuntaskan halaman pertama hingga akhir buku sang jenderal ini.
Sukardi menyatakan mantan Panglima Darurat Timor-Timur itu tak tergoda untuk terjun dalam politik praktis (baca: partai politik) -seperti dilakukan sebagian purnawirawan-- untuk mengisi baktinya pada bangsa dan negara. ''...dia (Kiki Syahnakri) justru menyempal dan bergelut dengan aktivitas yang menyentuh langsung pada kesadaran publik. Bukan kekuasaaan yang menjadi arah hidupnya di masa tua tetapi kelangsungan hidup bangsa. Di segala kesempatan ketika berbicara di pelosok-pelosok republik, dia selalu mengibarkan kecintaan pada kebhinekaan, keindonesiaan, dan NKRI. Seperti Livius maupun Julius Caesar yang tegak di tepi Sungai Rubicon, dia adalah seorang tentara sejati. Begitulah Livius ketika harus menepi dari gelombang politik dan kekuasaan" (hal. xviii).
Benarkah? Mari kita periksa. Buat saya, pandangan Kiki terbilang ''clear'' untuk sejumlah isu yang di awal masa reformasi menyita polemik hebat. Ihwal perubahan paradigma dari ''dwi fungsi'' ABRI menjadi tentara profesional, yang dilukiskan dengan idiom back to barrack. Kiki setuju perubahan ini dan itulah yang menjadi batu bata pandangannya dalam merespons isu sensitif lainnya.
Semua paham, titik tolak dari semua ini adalah lengsernya Soeharto atau jatuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru oleh gerakan reformasi tahun 1998. Selepas itu, perubahan bak ''puting beliung'' yang menyentuh hampir seluruh bidang dan pihak, tak terkecuali Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Maka digantilah nama ABRI --yang dianggap batu sandungan demokratisasi-- menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ini sekaligus koreksi atas sepak terjang tentara (individu dan institusi) sepanjang 1967 hingga 1998. Di masa Orba, dengan dalih dwi fungsi, tentara tak hanya diam di barak (sebagai alat pertahanan), tapi juga merambah ke politik praktis. Sesuatu yang memberi keleluasaan --kalau bukan keistimewaan-- pada militer untuk merambah sektor-sektor yang dikuasai sipil. Jabatan-jabatan publik seperti menteri, gubernur, duta besar, hingga bupati dan camat, tak urung diisi pula oleh pejabat-pejabat militer. Maka tak heran jika Indonesianis William Liddle berujar, ''Saya selalu menyatakan bahwa yang berkuasa di Indonesia (zaman Orde Baru) sebetulnya adalah ABRI (sekarang TNI).''
Arus reformasi memotongnya, dengan mengembalikan TNI sebagai tentaraprofesional serta menariknya dari parlemen (baca: fraksi ABRI ditiadakan). Memang ada kondisi, yang tak memungkinkan institusi militer melawan. Namun, keluar dari riuh rendah politik praktis bukanlah perkara mudah. Karena itu, diperlukan kearifan tertentu untuk melepas hak istimewa yang sudah sekian lama melekat pada militer Indonesia.
Dan, Kiki Syahnakri, saya kira, adalah sebagian kecil dari sosok jenderal cerdas yang paham betul dengan arus yang tengah berkecamuk di tanah air. Apalagi Panglima TNI --sejak masa Wiranto, Laksamana Widodo, Endriartono Sutarto hingga Marsekal Djoko Suyanto-- telah memberi landasan bagi proses reformasi internal di tubuh TNI.
Begitu juga menyangkut hubungan sipil dan militer, posisi Kiki Syahnakri amat jelas. Dalam studi teoretis dan empiris, banyak negara yang tengah menuju demokrasi mengalami dilema dalam menempatkan posisi militer. Di satu sisi supremasi sipil menuntut pengurangan privilese militer dan membatasi peran militer. Di sisi lain stabilitas politik mensyaratkan agar konflik sipil-militer berada pada tingkat minimum. Sulit mencapai dua tujuan ini secara bersamaan, sebab mengurangi kekuasaan dan privilese militer seringkali menimbulkan konflik antara sipil dan otoritas militer. Oleh karena itu membangun supremasi sipil sebagian besar tergantung pada kualitas dan strategi pemimpin politik dari pihak sipil dalam mengontrol militer.
Namun, ketidakstabilan politik sebagai akibat dari pertikaian antarfaksi di antara politisi sipil --seperti dikaji Michael C. Desch dalam Civilian Control of The Military The Changing Security Environment (1999)-- sering mengundang kembali intervensi militer dalam politik. Situasinya akan lebih runyam lagi, tatkala pihak sipil sendiri justru berniat menggandoli pihak militer demi mempertahankan kepentingan politik mereka (sipil) yang bersifat jangka pendek.
Menurut Kiki, negara ini harus bergerak semakin dekat ke arah terbentuknya civil society yang antara lain mensyaratkan supremasi sipil. Istilah ini berarti pengaturan, penggunaan, dan pengerahan TNI pada tataran kebijakan tinggi (nasional) harus melalui proses politik yang sewajarnya dikelola kaum sipil (hal. 33).
Adanya pengakuan atas supremasi sipil ini, tentu menjadi modal bagi proses reformasi TNI. Sangat tidak mungkin sebuah institusi yang bermasalah mencari solusi sendiri atas persoalan yang melingkupinya. Otoritas sipil (dalam konteks ini pemerintah dan DPR) menjadi preferensi bagi TNI untuk menjalankan reformasi. Setiap kebijakan dari otoritas sipil harus dilaksanakan, karena itu mencerminkan kehendak umum dari rakyat.
Tapi Kiki Syahnakri memberi catatan tebal pada proses purifikasi sebagai syarat menggerakkan reformasi internal TNI. Menurutnya TNI hanya bisa dan semakin menjadi profesional manakala terus-menerus melakukan purifikasi (pemurnian) dari politik praktis serta kembali membangun profesionalisme militernya. Selain itu, TNI harus mengambil peran non-pertahanan tanpa kembali ke politik praktis.
Inilah mengapa Kiki Syahnakri menempuh jalan tak biasa. Ketika banyakpurnawirawan masuk gelanggang politik (menjadi pengurus parpol), Kiki justru berkecimpung di Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Organisasi ini kendatipun untuk menyikapi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukanlah parpol atau ormas yang berorientasi ''politik praktis''. Sebaliknya organisasi ini terlecut untuk memperhatikan para purnawirawan TNI AD sekaligus menyalurkan aspirasi mereka yang sejalan dengan visi dan misi organisasi (hal. 13).
Kiki Syahnakri yang berarti Syahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia menuangkan gagasan-gagasannya secara sistematis lewat sejumlah artikel di media massa. Ia mengajak diskusi banyak kalangan dari Jacob Oetama hingga Goenawan Mohamad. Dari sejumlah catatannya juga tecermin pandangan dia soal demokrasi. Ia gemar sekali mengutip John Naisbitt. Kata Naisbit (Global Paradox, 1994), transisi menuju demokrasi kerap hanya membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju tanpa otoritas. Nah, militer dalam konteks transisi bisa saja mengembalikan Indonesia dari kondisi transisi demokrasi ke otoriter. Namun, militer Indonesia memilih berada di barisan yang ingin menghidupkan demokrasi. Bangsa Indonesia layak berterima kasih, karena dalam sejumlah momentum militer tak mengambil langkah mundur (baca: melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil).
Judul Buku : Aku Hanya Tentara
Penulis : Kiki Syahnakri
Penerbit : Kompas Jakarta
Cetakan : November 2008
Tebal : 298 halaman
*) Anggota Klub Buku dan Film SCTV
http://www.jawapos.com/
Terus terang saya terpikat dengan ''provokasi'' Sukardi Rinakit -dalam kata pengantar buku ini-- yang menyamakan sosok Letnan Jenderal (purn.) Kiki Syahnakri dengan Livius, ksatria Romawi yang berkarakter kuat, sayang pada rakyat, dan mempunyai kepemimpinan kuat. Inilah yang mengantar saya menuntaskan halaman pertama hingga akhir buku sang jenderal ini.
Sukardi menyatakan mantan Panglima Darurat Timor-Timur itu tak tergoda untuk terjun dalam politik praktis (baca: partai politik) -seperti dilakukan sebagian purnawirawan-- untuk mengisi baktinya pada bangsa dan negara. ''...dia (Kiki Syahnakri) justru menyempal dan bergelut dengan aktivitas yang menyentuh langsung pada kesadaran publik. Bukan kekuasaaan yang menjadi arah hidupnya di masa tua tetapi kelangsungan hidup bangsa. Di segala kesempatan ketika berbicara di pelosok-pelosok republik, dia selalu mengibarkan kecintaan pada kebhinekaan, keindonesiaan, dan NKRI. Seperti Livius maupun Julius Caesar yang tegak di tepi Sungai Rubicon, dia adalah seorang tentara sejati. Begitulah Livius ketika harus menepi dari gelombang politik dan kekuasaan" (hal. xviii).
Benarkah? Mari kita periksa. Buat saya, pandangan Kiki terbilang ''clear'' untuk sejumlah isu yang di awal masa reformasi menyita polemik hebat. Ihwal perubahan paradigma dari ''dwi fungsi'' ABRI menjadi tentara profesional, yang dilukiskan dengan idiom back to barrack. Kiki setuju perubahan ini dan itulah yang menjadi batu bata pandangannya dalam merespons isu sensitif lainnya.
Semua paham, titik tolak dari semua ini adalah lengsernya Soeharto atau jatuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru oleh gerakan reformasi tahun 1998. Selepas itu, perubahan bak ''puting beliung'' yang menyentuh hampir seluruh bidang dan pihak, tak terkecuali Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Maka digantilah nama ABRI --yang dianggap batu sandungan demokratisasi-- menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Ini sekaligus koreksi atas sepak terjang tentara (individu dan institusi) sepanjang 1967 hingga 1998. Di masa Orba, dengan dalih dwi fungsi, tentara tak hanya diam di barak (sebagai alat pertahanan), tapi juga merambah ke politik praktis. Sesuatu yang memberi keleluasaan --kalau bukan keistimewaan-- pada militer untuk merambah sektor-sektor yang dikuasai sipil. Jabatan-jabatan publik seperti menteri, gubernur, duta besar, hingga bupati dan camat, tak urung diisi pula oleh pejabat-pejabat militer. Maka tak heran jika Indonesianis William Liddle berujar, ''Saya selalu menyatakan bahwa yang berkuasa di Indonesia (zaman Orde Baru) sebetulnya adalah ABRI (sekarang TNI).''
Arus reformasi memotongnya, dengan mengembalikan TNI sebagai tentaraprofesional serta menariknya dari parlemen (baca: fraksi ABRI ditiadakan). Memang ada kondisi, yang tak memungkinkan institusi militer melawan. Namun, keluar dari riuh rendah politik praktis bukanlah perkara mudah. Karena itu, diperlukan kearifan tertentu untuk melepas hak istimewa yang sudah sekian lama melekat pada militer Indonesia.
Dan, Kiki Syahnakri, saya kira, adalah sebagian kecil dari sosok jenderal cerdas yang paham betul dengan arus yang tengah berkecamuk di tanah air. Apalagi Panglima TNI --sejak masa Wiranto, Laksamana Widodo, Endriartono Sutarto hingga Marsekal Djoko Suyanto-- telah memberi landasan bagi proses reformasi internal di tubuh TNI.
Begitu juga menyangkut hubungan sipil dan militer, posisi Kiki Syahnakri amat jelas. Dalam studi teoretis dan empiris, banyak negara yang tengah menuju demokrasi mengalami dilema dalam menempatkan posisi militer. Di satu sisi supremasi sipil menuntut pengurangan privilese militer dan membatasi peran militer. Di sisi lain stabilitas politik mensyaratkan agar konflik sipil-militer berada pada tingkat minimum. Sulit mencapai dua tujuan ini secara bersamaan, sebab mengurangi kekuasaan dan privilese militer seringkali menimbulkan konflik antara sipil dan otoritas militer. Oleh karena itu membangun supremasi sipil sebagian besar tergantung pada kualitas dan strategi pemimpin politik dari pihak sipil dalam mengontrol militer.
Namun, ketidakstabilan politik sebagai akibat dari pertikaian antarfaksi di antara politisi sipil --seperti dikaji Michael C. Desch dalam Civilian Control of The Military The Changing Security Environment (1999)-- sering mengundang kembali intervensi militer dalam politik. Situasinya akan lebih runyam lagi, tatkala pihak sipil sendiri justru berniat menggandoli pihak militer demi mempertahankan kepentingan politik mereka (sipil) yang bersifat jangka pendek.
Menurut Kiki, negara ini harus bergerak semakin dekat ke arah terbentuknya civil society yang antara lain mensyaratkan supremasi sipil. Istilah ini berarti pengaturan, penggunaan, dan pengerahan TNI pada tataran kebijakan tinggi (nasional) harus melalui proses politik yang sewajarnya dikelola kaum sipil (hal. 33).
Adanya pengakuan atas supremasi sipil ini, tentu menjadi modal bagi proses reformasi TNI. Sangat tidak mungkin sebuah institusi yang bermasalah mencari solusi sendiri atas persoalan yang melingkupinya. Otoritas sipil (dalam konteks ini pemerintah dan DPR) menjadi preferensi bagi TNI untuk menjalankan reformasi. Setiap kebijakan dari otoritas sipil harus dilaksanakan, karena itu mencerminkan kehendak umum dari rakyat.
Tapi Kiki Syahnakri memberi catatan tebal pada proses purifikasi sebagai syarat menggerakkan reformasi internal TNI. Menurutnya TNI hanya bisa dan semakin menjadi profesional manakala terus-menerus melakukan purifikasi (pemurnian) dari politik praktis serta kembali membangun profesionalisme militernya. Selain itu, TNI harus mengambil peran non-pertahanan tanpa kembali ke politik praktis.
Inilah mengapa Kiki Syahnakri menempuh jalan tak biasa. Ketika banyakpurnawirawan masuk gelanggang politik (menjadi pengurus parpol), Kiki justru berkecimpung di Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Organisasi ini kendatipun untuk menyikapi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukanlah parpol atau ormas yang berorientasi ''politik praktis''. Sebaliknya organisasi ini terlecut untuk memperhatikan para purnawirawan TNI AD sekaligus menyalurkan aspirasi mereka yang sejalan dengan visi dan misi organisasi (hal. 13).
Kiki Syahnakri yang berarti Syahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia menuangkan gagasan-gagasannya secara sistematis lewat sejumlah artikel di media massa. Ia mengajak diskusi banyak kalangan dari Jacob Oetama hingga Goenawan Mohamad. Dari sejumlah catatannya juga tecermin pandangan dia soal demokrasi. Ia gemar sekali mengutip John Naisbitt. Kata Naisbit (Global Paradox, 1994), transisi menuju demokrasi kerap hanya membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju tanpa otoritas. Nah, militer dalam konteks transisi bisa saja mengembalikan Indonesia dari kondisi transisi demokrasi ke otoriter. Namun, militer Indonesia memilih berada di barisan yang ingin menghidupkan demokrasi. Bangsa Indonesia layak berterima kasih, karena dalam sejumlah momentum militer tak mengambil langkah mundur (baca: melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil).
Judul Buku : Aku Hanya Tentara
Penulis : Kiki Syahnakri
Penerbit : Kompas Jakarta
Cetakan : November 2008
Tebal : 298 halaman
*) Anggota Klub Buku dan Film SCTV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar