Musfarayani
http://www.tempointeraktif.com/
Siang itu cuaca begitu cerah, bahkan terik, September tahun lalu. Saya pikir itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan ke alam terbuka seharian penuh walau saya sedang berpuasa. Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi sasaran perjalanan saya. Sudah sekian kali saya mengunjungi Jawa Timur, tapi Trowulan yang terkenal itu terlewat begitu saja. Padahal nama Trowulan sudah begitu lekatnya di dalam kepala saya, yang selama ini sangat gandrung membaca buku-buku tentang sejarah Majapahit dan kerajaan Jawa pada umumnya.
Dari Jombang, saya sendirian naik bus ekonomi yang menuju arah Surabaya dengan ongkos Rp 5.000.
Trowulan berjarak 60 kilometer dari Surabaya dan bisa ditempuh dengan bus. Adapun dari Jombang cuma butuh waktu sekitar satu jam. Saya belum tahu pasti akan turun di mana.
"Turunin di Trowulan ya, Pak!" kataku setengah berteriak kepada kenek bus karena harus beradu dengan deru mesin dan engsel-engsel tubuh bus yang berderit-derit. Bus melaju ugal-ugalan. Apa?" tanya si kenek berteriak.
Saya menjawabnya lebih keras lagi. Sebelum kenek bersuara, beberapa penumpang sudah menjawab--dengan setengah berteriak juga. "Oh, deket itu. Museum Majapahit, kan?" Tenang, Mbak, deket pinggir jalan, kok, museumnya," ujar salah seorang penumpang.
Saya pun mengangguk dan menarik napas lega. Tampaknya para penumpang mengira saya cuma hendak ke museum Majapahit. Namun, saya akan mengelilingi semua situs yang tersebar di sana dalam satu hari itu. Saya sudah membekali diri dengan kamera serta buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama dan Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit) yang ditulis Prof Dr Slamet Muljana.
Trowulan sering disebut-sebut sebagai pusat Kerajaan Majapahit, yang diakui pada masanya sebagai kerajaan terbesar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Nama Majapahit, menurut cerita, diawali dengan dibukanya hutan Tarik di sebelah timur Sungai Brantas atas perintah Adipati Sumenep Wiraraja, yang membantu Raden Wijaya dalam membangun kekuatan militernya kembali guna melawan Jayakatwang. Nama Majapahit diambil dari buah maja yang memang cukup banyak tumbuh di sekitar Kali Brantas. Orang Madura yang tengah membuka hutan Tarik kemudian memakan buah itu, namun rasanya sangat pahit. Kemudian tersebutlah wilayah itu sebagai Majapahit.
Ketika menyebut Trowulan dan Majapahit, maka pikiran pun langsung tertuju kepada dua nama terkenal, yaitu Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan patihnya yang terkenal, Gadjah Mada. Keduanya diyakini telah menghantarkan Kerajaan Majapahit pada masa keemasannya.
Mengingat itu semua, saya semakin antusias dan bersemangat selama perjalanan menuju Trowulan. Tidak sabar rasanya untuk membayangkan tentang gambaran kemegahan istana Majapahit seperti yang disebut Nagarakretagama. Dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama terdapat deskripsi sebagai berikut.
Tembok batu merah, tebal lebih tinggi, mengitari istana. Pintunya di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang dikelilingi parit (kanal). Halamannya ditanami pohon brahmastana, berjajar memanjang, bermacam-macam bentuknya. Di situlah tempat para tanda berjaga secara bergilir, meronda, mengawasi paseban. Di sebelah utara, gapuranya indah permai berpintu besi penuh ukiran. Di sisi timur pintu adalah panggung luhur, lantainya berlapis batu putih, berkilauan. Alun-alunnya membujur dari utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit, memanjang sangat indah. Di situlah tempat berkumpul para prajurit tiap bulan Caitra. Di sebelah selatan alun-alun ialah jalan perempat. Luaslah gedung paseban, yang disebut menguntur, mengandung balai witana di tengah-tengahnya....
"Itu Mbak, museumnya!" kata kenek sambil menunjuk sebuah bangunan luas di pinggir jalan raya. Saya pun turun, kemudian memandangi bangunan panjang di seberang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Saya masuk ke gedung yang dipenuhi dengan berbagai macam arca, stupa, dan keramik itu. Tapi, kata seorang satpam, tempat itu hanya kantor, museumnya kini dipindahkan ke Desa Trowulan, sekitar 1 kilometer dari tempat itu. Tanpa ambil pusing, saya pun langsung "mencarter" ojek setelah sepakat soal harga carterannya.
Di museum atau dikenal sebagai Pusat Informasi Majapahit (PIM), pengunjungnya hanya saya. Petugas museum pun jadi terlihat tidak peduli dengan keberadaan saya, sebagai "turis lokal" yang mungkin terasa aneh karena datang pada bulan puasa di siang yang terik. Mereka santai saja mengobrol di dekat meja informasi.
Di pintu masuk itulah saya terkesima oleh adanya lempengan Surya Majapahit, semacam emblem atau juga bentuk perisai tangan yang biasa dipakai tentara Majapahit. Waduh, keren banget, pikir saya. Saya pun mulai membuka kamera siap menjepret lempengan itu. "Mbak, dilarang mengambil foto koleksi yang ada di museum," tegur petugas, tanpa senyum, lalu menunjuk papan larangan memotret koleksi.
Saya pun ke luar gedung dan mulai menjelajahi taman yang masih dalam kawasan museum. Ketika saya akan mendekati salah satu kolam terbengkalai, saya dilarang lagi oleh satpam. "Maaf, Mbak, nggak boleh ke sana. Ada pembangunan perbaikan untuk taman," katanya.
Tukang ojek yang membawa saya mengusulkan perjalanan saya berdasarkan letak situs yang letaknya bisa ditempuh dalam satu arah, lalu kemudian dilanjutkan ke situs-situs yang memisah dari yang lain.
Ketika tiba di situs yang bertebaran hampir 100 kilometer persegi di kecamatan ini, tercekatlah hati saya. Inikah kawasan pusat kerajaan yang tersohor pada 700-an tahun lalu itu? Trowulan hanyalah kecamatan kecil yang biasa saja. Jangan harap mencari candi pencakar langit seperti Candi Prambanan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tapi saya kemudian mafhum. Dalam buku Slamet Muljana disebutkan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada berfokus pada penguatan keamanan negara, politik, dan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak tertarik melakukan pengagungan keagamaan secara mewah dan spektakuler.
Saya pun langsung menuju situs Kedaton dan Sentonorejo dengan melewati situs Segaran dan Pendopo. Menurut informasi yang saya dapat dari media, pusat Kota Majapahit diperkirakan berada di sana, di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo. Di sanalah beberapa bangunan ditemukan, termasuk sebuah bangunan yang disebut sebagai Candi Kedaton. Jika dilihat bentuknya, sulit sekali untuk disebut sebagai candi karena hanya berupa sebuah kaki bangunan dengan bentuk segi empat berukuran 12,6 meter, lebar 9,5 meter, dan tinggi bagian tersisa 1,58 meter dari permukaan tanah.
Di sana juga ditemukan berbagai sumur tua sebagai tempat suci yang digunakan sebelum melakukan "ibadah". Lalu ada kompleks sumur Upas yang merupakan suatu gugusan bangunan yang, menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Trowulan, belum diketahui luasnya secara pasti. Sumur Upas semacam sumur yang terletak di tengah gugusan.
"Upas artinya racun. Tapi, menurut cerita, Upas ini sebenarnya lorong rahasia bagi raja dan keluarganya untuk mengamankan diri ketika diserang musuh. Disebut racun agar orang-orang tidak berani mendekat, apalagi memasukinya," kata petugas yang menjaga candi tersebut. Di kompleks ini pula ditengarai kuat sebagai tempat hunian dalam masa berlainan karena strukturnya yang tumpang-tindih.
Sisa kejayaan Majapahit secara fisik memang hanya berbentuk situs-situs arca, beberapa gapura, waduk/kolam kuno, dan candi-candi yang sudah tidak utuh lagi. Beberapa bangunan puing sepertinya belum direkonstruksi lebih lanjut, bahkan seperti teronggok terbengkalai tanpa ada arti dan makna. Adapun candi yang terlihat hampir utuh di sekitar Trowulan adalah Candi Tikus, Gapura Bajang Ratu dan Wringin Lawang, serta kompleks pemakaman, seperti Makam Panjang.
Dari 27 candi yang tersebut di Nagarakretagama, hanya beberapa yang ditemukan. Dari sini sulit rasanya membayangkan bagaimana kerajaan yang jauh dari lautan dan jelas agraris ini bisa menjadi penakluk bagi daerah-daerah besar seberang lautan itu?
Namun, ini pun bisa dijelaskan dengan mengacu pada penemuan Tim Geografi Universitas Gadjah Mada pada 1981. Melalui foto udara, tim ini berhasil menemukan kanal-kanal tua yang menjulur panjang di sekitar situs hingga menuju Kali Brantas. Kanal-kanal ini tentu saja tidak bisa dikenali dengan pasti di daratan. Apalagi sebagian besar telah beralih fungsi menjadi area persawahan atau perkebunan. Banyak teori tentang menghilangnya kanal-kanal itu. Ada yang percaya karena bencana semburan lumpur ganas 300 tahun lalu.
Diperkirakan kanal-kanal inilah yang menghubungkan pusat Kerajaan Majapahit menuju daerah pesisir dan lautan lepas. Jadi bisa dipahami jika Majapahit memang tidak hanya dikenal sebagai negara agraris, tapi juga sebagai negara maritim dengan kekuatan angkatan lautnya yang luar biasa.
Tata kanal dan waduk/sumur kuno peninggalan Majapahit jelas berperan dalam menjaga keamanan sekaligus pertahanan pangannya. Sebab, saat musim kemarau, Trowulan pada masa itu akan kekurangan air. Jika musim hujan, di sana terjadi banjir karena meluapnya Sungai Brantas. Hal itu bisa dilihat dengan adanya sebuah tanggul kanal penahan banjir di sekitar situs Sentonorejo.
Di sekitar situs yang tersebar di Trowulan telah ditemukan 32 waduk atau kolam kuno yang masih jelas terlihat sisanya. Kolam Segaran--ditemukan Ir Henry Mclain Pont pada 1926--adalah salah satu bukti konkret adanya tata pengairan masa kejayaan Majapahit yang apik. Kolam ini berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 375 meter dan lebar 125 meter. Dinding kolamnya setinggi 3,16 meter dan lebar 1,6 meter.
Buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan menyebutkan bahan bangunan kolam ini terbuat dari batu bata yang direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat. Pada bagian tenggara terdapat saluran yang mengalirkan airnya ke kolam, sementara pada bagian barat laut terdapat saluran pembuangan air.
Menurut cerita rakyat sekitar, pada masa kejayaan Majapahit, kolam ini sering dijadikan tempat santai dan tempat perjamuan untuk tamu-tamu dari luar negeri. Jika telah selesai, peralatan perjamuan, seperti piring dan sendok, yang terbuat dari emas dibuang begitu saja ke kolam. Katanya sih, sekadar menunjukkan Majapahit sebagai kerajaan kaya. Namun, sejauh ini tidak pernah ditemukan emas di Segaran kecuali hanya keramik Tiongkok dari Dinasti Yuan pada abad ke-12-14 Masehi.
Selain Sagaran, sistem kanal lekat dengan keberadaan Candi Tikus di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, yang ditemukan pada 1914. Candi ini merupakan bangunan petirtaan yang dibangun di permukaan yang lebih rendah sedalam 3,5 meter. Di tengah landai rendah bangunan, ada miniatur candi yang melambangkan Gunung Mahameru--tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candinya. Kini candi ini mengering.
Pada situs Gapura Wringin Lawang, di Desa Jati Pasar, pada halaman barat daya Gapura ditemukan 14 sumur yang berbentuk silindrik dan kubus. Gapura dengan tinggi 15,50 meter dibuat dari batu bata merah yang kuat seperti ciri bangunan kuno Majapahit lainnya.
Di Desa Temon, ada Gapura Bajangratu dengan pintu gerbang beratap, tinggi 16,5 meter berwarna kemerahan. Diperkirakan gapura ini berdiri pada abad ke-13-14. Hal ini ditandai dengan adanya relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang, dan relief naga. Gapura ini diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.
Selain kanal, tentu saja ada beberapa candi yang terlihat masih utuh, seperti Candi Brahu di Desa Bejijong, dan kompleks pemakaman kuno, seperti makam Putri Campa yang terletak di sudut timur Segaran, Pendopo Agung di Dusun Nglinguk, Makam Panjang, dan Situs Klinterojo.
Secara fisik, peninggalan Majapahit mungkin tidak mengesankan. Tapi bukti sejarah kejayaan Majapahit adalah Nagarakretagama, yang berhasil mendokumentasikan betapa maju dan canggihnya sistem tata negara, budaya, bahkan kemiliteran Majapahit.
Penyusuran saya di Trowulan semakin menyesapkan kebanggaan lebih dalam lagi sebagai anak bangsa Indonesia, kendati itu hanya sebuah kenangan tersisa.
*)Penulis lepas, tinggal di Jakarta.
http://www.tempointeraktif.com/
Siang itu cuaca begitu cerah, bahkan terik, September tahun lalu. Saya pikir itu adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan ke alam terbuka seharian penuh walau saya sedang berpuasa. Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, menjadi sasaran perjalanan saya. Sudah sekian kali saya mengunjungi Jawa Timur, tapi Trowulan yang terkenal itu terlewat begitu saja. Padahal nama Trowulan sudah begitu lekatnya di dalam kepala saya, yang selama ini sangat gandrung membaca buku-buku tentang sejarah Majapahit dan kerajaan Jawa pada umumnya.
Dari Jombang, saya sendirian naik bus ekonomi yang menuju arah Surabaya dengan ongkos Rp 5.000.
Trowulan berjarak 60 kilometer dari Surabaya dan bisa ditempuh dengan bus. Adapun dari Jombang cuma butuh waktu sekitar satu jam. Saya belum tahu pasti akan turun di mana.
"Turunin di Trowulan ya, Pak!" kataku setengah berteriak kepada kenek bus karena harus beradu dengan deru mesin dan engsel-engsel tubuh bus yang berderit-derit. Bus melaju ugal-ugalan. Apa?" tanya si kenek berteriak.
Saya menjawabnya lebih keras lagi. Sebelum kenek bersuara, beberapa penumpang sudah menjawab--dengan setengah berteriak juga. "Oh, deket itu. Museum Majapahit, kan?" Tenang, Mbak, deket pinggir jalan, kok, museumnya," ujar salah seorang penumpang.
Saya pun mengangguk dan menarik napas lega. Tampaknya para penumpang mengira saya cuma hendak ke museum Majapahit. Namun, saya akan mengelilingi semua situs yang tersebar di sana dalam satu hari itu. Saya sudah membekali diri dengan kamera serta buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama dan Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit) yang ditulis Prof Dr Slamet Muljana.
Trowulan sering disebut-sebut sebagai pusat Kerajaan Majapahit, yang diakui pada masanya sebagai kerajaan terbesar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Nama Majapahit, menurut cerita, diawali dengan dibukanya hutan Tarik di sebelah timur Sungai Brantas atas perintah Adipati Sumenep Wiraraja, yang membantu Raden Wijaya dalam membangun kekuatan militernya kembali guna melawan Jayakatwang. Nama Majapahit diambil dari buah maja yang memang cukup banyak tumbuh di sekitar Kali Brantas. Orang Madura yang tengah membuka hutan Tarik kemudian memakan buah itu, namun rasanya sangat pahit. Kemudian tersebutlah wilayah itu sebagai Majapahit.
Ketika menyebut Trowulan dan Majapahit, maka pikiran pun langsung tertuju kepada dua nama terkenal, yaitu Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan patihnya yang terkenal, Gadjah Mada. Keduanya diyakini telah menghantarkan Kerajaan Majapahit pada masa keemasannya.
Mengingat itu semua, saya semakin antusias dan bersemangat selama perjalanan menuju Trowulan. Tidak sabar rasanya untuk membayangkan tentang gambaran kemegahan istana Majapahit seperti yang disebut Nagarakretagama. Dalam buku Tafsir Sejarah Nagarakretagama terdapat deskripsi sebagai berikut.
Tembok batu merah, tebal lebih tinggi, mengitari istana. Pintunya di sebelah barat menghadap ke lapangan luas yang dikelilingi parit (kanal). Halamannya ditanami pohon brahmastana, berjajar memanjang, bermacam-macam bentuknya. Di situlah tempat para tanda berjaga secara bergilir, meronda, mengawasi paseban. Di sebelah utara, gapuranya indah permai berpintu besi penuh ukiran. Di sisi timur pintu adalah panggung luhur, lantainya berlapis batu putih, berkilauan. Alun-alunnya membujur dari utara ke selatan, berpagar rumah berimpit-impit, memanjang sangat indah. Di situlah tempat berkumpul para prajurit tiap bulan Caitra. Di sebelah selatan alun-alun ialah jalan perempat. Luaslah gedung paseban, yang disebut menguntur, mengandung balai witana di tengah-tengahnya....
"Itu Mbak, museumnya!" kata kenek sambil menunjuk sebuah bangunan luas di pinggir jalan raya. Saya pun turun, kemudian memandangi bangunan panjang di seberang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Saya masuk ke gedung yang dipenuhi dengan berbagai macam arca, stupa, dan keramik itu. Tapi, kata seorang satpam, tempat itu hanya kantor, museumnya kini dipindahkan ke Desa Trowulan, sekitar 1 kilometer dari tempat itu. Tanpa ambil pusing, saya pun langsung "mencarter" ojek setelah sepakat soal harga carterannya.
Di museum atau dikenal sebagai Pusat Informasi Majapahit (PIM), pengunjungnya hanya saya. Petugas museum pun jadi terlihat tidak peduli dengan keberadaan saya, sebagai "turis lokal" yang mungkin terasa aneh karena datang pada bulan puasa di siang yang terik. Mereka santai saja mengobrol di dekat meja informasi.
Di pintu masuk itulah saya terkesima oleh adanya lempengan Surya Majapahit, semacam emblem atau juga bentuk perisai tangan yang biasa dipakai tentara Majapahit. Waduh, keren banget, pikir saya. Saya pun mulai membuka kamera siap menjepret lempengan itu. "Mbak, dilarang mengambil foto koleksi yang ada di museum," tegur petugas, tanpa senyum, lalu menunjuk papan larangan memotret koleksi.
Saya pun ke luar gedung dan mulai menjelajahi taman yang masih dalam kawasan museum. Ketika saya akan mendekati salah satu kolam terbengkalai, saya dilarang lagi oleh satpam. "Maaf, Mbak, nggak boleh ke sana. Ada pembangunan perbaikan untuk taman," katanya.
Tukang ojek yang membawa saya mengusulkan perjalanan saya berdasarkan letak situs yang letaknya bisa ditempuh dalam satu arah, lalu kemudian dilanjutkan ke situs-situs yang memisah dari yang lain.
Ketika tiba di situs yang bertebaran hampir 100 kilometer persegi di kecamatan ini, tercekatlah hati saya. Inikah kawasan pusat kerajaan yang tersohor pada 700-an tahun lalu itu? Trowulan hanyalah kecamatan kecil yang biasa saja. Jangan harap mencari candi pencakar langit seperti Candi Prambanan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tapi saya kemudian mafhum. Dalam buku Slamet Muljana disebutkan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada berfokus pada penguatan keamanan negara, politik, dan kesejahteraan rakyat. Mereka tidak tertarik melakukan pengagungan keagamaan secara mewah dan spektakuler.
Saya pun langsung menuju situs Kedaton dan Sentonorejo dengan melewati situs Segaran dan Pendopo. Menurut informasi yang saya dapat dari media, pusat Kota Majapahit diperkirakan berada di sana, di Dusun Kedaton, Desa Sentonorejo. Di sanalah beberapa bangunan ditemukan, termasuk sebuah bangunan yang disebut sebagai Candi Kedaton. Jika dilihat bentuknya, sulit sekali untuk disebut sebagai candi karena hanya berupa sebuah kaki bangunan dengan bentuk segi empat berukuran 12,6 meter, lebar 9,5 meter, dan tinggi bagian tersisa 1,58 meter dari permukaan tanah.
Di sana juga ditemukan berbagai sumur tua sebagai tempat suci yang digunakan sebelum melakukan "ibadah". Lalu ada kompleks sumur Upas yang merupakan suatu gugusan bangunan yang, menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Trowulan, belum diketahui luasnya secara pasti. Sumur Upas semacam sumur yang terletak di tengah gugusan.
"Upas artinya racun. Tapi, menurut cerita, Upas ini sebenarnya lorong rahasia bagi raja dan keluarganya untuk mengamankan diri ketika diserang musuh. Disebut racun agar orang-orang tidak berani mendekat, apalagi memasukinya," kata petugas yang menjaga candi tersebut. Di kompleks ini pula ditengarai kuat sebagai tempat hunian dalam masa berlainan karena strukturnya yang tumpang-tindih.
Sisa kejayaan Majapahit secara fisik memang hanya berbentuk situs-situs arca, beberapa gapura, waduk/kolam kuno, dan candi-candi yang sudah tidak utuh lagi. Beberapa bangunan puing sepertinya belum direkonstruksi lebih lanjut, bahkan seperti teronggok terbengkalai tanpa ada arti dan makna. Adapun candi yang terlihat hampir utuh di sekitar Trowulan adalah Candi Tikus, Gapura Bajang Ratu dan Wringin Lawang, serta kompleks pemakaman, seperti Makam Panjang.
Dari 27 candi yang tersebut di Nagarakretagama, hanya beberapa yang ditemukan. Dari sini sulit rasanya membayangkan bagaimana kerajaan yang jauh dari lautan dan jelas agraris ini bisa menjadi penakluk bagi daerah-daerah besar seberang lautan itu?
Namun, ini pun bisa dijelaskan dengan mengacu pada penemuan Tim Geografi Universitas Gadjah Mada pada 1981. Melalui foto udara, tim ini berhasil menemukan kanal-kanal tua yang menjulur panjang di sekitar situs hingga menuju Kali Brantas. Kanal-kanal ini tentu saja tidak bisa dikenali dengan pasti di daratan. Apalagi sebagian besar telah beralih fungsi menjadi area persawahan atau perkebunan. Banyak teori tentang menghilangnya kanal-kanal itu. Ada yang percaya karena bencana semburan lumpur ganas 300 tahun lalu.
Diperkirakan kanal-kanal inilah yang menghubungkan pusat Kerajaan Majapahit menuju daerah pesisir dan lautan lepas. Jadi bisa dipahami jika Majapahit memang tidak hanya dikenal sebagai negara agraris, tapi juga sebagai negara maritim dengan kekuatan angkatan lautnya yang luar biasa.
Tata kanal dan waduk/sumur kuno peninggalan Majapahit jelas berperan dalam menjaga keamanan sekaligus pertahanan pangannya. Sebab, saat musim kemarau, Trowulan pada masa itu akan kekurangan air. Jika musim hujan, di sana terjadi banjir karena meluapnya Sungai Brantas. Hal itu bisa dilihat dengan adanya sebuah tanggul kanal penahan banjir di sekitar situs Sentonorejo.
Di sekitar situs yang tersebar di Trowulan telah ditemukan 32 waduk atau kolam kuno yang masih jelas terlihat sisanya. Kolam Segaran--ditemukan Ir Henry Mclain Pont pada 1926--adalah salah satu bukti konkret adanya tata pengairan masa kejayaan Majapahit yang apik. Kolam ini berbentuk empat persegi panjang dengan panjang 375 meter dan lebar 125 meter. Dinding kolamnya setinggi 3,16 meter dan lebar 1,6 meter.
Buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan menyebutkan bahan bangunan kolam ini terbuat dari batu bata yang direkatkan satu sama lain dengan cara digosokkan tanpa menggunakan perekat. Pada bagian tenggara terdapat saluran yang mengalirkan airnya ke kolam, sementara pada bagian barat laut terdapat saluran pembuangan air.
Menurut cerita rakyat sekitar, pada masa kejayaan Majapahit, kolam ini sering dijadikan tempat santai dan tempat perjamuan untuk tamu-tamu dari luar negeri. Jika telah selesai, peralatan perjamuan, seperti piring dan sendok, yang terbuat dari emas dibuang begitu saja ke kolam. Katanya sih, sekadar menunjukkan Majapahit sebagai kerajaan kaya. Namun, sejauh ini tidak pernah ditemukan emas di Segaran kecuali hanya keramik Tiongkok dari Dinasti Yuan pada abad ke-12-14 Masehi.
Selain Sagaran, sistem kanal lekat dengan keberadaan Candi Tikus di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, yang ditemukan pada 1914. Candi ini merupakan bangunan petirtaan yang dibangun di permukaan yang lebih rendah sedalam 3,5 meter. Di tengah landai rendah bangunan, ada miniatur candi yang melambangkan Gunung Mahameru--tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candinya. Kini candi ini mengering.
Pada situs Gapura Wringin Lawang, di Desa Jati Pasar, pada halaman barat daya Gapura ditemukan 14 sumur yang berbentuk silindrik dan kubus. Gapura dengan tinggi 15,50 meter dibuat dari batu bata merah yang kuat seperti ciri bangunan kuno Majapahit lainnya.
Di Desa Temon, ada Gapura Bajangratu dengan pintu gerbang beratap, tinggi 16,5 meter berwarna kemerahan. Diperkirakan gapura ini berdiri pada abad ke-13-14. Hal ini ditandai dengan adanya relief Ramayana, relief binatang bertelinga panjang, dan relief naga. Gapura ini diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.
Selain kanal, tentu saja ada beberapa candi yang terlihat masih utuh, seperti Candi Brahu di Desa Bejijong, dan kompleks pemakaman kuno, seperti makam Putri Campa yang terletak di sudut timur Segaran, Pendopo Agung di Dusun Nglinguk, Makam Panjang, dan Situs Klinterojo.
Secara fisik, peninggalan Majapahit mungkin tidak mengesankan. Tapi bukti sejarah kejayaan Majapahit adalah Nagarakretagama, yang berhasil mendokumentasikan betapa maju dan canggihnya sistem tata negara, budaya, bahkan kemiliteran Majapahit.
Penyusuran saya di Trowulan semakin menyesapkan kebanggaan lebih dalam lagi sebagai anak bangsa Indonesia, kendati itu hanya sebuah kenangan tersisa.
*)Penulis lepas, tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar