Syamsul Arifin
http://www.surabayapost.co.id/
Pidato pelantikan Barack Obama memukau dunia. Jon Favreau, membuat Barack Obama bicara sebagai dirinya sendiri.
Keduanya sama-sama penilis pidato untuk presiden AS. Tapi ada yang beda antara Michael Gerson dan Jon Favreau. Gerson menulis pidato yang membuat George W. Bush bicara seperti Winston Churchill. Tapi Favreau menjadikan sosok Obama tampil sebagai dirinya sendiri pada setiap kampanye. Juga ketika ia pidato di depan dua juta orang yang menghadiri pelantikannya 20 Januari lalu.
Ketika Obama memenangkan konvensi kandidat presiden dari Partai Demokrat, semua orang tidak akan melupakan pidato Obama yang dimulai dengan: “They said this day would never come.”
Kalimat pembuka pidato itu lahir dari diskusi panjang antara Obama dan Favreau di belakang panggung kampanye. Obama sangat gelisah, keluar masuk kamarnya di hotel Radisson di Nashua, New Hampshire. Sementara Jon Favreau menyendiri di ruang santai hotel menikmati Diet Coke dan kue kering, gaya anak muda untuk menghabiskan waktunya. Tapi hasilnya sungguh mengejutkan semua orang. Hillary Clinton yang dikalahkan oleh Obama mengatakan, “Kampanye Anda puitis, tapi pemerintahan Anda prosa”.
Favreau, baru berusia 26 tahun, banyak orang memanggilnya Favs, tampil seperti kebanyakan orang muda lainnya, dengan muka yang baby face dan janggut yang kelimis. Ia memimpin satu tim dengan anggota dua orang muda lainnya sebagai penulis pidato untuk Obama. Rekannya itu adalah Adam Frankel (26) yang pernah bekerja sebagai penasehat buku kenangan John F. Kennedy dan Theodore C. Sorensen, dan Ben Rhodes (30), penulis pembantu laporan Kelompok Studi Irak sebagai asisten Lee H. Hamilton.
“Barack sangat memercayai dia,” kata David Axelrod, ketua strategi kampanye Obama.
Pertama kali bertemu Obama, Favreau baru berusia 23 tahun, baru saja lulus dari College of the Holy Cross di Worcester, Massachuset, dekat tempat tinggalnya.
Obama saat itu sedang di belakang panggung menyiapkan pidato pada konvensi Partai Demokrat tahun 2004 ketika Favreau, yang menjadi staf Senator John Kerry, mendatanginya.
“Ia melihat saya dengan pandangan bingung seperti bertanya “Siapa anak ini?” kata Favreau mengenang awal pertemuannya dengan Obama.
Ketika itu Favreau menganggur setelah berhenti sebagai penulis pidato kampanye kandidat presiden John Kerry. “Saya bangkrut, dan lontang-lantung mencari kesenangan di Washington ketika saya mendekati Obama.”
Obama kemudian menjadi bosnya tahun berikutnya. Itu pun atas jasa Robert Gibbs, Direktur Komunikasi Obama, yang telah mengenal Favreau saat kampanye Kerry. Gibbs merekomendasikan dia kepada Obama.
Kehidupan Favreau setelah itu relatif tenang. Ia dan Obama sering kali jalan bersama menikmati malam menyaksikan pertandingan football. Ketika White Sox, favorit Obama, mengalahkan Red Sox, kesayangan Favreau, dalam tiga game pada divisi Liga Amerika 2005, senator itu mendapat semangat untuk memberikan penulis pidatonya kepada Favreau.
Favreau harus berpikir keras. Ia mempelajari karakter suara Obama, mencatat apa saja yang dikatakan senator itu dan kebiasaannya saat bicara kemudian menyerapnya. Ketika ia kemudian menulis, seluruh pikirannya pada Obama. Tentang idenya, kalimat dan frasanya.
Kebanyakan para calon dari Demokrat berusaha membangun karakter mereka sama seperti John dan Robert F. Kennedy, namun Senator Obama berhasil meraihnya lebih dari itu yang menyebabkan dia tampak lebih elegan dibanding John Kennedy.
Dari mana Favreau mendapatkan inspirasi naskah pidatonya?
“Saya banyak belajar dari Bobby Kennedy. Saya melihat bayangan J.F.K, R.F.K,” ujarnya dan kemudian menambahkan (Martin Luther?) “King.”
Di depan publik, Obama seperti tidak membaca naskah pidato yang ditulis oleh siapapun. Tapi itu melalui proses yang cukup panjang. Obama mencoba membaca pidato lewat teleprompter (tulisan yang ditayangkan pada monitor) di belakang kamera televisi, kritik dicatat, dan kemudian diperbaiki.
Favreau mengatakan, ketika ia menulis, ia bertahan tidak tidur hingga pukul 03.00 dinihari dan bangun pukul 05.00 pagi. Selama dia ingat, setiap hari ia tidur kurang dari enam jam.
Kopi membantunya begadang selama kaukus Iowa. Dua hari sebelum kemenangan Iowa, ia berjalan melintasi jalan dari markas kampanye Des Moines dan kemudian menyendiri di dalam satu kafé.
Ia dan Obama kemudian membicarakan pidato itu selama 30 menit, merancang tema persatuan dan kalimat pembukaan: “They said this day would never come.”
“Saya tahu kalimat itu memiliki berbagai arti pada masing-masing orang,” kata Favreau. “Obama dan saya membicarakan kalimat ini, dan itu salah satu tugas untuk kampanye. Berbulan-bulan selama kampanye mereka mengatakan Obama tidak akan menang. Tidak mungkin orang Afro-Amerika memenangkan pencalonan di negara kulit putih,” cerita Favreau.
Dalam membicarakan naskah pidato, masalah ras tidak pernah dibicarakan. “Padahal masalah itu selalu ada pada pikiran saya,” kata Favreau.
Ketika bintang Obama menanjak, Favreau ikut menanjak pula. Paling tidak dikenal di kalangan tim kampanye. Di New Hampshire, Favreau sedang berdiri di belakang ruang senam menyaksikan kampanye sang bos ketika Michael Gerson, mantan penulis pidato Presiden Bush, memperkenalkan dirinya. Ia menyampaikan selamat atas pidato Obama yang meraih kemenangan di Iowa.
“Banyak sekali orang mengatakan: “Saya tidak percaya Anda penulis naskah pidato
Barack Obama,” kata Favreau. “Dan banyak orang yang tidak rela Obama berpidato dari pemikiran saya, dan ingin memukul saya,” tambahnya.
Tapi itu berarti keberhasilan luar biasa bagi dirinya yang berhasil menjadikan Obama sebagai Obama dengan naskah pidato yang ditulisnya.
http://www.surabayapost.co.id/
Pidato pelantikan Barack Obama memukau dunia. Jon Favreau, membuat Barack Obama bicara sebagai dirinya sendiri.
Keduanya sama-sama penilis pidato untuk presiden AS. Tapi ada yang beda antara Michael Gerson dan Jon Favreau. Gerson menulis pidato yang membuat George W. Bush bicara seperti Winston Churchill. Tapi Favreau menjadikan sosok Obama tampil sebagai dirinya sendiri pada setiap kampanye. Juga ketika ia pidato di depan dua juta orang yang menghadiri pelantikannya 20 Januari lalu.
Ketika Obama memenangkan konvensi kandidat presiden dari Partai Demokrat, semua orang tidak akan melupakan pidato Obama yang dimulai dengan: “They said this day would never come.”
Kalimat pembuka pidato itu lahir dari diskusi panjang antara Obama dan Favreau di belakang panggung kampanye. Obama sangat gelisah, keluar masuk kamarnya di hotel Radisson di Nashua, New Hampshire. Sementara Jon Favreau menyendiri di ruang santai hotel menikmati Diet Coke dan kue kering, gaya anak muda untuk menghabiskan waktunya. Tapi hasilnya sungguh mengejutkan semua orang. Hillary Clinton yang dikalahkan oleh Obama mengatakan, “Kampanye Anda puitis, tapi pemerintahan Anda prosa”.
Favreau, baru berusia 26 tahun, banyak orang memanggilnya Favs, tampil seperti kebanyakan orang muda lainnya, dengan muka yang baby face dan janggut yang kelimis. Ia memimpin satu tim dengan anggota dua orang muda lainnya sebagai penulis pidato untuk Obama. Rekannya itu adalah Adam Frankel (26) yang pernah bekerja sebagai penasehat buku kenangan John F. Kennedy dan Theodore C. Sorensen, dan Ben Rhodes (30), penulis pembantu laporan Kelompok Studi Irak sebagai asisten Lee H. Hamilton.
“Barack sangat memercayai dia,” kata David Axelrod, ketua strategi kampanye Obama.
Pertama kali bertemu Obama, Favreau baru berusia 23 tahun, baru saja lulus dari College of the Holy Cross di Worcester, Massachuset, dekat tempat tinggalnya.
Obama saat itu sedang di belakang panggung menyiapkan pidato pada konvensi Partai Demokrat tahun 2004 ketika Favreau, yang menjadi staf Senator John Kerry, mendatanginya.
“Ia melihat saya dengan pandangan bingung seperti bertanya “Siapa anak ini?” kata Favreau mengenang awal pertemuannya dengan Obama.
Ketika itu Favreau menganggur setelah berhenti sebagai penulis pidato kampanye kandidat presiden John Kerry. “Saya bangkrut, dan lontang-lantung mencari kesenangan di Washington ketika saya mendekati Obama.”
Obama kemudian menjadi bosnya tahun berikutnya. Itu pun atas jasa Robert Gibbs, Direktur Komunikasi Obama, yang telah mengenal Favreau saat kampanye Kerry. Gibbs merekomendasikan dia kepada Obama.
Kehidupan Favreau setelah itu relatif tenang. Ia dan Obama sering kali jalan bersama menikmati malam menyaksikan pertandingan football. Ketika White Sox, favorit Obama, mengalahkan Red Sox, kesayangan Favreau, dalam tiga game pada divisi Liga Amerika 2005, senator itu mendapat semangat untuk memberikan penulis pidatonya kepada Favreau.
Favreau harus berpikir keras. Ia mempelajari karakter suara Obama, mencatat apa saja yang dikatakan senator itu dan kebiasaannya saat bicara kemudian menyerapnya. Ketika ia kemudian menulis, seluruh pikirannya pada Obama. Tentang idenya, kalimat dan frasanya.
Kebanyakan para calon dari Demokrat berusaha membangun karakter mereka sama seperti John dan Robert F. Kennedy, namun Senator Obama berhasil meraihnya lebih dari itu yang menyebabkan dia tampak lebih elegan dibanding John Kennedy.
Dari mana Favreau mendapatkan inspirasi naskah pidatonya?
“Saya banyak belajar dari Bobby Kennedy. Saya melihat bayangan J.F.K, R.F.K,” ujarnya dan kemudian menambahkan (Martin Luther?) “King.”
Di depan publik, Obama seperti tidak membaca naskah pidato yang ditulis oleh siapapun. Tapi itu melalui proses yang cukup panjang. Obama mencoba membaca pidato lewat teleprompter (tulisan yang ditayangkan pada monitor) di belakang kamera televisi, kritik dicatat, dan kemudian diperbaiki.
Favreau mengatakan, ketika ia menulis, ia bertahan tidak tidur hingga pukul 03.00 dinihari dan bangun pukul 05.00 pagi. Selama dia ingat, setiap hari ia tidur kurang dari enam jam.
Kopi membantunya begadang selama kaukus Iowa. Dua hari sebelum kemenangan Iowa, ia berjalan melintasi jalan dari markas kampanye Des Moines dan kemudian menyendiri di dalam satu kafé.
Ia dan Obama kemudian membicarakan pidato itu selama 30 menit, merancang tema persatuan dan kalimat pembukaan: “They said this day would never come.”
“Saya tahu kalimat itu memiliki berbagai arti pada masing-masing orang,” kata Favreau. “Obama dan saya membicarakan kalimat ini, dan itu salah satu tugas untuk kampanye. Berbulan-bulan selama kampanye mereka mengatakan Obama tidak akan menang. Tidak mungkin orang Afro-Amerika memenangkan pencalonan di negara kulit putih,” cerita Favreau.
Dalam membicarakan naskah pidato, masalah ras tidak pernah dibicarakan. “Padahal masalah itu selalu ada pada pikiran saya,” kata Favreau.
Ketika bintang Obama menanjak, Favreau ikut menanjak pula. Paling tidak dikenal di kalangan tim kampanye. Di New Hampshire, Favreau sedang berdiri di belakang ruang senam menyaksikan kampanye sang bos ketika Michael Gerson, mantan penulis pidato Presiden Bush, memperkenalkan dirinya. Ia menyampaikan selamat atas pidato Obama yang meraih kemenangan di Iowa.
“Banyak sekali orang mengatakan: “Saya tidak percaya Anda penulis naskah pidato
Barack Obama,” kata Favreau. “Dan banyak orang yang tidak rela Obama berpidato dari pemikiran saya, dan ingin memukul saya,” tambahnya.
Tapi itu berarti keberhasilan luar biasa bagi dirinya yang berhasil menjadikan Obama sebagai Obama dengan naskah pidato yang ditulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar