Sriyanto Danoesiswoyo
http://arsip.pontianakpost.com/
Setiap memperingati hari Ibu, memori kita tak lepas dari sosok perempuan. Secara etimologis, perempuan berasal dari kata dasar empu, mendapat imbuhan pe - an. Perempuan bermakna yang empu (memelihara, mengasuh, membimbing) bumi karena dari perempuanlah lahir kehidupan di bumi. Bahkan, Danarto mengatakan bahwa melalui rahim perempuan Tuhan berkenan menjadikannya sebagai laboratorium kehidupan. Karena itu, sang empuan bumi mendapat tugas mulia merawat dan memelihara bumi.
Sudahkah perempuan menyadari dirinya adalah empuan bumi ? Jawabannya bisa sudah, bisa juga belum. Namun, justru kenyataan inilah yang mengundang komunitas tertentu untuk memberdayakan perempuan agar bisa menjalankan tugas mulianya, tak terkecuali para sastrawan. Perempuan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Melalui potret kekurangan maupun kelebihan perempuan lahirlah karya-karya besar sastrawan, seperti Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, Perempuan-perempuan Perkasa karya Hartoyo Andangjaya, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan sebagainya.
Linus Suryadi AG, penyair asal Yogyakarta, memotret stereotif perempuan Jawa yang pasrah, cantik, tidak neko-neko melalui kumpulan puisi berjudul "Pengakuan Pariyem." Pariyem adalah sosok perempuan kampung yang tidak berpendidikan tetapi mempunyai paras yang cukup cantik. Ia bekerja pada seorang ningrat. Dengan tutur bahasanya yang halus dan pengabdian yang tinggi kepada majikan serta tubuh yang sintal, Pariyem berhasil menarik hati anak majikannya. Namun, keningratan anak majikan menghalangi benih cinta untuk berkembang secara wajar. Alhasil, terjadilah affair yang menggemparkan keluarga majikan. Pariyem pun hamil dan tidak diketahui siapa pelakunya. Sebagai perempuan yang tidak berdaya dan tidak berpendidikan, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menerima keadaan. Dengan kepasrahannya, ia merasa telah menikmati cinta penuh birahi dari majikannya. Dan, ia pun mungkin merasa bangga bisa mengambil keperjakaan anak majikan. Setidak-tidaknya anak yang akan dilahirkan adalah keturunan ningrat.
Masih banyak potret buram perempuan dalam karya sastra lainnya yang sejenis. Semuanya berkisah tentang ketidakberdayaan perempuan. Dan, potret ini berbanding lurus dengan kenyataan sekarang. Ini terlihat dari banyaknya perempuan yang tidak berdaya dan begitu tergantung pada laki-laki sehingga hanya menjadi abdi laki-laki semata. Derajatnya sebagai manusia kurang dihargai.
Namun, tidak semua perempuan tidak berdaya. Masih banyak perempuan yang eksis dan menunjukkan keperkasaannya di tengah-tengah himpitan kaum lelaki dan keadaan. Di saat krisis ekonomi, mereka mampu bekerja keras, membanting tulang menghidupi keluarga. Tak peduli rintangan, bahkan ke negeri seberang sekalipun. Potret keperkasaan perempuan itu terlukis jelas pada puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa.
"Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka ? Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa/ Sebelum peluit kereta pagi terjaga/ Sebelum hari bermula dalam pesta kerja/ Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka ? Di atas roda-roda baja mereka berkendara/ Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota/ Merebut hidup di pasar-pasar kota/ Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka ? Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa/ Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota/ Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa."
Puisi di atas memberikan kesan betapa gigihnya perjuangan hidup perempuan-perempuan pedesaan sehingga disebutnya sebagai perempuan-perempuan perkasa. Mereka datang dari tempat yang jauh pada saat hari masih gelap. Mereka adalah pekerja-pekerja yang gigih dan keras kehidupannya yang diungkapkan dengan di atas roda-roda baja. Mereka berjuang mati-matian untuk menghidupi keluarga, menghidupi desanya.
http://arsip.pontianakpost.com/
Setiap memperingati hari Ibu, memori kita tak lepas dari sosok perempuan. Secara etimologis, perempuan berasal dari kata dasar empu, mendapat imbuhan pe - an. Perempuan bermakna yang empu (memelihara, mengasuh, membimbing) bumi karena dari perempuanlah lahir kehidupan di bumi. Bahkan, Danarto mengatakan bahwa melalui rahim perempuan Tuhan berkenan menjadikannya sebagai laboratorium kehidupan. Karena itu, sang empuan bumi mendapat tugas mulia merawat dan memelihara bumi.
Sudahkah perempuan menyadari dirinya adalah empuan bumi ? Jawabannya bisa sudah, bisa juga belum. Namun, justru kenyataan inilah yang mengundang komunitas tertentu untuk memberdayakan perempuan agar bisa menjalankan tugas mulianya, tak terkecuali para sastrawan. Perempuan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah kering. Melalui potret kekurangan maupun kelebihan perempuan lahirlah karya-karya besar sastrawan, seperti Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, Perempuan-perempuan Perkasa karya Hartoyo Andangjaya, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan sebagainya.
Linus Suryadi AG, penyair asal Yogyakarta, memotret stereotif perempuan Jawa yang pasrah, cantik, tidak neko-neko melalui kumpulan puisi berjudul "Pengakuan Pariyem." Pariyem adalah sosok perempuan kampung yang tidak berpendidikan tetapi mempunyai paras yang cukup cantik. Ia bekerja pada seorang ningrat. Dengan tutur bahasanya yang halus dan pengabdian yang tinggi kepada majikan serta tubuh yang sintal, Pariyem berhasil menarik hati anak majikannya. Namun, keningratan anak majikan menghalangi benih cinta untuk berkembang secara wajar. Alhasil, terjadilah affair yang menggemparkan keluarga majikan. Pariyem pun hamil dan tidak diketahui siapa pelakunya. Sebagai perempuan yang tidak berdaya dan tidak berpendidikan, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah menerima keadaan. Dengan kepasrahannya, ia merasa telah menikmati cinta penuh birahi dari majikannya. Dan, ia pun mungkin merasa bangga bisa mengambil keperjakaan anak majikan. Setidak-tidaknya anak yang akan dilahirkan adalah keturunan ningrat.
Masih banyak potret buram perempuan dalam karya sastra lainnya yang sejenis. Semuanya berkisah tentang ketidakberdayaan perempuan. Dan, potret ini berbanding lurus dengan kenyataan sekarang. Ini terlihat dari banyaknya perempuan yang tidak berdaya dan begitu tergantung pada laki-laki sehingga hanya menjadi abdi laki-laki semata. Derajatnya sebagai manusia kurang dihargai.
Namun, tidak semua perempuan tidak berdaya. Masih banyak perempuan yang eksis dan menunjukkan keperkasaannya di tengah-tengah himpitan kaum lelaki dan keadaan. Di saat krisis ekonomi, mereka mampu bekerja keras, membanting tulang menghidupi keluarga. Tak peduli rintangan, bahkan ke negeri seberang sekalipun. Potret keperkasaan perempuan itu terlukis jelas pada puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul Perempuan-perempuan Perkasa.
"Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka ? Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa/ Sebelum peluit kereta pagi terjaga/ Sebelum hari bermula dalam pesta kerja/ Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka ? Di atas roda-roda baja mereka berkendara/ Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota/ Merebut hidup di pasar-pasar kota/ Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka ? Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa/ Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota/ Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa."
Puisi di atas memberikan kesan betapa gigihnya perjuangan hidup perempuan-perempuan pedesaan sehingga disebutnya sebagai perempuan-perempuan perkasa. Mereka datang dari tempat yang jauh pada saat hari masih gelap. Mereka adalah pekerja-pekerja yang gigih dan keras kehidupannya yang diungkapkan dengan di atas roda-roda baja. Mereka berjuang mati-matian untuk menghidupi keluarga, menghidupi desanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar