A Rodhi Murtadho
Air tergeletak di jalanan. Mengalirkan diri mencari pori tanah. Namun struktur pemukiman mempermainkan. Air hanya mengalir di pinggir-pinggir jalan. Mengisi lubang-lubang beraspal. Atau tergenang di tempat busuk tanpa bisa menghindar. Got-got beralas semen tak terstruktur menurun. Rata. Hanya memenuhi program tata pemukiman.
Air menanti matahari. Ingin segera menguapkan diri. Terkatung-katung tak diperhatikan kadang memuakkan. Apalagi diinjak-injak penuh kotoran. Jiwa ion positif dalam dirinya marah. Keperkasaan telah sirna. Menjadi barang buangan tak bisa menemukan kekasih, jiwa ion negatif. Turun ke bumi. Ingin segera melengkapkan diri bersama kekasih di sela-sela perut bumi.
“Air, aku kehausan!” kataku.
“Minumlah aku. Memang aku tercipta untukmu,” Air membuka mulut. Unjuk bicara. Ramah. Sopan mempersilahkan.
“Bagaimana aku bisa meminummu? Kau tampak kotor dan menjijikkan.”
“Terimalah aku apa adanya. Aku seperti ini juga ulah kalian, manusia. Perlakuan yang seenaknya dari kalian membuatku sakit hati. Aku tak bisa pergi ke tanah menemui kekasihku ion negatif. Tak bisa bercumbu rayu dan membersihkan diri. Tentu, aku merana di pemukiman ini.”
Air berusaha mengendapkan kotoran-kotoran dalam dirinya. Menyediakan diri sebersih mungkin. Tugas dijalani dengan ikhlas tanpa pamrih. Namun kotoran-kotoran seperti telah menyatu. Hanya matahari yang bisa membantu. Penguapan.
Langit masih tampak sayu. Matahari tak begitu mencolok. Keredupan tak melancarkan penguapan air. Tersendat-sendat. Setiap akan merangsek naik, terhalang oleh udara dingin yang menyapu. Mengembun dan turun lagi.
“Tindakan apa dari kami yang membuatmu sakit hati? Bahkan sampai-sampai kau merana? Sepertinya kami wajar-wajar saja memperlakukanmu.”
“Wajar, katamu! Kau bilang kalau mencemariku itu tindakan wajar? Menata pemukiman dengan daerah tanpa kemiringan? Aku bingung mau mengalir ke mana selain menggenang. Bahkan tindakan kalian membuat aku merana. Aku tak bisa bertemu kekasih. Kalian tutup daerah resapan dengan dalih pembangunan. Proyek-proyek ramah lingkungan. Hanya pada tulisan saja. Padahal tak mengindahkan tanah sebagai tujuan resapan. Jalan menemui kekasih.”
Aku bingung dengan penjabaran air yang begitu lengkap. Perbuatan yang tak pernah aku rencanakan. Memang setahuku, tindakan itu dengan dalih pembangunan. Demi kemaslahatan bersama kata para kontraktor. Memang juga sejauh aku berjalan, aku jarang menemukan tanah asli. Semua tertutup aspal atau cor-coran. Jika pun aku temukan dan kubandingkan akan memiliki perbandingan lima banding sembilan puluh lima.
“Iya, kami memang tak pernah memperhatikan itu. Padahal kami memperoleh banyak pertolongan darimu. Sementara kami tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana memperlakukanmu layak. Mungkin kami lalai. Maafkan kami.”
“Lalai katamu! Apa hanya itu dalih penutup salah kalian. Siapa yang tak bisa mengatakan itu. Semut pun bisa. Kalau perilaku dan alasanmu seperti itu, aku akan balas dendam pada kalian.”
“Balas dendam!??”
“Ya, aku akan balas dendam. Tentu aku tak akan disalahkan. Yang disalahkan tentu kau yang mengatakan lalai itu sendiri.”
“Apa yang akan kau lakukan pada kami?”
“Aku dalam sekejab bisa memberi kalian wabah. Aku bisa mengundang kuman-kuman untuk melarut dalam diriku. Menularkan penyakit pada tubuh-tubuh manusia. Tentu akan menjadi mudah bagiku. Tubuh kalian sebagian besar tersusun dari diriku.”
“Sebegitu marahkah kau, air? Tak bisakah kau memaafkan kami. Akan aku umumkan di setiap kuping manusia untuk menjagamu. Jangan beri kami wabah yang berat. Untuk hidup saja kami merasa sudah susah.”
Kecipuk air memainkan lidahnya. Tangannya ditepuk-tepukkan ke kepalanya. Mata nyalang merah membangkit gairah dan emosi. Kaki sudah mendagur, mengoyak, dan memuncratkan dirinya. Bogem mentah disiapkan.
Ada air lain yang merembes keluar dari tanah. Pelan tak begitu deras. Namun kontinyu mengalir dari sela aspal yang sedikit berpori. Meluap mendekati air di kubangan yang mengamuk.
“Kekasihku sudah datang. Kau tahu, dia adalah ion negatif. Aku ion positif. Apapun bisa kami lakukan selama kami bersama.”
Tak ada cerucuk kata terlempar dari mulut-mulut kaku. Hanya pemandangan yang akrab. Air bertemu air dan menyatu. Aku lihat mereka bergumul. Menandaskan hasrat kangen yang menderu dalam. Menyatukan kandungan ion dalam tubuh mereka yang memang saling melengkapi. Cumbu rayu dimulai. Keringat deras makin memperbesar volume diri mereka. Kecupan dan tandas kasih mengobral panas meluberkan air kenikmatan.
“Apa yang kalian lakukan? Jangan memberikan pandangan yang bisa membuat aku iri. Aku juga memiliki kekasih namun tak bisa menyalakan api kasih dalam diri kami. Banyak bentangan yang sulit dilewati. Aku benar-benar iri. Hentikanlah.”
“Dengarlah baik-baik. Aku sudah muak dengan janji dan tipu daya manusia. Camkan itu! Aku tidak hanya akan memberikan wabah. Akan lebih dari itu. Camkan!”
“Kau akan melakukan apa lagi? Kau sudah bertemu dengan kekasihmu. Mestinya kau bahagia. Bukan malah mewujudkan dendam dalam dirimu kepada kami.”
“Dendam ini bukan hanya ada dalam diriku. Tetapi ada juga dalam diri kekasihku. Dan kami sudah sepakat akan melancarkan gerakan yang tak terduga bagi kalian, manusia. Tunggulah saatnya nanti.”
Matahari sudah membelalakkan mata. Meradiasi tuntunan sinar panas. Udara juga mempertemukannya kepada air. Hawa yang dibawa radiasi matahari, panas menyala. Seketika, sedikit demi sedikit air melayang bersama udara. Merangsek naik dalam tuturan uap air.
“Kami akan segera kembali. Tunggu saja.”
Ucapan perpisahan dari air semakin menggetarkan. Seluruh rona bulu kuduk berdiri. Ancaman yang belum terbukti namun begitu tandas terasa di depan kenyataan.
Langit hitam, mengetuk kilatan guntur dan sambaran petir. Kutukan air aku rasakan akan menjadi kenyataan. Aku mengumumkan ancaman air. Serius. Dan saling mengumumkan ancaman air sesama manusia. Namun juga saling tak mempercayai. Mereka lebih percaya pada tata ruang pemukiman. Bencana yang dijanjikan air hanya menjadi obrolan ringan di warung. Tata ruang pemukiman akan mengatasi dan menampik bencana yang dijanjikan air.
“Coba kalian dengarkan,” serius, “aku baru saja diberitahu orang yang ada di seberang itu. Katanya, kalau kita diancam air dan akan menurunkan wabah di negeri ini. Kalian tahu, hanya segenang air di trotoar yang mengatakannya ketika kutanya dia. Bukankan itu lucu. Katanya juga, kita telah membuat sengsara air. Menggunakan seenaknya tanpa memperhatikan kelestarian dan siklus air,” kata seseorang.
“Kau ini pandai bercanda, ya! Bagaimana mungkin. Air takkan bisa membunuh kita. Kalau kita memasak dan membuatnya kopi, itu enak. Wong air itu dicipta untuk kita. Terserah kita memperlakukannya seperti apa. Wong ada air kok bisa protes,” sahut seseorang di sebelahnya yang sedang menyerubut kopi di warung pinggir jalan.
Langit semakin gelap. Namun tak segera turun hujan. Angin sudah membias dingin. Ranum di balik hitam mendung. Matahari sudah tak menampakkan sinar lagi. Pagi dan malam tak ada beda. Hanya jam-jam digital menjadi penentu waktu. Patokan pagi, siang, dan malam.
Pohon-pohon menjadi layu. Tak bisa melakukan fotosintesis. Hanya kebutuhan air yang terpenuhi. Tak ada glukosa yang dihasilkan. Respirasi mereka terus saja mengeluarkan karbondioksida. Berebut oksigen dengan manusia-manusia. Lemas membuat manusia enggan bekerja. Lemas kekurangan oksigen. Bahkan sudah ada yang harus opname hanya untuk sekadar mendapat oksigen.
Langit tak menyibakkan mendung kelam. Terus melingkup. Panas matahari benar-benar tak terasa. Wabah kedinginan membuat bakteri-bakteri mencair dalam tubuh manusia. Penyakit-penyakit terus mewabah. Flu, batuk, pilek, demam, dan segala penyakit kambuhan terus meradang. Mengancam.
“Sudah sepuluh hari mendung namun tak turun hujan. Benarkah ini wabah yang dijanjikan air,” gumamku.
Doa-doa mulai disajikan. Kerukunan dijalin manusia. Tak peduli agama. Tak peduli ras. Golongan. Ataupun apapun. Perbedaan disingkirkan. Hanya ada harapan yang sama. Langit mau membukakan dirinya. Menampakkan kembali matahari.
Hari ketiga belas, langit semakin kasar memainkan petir. Rintik hujan mulai turun. Mengguyur seluruh permukaan bumi. Rasa syukur diucap bersama dalam hati, pikiran, dan ucapan. Merasa Tuhan telah mengabulkan permintaan mereka. Masih memihak dan mempercayai manusia untuk menjejakkan kaki di bumi.
Hujan mengguyur berhari-hari. Sudah tak ada yang pergi bekerja. Tak ada aktifitas berarti selain menutup genting-genting yang bocor. Membuat saluran-saluran air dadakan. Volume air terus bertambah. Hujan tak berhenti.
Khawatir kembali dirasa dalam hati, pikiran, dan ucapan. Umpatan-umpatan liar meracau di setiap telinga. Ada beberapa yang tetap melantunkan doa. Namun semua dirasa sia-sia. Volume air terus bertambah. Air mulai memasuki rumah-rumah tanpa permisi. Menggenang dan meluber di kamar-kamar peristirahatan. Tampak keruh dan kotor membawa lumpur dan sampah.
Wabah semakin menjulang tinggi jika digambar dalam grafik. Pernafasan dan kulit sudah terjangkit penyakit. Manusia-manusia sibuk mencari perlindungan dan penampungan. Bertengger di lantai-lantai atas rumah mereka. Bahkan di genting-genting. Untuk makan dan minum sangat susah. Meski air melimpah namun tak sanggup untuk menyantapnya dalam keadaan keruh dan penuh lumpur.
“Hei kau, manusia! Kau sudah tahu kekuatanku sekarang. Aku memenuhi ancamanku padamu. Sekarang apa yang hendak kau katakan padaku. Apa aku disalahkan. Tentu tidak, bukan. Banjir ini adalah ulah manusia, begitu kabar yang tersiar.”
“Ampuni kami, Air. Kami sudah tak tahan dengan berhari-hari kau tutupi matahari dengan dirimu yang menjelma menjadi awan. Kami sudah sakit. Sekarang kau beri kami banjir. Kami tambah sakit. Wabah menyerang kami dan tak tahu apa yang hendak kami lakukan terhadapmu dan diri kami sendiri.”
“Oh, ini belum seberapa. Kau lihat saja. Aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Wabah dan derita ini akan kami tambahkan padamu. Seperti dulu kalian tak memperdulikanku ketika aku kesakitan dan menahan rindu yang teramat dalam.”
“Sudah banyak dari kami yang sakit dan meninggal dunia. Kelaparan merajalela. Kehausan di tengah air yang melimpah. Kami mohon, ampuni kami. Kehormatan dan pengakuan atas dirimu dan kekuatanmu senantiasa akan kami sanjung selalu. Kami akan melestarikan dan menjagamu.”
“Sudah terlambat. Aku sudah terlalu marah dan jengkel melihat ulah kalian.”
Air hanyut tak mengeluarkan omongan lagi. Hanya gemericik dan kecipuk air menderu. Mengalir. Menyatu dengan yang lain. Membuat pusara-pusara tak bertuan. Menjebak manusia yang melewatinya. Memutar dan memelantingkan jatuh. Membanting-banting sampai mati.
Segala yang berharga dari manusia dihanyutkan dan dihancurkan. Rumah-rumah dirobohkan dengan arus deras. Panel-panel listrik dikonsletkan. Saluran telepon dirusak. Tak ada yang disisakan utuh untuk manusia. Lumpur-lumpur diangkat dari sungai menggenangi rumah. Stok makanan dari sawah pun diludeskan tak bersisa. Hanya ada bingung di benak-benak manusia.
Bukit-bukit mulai dirambah air. Dilumerkan dan dilongsorkan. Menguburkan rumah sekaligus penghuninya. Tak ada sumber air jernih sama sekali. Darah-darah dari mayat bercucuran bersama air selain kuman dari sampah yang ditumpuk manusia. Tanggul-tanggul dijebol.
Air sepertinya tak memberi ampunan. Banyak manusia yang diuraikan kembali pada air. Dipukul dan ditendang dengan bogem raksasa. Melucuti kulit manusia sampai keluar seluruh kandungan air dalam diri manusia. Sisanya diserahkan pada binatang tanah.
“Air, bicaralah padaku. Aku mohon. Kami sudah tak sanggup lagi menerima derita yang kau ciptakan. Kami kalah. Apapun boleh kau lakukan.”
“Aku ingin membunuh orang-orang yang terlibat dalam merencanakan dan membangun tata ruang pemukiman yang tak karuan ini. Apa kau sanggup?”
“Aku termasuk menjadi salah satu pembangun tata ruang pemukiman ini yang telah direncanakan para pejabat. Bunuhlah aku yang menyebabkan derita manusia lainnya. Aku sendiri juga sudah tak tahan lagi menanggung derita ini. Lebih baik mati rasanya daripada hidup berkalang derita.”
“Kau mengakui kekalahanmu. Baiklah, aku hanya akan merobek-robek tata ruang pemukiman untuk daerah resapanku. Dan hendaknya kau kabarkan pada semua manusia agar menghormatiku dan menjagaku. Aku tak sudi lagi mendengar janji palsu. Aku ingin kalian benar-benar menjagaku.”
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Akan kukabarkan pada setiap telinga manusia yang ada di muka bumi ini.”
“Dan perlu kau ingat, jika ulah kalian tetap semena-mena kepadaku, aku tak segan-segan lagi menurunkan derita yang lebih dari ini.”
Pergulatan air semakin mengarus deras. Mencakar-cakar beton yang menutupi tanah. Menghancurkannya sekali putaran. Hujan reda. Banjir surut. Matahari bersinar kembali. Udara sejuk menyapa dentuman paru-paru. Lumpur masih menyisakan warna dan kotoran. Derita masih melekat di jiwa dan benak manusia.
Surabaya, 4 Mei 2007
Air tergeletak di jalanan. Mengalirkan diri mencari pori tanah. Namun struktur pemukiman mempermainkan. Air hanya mengalir di pinggir-pinggir jalan. Mengisi lubang-lubang beraspal. Atau tergenang di tempat busuk tanpa bisa menghindar. Got-got beralas semen tak terstruktur menurun. Rata. Hanya memenuhi program tata pemukiman.
Air menanti matahari. Ingin segera menguapkan diri. Terkatung-katung tak diperhatikan kadang memuakkan. Apalagi diinjak-injak penuh kotoran. Jiwa ion positif dalam dirinya marah. Keperkasaan telah sirna. Menjadi barang buangan tak bisa menemukan kekasih, jiwa ion negatif. Turun ke bumi. Ingin segera melengkapkan diri bersama kekasih di sela-sela perut bumi.
“Air, aku kehausan!” kataku.
“Minumlah aku. Memang aku tercipta untukmu,” Air membuka mulut. Unjuk bicara. Ramah. Sopan mempersilahkan.
“Bagaimana aku bisa meminummu? Kau tampak kotor dan menjijikkan.”
“Terimalah aku apa adanya. Aku seperti ini juga ulah kalian, manusia. Perlakuan yang seenaknya dari kalian membuatku sakit hati. Aku tak bisa pergi ke tanah menemui kekasihku ion negatif. Tak bisa bercumbu rayu dan membersihkan diri. Tentu, aku merana di pemukiman ini.”
Air berusaha mengendapkan kotoran-kotoran dalam dirinya. Menyediakan diri sebersih mungkin. Tugas dijalani dengan ikhlas tanpa pamrih. Namun kotoran-kotoran seperti telah menyatu. Hanya matahari yang bisa membantu. Penguapan.
Langit masih tampak sayu. Matahari tak begitu mencolok. Keredupan tak melancarkan penguapan air. Tersendat-sendat. Setiap akan merangsek naik, terhalang oleh udara dingin yang menyapu. Mengembun dan turun lagi.
“Tindakan apa dari kami yang membuatmu sakit hati? Bahkan sampai-sampai kau merana? Sepertinya kami wajar-wajar saja memperlakukanmu.”
“Wajar, katamu! Kau bilang kalau mencemariku itu tindakan wajar? Menata pemukiman dengan daerah tanpa kemiringan? Aku bingung mau mengalir ke mana selain menggenang. Bahkan tindakan kalian membuat aku merana. Aku tak bisa bertemu kekasih. Kalian tutup daerah resapan dengan dalih pembangunan. Proyek-proyek ramah lingkungan. Hanya pada tulisan saja. Padahal tak mengindahkan tanah sebagai tujuan resapan. Jalan menemui kekasih.”
Aku bingung dengan penjabaran air yang begitu lengkap. Perbuatan yang tak pernah aku rencanakan. Memang setahuku, tindakan itu dengan dalih pembangunan. Demi kemaslahatan bersama kata para kontraktor. Memang juga sejauh aku berjalan, aku jarang menemukan tanah asli. Semua tertutup aspal atau cor-coran. Jika pun aku temukan dan kubandingkan akan memiliki perbandingan lima banding sembilan puluh lima.
“Iya, kami memang tak pernah memperhatikan itu. Padahal kami memperoleh banyak pertolongan darimu. Sementara kami tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana memperlakukanmu layak. Mungkin kami lalai. Maafkan kami.”
“Lalai katamu! Apa hanya itu dalih penutup salah kalian. Siapa yang tak bisa mengatakan itu. Semut pun bisa. Kalau perilaku dan alasanmu seperti itu, aku akan balas dendam pada kalian.”
“Balas dendam!??”
“Ya, aku akan balas dendam. Tentu aku tak akan disalahkan. Yang disalahkan tentu kau yang mengatakan lalai itu sendiri.”
“Apa yang akan kau lakukan pada kami?”
“Aku dalam sekejab bisa memberi kalian wabah. Aku bisa mengundang kuman-kuman untuk melarut dalam diriku. Menularkan penyakit pada tubuh-tubuh manusia. Tentu akan menjadi mudah bagiku. Tubuh kalian sebagian besar tersusun dari diriku.”
“Sebegitu marahkah kau, air? Tak bisakah kau memaafkan kami. Akan aku umumkan di setiap kuping manusia untuk menjagamu. Jangan beri kami wabah yang berat. Untuk hidup saja kami merasa sudah susah.”
Kecipuk air memainkan lidahnya. Tangannya ditepuk-tepukkan ke kepalanya. Mata nyalang merah membangkit gairah dan emosi. Kaki sudah mendagur, mengoyak, dan memuncratkan dirinya. Bogem mentah disiapkan.
Ada air lain yang merembes keluar dari tanah. Pelan tak begitu deras. Namun kontinyu mengalir dari sela aspal yang sedikit berpori. Meluap mendekati air di kubangan yang mengamuk.
“Kekasihku sudah datang. Kau tahu, dia adalah ion negatif. Aku ion positif. Apapun bisa kami lakukan selama kami bersama.”
Tak ada cerucuk kata terlempar dari mulut-mulut kaku. Hanya pemandangan yang akrab. Air bertemu air dan menyatu. Aku lihat mereka bergumul. Menandaskan hasrat kangen yang menderu dalam. Menyatukan kandungan ion dalam tubuh mereka yang memang saling melengkapi. Cumbu rayu dimulai. Keringat deras makin memperbesar volume diri mereka. Kecupan dan tandas kasih mengobral panas meluberkan air kenikmatan.
“Apa yang kalian lakukan? Jangan memberikan pandangan yang bisa membuat aku iri. Aku juga memiliki kekasih namun tak bisa menyalakan api kasih dalam diri kami. Banyak bentangan yang sulit dilewati. Aku benar-benar iri. Hentikanlah.”
“Dengarlah baik-baik. Aku sudah muak dengan janji dan tipu daya manusia. Camkan itu! Aku tidak hanya akan memberikan wabah. Akan lebih dari itu. Camkan!”
“Kau akan melakukan apa lagi? Kau sudah bertemu dengan kekasihmu. Mestinya kau bahagia. Bukan malah mewujudkan dendam dalam dirimu kepada kami.”
“Dendam ini bukan hanya ada dalam diriku. Tetapi ada juga dalam diri kekasihku. Dan kami sudah sepakat akan melancarkan gerakan yang tak terduga bagi kalian, manusia. Tunggulah saatnya nanti.”
Matahari sudah membelalakkan mata. Meradiasi tuntunan sinar panas. Udara juga mempertemukannya kepada air. Hawa yang dibawa radiasi matahari, panas menyala. Seketika, sedikit demi sedikit air melayang bersama udara. Merangsek naik dalam tuturan uap air.
“Kami akan segera kembali. Tunggu saja.”
Ucapan perpisahan dari air semakin menggetarkan. Seluruh rona bulu kuduk berdiri. Ancaman yang belum terbukti namun begitu tandas terasa di depan kenyataan.
Langit hitam, mengetuk kilatan guntur dan sambaran petir. Kutukan air aku rasakan akan menjadi kenyataan. Aku mengumumkan ancaman air. Serius. Dan saling mengumumkan ancaman air sesama manusia. Namun juga saling tak mempercayai. Mereka lebih percaya pada tata ruang pemukiman. Bencana yang dijanjikan air hanya menjadi obrolan ringan di warung. Tata ruang pemukiman akan mengatasi dan menampik bencana yang dijanjikan air.
“Coba kalian dengarkan,” serius, “aku baru saja diberitahu orang yang ada di seberang itu. Katanya, kalau kita diancam air dan akan menurunkan wabah di negeri ini. Kalian tahu, hanya segenang air di trotoar yang mengatakannya ketika kutanya dia. Bukankan itu lucu. Katanya juga, kita telah membuat sengsara air. Menggunakan seenaknya tanpa memperhatikan kelestarian dan siklus air,” kata seseorang.
“Kau ini pandai bercanda, ya! Bagaimana mungkin. Air takkan bisa membunuh kita. Kalau kita memasak dan membuatnya kopi, itu enak. Wong air itu dicipta untuk kita. Terserah kita memperlakukannya seperti apa. Wong ada air kok bisa protes,” sahut seseorang di sebelahnya yang sedang menyerubut kopi di warung pinggir jalan.
Langit semakin gelap. Namun tak segera turun hujan. Angin sudah membias dingin. Ranum di balik hitam mendung. Matahari sudah tak menampakkan sinar lagi. Pagi dan malam tak ada beda. Hanya jam-jam digital menjadi penentu waktu. Patokan pagi, siang, dan malam.
Pohon-pohon menjadi layu. Tak bisa melakukan fotosintesis. Hanya kebutuhan air yang terpenuhi. Tak ada glukosa yang dihasilkan. Respirasi mereka terus saja mengeluarkan karbondioksida. Berebut oksigen dengan manusia-manusia. Lemas membuat manusia enggan bekerja. Lemas kekurangan oksigen. Bahkan sudah ada yang harus opname hanya untuk sekadar mendapat oksigen.
Langit tak menyibakkan mendung kelam. Terus melingkup. Panas matahari benar-benar tak terasa. Wabah kedinginan membuat bakteri-bakteri mencair dalam tubuh manusia. Penyakit-penyakit terus mewabah. Flu, batuk, pilek, demam, dan segala penyakit kambuhan terus meradang. Mengancam.
“Sudah sepuluh hari mendung namun tak turun hujan. Benarkah ini wabah yang dijanjikan air,” gumamku.
Doa-doa mulai disajikan. Kerukunan dijalin manusia. Tak peduli agama. Tak peduli ras. Golongan. Ataupun apapun. Perbedaan disingkirkan. Hanya ada harapan yang sama. Langit mau membukakan dirinya. Menampakkan kembali matahari.
Hari ketiga belas, langit semakin kasar memainkan petir. Rintik hujan mulai turun. Mengguyur seluruh permukaan bumi. Rasa syukur diucap bersama dalam hati, pikiran, dan ucapan. Merasa Tuhan telah mengabulkan permintaan mereka. Masih memihak dan mempercayai manusia untuk menjejakkan kaki di bumi.
Hujan mengguyur berhari-hari. Sudah tak ada yang pergi bekerja. Tak ada aktifitas berarti selain menutup genting-genting yang bocor. Membuat saluran-saluran air dadakan. Volume air terus bertambah. Hujan tak berhenti.
Khawatir kembali dirasa dalam hati, pikiran, dan ucapan. Umpatan-umpatan liar meracau di setiap telinga. Ada beberapa yang tetap melantunkan doa. Namun semua dirasa sia-sia. Volume air terus bertambah. Air mulai memasuki rumah-rumah tanpa permisi. Menggenang dan meluber di kamar-kamar peristirahatan. Tampak keruh dan kotor membawa lumpur dan sampah.
Wabah semakin menjulang tinggi jika digambar dalam grafik. Pernafasan dan kulit sudah terjangkit penyakit. Manusia-manusia sibuk mencari perlindungan dan penampungan. Bertengger di lantai-lantai atas rumah mereka. Bahkan di genting-genting. Untuk makan dan minum sangat susah. Meski air melimpah namun tak sanggup untuk menyantapnya dalam keadaan keruh dan penuh lumpur.
“Hei kau, manusia! Kau sudah tahu kekuatanku sekarang. Aku memenuhi ancamanku padamu. Sekarang apa yang hendak kau katakan padaku. Apa aku disalahkan. Tentu tidak, bukan. Banjir ini adalah ulah manusia, begitu kabar yang tersiar.”
“Ampuni kami, Air. Kami sudah tak tahan dengan berhari-hari kau tutupi matahari dengan dirimu yang menjelma menjadi awan. Kami sudah sakit. Sekarang kau beri kami banjir. Kami tambah sakit. Wabah menyerang kami dan tak tahu apa yang hendak kami lakukan terhadapmu dan diri kami sendiri.”
“Oh, ini belum seberapa. Kau lihat saja. Aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Wabah dan derita ini akan kami tambahkan padamu. Seperti dulu kalian tak memperdulikanku ketika aku kesakitan dan menahan rindu yang teramat dalam.”
“Sudah banyak dari kami yang sakit dan meninggal dunia. Kelaparan merajalela. Kehausan di tengah air yang melimpah. Kami mohon, ampuni kami. Kehormatan dan pengakuan atas dirimu dan kekuatanmu senantiasa akan kami sanjung selalu. Kami akan melestarikan dan menjagamu.”
“Sudah terlambat. Aku sudah terlalu marah dan jengkel melihat ulah kalian.”
Air hanyut tak mengeluarkan omongan lagi. Hanya gemericik dan kecipuk air menderu. Mengalir. Menyatu dengan yang lain. Membuat pusara-pusara tak bertuan. Menjebak manusia yang melewatinya. Memutar dan memelantingkan jatuh. Membanting-banting sampai mati.
Segala yang berharga dari manusia dihanyutkan dan dihancurkan. Rumah-rumah dirobohkan dengan arus deras. Panel-panel listrik dikonsletkan. Saluran telepon dirusak. Tak ada yang disisakan utuh untuk manusia. Lumpur-lumpur diangkat dari sungai menggenangi rumah. Stok makanan dari sawah pun diludeskan tak bersisa. Hanya ada bingung di benak-benak manusia.
Bukit-bukit mulai dirambah air. Dilumerkan dan dilongsorkan. Menguburkan rumah sekaligus penghuninya. Tak ada sumber air jernih sama sekali. Darah-darah dari mayat bercucuran bersama air selain kuman dari sampah yang ditumpuk manusia. Tanggul-tanggul dijebol.
Air sepertinya tak memberi ampunan. Banyak manusia yang diuraikan kembali pada air. Dipukul dan ditendang dengan bogem raksasa. Melucuti kulit manusia sampai keluar seluruh kandungan air dalam diri manusia. Sisanya diserahkan pada binatang tanah.
“Air, bicaralah padaku. Aku mohon. Kami sudah tak sanggup lagi menerima derita yang kau ciptakan. Kami kalah. Apapun boleh kau lakukan.”
“Aku ingin membunuh orang-orang yang terlibat dalam merencanakan dan membangun tata ruang pemukiman yang tak karuan ini. Apa kau sanggup?”
“Aku termasuk menjadi salah satu pembangun tata ruang pemukiman ini yang telah direncanakan para pejabat. Bunuhlah aku yang menyebabkan derita manusia lainnya. Aku sendiri juga sudah tak tahan lagi menanggung derita ini. Lebih baik mati rasanya daripada hidup berkalang derita.”
“Kau mengakui kekalahanmu. Baiklah, aku hanya akan merobek-robek tata ruang pemukiman untuk daerah resapanku. Dan hendaknya kau kabarkan pada semua manusia agar menghormatiku dan menjagaku. Aku tak sudi lagi mendengar janji palsu. Aku ingin kalian benar-benar menjagaku.”
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Akan kukabarkan pada setiap telinga manusia yang ada di muka bumi ini.”
“Dan perlu kau ingat, jika ulah kalian tetap semena-mena kepadaku, aku tak segan-segan lagi menurunkan derita yang lebih dari ini.”
Pergulatan air semakin mengarus deras. Mencakar-cakar beton yang menutupi tanah. Menghancurkannya sekali putaran. Hujan reda. Banjir surut. Matahari bersinar kembali. Udara sejuk menyapa dentuman paru-paru. Lumpur masih menyisakan warna dan kotoran. Derita masih melekat di jiwa dan benak manusia.
Surabaya, 4 Mei 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar