(kado ulang tahun ke 481)
Bernando J. Sujibto
Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri!
Pukul 19.07 WIB Selasa 22 Maret 2008 saya pertama kali menjejakkan kaki di tanah ibukota Indonesia di usia saya yang ke-22. Mungkin saja Anda mengira bahwa saya adalah salah satu orang yang lambat berkunjung ke ibukota. Karena, seperti diyakini banyak orang, konon, ibukota adalah tempat harapan dan segala cita-cita bangsa dan negara disandarkan. Banyak masyarakat di seantero dunia begitu antusias ingin sekali berkunjung ke ibukotanya, demi menemukan identitas negara dengan segala macam kemajuan dan peradabannya yang bernilai tinggi.
Karena ibukota bagi suatu negara adalah penaka (ibarat) marcusuar yang terpancang bagi peradaban suatu bangsa. Dari ibukota pula kebudayaan suatu bangsa dan negara dikenal oleh negara-negara lain.
Ya, ibukota seperti jendela atau pintu bagi sebuah rumah, atau serupa gapura bagi area kerajaan, di mana ia akan dikenal/disapa pertama oleh pelancong dari seberang. Keperkasaan ibukota akan menjadi image awal bagi suatu bangsa.
Lihat Athena. Ia menjadi kebanggaan rakyat Yunani sejak dulu kala sebagai ibukota yang menyimpan nilai historis dan filosofis yang bisa dipelajari hingga sekarang. Rakyat Yunani begitu bangga mempunyai Athena karena di sana terpendam mutiara masa lalu peradabannya yang hingga sekarang masih kokoh. Generasi muda bangsa itu bisa bertandang ke ibukotanya untuk mengingat masa silam peradaban negaranya yang gemilang. Di sana pula generasi muda bisa mempelajari sekian simbol filosofis sebagai cikal bakal peradabannya yang terus berkembang hingga hari ini.
Namun, kedatangan saya ke ibukota bukan dalam rangka menggapai cita luhur akan sebuah ibukota seperti ’konon’ itu. Meskipun saya percaya eksistensi ibukota sebagai simbol urgen suatu negara bukan berarti saya datang ke Jakarta dalam upaya menemukan peradaban dan kebudayaan Indonesia luhur yang saya pahami sejauh ini. Saya datang ke Jakarta bukan juga hendak mempelajari masa silam sejarah dan peradaban bangsa dan negara ini. Saya datang ke Jakarta dengan dada buncah dan mata sembab. Sinis dan mau meludah!
Dalam kereta ekonomi yang saya tumpangi bersama sepuluh rekan, bayangan tentang Jakarta silih berganti menyergap mata. Jakarta coba saya padankan dengan ibukota negara-negara dunia seperti Istanbul, Amsterdam, Singapura, dan Madrid di mana segenap bangsanya begitu bangga mempunyai ibukota yang berperadaban maju dengan kebudayaannya yang terus mereka lestarikan.
Namun Jakarta lagi-lagi gagal meski hanya sekedar melintas dalam ingatan saya tentang deretan ibukota-ibukota yang harmoni di dunia. Sosok Jakarta bukan seperti Istanbul bagi Turki atau Amsterdam bagi Belanda. Tetapi Jakarta seperti Afrika bagi dunia atau Irian Jaya bagi Indonesia—sebentuk keprihatinan yang tak kunjung selesai!
Bagi saya Jakarta seperti sarang ’tikus’ penuh borok sana-sini, tai-tainya menyebar hingga seantero republik ini. Sampai daerah pulau kecil macam Madura mendapatkan bobrok ibukota. Pulau atau daerah-daerah terpencil di republik ini hanya mendapat sepah ibukota.
Lebih-lebih ketika saya diajak muter-muter oleh teman-teman di sekitar monas, gedung kejagung, istana (gedung?) presiden dan kembali lagi ke veteran 1 tempat saya menginap. Saya semakin muak ketika lebih dekat dengan gedung kejagung. Bagaimana perasaan Anda jika tempat yang semula dibenci (alergi) karena suatu kasus yang tak bisa ditoleransi (seperti korupsi) dan ternyata tiba-tiba tempat itu datang dan ada di depan mata Anda? Jika tidak muntah syukurlah atau mungkin minimal Anda harus berludah untuk membuang buncah dada dan kebencian kronis yang telah menahun di dada Anda.
Begitulah yang saya rasakan ketika pertama kali melihat gedung kejagung yang penuh sarang tikus itu. Saya harus ‘terpaksa’ berludah meski di depan gedung kepresidenan sekalipun. Saya datang ke Jakarta seperti menemui sederatan bangkai busuk yang siap diludahi berkali-kali.
Kesinisan saya kepada ibukota tertabung sejak saya tahu bagaimana harus bersikap kepada negara dan bagaimana pula negara harus melayani rakyatnya. Yang memainkan peran negara adalah para birokrat yang berdomisili di ibukota, terutama ketika Orba berkuasa di mana mereka senang sekali dengan sistem sentralisasi. Sementara yang berdiam di sana adalah orang yang tak bertanggung jawab sebagai birokrat bagi negara dan bangsanya.
Di samping itu, ada banjir, sampah, pengangguran, kriminaltas dan segala macam kekacauan-kekacauan negara bertumpuk ruah di ibukota. Kapan Jakarta bisa dihargai seperti Istanbul atau Amsterdam bagi bangsa-bangsanya?
Bernando J. Sujibto
Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri!
Pukul 19.07 WIB Selasa 22 Maret 2008 saya pertama kali menjejakkan kaki di tanah ibukota Indonesia di usia saya yang ke-22. Mungkin saja Anda mengira bahwa saya adalah salah satu orang yang lambat berkunjung ke ibukota. Karena, seperti diyakini banyak orang, konon, ibukota adalah tempat harapan dan segala cita-cita bangsa dan negara disandarkan. Banyak masyarakat di seantero dunia begitu antusias ingin sekali berkunjung ke ibukotanya, demi menemukan identitas negara dengan segala macam kemajuan dan peradabannya yang bernilai tinggi.
Karena ibukota bagi suatu negara adalah penaka (ibarat) marcusuar yang terpancang bagi peradaban suatu bangsa. Dari ibukota pula kebudayaan suatu bangsa dan negara dikenal oleh negara-negara lain.
Ya, ibukota seperti jendela atau pintu bagi sebuah rumah, atau serupa gapura bagi area kerajaan, di mana ia akan dikenal/disapa pertama oleh pelancong dari seberang. Keperkasaan ibukota akan menjadi image awal bagi suatu bangsa.
Lihat Athena. Ia menjadi kebanggaan rakyat Yunani sejak dulu kala sebagai ibukota yang menyimpan nilai historis dan filosofis yang bisa dipelajari hingga sekarang. Rakyat Yunani begitu bangga mempunyai Athena karena di sana terpendam mutiara masa lalu peradabannya yang hingga sekarang masih kokoh. Generasi muda bangsa itu bisa bertandang ke ibukotanya untuk mengingat masa silam peradaban negaranya yang gemilang. Di sana pula generasi muda bisa mempelajari sekian simbol filosofis sebagai cikal bakal peradabannya yang terus berkembang hingga hari ini.
Namun, kedatangan saya ke ibukota bukan dalam rangka menggapai cita luhur akan sebuah ibukota seperti ’konon’ itu. Meskipun saya percaya eksistensi ibukota sebagai simbol urgen suatu negara bukan berarti saya datang ke Jakarta dalam upaya menemukan peradaban dan kebudayaan Indonesia luhur yang saya pahami sejauh ini. Saya datang ke Jakarta bukan juga hendak mempelajari masa silam sejarah dan peradaban bangsa dan negara ini. Saya datang ke Jakarta dengan dada buncah dan mata sembab. Sinis dan mau meludah!
Dalam kereta ekonomi yang saya tumpangi bersama sepuluh rekan, bayangan tentang Jakarta silih berganti menyergap mata. Jakarta coba saya padankan dengan ibukota negara-negara dunia seperti Istanbul, Amsterdam, Singapura, dan Madrid di mana segenap bangsanya begitu bangga mempunyai ibukota yang berperadaban maju dengan kebudayaannya yang terus mereka lestarikan.
Namun Jakarta lagi-lagi gagal meski hanya sekedar melintas dalam ingatan saya tentang deretan ibukota-ibukota yang harmoni di dunia. Sosok Jakarta bukan seperti Istanbul bagi Turki atau Amsterdam bagi Belanda. Tetapi Jakarta seperti Afrika bagi dunia atau Irian Jaya bagi Indonesia—sebentuk keprihatinan yang tak kunjung selesai!
Bagi saya Jakarta seperti sarang ’tikus’ penuh borok sana-sini, tai-tainya menyebar hingga seantero republik ini. Sampai daerah pulau kecil macam Madura mendapatkan bobrok ibukota. Pulau atau daerah-daerah terpencil di republik ini hanya mendapat sepah ibukota.
Lebih-lebih ketika saya diajak muter-muter oleh teman-teman di sekitar monas, gedung kejagung, istana (gedung?) presiden dan kembali lagi ke veteran 1 tempat saya menginap. Saya semakin muak ketika lebih dekat dengan gedung kejagung. Bagaimana perasaan Anda jika tempat yang semula dibenci (alergi) karena suatu kasus yang tak bisa ditoleransi (seperti korupsi) dan ternyata tiba-tiba tempat itu datang dan ada di depan mata Anda? Jika tidak muntah syukurlah atau mungkin minimal Anda harus berludah untuk membuang buncah dada dan kebencian kronis yang telah menahun di dada Anda.
Begitulah yang saya rasakan ketika pertama kali melihat gedung kejagung yang penuh sarang tikus itu. Saya harus ‘terpaksa’ berludah meski di depan gedung kepresidenan sekalipun. Saya datang ke Jakarta seperti menemui sederatan bangkai busuk yang siap diludahi berkali-kali.
Kesinisan saya kepada ibukota tertabung sejak saya tahu bagaimana harus bersikap kepada negara dan bagaimana pula negara harus melayani rakyatnya. Yang memainkan peran negara adalah para birokrat yang berdomisili di ibukota, terutama ketika Orba berkuasa di mana mereka senang sekali dengan sistem sentralisasi. Sementara yang berdiam di sana adalah orang yang tak bertanggung jawab sebagai birokrat bagi negara dan bangsanya.
Di samping itu, ada banjir, sampah, pengangguran, kriminaltas dan segala macam kekacauan-kekacauan negara bertumpuk ruah di ibukota. Kapan Jakarta bisa dihargai seperti Istanbul atau Amsterdam bagi bangsa-bangsanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar