Kamis, 03 Juli 2008

Senyum Lurah Matasan

Haris del Hakim

Sudah setahun Lurah Matasan menjabat kepala desa Berbeku. Ia seorang kepala desa yang baik bagi penduduk desanya. Hanya akhir-akhir ini saja punya kebiasaan aneh. Hampir seluruh waktunya habis untuk memancing di telaga desa.


Penduduk tidak tahu bagaimana kepala desa yang dipilih karena senyumnya yang indah dan berwibawa itu berubah mempunyai kebiasaan aneh. Memancing memang bukan pekerjaan aneh, tetapi tidak pantas seorang kepala desa yang harus bertanggungjawab atas nasib penduduk hanya ke telaga dan menunggu mata kail disambar ikan. Kalau penduduk sudah menikmati keadilan, kemakmuran, sentosa, atau gemah ripah loh jinawi tanpa keluh kesah, tentu tidak ada yang mempersoalkan apa kesenangan kepala desa. Sementara penduduk desa Berbeku masih jauh dari semua itu.

Ada yang tidak diketahui oleh penduduk. Bukan hanya mereka yang tidak tahu. Lurah Matasan sendiri juga tidak tahu apa tujuan dia mempunyai kebiasaan memancing. Setiap kali hendak berangkat mancing dia merasa bukan dirinya yang mempersiapkan umpan, tali senar, mata kail, perbekalan, dan keperluan lain. Ia merasa ada raksasa hitam yang selalu meneror dirinya. Raksasa yang hanya memiliki satu mata di sebelah kiri; mata sebelah kanan buta dan bagian putihnya berubah merah menyala-nyala. Lurah Matasan sadar ia sebagai obyek teror tapi secara mental ia bukan orang yang gagah seperti tubuhnya. Bagaimanapun raksasa hitam itu berperan besar mengantarkan dirinya ke kursi kepala desa. Dia penasehat sekaligus penyandang dana segala kebutuhan proses dirinya menjadi seorang kepala desa.

“Belajarlah tersenyum dengan indah,” kata raksasa hitam saat pertama kali timbul keinginan untuk menjadi kepala desa. “Tunjukkan dirimu sebagai seorang pemimpin yang ramah, simpatik, dan terbuka. Gunakan tanganmu untuk menunjukkan bahwa dirimu bukan seorang yang tertutup. Sekali lagi senyum yang indah dan mengesankan. Hanya senyuman yang indah dan bukan tertawa, karena seorang pemimpin yang banyak tertawa sudah kamu ketahui nasibnya.”

Lurah Matasan ke cermin. Ia belajar bagaimana cara tersenyum yang indah dan mengesankan. Kadang ia angkat pipinya tinggi-tinggi dan kadang menarik dagu. Kadang ia lebarkan tulang geraham. Kadang ia turunkan pipi. Setelah berkali-kali mencoba, ia temukan senyum yang benar-benar mempesona. “Saya tidak mau Mas Mat mengumbar senyum di depan wanita,” komentar istrinya cemburu. Dan Lurah Matasan merasakan sendiri betapa besar pengaruh senyum yang indah dan mengesankan.

Raksasa hitam bermata satu itu pula yang menyarankan agar dia bersahabat karib dengan Kiai Rokis, seorang tokoh agama desa Berbeku. Setahun sebelum pemilihan kepala desa, penduduk melihat betapa sering Kiai Rokis jalan bersama dengan Lurah Matasan. Sekali waktu mereka bicara tentang kondisi desa di warung, ziarah bersama ke pemakaman desa menjelang bulan puasa, atau duduk berdampingan dalam acara pernikahan. Meskipun tidak selalu di masjid, tetapi kedekatan mereka cukup membuktikan bahwa Lurah Matasan juga seorang yang agamis.

Semua nasehat itu tidak sia-sia. Pada saat pemilihan kepala desa, Lurah Matasan mendulang suara dan menang telak atas kedua musuhnya. Ia berhasil meraup 75% dari total suara. Raksasa hitam itu juga menyarankan agar dia segera menyorakkan kemenangan bila hitungan suara sudah 30% dan terlihat pulung berpihak padanya, namun ia harus cepat-cepat minta maaf pada saat hitungan suara sudah 75% dan ia tidak mungkin kalah dari musuhnya. Sorak kemenangan akan melemahkan mental calon kepala desa lain, sedangkan permintaan maaf menunjukkan penduduk tidak salah pilih. Kepala desa terpilih adalah seorang yang rendah hati, tidak segan mengaku salah, dan tidak mabuk dengan kemenangan.

Selama enam bulan pertama Lurah Matasan berperilaku wajar. Ke mana-mana ia mengumbar senyum yang indah dan mengesankan. Ia datangi setiap keluarga yang tertimpa kematian dan berusaha menghibur. Ia juga tidak segan-segan mengeluarkan uang dari sakunya untuk membantu Bu Sunami yang mendapat musibah, rumah bambunya roboh karena hujan deras semalaman. Kebaikan Lurah Matasan seperti itu membuat penduduk merasa memiliki seorang pemimpin yang menenteramkan hati.

Pada bulan ke sembilan muncul gelagat kurang baik. Raksasa hitam bermata satu mulai menunjukkan jatidiri dan kepentingannya menjadikan Lurah Matasan sebagai kepala desa. “Masukkan ke dalam penjara orang-orang yang berbahaya bagi kedudukanmu. Kalau mereka terlalu berbahaya jangan segan-segan untuk membunuhnya,” perintah raksasa hitam itu.

Lurah Matasan berusaha menolak, “Itu tidak mungkin!”
Raksasa hitam tidak berkomentar apa-apa.
Beberapa hari kemudian banyak warga desa Berbeku dipanggil ke kantor polisi dan dijebloskan ke dalam penjara. Lurah Matasan tidak berbuat apa-apa. Bahkan, ia hanya mengucapkan turut berbela sungkawa atas kematian Kang Syujak, salah satu guru terbaik di desa berbeku.

Suatu hari Lurah Matasan bertekad untuk protes kepada raksasa hitam bermata satu, tetapi raksasa hitam berhasil membuatnya tidak berkutik dengan pujian. “Bagus! Bagus sekali kerjamu. Kamu berhasil membuat penduduk desa Berbeku tidak percaya terhadap musuh-musuhmu. Tapi, kamu jangan sombong. Berkat tayangan televisi penduduk percaya bahwa penjara itu hanya bagi penjahat. Mereka sudah lupa dengan sejarah bahwa Bung Karno juga pernah dipenjara,” ujar raksasa menyeringai. “Sekarang kamu harus pandai bersandiwara. Buat penduduk desa percaya bahwa desa Berbeku dalam keadaan miskin dan kekurangan. Sementara di luar kamu nyatakan kekayaan desa sangat melimpah dan butuh orang-orang dari luar desa yang mau mengelolanya. Katakan bahwa penduduk desa Berbeku sudah sedemikian miskin dan dibayar berapapun mau asal cukup buat makan. Jangan lupa perintahkan penduduk berhemat. Katakan pada Kiai Rokis agar ia menyuruh penduduk sabar dan ikhlas menerima kenyataan. Katakan tanah desa sudah tidak baik untuk ditanami tanaman dan hanya cocok ditanami beton-beton. Masalah makanan, kalian bisa beli beras dan jagung dari luar negeri.”

Beberapa saat kemudian presiden mengeluarkan kebijakan hemat energi dan disusul harga BBM melambung tinggi. Sebagai kompensasinya pemerintah memberikan sumbangan uang tunai kepada penduduk yang dianggap miskin. Banyak penduduk yang tidak mendapat bagian, termasuk warga desa Berbeku. Mereka beramai-ramai menuntut ke rumah Lurah Matasan.

Penduduk mulai tidak percaya dengan senyum Lurah Matasan yang indah dan mengesankan. Berkali-kali Lurah Matasan menyatakan, “Ini kenyataan pahit yang harus kita hadapi bersama. Saya juga tidak tahu mengapa bisa begini.” Jawaban itu semakin membuat penduduk yakin bahwa Lurah Matasan benar-benar di luar kendali dirinya sendiri.

“Apa kabar, Mat?” tanya raksasa hitam.
Lurah Matasan tidak menjawab. Ia menatap titik hitam mata kiri raksasa yang dilingkari nyala api. Raksasa hitam itu membuka mulut lagi dan berbicara dengan suara rendah. “Kamu harus tahu diri, Mat. Siapa kamu sebelum kutemukan dan kujadikan sebagai kepala desa? Kamu bukan apa-apa dan siapa-siapa. Saat ini aku melihat kamu dalam keadaan tertekan, tapi kuakui kebesaran ambisimu sebagai kepala desa. Kamu masih bisa menunjukkan wajah tidak berdosamu kepada penduduk dan kamu masih percaya dengan senyummu yang indah. Karena itu, aku punya rencana yang luar biasa.”

***
Cahaya redup rembulan tidak mampu menerangi wajah Lurah Matasan. Hanya terlihat badan kekar dan tegap, rambut berminyak kelimis yang memantulkan cahaya rembulan, seperti cahaya rembulan yang terpantulkan oleh riak air telaga, dan tangan kukuh yang sesekali membenarkan posisi tangkai pancing yang terlalu doyong ke air. Hampir lima jam Lurah Matasan duduk menunggu umpan kailnya mendapat ikan. Ia menengok ke tas dari waring yang separuh bagian ditenggelamkan dalam air. Lima ekor mujair, tiga ekor nila, empat bader, dan seekor ikan betok berenang di dalamnya.

Tiba-tiba mata Lurah Matasan tidak berkedip. Ia mengulurkan tangan untuk meraih gagang pancing. Tali senar pancingnya diseret ke tengah. Dengan cepat Lurah Matasan menarik ke atas. Seekor ikan bader selebar tangan orang dewasa menggelepar-gelepar di udara. Ia luruskan gagang pancing ke atas agar ikan hasil pancingan lebih dekat diraih. Tangan kiri sudah bersiap-siap untuk mengambil, tiba-tiba dari belakang muncul raksasa bermata satu.

“Tunggu, Mat! Apakah kamu tidak ingin bermain-main?” tanya teman tidak diundang itu.

Lurah Matasan hendak berkata tidak, tapi mulutnya terkunci. Tubuhnya seperti beku. Tangan kiri masih belum juga berhasil menggapai ikan bader yang menggelepar.

“Turunkan, Mat!” perintah raksasa hitam.
Tangan kanan Lurah Matasan menurunkan gagang pancing. Ia melihat bagaimana ikan bader itu jatuh ke air dan seperti merayakan kebebasan, berenang sekuat tenaga, tapi mata kail telah tertelan ke tenggorokannya. Ikan besar itu hanya bisa berenang sejauh panjang senar pancing.

“Kamu lihat ikan itu masih hidup, kan?! Sekarang angkat ke atas!” perintah raksasa hitam untuk yang kedua kalinya.

Tangan kanan Lurah Matasan lagsung mengangkat gagang pancing. Ia melihat ikan bader itu menggelepar-gelepar di udara. Tubuhnya terayun ke kanan dan ke kiri. Sesekali mulutnya terbuka, seakan menyedot udara sekuat-kuatnya.
“Tenang saja, Mat. Ikan bader termasuk ikan yang kuat. Ia tidak akan mati.”

Ikan bader itu masih terus berusaha untuk menggelepar. Lama kelamaan tenaganya habis. Gerakannya semakin lemah.
“Segera turunkan, Mat!”

Tangan Lurah Matasan segera menurunkan gagang pancing. Nafasnya tersengal karena kaget mendapat perintah mendadak seperti itu. Ia melihat ikan bader masih bisa berenang, tapi tidak seberigas sebelumnya. Seperti seorang perenang pemula, tubuh putihnya sesekali timbul dan menyelam.

“Tenang, Mat. Ia masih hidup. Bukankah kita harus sabar sebagaimana kata Kiai Rokis?”

Setelah ikan bader itu berkali-kali timbul dan tenggelam, mengumpulkan tenaga yang terbuang di udara, akhirnya ia berhasil menyelam lebih lama. Gerakannya lebih keras meskipun tidak sekeras sebelum tersangkut kail. Tangan Lurah Matasan bisa merasakan getarannya. Ia hanya bisa merasakan, namun tidak berdaya untuk menghentikan permainan yang tidak dikehendakinya.

“Angkat, Mat! Ia sudah sehat,” perintah raksasa hitam kesekian kali.
Lurah Matasan mengangkat gagang pancing. Ia menyaksikan ikan berkulit putih itu menggelepar-gelepar di udara sambil membuka dan menutup mulut. Ekornya melambai ke kanan dan ke kiri seiring hentakan tubuhnya. Gerakannya pun perlahan-lahan melemah.

“Turunkan!”
Lurah Matasan menurunkan gagang pancing. Ikan bader itu sudah benar-benar kehabisan tenaga. Tubuhnya timbul di permukaan dan sama sekali tidak tenggelam. Sesekali saja mulutnya terbuka. Ikan bader itu telah mati.

“Rupanya, dia sudah mati. Kasihan sekali. Kamu harus mengucapkan bela sungkawa walaupun dia seekor ikan,” kata raksasa hitam memberi komando.

Lurah Matasan meraih dan melepaskan ikan bader dari mata kail sambil menitikkan air mata. Ia mengusapkan bahu ke pelupuk mata. Tepat saat memasukkan ikan bader mati itu ke dalam tas waring, tangisnya berubah sesenggukan. Ia tancapkan gagang pancing ke tanah kemudian mengambil sapu tangan dari saku baju. Ia mengusap air mata untuk ikan bader yang mati di mata kailnya.

“Cukup, Mat!” seru raksasa hitam. “Seorang kepala desa tidak boleh cengeng menghadapi keadaan, apalagi hanya untuk seekor ikan. Lebih baik kamu memancing lagi dan kita bisa bermain kembali.”

Tubuh kekar itu mengambil dan mencatutkan umpan ke mata kail kemudian ia lemparkan ke tengah telaga. Angin malam bertambah dingin. Pagi semakin dekat. Fajar pertama yang ditandai semburat kuning jingga di ufuk timur telah datang. Lurah Matasan menarik gagang pancing dengan cepat. Seekor ikan nila menggelepar-gelepar di udara. Sisik hitamnya memantulkan cahaya redup rembulan.

“Kamu benar-benar pemancing ulung, Mat!” puji raksasa bermata satu. “Sebentar lagi kamu harus pulang. Sebelum pulang, kita buat permainan yang paling bagus. Tarik ke atas setinggi-tingginya kemudian turunkan gagangmu serendah-rendahnya.”

Lurah Matasan melakukan seperti yang diperintahkan raksasa bermata satu. Ikan nila melayang tinggi ke udara kemudian gagang dihentakkan ke bawah dengan cepat. Bibir ikan nila tidak sekuat besi hingga sowak dan tertinggal di mata kail. Tubuhnya melayang ke atas kemudian jatuh sehasta dari tempat duduk Lurah Matasan. Lelaki setengah baya itu menghampiri hasil tangkapannya. Ia melihat darah dari mulut ikan nila. Ikan hitam itu tidak kuat menggerakkan tubuh dan hanya menggelepar-gelepar ke atas beberapa kali kemudian hanya mulutnya saja yang tertutup dan terbuka.

Lurah Matasan memperhatikan bibir ikan itu dan melihanya seperti menyaksikan bibirnya sendiri ketika menyunggingkan senyuman.

Oktober 2005.
- waring merupakan jaring hitam yang mempunyai lebar mata jaring sepanjang 3 milimeter.
- bothekan adalah seruas bambu yang digunakan sebagai penyimpan air.
Dimuat di Surya tahun 2005

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt