Nurel Javissyarqi *
Cerita ini terjadi tahun 2000 kalau tidak keliru. Saat itu saya mengajak cerpenis Satmoko Budi Santosa (asli Yogya) dan penyair Marhalim Zaini (asli Riau) ke rumah saya di Lamongan. Tanggal, bulan saat itu seakan terlupakan, sebab masa-masa tersebut, diri tengah menjalani sebuah lelampahan ganjil, lelaku tak logis bagi faham pelajar atau mahasiswa, tapi sangat riel di mata keseimbangan bathin.
Saya mengajak keduanya; SBS & MZ berangkat ke Lamongan, tengah malam berangkat dari kota kami diami sebagai tanah sumber, sumur bagi menimbah keilmuan, Yogyakarta. Keinginannya agar sesampai di ruang tujuan mencapai pepintu fajar pencerahan, hari baru kemungkinan anyar, kesempatan terang serba gemilang bagi mata bening keoptimisan.
Di tengah perjalanan itu, diri berbicara banyak mengenai keelokan daerah saya, yang penuh pengunungan, pohon-pohon pinusnya sebelah utara dekat jalan Pantura, di sana ada dusun Dadapan, penyimpan legenda Yuyu Kangkang dan mbok rondo, Joko Tingkir di desa Pringgoboyo. Di selatannya, gunung Pegat bersegala panorama mistis serta perjuangan anak-anak bangsa atas kegiatan Romusa, Rodi, bukannya Roro Mendut, hehe. Sebelah timur dan utaranya Lamongan sebelum mendekati bengawan Solo, berjajar tambak atas keringat petani padi dari ladang pesawahan awalnya.
Kota tua Babat sebelah baratnya Lamongan, bagi saksi perdagangan masa-masa lalu hingga kini, pasar tradisional yang kalau di Yogyakarta seperti pasar Ngasem, namun sayang, orang-orang Jawa Timur kurang ngurus bangunaan peninggalan sejarah. Tengoklah itu, masak Jembatan Merah Surabaya, penuh nilai perjuangan menjadi kalah dengan JMP, inikan sangat pembodohan, tidak menciptakan kilatan kritis fikiran bagi anak-anak terhormat selanjutnya nanti. Kebanyakan orang Indonesia itu lucu (lupa cucu), tengok itu budaya korupsi, penebangan pohon seperti tak perlu tabungan hari tua.
Juga tak lupa saya ceritakan keindahan Tanjung Kodok, Goa Maharani serta mitosnya di samping sejarah berdirinya Lamongan atas persetujuan para Wali dititahkan kepada Mbah Lamong. Dari beberapa keelokan itulah, saya sesekali bercanda, menyombongkan diri pada kedua teman tersebut, bahwa menjadi pantas di sebuah daerah cantik, lahir seorang penyair, wilayah penuh atmosfir penciptaan serta pergulatan bathinniah kalau memang diniatkan sangat, tak leha-leha lalu distempel jadi seorang gawat, nanti malah bisa darurat, hehe.
Bus kami tumpangi terus melaju ke timur, membelah pesawahan Jawa malam itu, pulau Jawa memang bertanah bencah matang atas pengolahan ribuan tahun silam, subur bagi rumput pepadian mekatak, mbobot menjelma nasi jika ditanak, kalau kelamaan jadi bubur ajur. Malam itu bus melewati jalan raya beraspal klamis, pohon-pohon di pinggiran jalan kami lalui, seakan mendengar kelebatan suara kami yang renya bak kerupuk baru dari penggorengan. Tak lama kemudian memasuki kota Solo, yang terkenal para gadisnya bersebutan putri Solo. Sebagaimana mistis, kecantikan itu daya dorong memasuki keindahan lebih hakiki, rana kelembutan jiwa bagi memijaki rerumputan perasaan kala pencarian jati diri.
Tidak terasa, obrolan terus bergulir seputar saling membesar-besarkan kedaerahan kami masing-masing, masuklah bus menyibak hutan Ngawi, berlika-liku bagai perempuan genit menggoda hati dan malam semakin mantabkan kehitamannya dengan cemerlangkan gemintang di angkasa. Hawa meningkat dingin, sesekali kami terkantuk kelelahan berkisah.
Sebenarnya saya berkeputusan turun di terminal Ngawi, namun karena rasa kantuk tambah memberat dan tersadarkan kala telinga mendengar suara, “Maospati-Maospati,” diri saya tersentrak, berarti kami kebablasaan. Untung kondektur tak meminta uang tambahan sebagai jawaban keteledoran kami. Mungkin juga macam rasa maaf kondektur yang tak membangunkan kami di terminal Ngawi. Lalu diri putuskan berhenti di terminal Maospati. Karena saya senantiasa membaca gerak-gerik, tanda-tanda perjalanan, menyelidiklah diri ke kedalaman hati; kenapa kami harus kebablasan di Maospati? Ada apakah gerangan? Jangan-jangan ini petanda akan hal kematian? Atau, apa yang terjadi?
Kami turun di terminal Maospati, terus mencari warung kopi. Minum kopi itu hal biasa bagi seorang lelaki Jawa Timur dan bagi orang-orang senang begadang. Tapi ini lain ceritanya di Yogyakarta, atau khususnya Gunung Kidul, minuman paling legit dan menjanjikan aroma bukanlah kopi, namun teh bergula batu. Di kota GK, tiap malam warung-warung menyuguhkan wedang teh bergula batu ditambah gorengan. Kalau anda ingin ngincipi suasana berbeda, cakrawala layaknya lukisan-lukisannya H. Harjiman (almarhum) yang kebanyakan berobyek keadaan alam Gunung Kidul, saya sarankan ke sana, biar tidak sekedar minum kopi saja. Kan kalau kebanyakan duduk sambil minum kopi dan terus-terus ngerokok, bisa kembung perutnya, hehe.
Di terminal Maospati, saya bertemu orang aneh; ia seorang pengemudi becak. Anehnya ia seakan bisa membaca apa yang sedang saya kerjakan dan akan diri lakukan. Kalau tidak keliru, bernama Slamet. Nama itu seakan menolong diri dari pengertian Maospati di atas. Ia ibaratkan saya seperti dirinya; ada keterikatan dengan sebangsa burung, macam pralambang perjalanannya kembara. Ia terus berkisah lewat hal-hal berbau mistis dan seakan ngelantur di telinga Satmoko juga Marhalim, sebab kedua teman itu kurang begitu yakin dengan hal bernada ganjil atau jangan-jangan kedua teman itu iri sebab hanya saya yang diramal. Yang menjadi keheranan saya lainnya; ia sering gonti-ganti bahasa daerah; bahasa Madura, Jawa Kuno, Jawa blakraan juga terkadang terkesan seperti resih memberi wejangan ke muridnya. Karena sering berfariasi bahasa dalam runtutan permasalahan, mau tidak mau kalau ingin mengetahui, saya sering kerutkan dahi, menterjemah bahasa-bahasa asing itu bersegala dimensi dan gelombang spiritualitasnya dengan keterbatasan diri saya.
Pak Slamet juga bercerita, rumahnya di lereng gunung, maaf saya lupa, tapi gunung itu salah satu gunung bernama di Jawa; apakah Lawu, Merbabu, Semeru atau apa? Penulis seakan dikaburkan saat ulas balik ini kisah. Ada satu permintaan pak Selamet pada saya malam itu; saya disuruh duduk di atas batu putih di sebrang jalan depan terminal Maospati. Namun diri ragu, olehnya tidak terlaksanakan sebab diri percaya, keraguan itu tentu memiliki alasan, tapi sayang, bantahan tersebut setelah diri selidik beratasdasar malu kepada kedua teman saya, kalau hendak menuruti pak tua ganjil tersebut.
Di hati paling dalam, diri tengah duduk di atas batu yang ditunjuk pak Slamet itu, hingga saya tidak merasa bersalah kepadanya, juga tak malu pada kedua temanku. Waktu menunjukkan jam tigaan, saya naik angkutan pedesaan, bersama kedua teman tersebut menuju balik terminal Ngawi, sebab kebablasan bertemu berkah atas pengajaran-pengajaran pak Slamet. Ada kata-katanya yang sering terngiang begini; Kamu masih enak le, berjalan masih bawa sepatu, waktu itu saya jawab; Ngak pak sama-sama, sepatu saya pakai ini pun sepatu bekas, lalu ia tak meneruskan perkataan.
Ketika saya berpisah darinya, ia memberi misteri senantiasa pada saya dan moga juga diri memberi misteri kepada pak Slamet, itulah bahasa hati di kala itu. Saya jarang sekali menemui seorang yang saya anggap aneh, lalu ingin mendatanginya lagi, saya malah tidak ingin bertemu, sebab kebertemuan kedua, kalau terencana, malah biasanya tidak dapatkan apa, atau sebab diri juga berkeinginan membangun keganjilan lewat hilangkan jejak, meski saya juga terkadang merasa kehilangan dari kehadirannya.
Selepas turun di terminal Ngawi, kami ngimbal naik bus jurusan Bojonegoro, dan keanehan-keanehan pak Slamet terus menghantui saya, dan mungkin perkataan saya, yang terkadang ceplas-ceplos dapat mengingatkan ia atas kepemudaannya yang lain. Diri terus menyelidik atas tanda apa? Kenapa kebablasan di Maospati, sebab ngantuk dan bertemu pak Slamet? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelinding, membesar mencari permasalahan, berkebulatan pengertian.
Lalu mulailah saya otak-atik apa itu Maspati. Saya penggal nama itu jadi Maos dan Pati. Kalau tak keliru bahasa Jawa-nya membaca (maos), dan pati (berari ketiadaan atau mati). Terus diri teringat perjalanan di masa-masa lalu. Dalam hati tertanam; Apakah saat ini, diri sudah berada di ambang membaca ketiadaan? Menyinaui sesuatu tidak tertandakan atas kebertemuan materi? Apakah aku disuruh Sang Asih memyimak angin, memadatkan menjelma suatu pengertian inti? Apakah saya disuruh merangkum hawa semesta dalam diri masih belia ini? Apakah kesemestaan itu senyata-nyatanya maujud? Atau sekadar bayang-bayang kertas terbang atas kesalahan koreksi kehidupan?
Maos dan Pati, ya, membaca ketiadaan disekitar, saya kudu makin jeli menyingkap tabir perbendaharaan kata-kata serta warna pelangi hayat. Diri harus berusaha membuka hijab kemungkinan bagi kebaikan alam atau Sastra Jendra Ayuningrat, istilah R.Ng. Ronggowarsito. Namun apakah itu mungkin? Saya terus berjalan, entah sampai kapan? Apakah langklah ini sampai maut menjemput? Atau kata-kata yang pernah saya guratkan ini dan nanti, menggeliat dalam sanubari saudara? Atau segera menguap bersama embun pagi surya? Hanya kehendakNya kuasa atas kebertemaun serta perpisahan. Dan insan yang tangguh sanggup ikhlas, meski itu pahit sepahit wedang kopi kehabisan gula. Atau setawar ampas wedang kopi ditambah air panas kembali.
*) Pengelana, 3 Desembar 2005.
Cerita ini terjadi tahun 2000 kalau tidak keliru. Saat itu saya mengajak cerpenis Satmoko Budi Santosa (asli Yogya) dan penyair Marhalim Zaini (asli Riau) ke rumah saya di Lamongan. Tanggal, bulan saat itu seakan terlupakan, sebab masa-masa tersebut, diri tengah menjalani sebuah lelampahan ganjil, lelaku tak logis bagi faham pelajar atau mahasiswa, tapi sangat riel di mata keseimbangan bathin.
Saya mengajak keduanya; SBS & MZ berangkat ke Lamongan, tengah malam berangkat dari kota kami diami sebagai tanah sumber, sumur bagi menimbah keilmuan, Yogyakarta. Keinginannya agar sesampai di ruang tujuan mencapai pepintu fajar pencerahan, hari baru kemungkinan anyar, kesempatan terang serba gemilang bagi mata bening keoptimisan.
Di tengah perjalanan itu, diri berbicara banyak mengenai keelokan daerah saya, yang penuh pengunungan, pohon-pohon pinusnya sebelah utara dekat jalan Pantura, di sana ada dusun Dadapan, penyimpan legenda Yuyu Kangkang dan mbok rondo, Joko Tingkir di desa Pringgoboyo. Di selatannya, gunung Pegat bersegala panorama mistis serta perjuangan anak-anak bangsa atas kegiatan Romusa, Rodi, bukannya Roro Mendut, hehe. Sebelah timur dan utaranya Lamongan sebelum mendekati bengawan Solo, berjajar tambak atas keringat petani padi dari ladang pesawahan awalnya.
Kota tua Babat sebelah baratnya Lamongan, bagi saksi perdagangan masa-masa lalu hingga kini, pasar tradisional yang kalau di Yogyakarta seperti pasar Ngasem, namun sayang, orang-orang Jawa Timur kurang ngurus bangunaan peninggalan sejarah. Tengoklah itu, masak Jembatan Merah Surabaya, penuh nilai perjuangan menjadi kalah dengan JMP, inikan sangat pembodohan, tidak menciptakan kilatan kritis fikiran bagi anak-anak terhormat selanjutnya nanti. Kebanyakan orang Indonesia itu lucu (lupa cucu), tengok itu budaya korupsi, penebangan pohon seperti tak perlu tabungan hari tua.
Juga tak lupa saya ceritakan keindahan Tanjung Kodok, Goa Maharani serta mitosnya di samping sejarah berdirinya Lamongan atas persetujuan para Wali dititahkan kepada Mbah Lamong. Dari beberapa keelokan itulah, saya sesekali bercanda, menyombongkan diri pada kedua teman tersebut, bahwa menjadi pantas di sebuah daerah cantik, lahir seorang penyair, wilayah penuh atmosfir penciptaan serta pergulatan bathinniah kalau memang diniatkan sangat, tak leha-leha lalu distempel jadi seorang gawat, nanti malah bisa darurat, hehe.
Bus kami tumpangi terus melaju ke timur, membelah pesawahan Jawa malam itu, pulau Jawa memang bertanah bencah matang atas pengolahan ribuan tahun silam, subur bagi rumput pepadian mekatak, mbobot menjelma nasi jika ditanak, kalau kelamaan jadi bubur ajur. Malam itu bus melewati jalan raya beraspal klamis, pohon-pohon di pinggiran jalan kami lalui, seakan mendengar kelebatan suara kami yang renya bak kerupuk baru dari penggorengan. Tak lama kemudian memasuki kota Solo, yang terkenal para gadisnya bersebutan putri Solo. Sebagaimana mistis, kecantikan itu daya dorong memasuki keindahan lebih hakiki, rana kelembutan jiwa bagi memijaki rerumputan perasaan kala pencarian jati diri.
Tidak terasa, obrolan terus bergulir seputar saling membesar-besarkan kedaerahan kami masing-masing, masuklah bus menyibak hutan Ngawi, berlika-liku bagai perempuan genit menggoda hati dan malam semakin mantabkan kehitamannya dengan cemerlangkan gemintang di angkasa. Hawa meningkat dingin, sesekali kami terkantuk kelelahan berkisah.
Sebenarnya saya berkeputusan turun di terminal Ngawi, namun karena rasa kantuk tambah memberat dan tersadarkan kala telinga mendengar suara, “Maospati-Maospati,” diri saya tersentrak, berarti kami kebablasaan. Untung kondektur tak meminta uang tambahan sebagai jawaban keteledoran kami. Mungkin juga macam rasa maaf kondektur yang tak membangunkan kami di terminal Ngawi. Lalu diri putuskan berhenti di terminal Maospati. Karena saya senantiasa membaca gerak-gerik, tanda-tanda perjalanan, menyelidiklah diri ke kedalaman hati; kenapa kami harus kebablasan di Maospati? Ada apakah gerangan? Jangan-jangan ini petanda akan hal kematian? Atau, apa yang terjadi?
Kami turun di terminal Maospati, terus mencari warung kopi. Minum kopi itu hal biasa bagi seorang lelaki Jawa Timur dan bagi orang-orang senang begadang. Tapi ini lain ceritanya di Yogyakarta, atau khususnya Gunung Kidul, minuman paling legit dan menjanjikan aroma bukanlah kopi, namun teh bergula batu. Di kota GK, tiap malam warung-warung menyuguhkan wedang teh bergula batu ditambah gorengan. Kalau anda ingin ngincipi suasana berbeda, cakrawala layaknya lukisan-lukisannya H. Harjiman (almarhum) yang kebanyakan berobyek keadaan alam Gunung Kidul, saya sarankan ke sana, biar tidak sekedar minum kopi saja. Kan kalau kebanyakan duduk sambil minum kopi dan terus-terus ngerokok, bisa kembung perutnya, hehe.
Di terminal Maospati, saya bertemu orang aneh; ia seorang pengemudi becak. Anehnya ia seakan bisa membaca apa yang sedang saya kerjakan dan akan diri lakukan. Kalau tidak keliru, bernama Slamet. Nama itu seakan menolong diri dari pengertian Maospati di atas. Ia ibaratkan saya seperti dirinya; ada keterikatan dengan sebangsa burung, macam pralambang perjalanannya kembara. Ia terus berkisah lewat hal-hal berbau mistis dan seakan ngelantur di telinga Satmoko juga Marhalim, sebab kedua teman itu kurang begitu yakin dengan hal bernada ganjil atau jangan-jangan kedua teman itu iri sebab hanya saya yang diramal. Yang menjadi keheranan saya lainnya; ia sering gonti-ganti bahasa daerah; bahasa Madura, Jawa Kuno, Jawa blakraan juga terkadang terkesan seperti resih memberi wejangan ke muridnya. Karena sering berfariasi bahasa dalam runtutan permasalahan, mau tidak mau kalau ingin mengetahui, saya sering kerutkan dahi, menterjemah bahasa-bahasa asing itu bersegala dimensi dan gelombang spiritualitasnya dengan keterbatasan diri saya.
Pak Slamet juga bercerita, rumahnya di lereng gunung, maaf saya lupa, tapi gunung itu salah satu gunung bernama di Jawa; apakah Lawu, Merbabu, Semeru atau apa? Penulis seakan dikaburkan saat ulas balik ini kisah. Ada satu permintaan pak Selamet pada saya malam itu; saya disuruh duduk di atas batu putih di sebrang jalan depan terminal Maospati. Namun diri ragu, olehnya tidak terlaksanakan sebab diri percaya, keraguan itu tentu memiliki alasan, tapi sayang, bantahan tersebut setelah diri selidik beratasdasar malu kepada kedua teman saya, kalau hendak menuruti pak tua ganjil tersebut.
Di hati paling dalam, diri tengah duduk di atas batu yang ditunjuk pak Slamet itu, hingga saya tidak merasa bersalah kepadanya, juga tak malu pada kedua temanku. Waktu menunjukkan jam tigaan, saya naik angkutan pedesaan, bersama kedua teman tersebut menuju balik terminal Ngawi, sebab kebablasan bertemu berkah atas pengajaran-pengajaran pak Slamet. Ada kata-katanya yang sering terngiang begini; Kamu masih enak le, berjalan masih bawa sepatu, waktu itu saya jawab; Ngak pak sama-sama, sepatu saya pakai ini pun sepatu bekas, lalu ia tak meneruskan perkataan.
Ketika saya berpisah darinya, ia memberi misteri senantiasa pada saya dan moga juga diri memberi misteri kepada pak Slamet, itulah bahasa hati di kala itu. Saya jarang sekali menemui seorang yang saya anggap aneh, lalu ingin mendatanginya lagi, saya malah tidak ingin bertemu, sebab kebertemuan kedua, kalau terencana, malah biasanya tidak dapatkan apa, atau sebab diri juga berkeinginan membangun keganjilan lewat hilangkan jejak, meski saya juga terkadang merasa kehilangan dari kehadirannya.
Selepas turun di terminal Ngawi, kami ngimbal naik bus jurusan Bojonegoro, dan keanehan-keanehan pak Slamet terus menghantui saya, dan mungkin perkataan saya, yang terkadang ceplas-ceplos dapat mengingatkan ia atas kepemudaannya yang lain. Diri terus menyelidik atas tanda apa? Kenapa kebablasan di Maospati, sebab ngantuk dan bertemu pak Slamet? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelinding, membesar mencari permasalahan, berkebulatan pengertian.
Lalu mulailah saya otak-atik apa itu Maspati. Saya penggal nama itu jadi Maos dan Pati. Kalau tak keliru bahasa Jawa-nya membaca (maos), dan pati (berari ketiadaan atau mati). Terus diri teringat perjalanan di masa-masa lalu. Dalam hati tertanam; Apakah saat ini, diri sudah berada di ambang membaca ketiadaan? Menyinaui sesuatu tidak tertandakan atas kebertemuan materi? Apakah aku disuruh Sang Asih memyimak angin, memadatkan menjelma suatu pengertian inti? Apakah saya disuruh merangkum hawa semesta dalam diri masih belia ini? Apakah kesemestaan itu senyata-nyatanya maujud? Atau sekadar bayang-bayang kertas terbang atas kesalahan koreksi kehidupan?
Maos dan Pati, ya, membaca ketiadaan disekitar, saya kudu makin jeli menyingkap tabir perbendaharaan kata-kata serta warna pelangi hayat. Diri harus berusaha membuka hijab kemungkinan bagi kebaikan alam atau Sastra Jendra Ayuningrat, istilah R.Ng. Ronggowarsito. Namun apakah itu mungkin? Saya terus berjalan, entah sampai kapan? Apakah langklah ini sampai maut menjemput? Atau kata-kata yang pernah saya guratkan ini dan nanti, menggeliat dalam sanubari saudara? Atau segera menguap bersama embun pagi surya? Hanya kehendakNya kuasa atas kebertemaun serta perpisahan. Dan insan yang tangguh sanggup ikhlas, meski itu pahit sepahit wedang kopi kehabisan gula. Atau setawar ampas wedang kopi ditambah air panas kembali.
*) Pengelana, 3 Desembar 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar