Kamis, 31 Juli 2008

SARKASME

Imamuddin SA

Tak ada salahnya jika hari ini aku menghampiri adikku. Aku yang kebetulan baru pulang dari pasar menemui sahabat karibku. Ah tidak, aku lupa. Ia bukan sekedar sahabat karib. Tetapi saudara abadi. Saudara yang akan bersatu di kehdupan esok hari.


Ini sudah jadi kebiasaanku. Setiap pasar Pahing dan Wage, aku kerap menemuinya. Itu jika aku tidak ada aktifitas lain di rumah. Biasalah, ada saja yang aku omongkan dengannya di pasar. Dari masalah pribadi. Dagangan. Pergolakan hidup. Agama. Dan bahkan ketauhidan. Yang paling senang adalah ketika aku memperhatikan karakter pembeli yang cukup variatif. Aku bisa mempelajari psikologi seseorang dari caranya membeli dan menawar barang dagangan.

Aku yang masih awam akan hal itu, mencoba menimba darinya. Meskipun aku sudah lulusan S1, tapi aku masih membutuhkan pengetahuan lain yang belum pernah aku dapatkan di bangku perkuliahan. Dan belajarku hanya pada seorang lulusan SMA. Atau bahkan tidak jarang aku belajar pada orang yang tidak pernah sekolah. Toh pada dasarnya tidak hanya kampus atau sekolah saja tempat menimba pengetahuan. Pasar pun bisa jadi. Atau lokalisasi juga bisa. Tinggal aku, bisa tidak memanfaatkannya dengan sebaik mungkin? Aku juga yakin, orang pandai itu tidak hanya dosen. Tidak hanya guru di sekolah. Orang pandai itu relatif. Tentunya disesuaikan dengan bidangnya masing-masing.

Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menimba pengetahuan dari orang pandai. Sebab aku takut dipinteri mereka. Aku sudah bosan. Aku telah nekek dipinteri orang. Meski aku waktu kuliah kerap menimba pengetahuan dari dosen-dosenku yang pandai. Tapi tidak usa dibahas, kenapa aku kok tetap kuliah? Aku ingin menimba ilmu dari orang yang mengerti saja. Biar aku tak dipinteri orang lagi. Dan aku telah menemukan orangnya. Sahabat karibku. Eat…maaf lupa. Saudara abadiku. Ia terlalu sempurna di mata hatiku. Ia tak pernah membohongiku. Apalagi minteri aku. Tentu tidak. Yang aku herankan adalah kata-katanya. Semua yang diujarkanya benar. Tak pernah meleset dari kejujuran realitas.

Saat itu matahari berada tepat di atas ubun-ubunku. Bayangan tubuhku pun tidak terlukis olehnya. Aku berhentikan motor bututku di depan sebuah sekolah yang cukup besar di daerahku. Di bawah rindang pohon yang sesekali dihempas angin yang cukup kencang. Aku silakan kaki kiriku di jok motorku. Dan yang satunya aku tambatkan di tanah. Kuambil hand phoneku dari saku celana. Kubuka. Ku cari nama adikku. Pun kukirimkan pesan untuknya.

“Apa pean mau pulang sekolah bareng aku? Pean dimana? Aku tunggu di sebelah barat kantor. Di tepi jalan raya.”

Dasar sial. Aku sudah cukup lama menunggu adikku tapi belum juga ada kabar darinya. Aku perhatikan hand phoneku berkali-kali tetap juga tidak ada pesan masuk untukku darinya. Aku sempat mengeluh. Dan ingin meninggalnya pulang. Tapi beberapa saat kemudian, tubuhnya mengisi kehampaan kedua mataku. Ia perlahan mendekatiku.

Aku sedikit heran dan aneh saat melihat raut mukanya. Tidak seperti biasanya yang selalu menunjukkan keceriaan. Ia kecut dan berlukiskan kesedihan. Dari jarak yang cukup dekat ia mengeluh padaku.

“Cak, hand phonku disita guruku!” berat terbata tuturnya.
“Kok bisa begitu? Memangnya kamu pakai hand phone di kelas?” tanyaku dengan pelan. Aku tak mau menambahi kesedihanya saat itu.

“Tadi aku pas buka pesan dari pean. Dan ingin membalasnya. Cak, bagaimana nih?” rengeknya manja.
“Kamu temui saja guru yang merampas hand phonemu sekarang juga. Coba kamu sedikit mengiba kepadanya. Barangkali akan lain ceritanya.”

“Aku tidak berani Cak, Takut!”
“Memangnya apa yang mesti kamu takutkan? Lekas masuk kantor. Dan temui dia!” desakku tegas.

Memang hal itu segaja aku lakukan kepada adikku. Karena aku punya tujuan lain di balik semua itu. Aku ingin adikku berani menghadapi siapa pun demi pemecahan masalah. Harapanku adikku agar bisa membebaskan jiwanya dari segala tekanan ketakutan dalam diri pribadinya. Paling tidak dia bisa menuangkan aspirasinya. Adapun hasilnya belakangan. Entah berhasil mengambil hand phone atau tidak? Yang penting keberanian harus tumbuh di dalam dirinya.

Dan itu benar. Atas desakku, ia memberanikan diri menghadap guru itu. Meskipun dengan perasaan gontai. Laksana nyiur melambai. Sejenak kuperhatikan langkah kaki adikku. Aku pun merasa iba padanya. Aku merasa semua ini juga tidak lepas dari kesalahanku. Mengapa aku menghubunginya saat itu? Kenapa tidak aku tunggu saja ia sampai keluar dari lokasi sekolah? Ah semuanya tidak perlu ada penyesalan. Sesuatu yang telah terjadi biarlah terjadi. Biar jadi kenangan yang patut dipelajari. Berorientasi saja kedepan. Semoga adikku mengantongi keberhasilan.

Dari kaca jendela yang putih bening, kuterawang adikku dari luar. Ia terlihat gugup menyampaikan maksudnya kepada guru itu. Sesekali ia mendongakkan wajahnya ke arahku yang berada di motor. Sungguh tak kuasa aku melihatnya. Entah, di dalam kantor itu dia ngomong apa saja. Aku tidak terdengar. Yang jelas adikku terlihat begitu mengiba. Dan guru itu bersikap masa bodoh.

Adikku keluar dari kantor itu membawa hasil yang hampa. Ia tidak dapat mengambil hand phonenya kembali. Wajahnya terlihat semakin muram. Purnamanya tak lagi mempesona. Ia semakin bingung di buatnya.

“Bagaimana, dapat hand phonenya?”
“Tidak Cak! Tetap tidak boleh. Aku bingung.” lirih keluhnya.
“Tadi dirampasnya di mana?”
“Di jalanan. Tepatnya di depan kelas. Waktu itu buyaran sekolah. Dan tema-temanku sudah pulang semua. Tinggal beberapa orang saja. Aku berjalan dengan tiga orang temanku yang lain dan mencoba mebalas pean. Tapi tiba-tiba……? Aku takut dimarahi bapak dan ibu di rumah! Bagaimana Cak?”
“Ya sudah. Aku coba memintanya kembali. Barangkali bisa. Tapi tidak janji. Sekarang kamu tunggu saja di sini.”

Hatiku tak kuasa melihat adikku yang terus mengiba kepadaku. Aku pun menurunkan kakiku. Dan beranjak dari motorku. Namun aku juga tahu jika itu sulit buatku. Aku harus berusaha demi adikku. Hasilnya terserah. Nihil atau………! Yang penting berusaha dulu.

Aku masuk ke kantor. Menemui guru itu. Aku mengutarakan tujuanku menghadap padanya. Aku mengulas kembali perkataan adikku beberapa waktu yang lalu yang sempat terujar kepadanya.
“Pak, maaf. Saya sejenak mengganggu istirahat siang Bapak kali ini.”
“Ya, tidak apa-apa.” jawabnya ketus seolah telah tahu maksud kedatanganku. Mungkin saja ia telah tahu keberadaanku sebelumnya.

“Saya ingin konsultasi masalah hand phone adik saya yang bapak sita beberapa saat yang lalu.”
“Benar, hand phonenya memang saya sita. Memangnya kenapa?” sekali lagi ketus jawabnya.
“Saya mohon dengan amat sangat kepada bapak, agar bapak berkenan memberikanya kembali.” ibaku padanya.
“Tidak bisa Mas. hand phone yang sudah disita tidak bisa di kembalikan. Ini sudah jadi kesepakatan dalam rapat wali murid.”

“Memangnya kesepakatanya bagaimana?” tanyaku mendesak.
“Setiap siswa tidak diperkenankan membawa hand phone ke sekolah. Sebab mampu mengganggu konsentrasi belajarnya. Dan ini sudah kami sosialisasikan kepada siswa juga” jawab tegasnya.
“Maaf Pak, saya kurang paham jika ada kesepakatan semacam itu. Tapi saya mohon belas kasih Bapak untuk kali ini saja, Bapak berkenan memberikan hand phone itu.” ujarku semakin merendahkan diri.

“Tidak bisa. Ini sudah paten dalam keputusan rapat.”
“Saya mohon Pak. Saya bertanggung jawab atas semuanya. Saya jamin adik saya tidak akan membawa hand phone ke sekolah lagi. Jika adik saya melanggar untuk yang kedua kalinya, semuanya terserah Bapak. Lagi pula adik saya masih baru di sekolah ini. Saya mohon kali ini beri kesempatan.”

“Tetap tidak bisa!” bentaknya keras.
“Tolong beri keringanan untuk adik saya yang masih baru di sini.”
“Masih baru saja sudah berani melanggar peraturan. Apalagi kelak!” sekali lagi ia membentak dengan keras. Penuh emosi.

“Justru masih baru itu Pak, dia belum paham akan adanya peraturan semacam itu. Saya berharap ada sedikit toleransi dan belas kasih dari Bapak.”
“Tidak bisa! Sekali kesepakatan tetap kesepakatan. Semuanya harus dijalankan dengan seksama. Tidak ada toleransi. Setiap hand phone yang telah disita akan dihancurkan. Titik!”

Aku yang dulu juga alumni sekolah itu, telah sedikit banyak paham karakter guru tersebut. Ia memang keras kepala. Kadang juga egois. Dan suka memaksakan kehendak pribadinya. Ia tidak bisa menempatkan porsi yang pas dengan situasi dan kondisi siswanya. Ia seolah berpandangan bahwa konsepnyalah yang paling benar. Dan paling berhasil jika diterapkan kepada semua siswa.

Pernah suatu ketika ia menyumpah teman sekelasku. Menyumpah agar temanku itu setiap harinya wajib belajar tidak kurang dari empat jam. Sementara ia sendiri tidak tahu, bagaimana kondisi keluarga temanku. Sungguh memprihatinkan. Semua kebutuhan keluarga harus ia sendiri yang menanggungnya. Begitu juga biaya sekolah adik-adiknya. Sehabis sekolah ia bekerja bangunan paruh waktu. Dan kalau malam ia juga sempatkan diri untuk ikut bekerja di penggiligan padi. Bagaimana bisa belajar……?

Anehnya, meski sudah dijelaskan kondisi temanku saat itu, guru tersebut tetap saja memaksakan kehendaknya. Wajib belajar empat jam. Padahal tidak didoktrin semacam itu pun temanku setiap hariya sudah meluangkan diri untuk belajar. Walau hanya sebentar. Namun hari itu memang naas baginya sehingga ia disumpah sedemikian rupa. Kesalahanya hanya sederhana, ia ngantuk waktu jam pelajaran. karena semalam suntuk ia bekerja di penggilingan padi. Dan pas ditanya masalah belajar, ia jawab; “Semalam saya tidak belajar Pak!”.

Itulah sedikit kesalahan temanku. Tiap pelajaran guru itu, temanku ditanya terus masalah sumpah belajar empat jam. Temanku memang polos. Ia tidak bisa mendustai diri sendiri. Apalagi orang lain. Untuk menghindari hukuman atas pertanyaan itu, ia membuat tulisan dalam buku pelajaranya; ”Aku sudah belajar empat jam”. Pas ditanya; “Apa kau kemarin sudah belajar empat jam penuh”? Ia selalu membaca tulisan dalam bukunya itu. Dan menjawab; “Sungguh Pak, aku sudah belajar empat jam. Ini benar”.

Sungguh ia sangat cerdik. Maksudnya “ini benar” adalah benar menurut tulisan yang ada di bukunya. “Aku sudah belajar empat jam”. Bukan benar secara realiats. Ia belajar empat jam dalam keseharianya. Ia memang tidak bohong. Yang salah gurunya. Ia salah tangkap dan salah paham akan maksudnya. Ia pun lolos dari hukuman yang lebih berat dari guru itu. Guru yang sejak kecil selalu dalam kecukupan dan kemewahan. Tak pernah merasakan kesusahan. Waktu itu aku juga sempat mengumpat dalam batinku. Andai saja Tuhan suatu saat menjadikanya susah dan hidup dalam kekurangan, mungkin ia baru sadar akan realitas kehidupan ini.

Kembali pada persoalan hand phone adikku. Guru itu omonganya sombong benar. Baginya hand phone seolah-ilah tak berharga. Mentang-mentang kaya, ia main hancurkan saja. Melihat gaya bicaranya yang semakin congkak, hatiku tergigit. Darahku mendidih. Detak jantungku mengeras. Dan mataku memerah. Aku larut dalam emosiku. Aku terpancing dengan nada bicara yang sedikit keras.

“Jika keputusan Bapak demikian, tidak apalah. Saya tidak akan menuntut banyak dari bapak. Tapi perlu Bapak ketahui bahwa adik saya tidak mengaktifkan hand phone dalam ruang kelas. Toh itu dilakukanya ketika jam sekolah sudah usai. Dan semua siswa sudah pada pulang. Jadi, seharusnya dia sudah terlepas dari aturan tersebut. Saya juga lulusan sekolah ini pak. Dulu sewaktu sekolah saya sempat dibilang oleh salah seorang guru bahwa saya adalah orang bodoh dan katrok. Sebab saya pada waktu itu diperintahkan mengaktifkan hand phone di kelas, saya tidak bisa. Katanya saya tolol. Dalam era global mengoperasionalkan hand phone saja tidak bisa. Tapi nyatanya sekarang bagaimana. Hand phone sudah menjamur dan menjadi salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, malah dikekang pemakainya. Ini sungguh perbuatan munafik. Ini perbuatan orang tolol.”

“Tapi ini beda mas. ini sudah permasalahan lain.” selanya membela.
“Saya tahu pak tujuannya. Sekolahan ini tidak ingin siswanya membudidayakan pornografi dalam hand phonenya bukan? Lihat Pak, hand phone adik saya. Mana bisa mengakses gambar-gambar porno. Harga hand phonenya saja tidak lebih dari dua ratus ribu perak Pak. Coba pikir! Dan lain kali kalau menentukan sanksi itu seharusnya disesuaikan dengan permasalahanya Pak. Tidak main pukul rata seperti ini.”

“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi ini demi lancarnya proses pembelajaran di kelas.” jelasnya lirih.
“Apalagi hal itu Pak. Itu sungguh imposibel. Bisakah bapak menjamin, dengan tidak berhand phone siswa menjadi pandai? Tidak mungkin bukan? Sebab semuanya itu bertumpu pada pola pikirnya. Serta bagaimana cara pengolahanya dalam realitas kehidupanya. Kapasitas otak manusia itu tidak sama Pak. Di dalamnya tertanam bakat-bakat yang berbeda-beda dalam setiap individu. Tugas guru adalah mengantarkan anak didiknya menggapai cita yang sesuai dengan bakatnya. Guru adalah sugestor. Adik saya juga tidak mengaktifkan hand phonenya saat proses belajar mengajar. Bapak tadi kan menyitanya saat ia dalam perjalanan pulang, bukan? Jadi apanya yang harus dikekang dalam pribadi adik saya? Apanya Pak? Toh membuat aturan itu seharusnya tidak serta merta langsung difonis dihancurkan seperti itu Pak. Tentunya harus melalui tahap peringatan terlebih dahulu.” desakku bertubi-tubi.

“Apapun alasanya, Mas tidak bisa mengambil kembali hand phone adik Mas. Hand phone harus dihancurkan. Ini sudah aturan. Dan saya konsekuen dengan aturan yang telah disepakati. Ini tidak bisa dimanipulasi.”
“Tidak bisa dimanipulasi kata Bapak?”
“Ya, benar!”

“Dulu Pak, ketika saya dan teman-teman yang lain, Bapak perintahkan mengerjakan tugas pribadi Bapak di ruang ini. Tepatnya di meja itu. Bapak malah menyediakan kami sebungkus rokok. Padahal Bapak tahu bukan, larangan merokok telah tergantung di papan atas dalam aturan sekolah untuk siswa. Bapak juga sempat bilang kalau rokok itu Bapak sediakan biar menggarap tugasnya lebih bersemangat. Ini aneh dan munafik bukan? Ini hanya manipulasi belaka bukan? Ini aturan yang mana Pak?”

“Tapi……” sedikit menyela.
“Aturan mana yang harus dipegang Pak? Jika dibandingkan dengan kesalahan adik saya, ini tidak sebanding dengan apa yang Bapak terapkan kepada saya dan teman-teman waktu itu. Justru Bapak yang seharusnya dikenakan sanksi yang lebih berat.”

“Kau………!”
“Saya sudah memohon belas kasih Bapak. Dan mengiba dengan begitu rendah diri. Tapi bentakan yang justru Bapak berikan. Ingat Pak, Tuhan saja pasti memberi cinta kasih-Nya kepada hamba-Nya yang telah memohon dengan penuh hikmat. Dan rendah diri. Tetapi mengapa tidak dengan Bapak? Kecongkakan diri yang Bapak berikan.”

“Apa maksudmu? Kau mengataiku congkak? Jangan bandingkan masalah ini dengan Tuhan. Ini urusan kemanusiaan. Ini urusan siswa dengan pihak sekolah.” tanyanya kaget.
“Tuhan memerintahkan agar manusia senantiasa memberi cinta kasih, kemurahan, dan pintu maaf kepada sesamanya. Tuhan yang maha segala-galanya saja tidak pernah menunjukkan kecongkakannya. Mengapa manusia yang hanya sedikit dikaruniai cahayanya saja sudah berani menunjukkan kecongkakannya? Dan mengapa hal ini juga tidak boleh disangkut-pautkan dengan Tuhan, Pak? Jangan-jangan dalam diri Bapak sudah tidak ada lagi nama Tuhan! Dengan sejenak mengatakan hal itu, Bapak telah melupakan perintah agama. Dan bahkan nama Tuhan.”

“Coba kau ulangi sekali lagi kata-katamu.”
“Tentunya sebagai guru agama, Bapak juga tahu bahwa Tuhan mempunyai sifat Welas Asih. Pemurah. Pemaaf. Pengasih. Dan Penyayang. Semua sifat itu ternyata tidak ada dalam diri Bapak. Berarti eksistensi Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Benar bukan? Dengan menanggalkan sifat-sifat itu, sama halnya Bapak dengan meninggalkan Tuhan. Bapak telah lalai dengan Tuhan. Tuhan tidak hadir dalam diri Bapak. Dan Bapak pasti juga tahu jabatan apa yang disandang bagi orang yang semacam itu……”

“Kau berarti mengataiku kafir? Atheis? Kau yang kafir.” bentaknya penuh dengan emosi.
“Tidak Pak. Aku tidak mengatai Bapak demikian. Ini sebatas wacana. Tidak berhak seseorang mengafirkan sesamanya. Bapak pikirkan saja. Instropeksi diri lebih utama. Renungkan dengan baik Pak! Menudinglah pada diri sendiri jangan kepada orang lain. Pasti ketemu jawabannya. Dan bukannya saya mendurhakai Bapak sebagai guru saya. Apalagi menggurui. Saya hanya meluruskan permasalahan Pak.”

“Aku setiap hari sholat. Atheis itu orang yang tidak sholat! Karena tidak sholat berarti dia tidak ingat dan tidak pernah menghadapkan diri kepada Tuhan. Jadi ya……”
“Bapak salah besar kalau begitu. Toh nyatanya Bapak juga belum melaksanakan sholat dengan hakekat sholat yang sebenarnya. Ritual sholat yang Bapak lakukan hanya sebatas kulitnya saja. Mana eksistensi sholat Bapak yang bisa mencegah perbuatan keji dan munkar? Mana kerendahan hati yang merupakan buah dari pelaksanaan sholat? Sholat itu menghadapkan diri dengan sepenuh hati kepada Tuhan, Pak. Bukan sekedar jungkir balik gerakan tanpa makna. Dengan melakukan itu, Bapak samahalnya dengan menipu Tuhan. Bapak hanya sekedar pura-pura ingat Tuhan. Dan pura-pura menghadap Tuhan. Ini bisa jadi manipulasi manusianya sendiri dengan jalan pembodohan terhadap diri sendiri dan juga Tuhan. Tapi ingat Pak, Tuhan tidak dapat dibodohi.” potongku dengan tegas.

“………” ia diam terpaku.
“Maaf Pak, jika Bapak benar-benar telah menghadapkan diri kepada Tuhan, kemana letak posisi penghadapan diri Bapak yang sebenarnya kepada-Nya?” sedikit tanyaku.
“Ke kiblat!” jawabnya tegas dan pasti.
“Di mana kiblat Bapak?” tanyaku memburu.
“Di………” ia tidak meneruskan jawabanya. Diam memikirkannya.

“Meski tidak Bapak ungkapkan, saya tahu jawaban Bapak. Itu hanya simbol kesatuan dan kebersamaan lahiriah manusia. Tuhan tidak ada di tempat itu. Begitu juga dengan gerakan sholat Pak. Itu juga hanya sebatas simbol untuk kerukunan dan kebersamaan antar manusia. Simbol itu aktualisasinya lewat penerapan perilaku sehari-hari dalam lingkungan bermasyarakat. Sebenarnya simbol lewat gerakan dan bentuk fisik itu penerapannya pada ruhaniah manusia. Itu hanya sebatas pengingat laku batin. Selaraskan antara yang lahir dan yang batin.”

“Simbol katamu! Lantas bagaimana pemaknahannya?”
“Bapak renungkan saja tiap gerakan itu. Saya tidak banyak waktu untuk mengungkapnya. Lagipula Bapak guru saya. Tentunya Bapak lebih pintar dari saya. Apalagi agama adalah bidang Bapak yang selama ini telah tertekuni. Maaf Pak, saya pamit. Terima kasih atas penjelasan dan sambutan Bapak. ” jelasku mengakhiri pembicaraan.

Amarah lahan-perlahan aku redam. Aku berpaling dari guru itu. berjalan menuju pintu. Lantas beranjak menghampiri adikku yang telah lama menunggu di motorku. Sungguh, tidak ada ramah-tamah yang mengenakkan kepadaku. Saat menemui guru itu tadi, aku tidak dipersilahkan duduk di kursi. Aku berdiri sampai pembicaraan usai. Padahal semua tempat duduk di ruang guru itu kosong. Ah, itu bagiku tidak masalah.

Adikku memandangi langkahku yang semakin mendekatinya. Hatinya penuh dengan tanya. Jantungnya bergemuruh menyesakkan jiwanya. Sayu sapanya hinggap di telingaku.
“Bagaimana Cak, dapat hand phonenya?”
“Tidak bisa diambil!”

“Lantas bagaimana Cak? Aku pasti dimarahi bapak di rumah. Cak……?” ujarnya terbata. Hampir meneteskan air mata.
“Ya, kita pulang saja. Paling-paling dimarahi hanya beberapa menit saja. Paling lama ya sehirian lah.”
“Cak……!” ungkapnya penuh ketakutan.

Kunaiki motor bututku. Sambil meghimbau adikku agar segera naik. Dan menabahkan hati. Menegarkan jiwa untuk menghadapi amarah bapak di rumah. Naik lah ia. Aku pun memacu motorku. Aku beranjak pulang.

Kehawatiran adikku ternyata benar terjadi. Sesampainya di rumah, aku ditanya orang tuaku masalah perangai adikku yang sedikit aneh. Dan menunjukkan kesedihan yang begitu kuat. Aku yang tidak bisa membohongi diri sendiri, pun menceritakan kejadian yang sebenarnya menimpa adikku. Awalnya orang tuaku mengira, adikku mengalami kecelakaan. Mereka hawatir betul kepadanya. Tapi setelah aku jelaskan semuanya, kehawatira itu seketika berubah menjadi amarah yang luar biasa. Mereka menumpukkan semua kesalahan kepada adikku. Maklum, orang tuaku marah karena hand phone yang disita itu bukan milik pribadi adikku. Hand phone itu milik pamanku yang beberapa hari lalu dipinjam adikku. Sebab baru beberapa hari ini, adikku bisa mengoperasionalkan hand phone. Wajar kalau orang tuaku sedikit emosi. Dan naik darah.
Adikku matanya nanar. Dan lari ke kamarnya. Melinangkan air mata. Menghujankan kesedihanya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt