Di negeri tanah air Indonesia, kata “televisi” secara tidak formal sering disebut dengan TV (di dalam kehidupan sehari-hari biasa dibaca: tivi, teve, ataupun tipi.) Televisi merupakan bentuk teknologi yang dapat memberikan solusi dalam menghadapi era globalisasi. Televisi juga dapat menguasai ruang dan jarak, mencapai sasaran yang mendunia, memiliki nilai aktualitas terhadap suatu pemberitaan, kabar atau informasi dengan sangat cepat, serta bersifat audiovisual. Namun juga membawa dampak negatif yang cukup meluas di berbagai lapisan masyarakat, terutamanya anak-anak dan para remaja.
Masa-masa mereka merupakan masa yang labil sebagai anak manusia, dimana saat itu timbul rasa ingin menunjukkan kediriannya, “iniloh sebenarnya aku,” dst. Karenanya, sikap meniru pada kalangan remaja merupakan suatu bentuk dari masa pubertas yang dialami oleh keadaan jiwa yang masih labil. Artinya, jika mereka tidak dapat mengontrol diri dengan baik, dan apabila waktu luang tidak dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, maka perbuatan iseng serta kenakalan lain mudah sekali terjadi, sebab mereka diselimuti rasa kurang puas juga selalu ingin mencoba.
Dampak negatif tayangan televisi sudah kita rasakan setiap hari, misalnya menurunnya tingkat kesopanan, tata krama, tutur bahasa, dan prilaku terhadap orang tua maupun guru, sehingga sang guru dan orang tua dianggap teman sebaya dan tak jarang berbicara tanpa menggunakan bahasa Jawa kromo, ataupun bahasa Indonesia yang baik. Mereka lebih suka menggunakan bahasa gaul “biar ngetren” yang mirip dengan artis sinetron idola mereka, tidak jarang pula memakai bahasa yang nyampung alias ngoko (kasar). Apalagi mulai akhir-akhir ini, tayangan film banyak sekali membuat anak-anak berkhayal tidak karuan, tidak jarang dari anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar, seperti saya alami di sekolah kami kebanyakan mereka meniru aungan srigala, lantaran ketagihan melihat film manusia srigala, tujuh manusia harimau, dan lainnya.
Tidak jarang dari mereka sangat hafal betul ceritanya mulai awal sampai akhir mampu menuturkan alur ceritanya bahkan menirukan semua gaya dan prilaku para tokoh di film kesayangannya. Seperti tayangan sinetron dengan cerita yang penuh dengan khayalan, mistik, dan kemewahan yang justeru secara tidak langsung sudah membodohi masyarakat, khususnya anak-anak. Akibatnya, banyak yang suka berkhayal, bermimpi, dan lebih parah meniru adegan yang seharusnya tidak dilakukan.
Dikhawatirkan dampaknya dari tayangan tersebut dapat mengakibatkan kemunduran bagi generasi muda. Di mana seharusnya generasi muda dapat diandalkan untuk kemajuan bangsa, tetapi dengan mental dan moral yang sudah rusak tentu tidak dapat digadang-gadang sebagai penerus yang baik. Ditambah dari segi musik juga terjadi banyak kemunduran, dimana anak-anak kini lebih menyukai lagu-lagu orang dewasa.
Televisi ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi anak-anak. Menurut catatan KPID Jawa Timur, anak Indonesia rata-rata menonton televisi selama 30-35 jam dalam sepekan. Benar-benar waktu lebih lama dari masa belajarnya di sekolah. Dengan waktu menonton yang cukup lama itu, membuat anak mudah terobsesi dengan apa yang dilihatnya di televisi, dan tak semua orang tua menyadari dampak buruk daripada tontonan di televisi.
Bagi yang tidak sadar, cenderung melakukan pembiaran bagi anak-anaknya untuk melihat tontonan yang ada di televisi, sepanjang anak tersebut masih di dalam rumah dan masih bisa diawasi oleh orang tua. Entah program yang dilihat tersebut memang cocok untuk anak-anak atau tidak. Karena meskipun yang dilihat anak adalah film kartun, tetapi di dalamnya masih memuat kekerasan (perkelahian). Apalagi yang ditonton tak hanya film kartun, tapi film atau sinetron-sinetron yang di dalamnya mengandung intrik, konspirasi atau mengumbar khayalan saja. Dampak lainnya, yang ini diambil dari pelbagai sumber:
1. Berpengaruh Terhadap Perkembangan Otak
Terhadap perkembangan otak anak usia 0-3 tahun, dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca-verbal maupun dalam pemahaman. Dan menghambat kemampuan anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresivitas juga kekerasan dalam usia 5-10 tahun, serta tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan.
2. Mendorong Anak Menjadi Konsumtif
Anak-anak merupakan target awal pengiklan dan yang utama, sehingga mendorong mereka menjadikan pribadi lemah dalam kreativitas atau dibentuklah prilaku yang sangat konsumtif.
3. Berpengaruh Terhadap Sikap
Anak yang banyak menonton TV, tapi belum memiliki daya kritis yang tinggi, akan besar kemungkinan terpengaruh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang di kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan sangat mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga ke jenjang dewasa.
4. Mengurangi Semangat Belajar
Bahasa televisi simpel, memikat, dan membuat ketagihan, sehingga sangat mungkin anak-anak menjadi pribadi yang malas belajar, mudah putus-asa, dst.
5. Membentuk Pola Pikir Sederhana
Terlalu sering menonton TV dan tidak (jarang sekali) membaca buku, menyebabkan anak akan memiliki pola berpikir yang sederhana, kurang kritis, linier atau searah yang pada akhirnya ini mempengaruhi daya imajinasi, intelektualitas, kreativitas, dan daya perkembangan kognitifnya.
6. Mengurangi Konsentrasi
Rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar 7 menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan, akan dapat membatasi daya konsentrasinya.
7. Mengurangi Kreativitas
Dengan adanya TV, anak-anak jadi kurang bermain, mereka menjadi insan yang individualistis dan menyendiri. Setiap kali merasakan bosan, tinggal memencet remote control, dan langsung menemukan hiburan. Sehingga waktu liburan, seperti akhir pekan atau libur sekolah, biasanya kebanyakan diisi menonton TV. Mereka seakan-akan tidak punya pilihan lain, dikarena tidak dibiasakan mencari aktivitas lain yang menyenangkan pula. Ini membuat anak tidak kreatif.
8. Meningkatkan Obesitas (Kegemukan).
Kita biasanya tidak berolahraga dengan cukup baik, karena terbiasa menggunakan waktu-waktu senggang untuk menonton TV, padahal hal itu membentuk pola hidup yang tak sehat. Penelitian membuktikan, bahwa lebih banyak anak menonton TV, lebih banyak mengemil di antara waktu makan, mengonsumsi makanan yang diiklankan di TV, dan cenderung memengaruhi orangtua untuk membeli makanan-makanan tersebut. Anak-anak yang tak mematikan TV, sehingga jadi kurang bergerak yang beresiko tak pernah bisa memenuhi potensi mereka secara penuh. Selain itu, duduk berjam-jam di depan layar, membuat tubuh tak banyak bergerak dan ini menurunkan metabolisme, sehingga lemak bertumpuk, tidak terbakar dan akhirnya menimbulkan kegemukan.
9. Merenggangkan Hubungan antar Anggota Keluarga
Kebanyakan anak kita menonton TV lebih dari 4 jam sehari, sehingga waktu untuk bercengkrama bersama keluarga biasanya ‘terpotong’ atau terkalahkan dengan TV. 40% keluarga menonton TV sambil menyantap makan malam, yang seharusnya menjadi ajang “berbagi cerita” antar anggota keluarga. Sehingga bila ada waktu dengan keluarga pun, kita menghabiskannya dengan mendiskusikan apa yang kita tonton di TV. Rata-rata, TV dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang masing-masing anggota keluarga, menonton acara yang berbeda di ruangan rumah yang berbeda.
10. Matang secara Seksual Lebih Cepat
Banyak sekali sekarang tontonan dengan adegan seksual ditayangkan di waktu anak menonton TV, sehingga anak mau tidak mau menyaksikan hal-hal yang tidak pantas baginya. Dengan gizi yang bagus dan rangsangan TV yang tidak pantas di usia anak, anak menjadi balig atau matang secara seksual lebih cepat.
Dari berbagai kemungkinan masalah di atas yang akan bisa timbul, tentu peran orang tua tak bisa diabaikan, disiplin dan pengawasan orang tua wajib diperlukan. Sikap orang tua terhadap televisi akan mempengaruhi perilaku anak.
Di saat orang tua sudah selesai dengan segala aktivitasnya, mereka biasanya menonton televisi. Menonton bersama anak merupakan kebahagiaan tersendiri bagi orang tua, dan lebih mengetahui perkembangan anak-anak mereka. Program TV yang dilihat pun harus disesuaikan dengan dasar tingkatan usia anak, dan jika ada tayangan kurang sesuai, tugas orang tua menjelaskan kepada anak atau memberi pemahaman bahwa tayangan tersebut tidak baik dan tak boleh dicontoh, karena akan berdampak negatif.
Namun secara tak sadar orang tua terkadang lalai dalam memilih tayangan mana yang sebaiknya disaksikan oleh anak mereka, para orang tua pun terobsesi dengan sinetron yang mereka sukai. Sehingga banyak yang lebih memilihiki televisi sendiri-sendiri, dan anak lebih memilih melihat televi di kamar pribadi mereka begitu juga orang tua, karena selera berbeda. Sebaiknya, orang tua menentukan batasan bagi anak-anaknya, setelah membatasi dirinya terlebih dahulu dalam menonton televisi. Kemudian mengikutsertakan anak dalam membuat batasan menonton juga menjadi cara efektif, agar anak menjadikan kegiatan menonton televisi hanya sebagai pilihan hiburan dan bukan sebagai kebiasaan.
Orang tua harus bisa mengontrol anaknya secara mengawasi sang anak pada saat menyaksikan program televisi, termasuk berita. Ketika tayangan pada berita mengandung unsur pornografis, kekerasan, dan hedonisme, maka orang tua harus dapat memberikan penjelasan hal mana yang patut dicontoh danpun tidak. Untuk meminimalisir perubahan perilaku menyimpang pada anak, akibat adanya tayangan tersebut, orang tua sebaiknya mengusahakan agar televisi hanya sebagian kecil dari keseimbangan hidup anak.
Utamakan waktu untuk bermain bersama teman-temannya, membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Umumnya anak dan remaja senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun besama orang tuanya. Namun kenyataan di masyarakat, waktu makan bersama dan bercengkrama dengan anak sudah jarang dilakukan, mereka lebih suka makan sambil melihat televisi, selain bisa menikmati makanan dan mencari hiburan. Entah tayangan apa yang dilihatnya, sebab waktu makan mereka pun berbeda-beda.
Harapannya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan penyeleksian atau teguran kepada stasiun TV, jika menyiarkan tontonan yang tidak layak ditonton anak-anak. Ancaman itu, kini terus membayangi dan seakan tak terbendung. Introduksi teknik penyensoran yang ditawarkan merupakan alternatif solusi. Tayangan yang tergolong buruk, antara lain mengandung unsur-unsur pornografi, pornoaksi, sadisme, kekerasan, kriminal, dan perkataan yang tidak santun.
Utamanya pertebal iman dan taqwa anak, selain mereka mendapat bekal ilmu agama di sekolah, dan sering-seringlah mengajak anak untuk nengikuti kajian agama, terutama untuk anak yang sudah menginjak usia remaja. Ajaklah berdiskusi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Toto kromo’e anak seng utomo teko keluargo
ojo sembrono
mulo ayo podho di jogo
***
*) Nurul Komariyah, M.Pd., lahir 22 September 1985 di Dusun Bagel, Sumberagung, Sukodadi, Lamongan. Mengajar di SDN Sumberaji, Sukodadi, aktif di Kepramukaan. Aktif menulis buku harian, puisi dan pantun, sejak di bangku SD, dan beranjak SMP gemar mengisi majalah dinding, lalu sewaktu SMA dan kuliah, menulis di beberapa jurnal, tabloid, majalah sekolah dan kampus. Bergabung di komunitas GU, FLP, FP2L, Literacy Institute Lamongan. Buku bersamanya: Antologi Puisi “Sepasang Lesung Pipit” Pustaka GU, “Indahnya Cinta di Hari Fitri” bersama Ahmad Rifa’i Rif’an, Marsua Media, Sekumpulan Puisi “Nyala Abadi” Penerbit KKG Gugus II Lamongan (La), Antologi Cerpen “Hikayat Daun Jatuh” Literacy Institute, Antologi Puisi “Serenade Guru Lamongan” Penerbit PGRI La, “Tadarus Sang Begawan” Pustaka Ilalang, dan “Antologi Sastra Lamongan”. Kumpulan Puisi Perempuan Penyair Nusantara “Perempuan Memandang Dunia” Penerbit Temalitera. Buku-buku terbitan Anlitera ID: “Ide-ide Cerdas,” “Pelita Dunia,” “Kini Aku Mengerti” dan “Dreams Come True.” Antologi Puisi Guru “Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu” (Gerakan Akbar 1000 Guru ASEAN Menulis) Penerbit Perkumpulan Rumah Seni Asnur, dan peroleh Piagam penghargaan dari PGRI La. Menulis di Jurnal Edumedia Dinas Pendidikan, Kolokium PGRI Lamongan, di Tabloid Lensa, PAS, Cendikia Majalah Dinas PERPUSDA La. Menulis buku bahan ajar Tematik KTSP (2012-2016) sekaligus menjadi sekretaris FKGPMP Tematik La. Bersama mahasiswa Universitas Negeri Malang mendirikan Taman Baca Masyarakat (TBM) Sumber Ilmu. Aktif di Perpustakaan Daerah La, menjabat kepala perpustakaan Wahana Ilmu di tempat mengajar, dan sempat juara 2 lomba perpustakaan TK Kabupaten, yang lolos Akreditasi Nasional tahun 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar