Kotaku ngGresik
Kautahu, kepalaku sakau setiap kali digigit udaramu? Jari-jemari capai menggenggam kenyataan, tapi tak mampu kuingkari artimu:
kau semenkan mataku;
kau betonkan hidungku; dan
kau ramaikan saraf-saraf di tubuhku dengan truk-truk muatan hingga macet!
Kautahu, jalanku nggelieng tatkala menapak aspalmu? Kaki-kakiku keram merangkul harapan, tapi tak mampu kukhianati birokrasimu:
kau lawanku;
kau kiaiku; dan
kau sahabatku yang mengataiku di belakang dengan jutaan cercaan hingga muru!
Dahaga menagih coklatnya Bengawan Solo dan Kali Lamong. Jelaga menagih asap-asap pabrik liar. Dan rindu:
merisaukan derit rerumpunan bambu;
melayarkan bulan di bawah hektaran tambak;
menerbangkan truk tronton di atas pantai pasir kelabu hingga bergetar!
Meski begitu, aku datang kembali menyapamu. Salam hormat, sembah sungkem, kota kelahiranku, ngGresik!
Sejarah hanya kata ruwet dalam bahasa. Cerita digdaya dahulu kala, O, bersenggama bersama lupa. Lalu orang-orang berusaha memaknai, tanpa jati diri!
Sejarah hanya hasil proyekan sodomi antara intelek dan penguasa. Dongeng agung ditulis sembarang kata tak bernyawa. Lalu orang-orang berupaya menjiwai, kota santri—berbalut industri!
Negara hadir; Budaya mangkir.
Kapitalis amatir mandir; alam raya dibombardir.
Bah!
Bersama waktu ngGresikku berisik,
mataku kopok dengan alasan klasik.
Tapi kuyakin, suatu masa orang-orang kan bergidik,
bukan karena kencing, tapi kini daun-daun muda mulai terusik.
Awas! Mereka akan bermusik.
Solo, 9 Januari 2021
Kota G
Kota ini adalah hutan perburuan
manusia pada manusia;
binatang-binatang
dikungkung di dalam kandang
jadi tontonan atau masakan
penggantung atau digantung?
Kota ini adalah rimba pergulatan
langit kosong dan bumi gosong;
gotong-royong
dipasung di bawah bokong
jadi bualan omong kosong
pembunuh atau dibunuh?
Kota ini diformat kebanyakan gaya
air mata dioplos darah;
doa-doa
diasmara di antara huru-hara pesta
jadi canda para penguasa
pemaksa atau dipaksa?
Orang-orang merancang benteng,
tapi gelut di jalan
Cecunguk mafia merupa baluarti,
tapi tawur di balai
petani jadi korban
buruh jadi tumbal;
dinding-dinding sejarah hancur
remuk dihajar kaum pelajar
kota ini adalah bangsal pemuda
tapi tercecer di savana
pria-wanita muda
diracun mimpi-mimpi modernisasi
jadi tubuh tanpa puisi
pembasmi atau dibasmi?
- Giri, 10 Januari 2021
Halo Desaku
O, terlampau deraskah hujan sore tadi?
Aspal jadi licin bergelombang
Di jalan-jalan yang jomplang aspalnya
masih menggenang kubikan air
Halo, desaku?
O, teramat pahitkah angin maghrib tadi?
Ilalang perdu dan bambu mosak-masik
buah jambu bosok depan rumah yang berceceran
menyampah seenaknya
Halo, rukmahku?
O, malam melarut
penguasa datang lewat pintu baru
bersama gadis, ia tegak berdiri di depan fatamorgana perubahan
disimak puisi-puisi lirih
sejarah-sejarah redam di sana, jauh dan dalam
segala penjuru: utara-selatan
berkisah pada mereka tentang hari ini
tatkala segala keluh kesah dibalut dalam bahasa
selagi mereka karam di dalam mimpi
Apa kabar, Desaku?
- Jalan Tanjung, 14 Januari 2021
Maghfur Munif, lahir di Gresik. Pimpinan Redaksi Progresnews.id. Aktif menulis sastra dan jurnalistik di beberapa media. Pendiri Holaholoid Bookstore. Karya-karya yang pernah dibukukan, KePAL, Balada Para Pengamen, 2017. Dapat dihubungi melalui ipunk@pandoworatu.com http://sastra-indonesia.com/2021/01/puisi-puisi-maghfur-munif/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar