Harian Aceh , 28 Des 2008
Bila Anda pertama kali mampir di Banda Aceh; secara serempak mata Anda akan menyaksikan suatu panorama, yaitu semua papan nama dari bangunan penting seperti toko, kantor, dan sekolah, tertulis dalam dua macam huruf, yakni Latin dan Arab Melayu.
Inilah salah satu identitas Aceh sebagai daerah paling awal masuknya agama Islam di Nusantara. Dan huruf Arab Melayu itu pun pertamakali tumbuh dan berkembang dari wilayah ini. Namun, tidak semua tulisan Arab Melayu yang ditulis di papan itu benar adanya. Masih banyak salah-kaprah.
Mulanya Islam datang ke Aceh, terjadilah islamisasi dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang seni-budaya, misalnya digunakan huruf Arab dalam hal penulisan. Sesudah dibuat penyesuaian seperlunya, huruf Arab ini diberi nama huruf Arab Melayu (bahasa Aceh: harah Jawoe).
Berdasarkan berbagai penyelidikan yang telah dilakukan para sarjana, saya yakin bahwa huruf Arab Melayu berasal dari Aceh, daerah yang pertama masuk dan berkembangnya Islam untuk kawasan Asia Tenggara. Hampir semua sejarawan Barat dan Timur berkesimpulan demikian. Bersamaan masuknya Islam ke Aceh, maka masuk pula bacaan huruf Arab ke dalam kehidupan masyarakat Aceh, antara lain melalui kitab suci Al-Qur’anul Karim. Bersumber huruf Arab Melayu itu, lambat laun berkembanglah penulisan Arab Melayu tersebut.
Sejarah mencatat bahwa di Aceh telah berkembang beberapa kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Peureulak, Kerajaan Pasai, Kerajaan Benua, Kerajaan Linge, Kerajaan Pidie, Kerajaan Lamuri, Kerajaan Daya, dan terakhir Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan itu banyak melahirkan para ulama yang sebagiannya berbakat pengarang. Melalui tangan-tangan terampil merekalah telah ditulis beratus-ratus buah kitab dan karangan dalam bahasa Melayu, Arab, dan Aceh. Tulisan yang digunakan adalah tulisan Arab dan tulisan Jawi (Arab Melayu).
Dalam hal ini, UU Hamidy, dalam tulisannya “Aceh sebagai Pusat Bahasa Melayu”, (Serambi Indonesia, Minggu 08 Juli 2007) menjelaskan “bahasa Melayu Aceh berperan penting dalam tradisi pemakaian Arab Melayu. Tak diragukan lagi ulama Acehlah yang telah memakai tulisan Arab Melayu secara luas dalam berbagai kitab karangan mereka. Dari sinilah agaknya tulisan Arab Melayu kemudian menjadi tradisi pula dalam penulisan hikayat di Aceh. Sebab itu, tulisan Arab Melayu mungkin juga telah di taja (dipelopori-pen) pada awalnya oleh para ulama di Aceh. Karena tulisan ini juga mempunyai beberapa ragam (versi), maka ragam Arab Melayu yang dipakai di Aceh mungkin merupakan ragam yang tertua. Dalam bidang ini patut dilakukan penelitian yang memadai sehingga peranan bahasa Melayu Aceh akan semakin kentara lagi di belantara perkembangan bahasa Melayu”.
Memang tidak berlebihan bila penulis berpendapat bahwa huruf Arab Melayu ditulis pertama kali di Aceh. Sejauh ini, tulisan Jawi (Jawoe) tertua yang sudah pernah dijumpai adalah surat Sultan Aceh kepada raja Inggris. Prof. Dato’. Muhammad Yusof Hashim, yang turut hadir pada seminar Pekan Peradaban Melayu Raya di Banda Aceh pada akhir Agustus lalu; dalam satu tulisannya menyebutkan bahwa: “Kalau kita mengatakan bahawa naskah Melayu terawal yang pernah ditemui di awal abad ke-17, iaitu warkah daripada Sultan Aceh kepada Raja England, besar kemungkinan naskah warkah itu hanyalah naskah salinan. Adl mengkagumkan juga sebuah naskah di atas kertas seperti itu boleh wujudhampir empat abad lamanya, sekiranya ia betul-betul naskah y ang asli”.
Abad 16-17 merupakan puncak kebesaran bagi kerajaan Aceh Darussalam. Ketika itu, selain sempat diperintah beberapa Sultan terkemuka, Aceh juga telah dibimbing beberapa ulama kaliber dunia, yaitu Hamzah Fansury, Syamsudin As-Sumatrani, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, dan Syekh Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala. Keempat ulama Aceh ini amat banyak karangan mereka, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu. Kitab-kitab tulisan keempat ulama ini tidak hanya beredar di Aceh, tetapi meluas ke seluruh Asia Tenggara dan dunia Islam lainnya.
Pada abad ke-17, bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara. Dari waktu ke waktu sampai ke abad ke-20, mereka semakin merata berada di berbagai negeri di Nusantara. Akhirnya, semua negeri berkebudayaan Melayu menjadi jajahan bangsa Barat. Semua bangsa penjajah itu yakni Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Bangsa-bangsa ini tidak memakai huruf Arab (Arab Melayu) dalam penulisannya. Mereka memiliki huruf sendiri yang berasal dari peradaban Yunani-Romawi, yaitu huruf Latin. Sejak itu, peranan huruf Arab Melayu secara berangsur-angsur terus berkurang dalam kehidupan orang-orang pribumi. Sebab, para penjajah memaksakan huruf Latin kepada rakyat di Nusantara ini melalui lembaga-lembaga pendidikan yang mereka bangun.
Khusus di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), penggusuran secara besar-besaran huruf Arab Melayu baru terjadi secara resmi pada tahun 1901. Ketika itu, pada tanggal 1 Januari 1901, Raja Belanda Ratu Welhilmina mengeluarkan Dekrit untuk mengeluarkan politik etis dalam sistem penjajahan di Hindia Belanda. Politik “balas budi” itu antara lain memberikan pendidikan modern ala Barat kepada anak negeri jajahan Belanda. Karena itu, dibangunlah beribu-ribu tempat pendidikan umum di seluruh Hindia Belanda dengan memakai huruf Latin dalam penulisannya. Hal ini secara langsung telah menjatuhkan martabat huruf Arab Melayu dalam pandangan sebagian pribumi. Tinggallah Dunia Pesantren, Surau dan Pondok (Dayah di Aceh) sebagai benteng terakhir sehingga penulisan Arab Melayu masih kekal lestari hingga saat ini. Sebagai bukti, perpustakaan Dayah Tanoh Abee Seulimum, Aceh besar, masih memiliki beribu-ribu naskah kitab lama.
Kemudian, ketika Belanda sedang mengganyang huruf Arab Melayu secara gencar di daerah-daerah lain–lewat pendidikan ala Barat– malah di Aceh (thn 1901), Belanda sedang bertempur habis-habisan melawan rakyat Aceh, yang telah ditempa dengan baris-baris tulisan Arab Melayu, yakni hikayat Prang Sabi. Akhirnya para ilmuan Belanda yang dipelopori Snouck Hurgronje berusaha mempelajari karya-karya berhuruf Arab Melayu milik orang Aceh guna mengetahui “jalan pintas” mengalahkan perlawanan orang Aceh sendiri. Tidak kurang 600 naskah Jawi/Jawoe (Arab Melayu) dialihkan ke huruf Latin oleh pemerintah Belanda saat itu.
Dalam era Indonesia merdeka, perhatian pemerintah terhadap penulisan Arab Melayu mulai Tumbuh, namun tidak berumur panjang. Di saat itu, pelajaran membaca dan menulis huruf Arab Melayu telah diajarkan di sekolah-sekolah pada tingkat sekolah dasar. Tetapi sekitar tahun 60-an, pelajaran tersebut dihapuskan, yang kemungkinan besar akibat desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang merajalela ketika itu.
Sebatas penulis ketahui, khusus di Aceh sejak beberapa tahun yang lalu juga diajarkan kembali tulisan Arab Melayu dengan nama Tulisan Arab Indonesia (TAI). Menurut pengamatan saya, cara pengajaran TAI ini tanpa acuan yang baku sehingga dalam penulisan TAI, terjadi salah-kaprah. Mungkin hasil dari pengajaran TAI di sekolah-sekolah itulah yang kini terpampang di papan nama toko, kantor dan sekolah di Aceh.
Perkembangan terakhir dari penulisan Arab Melayu di Aceh adalah keluarnya Instruksi Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tanggal 1 Muharram 1423 atau 16 Maret 2002, yang menggalakkan kembali penggunaan huruf Arab Jawi di Bumi Aceh Serambi Mekkah. Itulah salah satu karya nyata Gubernur Aceh, Ir. Abdullah Puteh, M.Si yang masih terwariskan bagi warga Aceh hingga kini. Berikutan dengan keluarnya instruksi gubernur itu, telah dibentuk Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Arab Melayu di Aceh. Namun, karena kepepet waktu, buku yang dihasilkan kurang memadai wujudnya. Salah seorang mantan anggota team tersebut telah berupaya menulis buku lainnya dengan judul “ Sistem Penulisan Arab-Melayu (Suatu Solusi dan Pedoman)”. Buku yang ditulis Drs. Mohd. Kalam Daud, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry ini, diterbitkan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, tahun 2003. Karena buku tadi dianggap terlalu tebal dan banyak uraiannya, maka Drs.Mohd.Kalam Daud M.Ag, yang pakar huruf Arab Jawoe ini menulis lagi sebuah buku tipis, yang berjudul “Kaidah Penulisan Arab-Melayu”, yang juga diterbitkan Dinas Pendidikan NAD tahun 2005.
Walaupun telah diterbitkan beberapa buku pedoman, amat disayangkan, pelaksanaan instruksi gubernur itu tak pernah dievaluasi. Padahal, pelaksanaan di lapangan sungguh amburadul. Penulisan nama-nama bangunan misalnya, lebih banyak yang salah dibanding yang betul menurut kaidah-kaidah yang sebenarnya. Bukan itu saja, bila hendak menampilkan identitas Aceh, maka bukan pada bangunan gedung saja yang semestinya ditulis dengan tulisan Jawi; tetapi nama-nama jalan pun perlu dibuat demikian. Di kota Yogyakarta misalnya, nama-nama jalan di sana selain dengan tulisan Latin juga ‘disandingkan’ dengan huruf Kawi/Jawa kuno. Mengapa pada kita tidak?
Tujuan semula guna menonjolkan identitas Aceh sebagai daerah perdana masuknya Islam di Asia Tenggara hanya membuahkan cibiran sinis para tamu/turis dari negeri-negeri Melayu di Nusantara. Itulah akibatnya, bila sesuatu tidak dilaksanakan dengan profesional dan sungguh-sungguh. Bagaikan menepuk air di dulang; muka kita sendiri yang menerima padahnya.
Sejauh yang saya ketahui, hanya Badan Dayah NAD yang pernah melaksanakan penataran penulisan Arab Melayu pada tahun 2006 dan 2007 dengan salah seorang nara sumbernya, Drs.Mohd.Kalam Daud, M.Ag tersebut. Sebenarnya, para guru yang mengasuh mata pelajaran TAI-lah yang semestinya diberikan bimbingan khusus mengenai penulisan TAI itu. Karena merekalah yang langsung mengajari muridnya di kelas. Namun, kegiatan demikian belum terdengar sampai saat ini.
Akhirul kalam, saya menyarankan bahwa setiap calon legislatif dan eksekutif di Aceh tidak hanya dites mampu membaca Al-quran, tetapi perlu pula tes kemampuan membaca dan menulis huruf Arab Melayu/Jawoe, karena sesungguhnya huruf Arab Melayu itu berasal dari Aceh, yang kemudian berkembang ke seluruh Nusantara/ Asia Tenggara!!!
***
*) T.A. Sakti, Peminat Budaya dan Sastra Aceh. Tinggal di Banda Aceh. http://sastra-indonesia.com/2020/11/identitas-aceh-dan-tulisan-jawoe/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar