[Photo: Ido chawan by Kohei Nakamura, Japan]
Rinto Andriono *
Hidup ini memang berat, bila tidak diliputi kegagalan maka akan diselimuti kecemasan. Tiga orang sedang dipertemukan oleh nasib. Namun, kesedihan, tampaknya, akan segera bermuara pada kematian. “Sepertinya sudah bisa kita tetapkan, ini akan kita lakukan saat Hari Arwah?” tanya Mokichi.
“Ya, Hari Arwah, hari peluncuran bagi kita, saat semua orang sedang mengikuti Upacara Urabon,” tandas Shusaku.
“Maka kita akan menjadi keseimbangan bagi semua orang, sekaligus menghapus duka dan lara kita!” kata Kichijiro berapi-api.
Semester terakhir, tiga tahun yang lalu, Shusaku selalu pulang malam hari, saat kelelawar sudah kenyang menyantap serangga. Sejak semester pertama tahun terakhir di SMA, Shusaku memang sudah mengikuti program bimbingan tes masuk perguruan tinggi. Pelajaran tambahan itu dilakukan hingga larut, setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Semester kedua ini, seiring dengan semakin dekatnya ujian, bimbingan harus dilakukan setiap hari. Saat Shusaku pulang, jalanan dari stasiun ke rumah sudah lengang. Terkadang Shusaku menemukan karyawan mabuk tertidur di bangku halte yang lengang, mungkin menunggu bis atau sudah tertinggal. Hari-hari selalu sama, tapi dia harus bergegas pulang, besok pagi sekolah lagi.
Pada tanjakan terakhir di jalan menuju ke rumah, perutnya selalu menegang, entah karena jalanan menanjak atau karena ngeri mengingat sulitnya ujian masuk. Angin malam yang dingin ikut mengiris-iris perutnya seperti perut maguro, tuna sirip biru yang disajikan untuk sushi. Sebenarnya, Shusaku tidak terlalu suka dengan jurusan kedokteran yang harus diraihnya di Universitas Tokyo. Selain itu adalah jurusan yang paling sulit dimasuki, Shusaku juga merasakan beratnya beban tambahan, yaitu dia harus meneruskan tradisi agar menjadi generasi ketiga dokter di Universitas Tokyo, setelah ayah dan kakeknya. Jurusan yang seharusnya humanis dan ramah, sekarang tidak begitu wajahnya bagi Shusaku. Kursi fakultas kedokteran di Universitas Tokyo telah menjadi sangat dingin dan bengis baginya.
Semenjak taman kanak-kanak, Shusaku adalah pria kecil yang menyenangkan. Pembawaannya selalu dipuji oleh para pengajar karena ramah dan suka berbagi. Shusaku kecil juga pria yang unik, saat sudah bosan membuat berbagai jenis robot, dia akan menyulam dan membuat ikebana, saat pelajaran prakarya di sekolah. Bagi Shusaku, membuat robot dan menyulam sama-sama menantang. Sepertinya secara alamiah, otak kanan Shusaku berkembang lebih pesat daripada otak kirinya yang juga di atas rata-rata. Oleh karena itu, Shusaku sangat menggemari pelajaran sastra dan seni lukis semenjak usia sangat belia. Sehingga wajar, di sela-sela bimbingan tes yang membosankan dia senang mencuri-curi kenikmatan pada haiku-haiku klasik Matsuo Basho.
Koran pagi sudah datang. Shukaku bergegas turun dari kamarnya.
“Celaka!” katanya.
Ayahnya sudah mendahului keluar, mengambil koran. Hari ini adalah hari pengumuman penerimaan mahasiswa di Universitas Tokyo. Shusaku duduk dengan takzim di hadapan ayahnya. Jika ayahnya cemas soal nasib keberlangsungan tradisi, yang akan mencederai egonya bila anaknya gagal, maka kecemasan Shusaku berlapis-lapis adanya. Dia mencemaskan dirinya, mencemaskan kemarahan ayahnya, mencemaskan nasib ibunya, yang amat disayanginya, karena dalam keluarga mapan di Jepang, urusan sekolah anak adalah tanggung jawab ibunya, tugas ayah adalah mencari uang, titik. Ibunya pasti akan dicibir keluarga besar ayahnya dan akan mendapatkan cap sebagai menantu yang gagal menjaga tradisi pencapaian keluarga. Wajah Shusaku ditekuk seperti keberaniannya. Saat dia melihat wajah penasaran ayahnya, dia teringat jas dokter dengan bordir namanya sebagai hadiah ulang tahun ke dua belas, sekaligus inisiasi harapan keluarga untuk meneruskan tradisi.
“Kichigai!” umpat ayahnya. “Anak tak berguna!” lanjutnya sambil membanting koran.
****
Sudah tiga tahun semenjak peristiwa itu. Pada saat itu ayahnya marah besar, mengamuk dan mengambil senapan Tanegashima pusaka keluarga. Ia hendak membunuh Shusaku yang meringkuk ketakutan seperti rusa yang terpojok di tangan pemburu. Tiba-tiba ibunya keluar dari dapur, ikut rebah di atas tubuh Shusaku, seolah hendak melindungi Shusaku dari kemurkaan sang ayah.
“Bunuh aku dulu!” teriak Ibu, “Sebelum kau bunuh anakmu.”
“Anakmu sungguh tak berguna, dia lemah sepertimu!” maki Ayah.
Sang ayah kemudian bergumul dengan ibu Shusaku. Mereka berebut senapan. Dor! Sebutir peluru melesat mengenai sebuah vas bunga, hingga pecah berhamburan. Setelah menembus vas, peluru itu mengenai foto keluarga mereka, pecah berkeping. Vas dan foto yang pecah di awal musim semi bukanlah pertanda baik.
Ingatan Shusaku buyar ketika mie instan karinya mendidih. Buru-buru dia mengangkatnya dari panci pemanas. Aroma rumput laut yang sedap serta-merta menguar di dalam ruangan. Aromanya membuat ruangan menjadi hangat, seperti telah dirambati cahaya hingga ke sudut-sudutnya. Ruangan yang telah menampung segala dukanya tiga tahun terakhir ini. Kari adalah santapan kesukaan ibunya. Ibu yang selalu dirindukannya siang dan malam. Ibu yang bunuh diri karena beratnya kenyataan yang dihadapi setelah dirinya dianggap gagal menjaga amanat keluarga.
Sudah tiga kali musim semi, Sushaku tinggal di dalam cangkangnya, sebuah kamar suram di lantai dua rumahnya. Di lantai satu, tinggallah ayahnya yang sekarang sudah pensiun. Meski mereka tinggal serumah tetapi mereka berdua sangat jarang bertemu. Shusaku hampir setiap saat mengurung diri di kamar, sementara ayahnya lebih sering terbenam sake dari siang hingga malam. Sesekali Shusaku keluar pada tengah malam untuk membeli kebutuhan hidupnya di toko 24 jam, tak jauh di kompleks rumahnya. Kadang-kadang dia duduk sebentar di selasar toko untuk sekedar menghabiskan sekaleng bir lalu pulang dan kembali ke dalam cangkangnya.
Di depan kasir toko serba ada, mata Shusaku terpaku pada sebuah Edisi Khusus Majalah National Geograpic tentang Kehidupan Setelah Mati dari agama-agama di Asia, sambil lalu ia menenteng jus dan kudapan dan mencomot majalah tersebut, ternyata pada ujung yang lain ada tangan yang juga sedang memegangnya. Sempat sepersekian detik terjadi refleks tarik-menarik tak sengaja. Mata mereka saling bersirobok.
“Silakan, Anda duluan.”
“Shusaku? Lama sekali kita tidak bertemu. Kau Shusaku ‘kan? Dahulu dari SMA Tomoe?”
Seketika Shusaku terkejut, tiba-tiba bersitatap dengan orang yang mengenalnya, di saat dia sedang di luar cangkang. Rasanya seperti siput digarami. Kenyataan seolah menggores kembali pusat nalarnya. Cangkangnya adalah tempat yang paling aman dari serbuan segala kenangan yang menusuk kalbu. Seketika barang-barang dalam genggamannya dijatuhkan.
“Eeee aku…” Shusaku tidak meneruskan kata-katanya dan dia langsung berlari pulang.
****
Sebagian besar kawan kerjanya masih menikmati sarapan. Mata Megumi nyalang, dia sedang mencari sesuatu di antara buku-buku lama di meja kerjanya. Yang dicarinya nampak teronggok berdebu di rak terbawah. Sudah lama terlupakan. Buku alumninya sewaktu SMA. Buku itu dibukanya halaman demi halaman. Diamatinya wajah demi wajah, senyum-senyum di akhir masa kanak-kanak yang mungkin sekarang sudah tinggal kenangan, diberangus oleh beratnya kenyataan. Akhirnya, wajah itu ditemukannya pada wajah keempat puluh tujuh. Shusaku, alumni SMA Tomoe tahun 2017, salah satu pengidap hikokomori yang ditemuinya semalam.
Bertahun bekerja sebagai relawan hikikomori, Megumi begitu paham dengan raut ketakutan para pengidapnya. Hikiomori mulai jamak di Jepang. Sebagian besar penderitanya adalah pria usia produktif dan hidup dalam keluarga yang mapan, bahkan berkecukupan, sekali pun harus menghidupi satu orang yang tidak lagi memiliki sisa keberanian untuk keluar dari rumah, dari kamarnya. Dari cangkangnya!
Cangkang telah memberinya rasa aman dari perasaan terbuang, perasaan tidak berguna. Rasa terbuang itu seperti lintah yang menghisap asa kehidupan di dalam kalbu, sekuat apa pun dia hendak menyingkirkannya maka sekuat itu pulalah rasa sakit yang ditimbulkannya. Seringkali hikikomori yang memuncak akan berujung pada bunuh diri. Apakah tidak ada lagi peluang bagi para penderita hikikomori, sehingga kematian adalah cara terbaik untuk keluar dari ketakutan itu?
Megumi mengambil foto Shusaku di buku alumni dengan ponsel pintarnya, lalu mencetaknya dan menancapkannya pada dinding.
“Dia harus diselamatkan!” katanya.
Megumi lantas keluar dan bergabung dengan kawan-kawannya, melebur dalam reriungan.
Sementara itu, Mokichi yang baru bangun di pagi itu, segera melihat sebuah pesan pendek yang terkirim semalam. Pesan itu rupanya datang saat dia tidur semalam.
“Aku terbakar!” Begitu bunyi pesan pendek di komputer jinjing Mokichi. Tertanda waktu 3.47 dini hari. Pengirimnya adalah Shusaku.
“Kenapa?” Pesan pendek Mokichi muncul di layar Shusaku.
“Aku keluar dari cangkang. Beli bir.”
“Dan kau tergarami?” Tergarami adalah kata yang sering dipakai oleh Sindikat Hikikomori bila mereka menghadapi pertemuan yang tidak nyaman dengan orang lain.
“Iya.”
“Baiklah, nanti malam kita bertemu. Ajak saja Kichijiro.”
****
Gelap mulai memeluk langit. Hari ini telah tergelincir menjadi kemarin. Waktu telah menunjukkan pukul 2.00 dini hari. Shusaku melangkah menggigil, dia meninggikan kerah jaketnya dan merapatkan tangannya ke badan untuk mengurangi angin dingin yang melintas sisi tubuhnya. Seseorang berlari dari belakang. Seolah menghindari dingin yang mengejar. Dia yang berlari kemudian merangkulnya dari belakang.
“Jadi kau kemarin tergarami?” tanya Kichijiro, “Oleh siapa?” dia langsung memberondong pertanyaan, mungkin begitu caranya agar menjadi hangat, di suhu empat derajat Celsius. Uap air keluar dari mulutnya.
“Aku bertemu temanku waktu SMA. Dia masih mengenaliku, dia seperti mengundang kembali ingatan yang selama ini mulai bisa aku lupakan.”
“Itu memang menyakitkan. Dunia sudah bukan milik kita lagi, kita adalah milik kehidupan yang akan datang.”
“Itu Mokichi!” seru Shusaku.
Malam dingin dan suram ketika ketiga sahabat hikikomori ini bertemu. Mereka berbincang serius, dari hati ke hati. Mereka mengabaikan burung raja udang yang melintas di atasnya. Kuaknya tidak mampu memecahkan kebekuan malam itu. Mereka seolah tersihir oleh sesuatu yang sedang mereka perbincangkan.
“Ketahuilah, kita semua dibentuk oleh luka, bahkan kelahiran kita pun telah menorehkan trauma bagi kita. Dan kekalahan adalah kumpulan dari luka telah yang terlalu banyak,” Ujar Kichijiro.
“Kita menjadi seperti sekarang ini karena luka, dan beberapa luka mungkin telah terlalu dalam untuk bisa sembuh. Biarkanlah darahnya mengalir hingga menghanyutkan kita, karena itu akan mempercepat waktu peluncuran kita.”
Para pengidap hikikomori ini biasanya saling berkencan. Mereka berkencan untuk menyepakati hari peluncuran. Hari peluncuran adalah hari yang telah mereka sepakati untuk bunuh diri bersama, pada waktu yang sama di dalam cangkang mereka masing-masing.
“Orang-orang sudah tidak lagi waras, mereka membangun piramida manusia, untuk meninggikan pemenangnya mereka akan menginjak-injak sebagian besar pecundangnya,” Kata Mokichi.
“Dan para pecundang yang malang akan bekerja keras sepanjang hidupnya, demi membiayai hidup dalam sebulan mereka harus pula bekerja penuh selama sebulan. Tidak ada yang bisa disimpan walau sekedar untuk hari tua.”
“Kita di sini ada untuk menjaga keseimbangan, biarlah mereka yang di luar sana, seolah bebas berkeliaran, namun mereka terpenjara di dalam sesuatu yang keberlangsungannya ditenagai oleh mereka sendiri sebagai bahan bakarnya. Sementara kita yang di dalam justru telah terbebas dari itu semua.”
Pada akhirnya, berhikikomori yang tadinya merupakan ketersingkiran telah menjadi semacam pilihan hidup. Mereka merasa ini adalah misi untuk menjaga keseimbangan, sementara orang lain di luar, berdalih untuk memperoleh sumber daya, tapi nyatanya mereka justru memboroskan sumber daya kehidupan yang lain, seperti lingkungan.
“Hikikomori adalah kebebasan, dan puncaknya adalah hari peluncuran itu!” kata Mokichi.
Shusaku lebih banyak diam dalam pertemuan itu. Setelah pertemuan tidak sengaja dengan Megumi kemarin malam, tadi siang ia mendapatkan secarik pesan yang diselipkan melalui bawah pintu kamarnya. Isi pesannya pendek dan sederhana, tertulis pada kertas putih, tampak polos dan tulus.
“Aku tidak hendak menggaramimu.” Pesan dari Megumi.
****
Berpuluh pesan telah menyusup melalui celah bawah pintu kamar Shusaku. Megumi sengaja mengambil jalur yang melewati rumah Shusaku dan menyisipkan pesan. Tetapi tak satu pun pesan yang berbalas. Megumi kenal betul dengan perilaku pengidap hikikomori. Dia hanya perlu menunggu, pesan pendek mana yang akhirnya akan dibalas oleh Shusaku. Semua tergantung suasana hati Shusaku, namun Megumi selalu punya banyak hal untuk ia tuliskan di dalam pesan.tIa pernah akrab dengan Shusaku yang sebetulnya berhati lembut. Genap seratus enam puluh dua hari semenjak pertemuan pada dini hari itu, telepon pintar Megumi menerima pesan pendek dari Shusaku.
“Kau boleh menemuiku,” demikian isi pesan singkatnya.
Relawan hikikomori seperti Megumi dan kawan-kawannya adalah relawan yang dikelola oleh perfekture untuk menyapa para pengidap hikikomori yang mengisolasi diri. Tokyo adalah kota dengan pengidap hikikomori terbanyak di Jepang. Mereka ada untuk sekedar menyapa dan meyakinkan orang dengan hikikomori untuk bersosialisasi, meyakinkan mereka untuk berani keluar dari cangkang kemudian kembali menghadapi kenyataan hidupnya, seburuk apa pun itu. Langkah awal pendekatan pada orang dengan hikikomori adalah dimulai dengan mendekati keluarganya. Setelah mendapat persetujuan keluarga, lantas relawan akan mengirimkan pesan secara periodik melalui bawah pintu cangkangnya. Demikian terus-menerus hingga akhirnya mendapatkan balasan. Pada tahap ini, artinya ia sudah mengulurkan tangan untuk segera mendapatkan pertolongan.
Pertemuan antara Megumi dan Shusaku selalu dilakukan di dalam cangkang Shusaku. Megumi selalu mengajak Shusaku untuk bertemu di luar, tetapi Shusaku selalu menolak. Shusaku selalu menghadapi Megumi dengan dingin. Ajakan bertemu selalu datang dari Megumi. Shusaku sama sekali tidak membutuhkan kehadiran Megumi di dalam hidupnya. Megumi hanya Shusaku menghabiskan waktu bersama, kadang bermain tebak-tebakan, kadang hanya bercerita yang remeh-temeh semasa SMA. Hingga pada suatu kali Megumi datang sekantung plastik bawaan dan sebuah kompor portable.
“Hari ini kita akan memasak kari! Aku punya sayuran, daging dan bumbu-bumbunya.”
Shusaku terpaku di pojok kamarnya. Dia berdebar-debar mendengar kata kari. Terlebih lagi ada yang mengajaknya memasak kari, sesuatu yang dahulu hanya dilakukan oleh mendiang ibunya. Seperti bertemu apa yang selama ini dirindukannya, tangan Shusaku hanya bergerak seturut ketika diminta mengiris sayuran.
“Tidak ada memotong yang tidak menimbulkan luka, luka pada sayuran, luka pada daging dan bumbu-bumbu. Tetapi luka itu justru kita perlukan. Tanpa luka, daging dan sayuran hanya akan berasa primitif seperti aslinya. Rasa umami hanya akan muncul ketika sayuran dan daging dipanaskan bersama. Dan kari yang enak adalah kari yang paling banyak menorehkan luka pada bahan-bahannya,” celoteh Megumi yang membersamai Shusaku memotong sayuran.
“Tidak akan ada rasa yang baru tanpa kita mengijinkan luka untuk bekerja mengubah segalanya,” Shusaku mematung, ia menghentikan gerakan tangannya yang sedang memotong.
“Begitu pula dengan hidup kita, kadang kita hanya perlu membiarkan luka terberat sekalipun untuk melahirkan sesuatu yang baru dari diri kita.” Dengan cekatan Megumi memasukkan semuanya ke dalam panci berisi air yang sudah mendidih.
Kata-kata Megumi kali ini begitu mengiang dalam kalbu Shusaku. Gaungnya sangat kuat menggetarkan seluruh membran di dalam otaknya. Shusaku hanya bisa menyantap kari itu dengan tanpa bersuara. Hatinya sungguh berkecamuk kala itu. Di dalam batinnya ada dua hal yang seolah berlawanan. Semalam dia baru saja menyepakati kencan hikikomori pada Hari Arwah, yang itu berarti tinggal sebulan lagi. Dan hari ini Megumi berkata tentang peluang lahirnya hal yang baru justru dari luka yang menganga. Suasana hening sesaat.
“Bisakah besok kita bertemu lagi?” kata Shusaku sambil terbata-bata.
****
Segala sesuatu boleh datang dan pergi dalam hidup kita. Namun hanya takdir yang boleh datang dan pergi tepat pada waktunya. Hanya takdir yang datang pada masa pekanya untuk menjadi perubahan besar dalam hidup seseorang. Takdir datang seperti benih padi yang jatuh pada musim semi. Langsung bisa tumbuh, tak perlu menunggu lebih lama lagi, bahkan sampai tidak sempat menjadi santapan burung pipit yang kelaparan. Begitu pula dengan kehadiran Megumi dalam hidup Shusaku. Megumi telah menghadirkan simpang jalan dalam hidup Shusaku. Dia menjadi ragu akan ketetapan hatinya terhadap kencan hikikomori yang telah dia sepakati dengan Kichijiro dan Mokichi pada Hari Arwah.
Mokichi, Shusaku dan Kichijiro telah berkencan hikikomori pada Hari Arwah. Di saat orang-orang sedang berdoa di kuil untuk mendiang para arwah, mereka bersepakat untuk bunuh diri dari dalam cangkang masing-masing. Mokichi adalah yang paling tua di antara mereka. Dahulu ia adalah pengusaha muda yang sukses, hingga akhirnya ia terpuruk dalam kegagalan investasi beruntun yang membuatnya tidak punya keberanian lagi untuk bangkit. Dia sudah tujuh tahun ber-hikikomori. Hampir sama dengan Mokichi dan Shusaku, Kichijiro adalah kawan hikikomori yang baik. Dia anak hasil kawin campur antara Ibu Tokyo dan Bapak Klaten. Pada saat Kichijiro kecil, orang tuanya bercerai hingga Kichijiro ikut ayahnya ke Klaten. Masa kecilnya di Klaten yang hanya sesaat itu tidak begitu menyenangkan, bermata sipit dan berkulit pucat membuatnya menjadi bahan perundungan kawan-kawannya. Hidupnya di Jepang dimulai saat ayahnya meninggal. Ibunya memboyongnya ke Tokyo. Dan Tokyo bukanlah kota yang ramah bagi pendatang yang pernah kesulitan berbahasa Jepang. Apalagi sekolahnya, sangat berat bagi Kichijiro yang menempuh pendidikan dasar di Klaten.
Dalam sebulan ini, intensitas pertemuan Shusaku dan Megumi semakin bermakna. Megumi semakin bisa menyelami hati Shusaku. Hatinya bagai danau es yang pejal, dingin. Dan kedalamannya membuat cahaya matahari susah menembusnya. Namun, di balik itu, Megumi menemukan keindahan hati Shusaku yang ternyata sangat rapuh. Hatinya begitu indah sekaligus begitu rentan. Megumi hanya perlu waktu dan keterbukaan Shusaku untuk mengobati hatinya yang terluka itu. Hatinya kesepian dan merana. Megumi berusaha memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan-pertemuan mereka. Hatinya semakin terpaut pada hati Shusaku. Megumi sangat optimis bahwa dia akan sanggup mengajak Shusaku keluar dari cangkangnya secara permanen.
“Datanglah ke rumahku pada liburan Hari Arwah,” kata Shusaku.
“Aku akan datang,” sahut Megumi.
“Datanglah saat makan siang, aku akan memasak untukmu. Sementara untuk satu pekan ini kita jangan bertemu dahulu,” pinta Shusaku.
Siang hari pada saat liburan Hari Arwah, Megumi berjalan ke rumah Shusaku. Hatinya berbunga-bunga. Namun langkahnya terhenti ketika dia melihat sebuah ambulans pergi dari rumah Shusaku. Ayah Shusaku masih mengenakan piyama dan tampak bersedih. Saat Megumi menemuinya, ayah Shusaku mengatakan bahwa ada sesuatu untuknya di kamar Shusaku. Tanpa sempat bertanya siapa yang pergi dengan ambulans, Megumi segera masuk ke kamar Shusaku. Ada kari yang masih hangat, asapnya masih mengepulkan aroma yang lezat. Di samping mangkuk kari ada ikebana bergaya jiyuka yang didominasi warna monokrom. Di bawahnya ada secarik kertas putih polos dengan selarik tulisan.
“Aku kencan dengan Kichjiro dan Mokichi. Tidak semua luka bisa melahirkan yang baru. Aku terlalu takut.” Kertas itu ditandai huruf kanji Shusaku.
_______________________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/kencan-hikikomori/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 13 Februari 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Alexander
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Dahana
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.C. Andre Tanama
A.J. Susmana
A.S. Laksana
A’an Jindan AS
Abd. Mun’im
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kirno Tanda
Abdul Lathif
Abdul Malik
Abdul Rauf Singkil
Abdul Walid
Abdurrahman Wachid
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adhitia Armitrianto
Adhy Rical
Adi Faridh
Adian Husaini
Adin
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adrizas
Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI
AF. Tuasikal
Afri Meldam
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agit Yogi Subandi
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Rakasiwi
Agus Sulton
Agus Wibowo
Agus Wirawan
Aguslia Hidayah
AH J Khuzaini
Ah. Atok Illah
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Anshori
Ahmad Damanik
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Gaus
Ahmad Hasan MS
Ahmad Jauhari
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fiah
Akbar Ananda Speedgo
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Siddiq
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al-Fairish
Al-Ma'ruf I
Al-Ma'ruf II
Alang Khoiruddin
Albert Camus
Ali Mahmudi Ch
Alia Swastika
Alvi Puspita
Alvin
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Anam Rahus
Anas AG
Andhi Setyo Wibowo
Andi Gunawan
Andry Deblenk
Angela
Anggie Melianna
Anindita S. Thayf
Anis Ceha
Anitya Wahdini
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Nuris
Aprillia Ika
Arida Fadrus
Aridus
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Ariel Heryanto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Arwan
Aryo Wisanggeni
Aryo Wisanggeni Gentong
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Ashadi Ik
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Asro Kamal Rokan
Astrid Reza
Asvi Warman Adam
Atafras
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azwar Nazir
Baca Puisi
Badrus Siroj
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bambang kempling
Bambang Riyanto
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Bernarda Rurit
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bre Redana
Brunel University
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Jay Utomo
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Budi Setyarso
Budi Sp. Indrajati
Budiman S. Hartoyo
Budiman Sudjatmiko
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Choirul Rikzqa
Christian Heru Cahyo Saputro
Cover Buku
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dadang Widjanarko
Damiri Mahmud
Dani Fuadhillah
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Dati Wahyuni
Dawet Jabung Ponorogo
Dedykalee
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Desa Glogok Karanggeneng Lamongan
Deshinta Arofah Dewi
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan
Dewi Anggraeni
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Didik Kusbiantoro
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Djulianto Susantio
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Dorothea Rosa Herliany
Dr Andi Irawan
Dr Siti Muti’ah Setiawati
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Drs. Solihin
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwidjo Maksum
Dyah Ayu Fitriana
Eddi Koben
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy Apriyanto Sudiyono
Edy Firmansyah
Edy Susanto
Efri Ritonga
EH Ismail
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hartono
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
El Sahra Mahendra
Elita Sitorini
Elly Trisnawati
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Em. Syuhada'
Emha Ainun Nadjib
Encep Abdullah
Eni Sulistiyawati
Eny Rose
Esai
Ester Lince Napitupulu
Etik Widya
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathan Mubarak
Fathul Qodir
Fathul Qorib
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Seni Surabaya 2011
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fikri. MS
Fiqih Arfani
Firman Daeva
Forum Lingkar Pena Lamongan
Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L)
Forum Santri Nasional
Forum Santri Nasional (FSN)
Free Hearty
Galuh Tulus Utama
Gandis Uka
Ganug Nugroho Adi
Gedung Sabudga UNISDA Lamongan
Gendut Riyanto
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Pratama
Glenn Fredly
Goenawan Mohamad
Golput
Gombloh
Gombloh (1948 – 1988)
Grathia Pitaloka
Gugun el-Guyanie
Gunoto Saparie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hafis Azhari
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamid Dabashi
Han Gagas
Hardi Hamzah
Hari Prasetyo
Haris Del Hakim
Haris Saputra
Hary B Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Hendro Situmorang
Henri Nurcahyo
Henry H Loupias
Hera Khaerani
Heri CS
Heri Kris
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Kuntoyo
Heru Kurniawan
Hikmat Darmawan
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humaidi
Humam S Chudori
I Made Asdhiana
I Nyoman Suaka
I. B. Putera Manuaba
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ichwan Prasetyo
Ida Fitri
Ignas Kleden
Ilham Safutra
Ilham Wancoko
Imam Munadjat
Imam Nawawi
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Herdiana
Imron Arlado
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indigo Art Space Madiun
Indra Tjahyadi
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Iqmal Tahir
Is Faridatul Arifah
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Isra’ Mi’raj
Iswadi Pratama
Iswara N Raditya
Iva Titin Shovia
Iwan Awaluddin Yusuf
Iwan Gunadi
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Jansen Sinamo
Janu Jolang
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jemie Simatupang
Jenny Ang
Jiero Cafe
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jl Simo
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Joko Budhiarto
Joko Sadewo
Joko Sandur
Joko Widodo
Jones Gultom
Joni Ariadinata
Joresan Mlarak Ponorogo
Joseph E. Stiglitz
Jual Buku Paket Hemat
Junus Satrio
Jurnalisme Sastra
K. Hirzuddin Hasbullah
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma’ruf Amin
K.H. Masrikhan Asy'ari
K.H. Mudzakir Ma'ruf
Kadjie MM
Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad
Kang Daniel
Karanggeneng
Kartika Foundation
Kasanwikrama
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kekal Hamdani
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Kesenian
KH. M. Najib Muhammad
KH. Ma'ruf Amin
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Anwar
Khoirul Inayah
Khoirul Naim
Khoirul Rosyadi
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Koko Sudarsono
Komaruddin Hidayat
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA)
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Kopi Bubuk Mbok Djum
Kopuisi
Korban Gempa di Lombok
Kospela
KPRI IKMAL Lamongan
Kris Razianto Mada
Kritik Sastra
Kurnia Sari Aziza
Kurniawan
Kusni Kasdut
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
Lagu
Laili Rahmawati
Laksmi Sitoresmi
Lamongan
Lan Fang
Larung Sastra
Lathifa Akmaliyah
Latif Fianto
Leila S. Chudori
Leo Tolstoy
Lina Kelana
Listiyono Santoso
Liya Izzatul Iffah
Liza Wahyuninto
Lucky Aditya Ramadhan
Ludruk Jawa Timur
Lukisan
Lukman Alm
Lukman Santoso Az
Luqman Almishr
Lustantini Septiningsih
Lutfi S. Mendut
Lynglieastrid Isabellita
M Ismail
M Zainuddin
M. Afif Hasbullah
M. Faizi
M. Iqbal Dawami
M. Irfan Hidayatullah
M. Latief
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Mushthafa
M. Riza Fahlevi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Maghfur Munif
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahwi Air Tawar
Majelis Ulama Indonesia
Makalah Tinjauan Ilmiah
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an
Maqhia Nisima
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Marjohan
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Hatch
Marwan Ja'far
Marwita Oktaviana
Marzuki Mustamar
Mashuri
Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar
Masuki M. Astro
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Max Arifin
Maya Handhini
Mbah Kalbakal
Medco
Media Jawa Timur
Medri Osno
Mega Vristian
Mei Anjar Wintolo
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
Mentari Meida
Mh Zaelani Tammaka
Michael Gunadi Widjaja
Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno)
Misbahul Huda
Misbahus Surur
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh Samsul Arifin
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ghannoe
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Rain
Muhammad Taufik
Muhammad Yasir
Muhammad Zia Ulhaq
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukhsin Amar
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Mun'im Sirry
Muntamah Cendani
Museum Bikon Blewut Ledalero
Musfarayani
Musfi Efrizal
Musyayana
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nabi Adam
Nanang Fahrudin
Nandang Darana
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Ni Luh Made Pertiwi F
Nindya Herdianti
Ninin Nurzalina Wati
Nitis Sahpeni
Nono Anwar Makarim
Noor H. Dee
Noorsam
Noval Jubbek
Novel Pekik
Novianti Setuningsih
Nu’man ‘Zeus’ Anggara
Nur Hamzah
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nuswantoro
Nyimas
Nyoman Tingkat
Obrolan
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Opini
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Pameran Seni Rupa
Panda MT Siallagan
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Pekan Literasi Lamongan
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Saron
Pelukis Senior Tarmuzie
Pendidikan
Penerbit SastraSewu
Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan
Pengajian
Pengetahuan
Perang
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pesantren Kampung Inggris
Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011
Petrik Matanasi
Pilang Tejoasri Laren Lamongan
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pilkada
Piramid Giza
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pradana Boy ZTF
Pradaningrum Mijarto
Pramoedya Ananta Toer
Prih Prawesti Febriani
Pringadi AS
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Profil MA Matholi'ul Anwar
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Hartanto
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Puspita Rose
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Satria Kusuma
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.Ng. Ronggowarsito
Rabdul Rohim
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sazaly
Rahmat Sularso Nh
Raihul Fadjri
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Rengga AP
Reni Lismawati
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Riadi Ngasiran
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Rieke Diah Pitaloka
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Rizka Halida
Rizky Putri Pratimi
Robin Al Kautsar
Rocky Gerung
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohmad Hadiwijoyo
Rohmah Maulidia
Rohman Abdullah
Rojiful Mamduh
Rosdiansyah
Rosi
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rumah Budaya Pantura Lamongan
Rumah Literasi
Rx King Motor
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Saifur Rohman
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Pasir Art and Culture
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Sardono W Kusumo
Sartika Sari
Sarworo Sp
Sastra Facebook
Satmoko Budi Santoso
Satrio Lintang
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Savidapius
Sayuri Yosiana
Sayyid Fahmi Alathas
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
SelaSAstra Boenga Ketjil
SelaSAstra Boenga Ketjil #23
SelaSAstra Boenga Ketjil #24
Seni Ambeng Ponorogo
Senirupa
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Shofiyatuz Zahroh
Shohebul Umam JR
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Silfia Hanani
Sindu Putra
Sita Planasari Aquadini
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Hadi Purnomo
Soediro Satoto
Soegiharto
Soeprijadi Tomodihardjo
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sony Wibisono
Sosiawan Leak
Sreismitha Wungkul
Sri Igustin
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Sriyanto Danoesiswoyo
Stefanus P. Elu
Stevani Elisabeth
STKIP PGRI Ponorogo
Student Center Kampus ISI Yogyakarta
Subagio Sastrowardoyo
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Ariyadi
Sukitman
Sumenep
Sumiati Anastasia
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungelebak
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Suripto SH
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Suyadi San
Syafrizal Sahrun
Syaifuddin Gani
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Syamsul Arifin
Syamsul Rizal
Syi'ir
Syifa Amori
Syifa Aulia
T.A. Sakti
Tajuddin Noor Ganie
Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar
TanahmeraH ArtSpace
Tarpin A. Nasri
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater
Teater Air
Teater Bias
Teater Biru
Teater Cepak
Teater Dua
Teater Kanjeng
Teater Lingkar Merah Putih
Teater Mikro
Teater nDrinDinG
Teater Nusa
Teater Padi
Teater Roda UNISDA Lamongan
Teater Sakalintang
Teater Tali Mama
Teater Taman
Teater Tawon
Teater Tewol
Teguh LR
Temu Karya Teater Jawa Timur XXI
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Teori Darwin
Teori Fisika Hawking
Tgk Abdullah Lam U
Tharie Rietha
The Ibrahim Hosen Institute
Theresia Purbandini
Thomas Koten
Tien Rostini
Timur Arif Riyadi
Tjahjono Widarmanto
Tjut Zakiyah Anshari
Toeti Adhitama
Tosa Poetra
Tri Andhi S
Triyanto triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tutut Herlina
Ucu Agustin
Udo Z. Karzi
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi
Uniawati
Unieq Awien
Universitas Jember
Usman Arrumy
Ustadz Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vassilisa Agata
Veven Sp. Wardhana
Viddy AD Daery
Video
Vino Warsono
Virdika Rizky Utama
Vita Devi Ajeng Pratiwi
W. Haryanto
W.S. Rendra
Wakos R. Gautama
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Suryandoko
William Shakespeare
Wisnu Kisawa
Wiwik Widiyati
Wong Wing King
Wuri Kartiasih
Y. Wibowo
Yayasan Thoriqotul Hidayah 1
Yayat R. Cipasang
Yesi Devisa
Yesi Devisa Putri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yulianto
Yuliawati
Yunanto Sutyastomo
Yunus Supriyanto
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf AN
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Yuyuk Sugarman
Z. Mustopa
Zaim Rofiqi
Zainal Arifin Thoha
Zarra Martsella
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zen Hae
Zii
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar