Alang Khoiruddin **
Pembicaraan terkait dengan peta perkembangan komunitas sastra Indonesia di Jawa Timur sebenarnya telah lama dilakukan dan diupayakan oleh para pemerhati, terutama oleh para peneliti Balai Bahasa Jawa Timur. Dari hasil pembicaraan dan sejumlah penelitian tersebut barangkali dapat disimpulkan bahwa perkembangan sastra di suatu daerah memang tidak dapat dilepaskan dari peran komunitas sastra yang ada di masing-masing daerah. Tak terkecuali di Lamongan.
Lamongan yang secara geografis sebagai kabupaten kecil, agaknya perlu bersyukur dalam hal gerakan kebangkitan sastra dan kehidupan literasinya. Dibandingkan dengan daerah sekitarnya: Tuban, Bojonegoro, Gresik, Jombang dan Mojokerto, boleh dibilang Lamongan memiliki infrastruktur kesastraan yang lebih memadai. Selain ditunjang oleh beberapa komunitas sastra dengan cakupan wilayah kerja yang berbeda, Lamongan juga diuntung-kuatkan oleh banyaknya penerbit buku sastra. Dua hal itulah yang barangkali dapat digunakan sebagai alat untuk melihat peta perkembangan komunitas sastra di Lamongan maupun di sekitarnya.
Komunitas Sastra-Teater Lamongan (Kostela)
Membicarakan geliat-kehidupan kesusastraan Lamongan hari ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan). Kostela menjadi motor penggerak kehidupan sastra di Lamongan. Komunitas yang berdiri di penghujung tahun 1999 ini awalnya bergerak dalam bidang teater namun di kemudian hari lebih dikenal aktivitas kesusastraannya setelah bergabungnya Herry Lamongan. Lahirnya Kostela menandai babak baru perkembangan sastra Lamongan.
Setelah lahirnya Kostela, kehidupan sastra di Lamongan benar-benar tampak hidup dan dinamis. Sebagai ikon kebangkitan sastra Lamongan, setidaknya kehadiran Kostela dapat dicirikan ke dalam beberapa hal. Pertama, Kostela merupakan komunitas sastra Lamongan yang lahir saat kegelisahan dan kelesuhan luar biasa. Belum adanya komunitas yang menjadi wadah berkumpul antar sesama orang yang telah melakukan proses kreatif. Masa sebelum ini yang ada hanya laku personal penulis, belum ada bimbingan, pergesekan pemikiran dalam komunitas yang memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Setelah lahirnya Kostela kecakapan menulis ditularkan saling belajar, berbagi dan memberi apresiasi.
Kedua, Kostela-lah yang mulai membangun pondasi kreativitas dan apresiatif secara terstruktur. Meskipun Kostela adalah organisasi yang ‘tak jelas’, dalam arti organisasi yang tanpa ketua namun hampir seluruh kegiatan Kostela terstruktur rapi. Harus diakui komunitas ini mempunyai prestasi yang luar biasa dalam membangkitkan kreativitas, pengkaderan serta membangun wacana diskusi lewat Candrakirana yang sampai hari ini telah lebih dari 150 purnama diadakan. Ketiga, Kostela memiliki jelajah yang lebih jauh dibanding komunitas-komunitas yang lain. Dalam istilah yang sering saya katakan, Kostela dapat dianggap sebagai ‘poros’ atau induk komunitas sastra yang ada di Lamongan.
Lahirnya Kostela membawa perubahan besar bagi perkembangan sastra di Lamongan. Tidak hanya pada aspek kreativitas, kekaryaan, discoursus kesastraan tapi juga pada aspek emosional. Sejumlah kegiatan yang pernah diadakan secara rutin oleh Kostela seperti Candrakirana, Safari Sastra, penerbitan majalah sastra Indupati, dan penerbitan buku menjadi semacam ‘pupuk’ yang mampu menumbuhkembangkan kehidupan sastra di Lamongan menjadi lebih subur. Setidaknya melalui kegiatan-kegiatan tersebut, sastra Lamongan mulai menggeliat, hidup, berkembang dan dikenal oleh publik sastra di luar Lamongan.
Setidaknya tercatat beberapa nama pesohor sastrawan yang pernah muncul dan terlibat dalam diskusi sastra Candrakirana di antaranya: Herry Lamongan, Cak Sariban, Nurel Javissyarqi, Syarifuddin Deha, Timur Budi Raja, Mardi Luhung, Gampang Prawoto dan baru-baru ini S. Jai. Dari Kostela pula lahir nama seperti Pringgo Hr, Sutardi, Bambang Kempling, Alang Khoiruddin, Ahmad Syauqi Sumbawi, Ahmad Zaini, Saiful Anam Assaibani, Imamuddin SA, Rodli Tl, A. Rodhi Murtadlo, Haris Del Hakim, Heri Listianto dan lain-lain.
Peta Perkembangan Komunitas Sastra Lamongan Mutakhir
Kiprah Kostela sebagai penggerak sastra di Lamongan sampai hari ini belum tergantikan. Meski sempat beberapa kali mandeg dalam menjalankan aktivitas berkeseniannya, namun komunitas ini tetap melakukan aktivitas-aktivitas dalam ruang yang terbatas. Setelah tahun 2009 para anggotanya lebih banyak melakukan aktivitas kreatifnya dengan membentuk komunitas baru dan menjadi pendorong-penggerak sastra di ‘ruang’ barunya masing-masing. Misalnya, Rodli Tl yang kemudian memfokuskan kegiatannya di Sanggar Bahasa Kampung ‘Sangbala’, Nurel Javissyarqi dengan Penerbit Pustaka Pujangga, Forum Sastra Lamongan (FSL) dan beberapa blog sastranya, Ahmad Sauqi Sumbawi dengan Rumah baca-belajar Semesta Hikmah, Alang Khoiruddin dengan Forum Penulis dan Pegiat Literasi (FP2L) Lamongan dan penerbit Pustaka Ilalang-nya, Saiful Anam dengan sanggar LA Ros dan Literacy Institut-nya dan lain-lain.
Selain beberapa komunitas sastra di atas, terdapat juga komunitas yang secara spesifik memfokuskan kerjanya pada ruang terbatas yaitu Komunitas GU yang dimotori oleh Nur Kholis Huda dan Indie Literary Club (ILC) yang didirikan oleh Iva Titin Shovia dan Fatimah Kimora. Komunitas GU berdiri pada tahun 2016, beranggotakan para guru Sekolah Dasar yang memiliki hobi menulis. Oleh karena itu tak heran jika Komunitas ini memfokuskan kerjanya pada pendokumentasian karya-karya sastra maupun esai pendidikan karya para guru di tingkatan Sekolah Dasar terutama sekolah negeri. Sedangkan Indie Literary Club (berdiri tahun 2018) memulai kegiatannya dengan mengadakan diskusi dan pelatihan menulis melalui media online. Komunitas yang kebanyakan beranggotakan kaum perempuan ini sudah beberapa kali menerbitkan buku hasil dari diskusi dan pelatihan menulis via online.
Perkembangan komunitas sastra di Lamongan tidak hanya menyasar pada penulis yang tinggal di jalur pertengahan kota tapi juga merata penyebarannya di Lamongan bagian utara-pantura. Tahun 2018 lahir komunitas Rumah Budaya Pantura (RBP) yang dibina oleh Hari Nugroho. Salah satu pegiat komunitas ini adalah Deni Jazuli seorang seniman jebolan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Komunitas seni, budaya dan literasi ini diinisiasi oleh Japfa Foundation, sebagai bentuk kepedulian terhadap pengembangan SDM dari aspek budaya dan seni terutama yang ada di daerah pantura-Paciran Lamongan.
Komunitas Penerbit Buku Sastra di Lamongan
Fenomena unik dan menarik yang terjadi di Lamongan bersamaan dengan munculnya komunitas sastra adalah juga munculnya komunitas penerbit buku-buku sastra. Saya katakan komunitas penerbit sastra karena sebuah komunitas sastra tidak harus memiliki struktur organisasi yang jelas, jika ada lebih dari satu orang melakukan satu aktivitas rutin bersama dengan minat yang sama yaitu sastra, maka dapat dikatakan itulah komunitas sastra. Bahkan jika itu hanya dilakukan oleh seorang diri, maka tetap dapat dikatakan sebagai komunitas. Hal ini pernah dilakukan oleh Afrizal Malna, ia membentuk Komunitas Sepatu Biru yang hanya beranggotakan dirinya sendiri. Sebuah komunitas akan terus hidup jika ada individu yang suka rela menggerakkan komunitasnnya. Inilah ciri utama sebuah komunitas.
Pada awal tahun 2000-an, komunitas Kostela dan sejumlah individu di Lamongan, seperti Nurel Javissyarqi, Alang Khoiruddin, Sauqi Sumbawi dengan berani dan suka rela menggerakkan dunia penerbitan yang ada di Lamongan. Mereka menulis karya sendiri, memfoto copy buku sendiri, menyablon sampul, menjilid dengan lem rajawali, memotong dengan carter dan memasarkan buku-buku mereka sendiri. Sebuah kerja sulit pada waktu itu untuk bisa menerbitkan buku dan membuat penerbit sendiri.
Fenomena penerbitan di Lamongan yang demikian pernah mendapatkan perhatian banyak pihak, termasuk oleh almarhum Fahrudin Nasrulloh seorang pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang. Dalam makalahnya yang berjudul Dewan Kesenian dan Problematik Sastra Jatim pada sub judul Penggerak Sastra Lokal, Ia mengatakan bahwa “Lamongan adalah gudangnya sejumlah penulis yang berkarya dan menerbitkan karya dengan koceknya sendiri. Kita bisa menyebut Nurel Javissyarqi dengan Penerbit Pustaka Pujangga-nya, Alang Khoiruddin (Penerbit Pustaka Ilalang), AS Sumbawi (Penerbit Sastranesia), dll. Puluhan karya sastra baik dari penulis Lamongan sendiri maupun dari luar banyak yang mereka terbitkan.”
Selain komunitas sastra Kostela, penerbit-penerbit sastra lokal ini diakui atau tidak telah memberikan kontribusi yang tak kalah besarnya dalam menggerakkan sastra di Lamongan. Hanya saja memang tidak semua penerbit itu dapat terus eksis. Namun dengan munculnya penerbit-penerbit tersebut sejumlah teks-teks sastra dari Lamongan bisa terdokumentasikan dan dibaca oleh banyak orang. Sampai hari ini setidaknya tercatat beberapa penerbit yang ikut berkontribusi dalam mengembangkan dunia kesusastraan di Lamongan seperti Pustaka Pujangga, Pustaka Ilalang, Sastranesia, Mitra Kreatif, Pagan Press, Pustaka Djati, Pustaka Wacana, Pustaka Progresif, Penerbit Nun, Pustaka GU, dan lain-lain.
Keberadaan Komunitas Sastra di Sekitar Lamongan
Komunitas-komunitas sastra di sekitar Lamongan yang saya maksudkan dalam tulisan ini adalah komunitas-komunitas sastra yang ada di wilayah kabupaten Tuban, Gresik, Bojonegoro, Jombang dan Mojokerto. Hal ini dikarenakan sejumlah kabupaten tersebut secara geografis bersebelahan dengan kabupaten Lamongan. Keberadaan komunitas sastra di Tuban jika diamati baru menampakkan geliatnya pada sekitar tahun 2009-an dengan lahirnya Komunitas Sanggar Sastra (KOSTRA) Unirow Tuban. Komunitas ini dibina oleh Suhariadi seorang dosen sastra dan budayawan Tuban yang cukup berpengaruh. Keberadaan komunitas ini seolah kehilangan gaungnya tatkala ditinggal anggota generasi awalnya seperti Ahmad Moehdor al-Farisy, Aksin Taqwan Embe, dan meninggalnya Suhariadi selaku pembina. Meski telah ada beberapa komunitas sastra yang lain semisal Komunitas Langit Tuban, Komunitas Kali Kening di Bangil Tuban dengan pegiatnya Joyo Juwoto, Komunitas Sastra Pesisir, Komunitas Pelopor Dongeng Anak Tuban (Kompor Donat), Gerakan Tuban Menulis, TIK Tuban, namun dalam hal perkembangan kehidupan sastranya boleh dibilang masih kalah cepat dengan daerah sekitarnya seperti Lamongan, Bojonegoro dan Gresik. Hal ini diakui oleh Dr. Sariban, seorang akademisi, pegiat dan kurator sastra Tuban. Menurutnya: “Tuban sebagai kabupaten pesisir dalam gerakan sastra pantura agaknya boleh dibilang berlari estafet dalam takdir urutan belum terdepan. Ini jika dibandingkan dengan Gresik, Lamongan dan Bojonegoro.”
Komunitas Sastra Gresik
Sastra Gresik sebenarnya diuntungkan dengan adanya sastrawan terkenal Mardi Luhung yang karya-karyanya sering dimuat di Kompas. Namun gerakan personal Mardi Luhung saja tidak cukup untuk menghidup kembangkan kesusastraan di Gresik. Nafas Kehidupan sastra Gresik tetap bergantung pada peran komunitas-komunitas sastra semisal: komunitas Sanggar Seni Cager atau Cakrawala Gresik yang dipelopori oleh Lenon Machali Dewi Musdalifah. Ada juga komunitas pegiat budaya Mata Seger yang kemudian berkembang menjadi Yayasan Mataseger (Masyarakat Pecinta Budaya Gresik, 2014) yang diketuai Kris Adji yang berkonsentrasi terhadap persoal budaya di Gresik, terutama budaya masa lampu, Sanggar Pasir beralamat di Mulyosari Ujung Pangkah Gresik, Teater Ndrinding Zuhdi swt, dan Kajian Sastra Samrotul Fuadah (KASADA) Sedayu Gresik yang dimotori Yusak.
Komunitas Sastra Bojonegoro
Geliat sastra Bojonegoro selama beberapa dasawarsa lebih dikenal dengan sastra Jawa-nya. Hal ini dikarenakan konsistensi komunitas Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB) yang sejak 6 Juli 1982 sampai sekarang tak henti-hentinya menjaga, mempertahankan sekaligus mengembangkan bahasa Jawa di Bojonegoro dan sekitarnya. Oleh karenanya tak heran Bojonegoro dibilang sebagai gudangnya sastrawan Jawa. Di sana ada JFX Hoery, Djayus Pete, Nono Warnono hingga Gampang Prawoto. Terkait dengan keberadaan komunitas sastra yang lain, beberapa tahun belakangan ini muncul komunitas-komunitas sastra berbahasa Indonesia, di antaranya Komunitas Sastra Bojonegoro (PSB), Komunitas Sastra Etnik juga komunitas-komunitas rumah baca masyarakat. Setidaknya sampai hari ini terdapat 154 rumah baca di Bojonegoro. Ada Rumah Baca Kinanthi yang didirikan Emi Sudarwati, Rumah Litersi KBM (Kita Belajar Menulis) di Kepohbaru yang dimotori oleh Selamet Widodo dan lain-lain. Selain beberapa komunitas dan rumah baca masyarakat, perkembangan kehidupan sastra Bojonegoro juga tidak lepas dari peran serta penerbit yang ada di sana seperti kelompok penerbit Majas Group milik Jonatyhan Raharja dan Pustaka Intermedia yang dipimpin Amin Mustofa.
Komunitas Sastra Jombang
“Wajah Komunitas Jombang” tulisan Purwanto dan Siti Sa’adah yang termuat di website sastra-indonesia.com setidaknya dapat kita gunakan untuk melihat keberadaan komunitas-komunitas sastra yang ada di Jombang. Menurut keduanya, sastra Jombang belum dapat dikatakan mengalami perkembangan yang signifikan. Meski demikian, ada hal yang membanggakan yaitu munculnya banyak komunitas sastra. Di antara komunitas sastra yang paling menonjol di Jombang adalah Komunitas Lembah Pring (2010) yang dimotori oleh Jabbar Abdullah dan alm. Fahrudin Nasrullah. Ada juga komunitas LISWAS (Lingkar Studi Warung Sastra) dengan ketuanya Aditya Ardhi Nugroho-Genjus, Sanggar Kata yang dikelolah Fathoni Mahsun, Luthfi Aziz, Budi Mardiono, Sanggar Belajar Bareng Gubuk Liat –yang digerakkan oleh Rahmat Sularso, M Rifqi Rahman, Komunitas Pena (Koma, 2007) yang lahir di ponpes Bahrul Ulum, Sanggar Sinau Lentera (SSL, 2010) yang diketuai Hadi Sutarno alias Wong Wingking. Selain beberapa komunitas di atas, ada juga Komunitas Alif yang diasuh Edi Hasoyo, kelompok Alifna Qolba sebuah komunitas pelajar siswa SMA 1 Muhamadiyah diinisiasi oleh remaja bernama Mahendra, Komunitas Lembah Pena Endhut Ireng (2009) - Aang Fatihul Islam, Komunitas Bunga Kecil-nya Andhi Setya Wibowo.
Komunitas Sastra Mojokerto
Aming Aminoedhin, presiden penyair Jawa Timur yang mengaku juga orang Mojokerto pernah membuat sepenggal catatan Sejarah Sastra Mojokerto. Dalam catatan singkat tersebut terekam geliat komunitas dan perkembangan sastra Mojokerto. Dimulai dengan terbentuknya Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto,1996) yang meleganda sampai pada komunitas-komunitas sastra mutakhir.
Perkembangan komunitas sastra Mojokerto boleh dibilang dinamis. Setelah Forasamo beberapa komunitas sastra dan musik bermunculan. Misalnya Forum Sebrang Dalan, GePapat, Girilaya, Komunitas Arek Japan yang dimotori oleh Ahmad Fatoni, Komunitas Sastra Pondok Kopi yang digeliatkan oleh Kiki Efendi, Dadang Ali Murtono. Belum lagi munculnya Lingkar Studi Sastra Setrawulan dan Penerbit Temalitera milik Muhamad Asrori menjadikan geliat sastra di Mojokerto semakin hidup. Lebih semarak dan hidup lagi ketika para sastrawan mudanya mengemas kegiatan sastranya dengan tajuk yang menarik: Terminal Sastra kerjasama dengan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Mojokerto, Serikat Buku, Kelir (Kelas Literasi Remaja), Kelana (Kelas Litersi Anak), Kemecer (Kelas Menulis Cerpen), Ronda Sastra dan lain-lain.
Lamongan, 24 November 2019
____________________
Catatan:
*) Disampaikan pada acara Diskusi Kelompok Terpumpun Penguatan Program Kerja Balai Bahasa Jawa Timur untuk Perlindungan Bahasa dan Sastra Indonesia. Balai bahasa Jawa Timur, Senin 6 November 2019.
**) Lahir tanggal 17 Agustus 1978 di sebuah desa terpencil Kepudi Bener Turi Lamongan. Belajar menulis pada Komunitas Sastra Teater Lamongan (Kostela, 1999). Sehari-hari menjadi Cantrik Kostela dan koordinator Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L). Direktur Pustaka Ilalang Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar