dari jurus Saipi Angin ke subsidi Buku Pustaka Ilalang dan FP2L, 1 Milyar Rp.
Nurel Javissyarqi *
I
Tulisan ini dapat dikatakan kelanjutan dari catatan lama, tertanggal 21 Januari 2011 bertitel “Belajar Sastra Lokal ala Saipi Angin,” yang menyoroti kesusastraan di Jombang sekaligus membaca jarangnya diskusi bulanan Candrakirana di Kostela. Dan makolah itu menandakan sedang belajar memakai kata ganti ‘aku,’ untuk penyebutan ‘diri,’ yang sebelumnya terbiasa menggunakan kata ganti ‘saya,’ sewaktu menuangkan kata-kata berupa esai.
Selaras periode kata ganti ‘aku,’ ialah buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri,” diterbitkan SastraNesia dan PuJa, 2011. Dan istilah ‘Saipi Angin,’ berasal dari salah satu nama ilmu kanuragan yang berkemampuan sanggup meringankan tubuh melesat cepat berpindah-pindah tempat dengan mudah. Sebagaimana saya enteng ke Jombang serta kota-kota lain demi mengikuti perhelatan diskusi, agar tidak jadi katak dalam tempurung atau membaca buku sampai bingung, maka laku sisifus perlu dilakoni, walau berulang kali nol lagi dan lagi.
***
Kostela, satu nama komunitas yang sudah lama di Lamongan (LA), yang gemanya masih ada hingga sekarang, meski kegiatan diskusi bulanan bertahun-tahun telah jarang diselenggarakan. Kelompok ini bangkit sebelum saya hengkang dari Jogja ke kampung halaman. Yang didirikan para penyair senior LA dengan nama-nama ‘besar,’ istilah ‘kecil’ juga boleh, kalau menengok seberapa jauh kiprah mereka di belantika kesusastraan Indonesia.
Kostela berdiri sejak 1999, dan rekam jejaknya bisa dibaca pada tulisan Zawawi Se, 24 Februari 2010, “Sepuluh Tahun Kebangkitan Kostela” yang dirayakan tepat 6 Desember 2009 di Gedung Serba Guna, Sukodadi, LA, waktu itu saya mengikuti. Dan tak hadir saat “Peringatan 20 Tahun Kebangkitan Sastra Teater Lamongan.” Demikian plakatnya, tidak menyebut kata “komunitas,” barangkali menghindari kritik dari kevakuman lama atau demi memudahkan kerjasama dengan lembaga lain, yang acaranya digelar di Aula Disparbud Lamongan, 6 Desember 2019, sekaligus peluncuran buku “Memoar Purnama di Kampung Halaman.”
***
II
Saya melanglang dari D.I. Yogyakarta tahun 2001 akhir, diteruskan ke Watucongol, Muntilan, Megelang, lantas ke Tegalsari, Ponorogo hingga pertengahan 2002, lalu tinggal di Lamongan lagi. Dan bergabung dengan Kostela sekitar 2003 akhir, di saat itu kerap diadakan bedah karya bulanan berlatar acara Candrakirana. Rutinan ini berjalan lancar, meski kadang tersendat sampai tahun 2006, dan memasuki 2007 agak jarang. Saya ingat betul, lantaran kerap bawa lelembaran esai pengganti, manakala pemateri tidak hadir atau tak menyuguhkan makalah. Meski esai-esai tersebut tidak jadi bahasan, barangkali sekali pernah dibicarakan, saya tetap rajin memfotokopi esai terbaru guna cadangan diskusi, walau bernasib sama tiadanya perbincangan. Alhamdulillah, akhirnya terkumpul juga dalam Edisi Buku Revolusi “Trilogi Kesadaran: Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak,” PUstaka puJAngga (PuJa) 2006. Di buku ini, kata ganti ‘saya’ dipakai untuk penyebutan diri.
***
Kostela kembali bergema sementara, sebelum-setelah sebagai nominasi penerima penghargaan hadiah sastra dari Balai Bahasa Surabaya dalam momentum Bulan Bahasa tahun 2010, bersama komunitas lainnya di Jawa Timur, seperti Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Sanggar Triwida Tulungagung, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) di Surabaya, Sanggar Lentera Sumenep, Pakemmadu Madura, Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB), Bengkel Imaji Malang, dan Komunitas Lembah Pring Jombang. Entah komunitas, paguyuban, Forum, dan sanggar lain balik melempem atau tidak. Yang jelas Candrakirana bertahun-tahun tersendat, serta tidak tercium lagi gairahnya sejak 2016.
Dan bersamaan ini di kolom komentar status facebook (saya biasa mengawali tulisan di dinding fb), Alang, cantrik lama Kostela mengabarkan akan diagendakan lagi Candrakirana, tanggal 18 Januari 2020, bertempat di Toko Buku Pustaka Ilalang, (depan kampus UNISDA), Sukodadi. Semoga ini tidak hangat-hangat kuku kembali dingin, dengan saya absen dulu sebelum perihal rutinitas berjalan indah. Atau saya sangat berharap, diskusi bulanan langgeng diselenggarakan seperti sebelumnya, sebagaimana SelaSastra Jombang merupakan penerus tidak langsung dari Komunitas Lembah Pring, yang di masanya dipandegani Fahrudin Nasrulloh (FN almarhum), atau Sanggar Pasir di Gresik yang baru saja merutinkan bedah karya.
***
Menginjak tulisan di sini, saya sudah habiskan sebungkus rokok GG Internasional, bayangkan jika telah rampung, lalu melewati perevisian, akan lebih satuan slop cerutu yang terhisap dalam menghasilkan esai. Barangkali sebab ini Saut Situmorang, dan Sosiawan Leak pernah mengira saya orang kaya, padahal biasa-biasa saja, atau Sedang-sedang Saja seperti lagunya Vetty Vera. Ataukah dapat dikata, kegiatan menulis sangat ganjil, sebab tidak banyak yang hadir berkurban, meski sudah lama bergerak di dunia literasi pula mapan soal ekonomi. Perihal ini bisa ditengok sejauh mana capaiannya dibanding usia perjuangannya, jadi istilah totalitas patut dipertanyakan.
***
III
Akhir 2011 sampai ujung tahun 2014, saya tinggal di Bumi Reog Ponorogo, lemah keramat Batoro Katong, tepatnya bermukim di SSC (Sutejo Spectrum Center), yang sekali waktu ke Pesantren Darul Hikam (D.H.), Joresan, Mlarak. Pesantren D.H., termasuk jalur keturunan Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, yang didirikan Kyai Ageng Hasan Besari, yang santri-santrinya sangat terkenal hingga sekarang atas karya-karyanya, sebut Pakubuwono II, R.Ng. Ronggowarsito, Pangeran Diponegoro, dan H.O.S. Cokroaminoto.
Di bumi Reyog saya nikmati betul desir anginnya, sesekali ke Telaga Ngebel, atau ke puncak Pulung dengan disambut tebaran kupu-kupu kuning beterbangan melintas saat melewati hutan kayu putih. Berkeliling kota tengah malam, sambil memutari alun-alun bersama penulis kaya berlagak sederhana, Sutejo yang setiap pagi mengajak saya sarapan di warung-warung pecel sebagai laku bagi rizki katanya. Dr. Sutejo sekarang menjabat Rektor STKIP PGRI Ponorogo.
Barangkali benar, bencah Wengker tanah paling tenang bagi orang buangan, letak pelarian tokoh-tokoh penting di tanah Jawa, misalkan Ki Gedhe Ketut Surya Alam (Ki Ageng Kutu), Punggawa Majapahit yang melarikan diri ke Wengker (Ponorogo), lantaran kecewa terhadap Prabu Brawijaya V, yang kala memerintah kerajaan Majapahit dianggapnya kurang tepat oleh banyaknya pengaruh istri mudanya dari Champa. Bencah angker tlatah Wengker sangat tepat bagi Kawah Candradimuka, sebagai pusaran pertapaan tanah-angin-ruh penggemblengan diri sebelum melanjutkan perjuangan.
***
Meski tinggal di bencah yang memendam banyak kisah, cerita rakyat Golan-Mirah, Suminten Edan, dlsb. Saya masih kerap bolak-balik nyambangi anak lanang, dan sekali tempo berjumpa Imamuddin SA, sambil menanyakan pergerakan kesusastraan di LA. Ketika sudah menetap lagi di tanah kelahiran tahun 2015, keadaannya sama jarang menemukan diskusi rutin Candrakirana. Di LA, ada juga Teater Sang Bala, Kota Selam (Komunitas Teater Lamongan), Rumah Budaya Pantura (RBP), Lesbumi, Forum Lingkar Pena (FLP), tapi kegiatannya tidak seberapa terdengar lama. Namun ada saja pendatang baru menerbitkan novel, cerpen, puisi, dengan cetakan terbatas seperti buku “Di Bawah Lampu Pertunjukan,” karangan Tami Lestari, dan novel “Eyeglasses,” karya Salma Shidqiyah. Sedang nama yang mulai kibarkan sarung benderanya, Zehan Zareez.
Sebaliknya orang-orang LA yang bergerak di luar kota kian santer mengudara: Aguk Irawan MN, Mahfud Ikhwan, Abdul Wachid BS, Mashuri, Viddy AD Daery. Dan ada sastrawan Kediri yang tinggal di Lamongan, S. Jai yang keberadaannya pantas diperhitungkan di kancah susastra Nasional, ini memperkuat nama-nama lama di panggung sastra LA, Herry Lamongan, Bambang Kemping, Sutardi, Pringgo HR, Ahmad Zaini, tak luput Sarkadek (Fathur Rokhim) yang tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pembaca puisi terlama 99 Jam, April 2011. Namun sebab sepinya diskusi, saya pakai jurus saipi angin mengikuti bedah karya yang diselenggarakan SelaSastra minimal sebulan sekali sejak 2016 hingga sekarang, sambil jualan buku kalau-kalau waktunya bersamaan nyambangi anak wadon di Pesantren Al-Madienah, Denanyar, Jombang.
***
IV
SelaSastra (SS), biasa diadakan di Warung Boenga Ketjil (BK) yang beralamat di Parimono V / 40 Plandi, Jombang. Istilah ‘Selasastra,’ lantaran awal kegiatannya sering dilakukan hari selasa, artinya hari selasa bersastra, dan Warung BK bukan warung pada umumnya tiap hari buka, tapi bukanya hanya disaat ada kegiatan diskusi. SS pertama diselenggarakan hari selasa 26 Januari 2016 Pukul 19.30 - 22.00, dengan mengusung plakat “Sastra dan Kesesatan,” atas pembicara Binhad Nurrohmat, moderator Zen Sugendal. Dari foto-foto terekam banyak pula yang hadir, sedangkan saya belum tahu adanya kajian rutin serupa Geladak Sastra, sepenggilan FN di hari Jum’at 31 Mei 2013. Namun di bulan berikutnya, saya rajin mengikuti kegiatan bedah buku SS.
Jejak awalan SS dicatat seorang Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng, Agus Sulton di tribunnews 2 Februari 2016 bertitel “SelaSastra Boenga Ketjil Rasa (Sesat) Binhad Nurrahmat.” Acara SS diprakarsai Cak Kepik atau Andhi Setyo Wibowo, dan Warung BK ialah rumahnya yang disulap menjelma sanggar diskusi setiap bulannya; lorong kecil ruang tamu ganjil yang membikin penasaran para penulis lokal sampai nasional tampil di ajang bedah buku sebagai perhelatan wacana. Namun sayang, para penulis Jombang tidak banyak yang ajek mengikuti, kecuali ada pembicara luar kota nun jauh, barulah meramai. Dan jika yang dibedah karyanya penulis dari Mojokerto, Madiun, Lamongan, dan Jombang sendiri, hanya sedang-sedang saja.
Sedang Sanggar Pasir (SP) beralamat di Dusun Mulyosari, Banyuurip, Ujung Pangkah, Gresik, baru memulai kegiatan bedah karya diskusi sastra akhir tahun lalu, tepatnya 8 November 2019, pembicara saya dan moderator Rakai Lukman, bertema “Belajar Jurnalisme Sastrawi.” Di susul bulan akhir tahun “Ngaji Buku W.S. Rendra” karya Muhammad Muhibbuddin dari Jogjakarta, dengan pembedah saya, moderator Lutfi S.M., dan acara ini dilanjut di Kafe Sastra (KS), d/a. Sono, Panceng, Gresik, pengisi acara Sholihul Huda, moderator Rakai Lukman; di SP siang, kemudian malamnya di KS. Bulan ini atau awal tahun 2020 hari Jum’at 17 Januari kemarin, membahas buku “Alur Alun Tanjidor,” karangan A.H. J Khuzaini dan Roudlotul Immaroh.
Semoga diskusi di Sanggar Pasir, SS di Warung Boenga Ketjil, terus berjalan dengan hadirnya karya baru lebih matang seusia waktu dijalankan pelaku literasinya, disusul bangkitnya kembali bulanan Candrakirana oleh Kostela sendiri. Sebab apalah arti sebuah pementasan terbitnya buku, jika tiada perbincangan berkelanjutan dari karya yang diluncurkan, paling banter peroleh tepuk tangan di alam kemayaan, pujian menggelitik yang menggiring ke ruangan nina bobo. Sedang mencermati gerakan kemajuan bangsa, salah satunya bermata jeli kekritisan saling mengisi, di sisi laku pengayaan terbitnya karya-karya terjemahan, demi tegaknya jati diri di bawah awan-gemawan musim-musim berbeda peredarannya, atas ketinggian tanah kemanusiaan yang sama.
***
V
Kemeriahan Kostela awal tahun 2000, membuat para pelaku sastra dari luar kota berdatangan, Gampang Prawoto (GP) Bojonegoro, Cak Sariban dari Tuban, yang kebetulan kesehariannya mengajar di UNISDA, jadi dekat secara emosional dengan panorama pergerakan sastra di LA. Saat itu Mojokerto maupun Jombang masih ‘laksana kuburan’ istilah FN. Ketika Candrakirana kerap absen antara tahun 2007-2010 akhir, kesusastraan di Bojonegoro mengawali gairahnya di tahun 2008/2009. Hari Sabtu 28 Agustus 2010, saya menyempatkan mengikuti perhelatannya, dan selepasnya ngobrol bareng GP bersama Timur Budi Raja, saya ajukan membikin blog agar kabar kemeriahan tersiar jauh, dan usulan itu diterima. Maka malam itu juga postingan di blog Sastra Bojonegoro dimulai, kemudian di tahun-tahun berikutnya banyak yang penasaran hadir, tidak luput dari Jogjakarta, tapi saya sendiri sudah jarang menyambangi. Blog itu mandek hari Jumat 6 Maret 2015 dengan potingan terakhir “Remy Silado di Purnama Sastra Bojonegoro.” Dan saya kurang tahu perkembangannya, apakah geliatnya tetap semarak ataukah mengalami pasang-surutnya gelombang, seibarat ondak-ondakan ombak menyapu pasir pantai di lautan.
Gambaran blog http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/ (selanjutnya dikelola GP), terpantul dari templat http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/ yang saya kelola, yang awal postingannya menampung karya-karya para penulis LA: Haris Del Hakim, Imamuddin SA, Ahmad Syauqi Sumbawi, Heri Listianto, Javed Paul Syatha, saya, dll. Perjalanan FSL bisa dibaca pada tulisan Haris del Hakim “Gerakan Baru Sastra Lamongan: Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan (FSL),” 24 Juni 2008. Sedang blog https://forumsastrajombang.blogspot.com/ dimulai 14 Juli 2010, yang awalnya mengabarkan geliat sastra Jombang terutama acara “Geladak Sastra” oleh Komunitas Lembah Pring. Dan blog https://media-ponorogo.blogspot.com/ mengawali posting 28 September 2012, ketika saya tinggal di Bumi Reog setahunan. Keberadaan blogspot-blogspot tersebut demi mendukung website http://sastra-indonesia.com/ (Web SI) yang diawali tanggal 25 Juli 2008. Sebagaimana http://selasastrain.blogspot.com/ , https://sanggar-pasir.blogspot.com/ , dll, demi memperkuat jaringan link saiber. Ada puluhan blog saya kelola yang kadang terbayang selaksa pasukan, dan jari-jemari ibarat malaikat haniyun di alam maya, atau blog itu para prajurit cadangan penjaga data website yang pernah mengalami ludes ratusan postingan, oleh ulah heker.
***
Barusan cantrik baru Kostela, Luqman Almishr mengunggah beberapa jadwal Cakdrakirana di kolom komentar status fb ini, mengenai kegiatan bulanan tahun 2016: Candrakirana ke 160 di rumah Herry Lamongan, hari Kamis 24 Maret 2016, dan yang ke 163 di kediamannya Pringgo Hr, 13 Agustus 2016. Lantas kabar terbaru yang sudah diberitahu Alang itu yang ke 164 bulan Januari ini, maka pertanda luar biasa rutinnya. Namun sejauh pernah saya ikuti, ada pula jadwal acara, tapi oleh sepinya yang datang sebab hujan lebat mendera, lalu tidak diskusi atau singkat saja dilanjutkan obrolan lama. Secara keseluruhan, padang mbulanan Candrakirana di Kostela sangat aktif, antara 163 hadir dan 78 absen, dari total 241 bulan antara Desember 1999 sampai Desember 2020. Semoga makalah-makalahnya masih tersimpan baik, dan layak dimasukkan di dalam program Subsidi Penerbitan Buku 1 Milyar yang segera terealisasi mulai tahun 2020 ini.
***
VI
Tanggal 4 Januari 2020, saya unggah tulisan dengan judul “Menyangsikan Kesungguhan Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan” di Website SI. Catatan itu sebagai pemantik bedah buku “Alur Alun Tanjidor,” pada hari Jum’at 17 Januari 2020 di Sanggar Pasir, Gresik kemarin. Sementara, saya tidak mengerti sejauh mana imbas postingan itu, yang bisa jadi dari sana pemilik penerbitan sekaligus percetakan Pustaka Ilalang, tergerak hati lantas merancang program subsidi penerbitan buku untuk para penulis Lamongan senilai 1 Milyar Rupiah. Kabar tersebut dituangkan di status fb-nya 10/1/2020, atau dapat terjadi pulalah sebelumnya telah membayangkan impian mulianya.
Pemegang penuh Pustaka Ilalang ialah Alang Khoiruddin, dan program subsidinya menggandeng Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L), yang sejauh saya tahu FP2L itu bentukan dari Dinas Perpustakaan Daerah Kabupaten Lamongan. Jika boleh berbesar hati, sudah 2 kritik saya terhadap Perpusda diterima: pertama program pembelian buku sejumlah 10 eksemplar tiap judul atas karya penulis LA, kedua turut andil merayakan perbukuan lebih baik dari sebelumnya dalam program subsidi 1 M. Terlepas keduanya sudah lama bekerjasama soal penerbitan ataupun pengadaan buku, jadi sangatlah pantas hal ini terjadi.
Mengenai syarat mengikuti program tersebut tergolong ringan, dengan uang pendaftaran 1 Juta sudah dapat menerbitkan 10 judul buku selama 5 tahun atau setahun 2 buku, dengan jumlah 50 sampai 100 eksemplar, tergantung ketebalannya. Setiap yang masuk program mendapat subsidi 10 Juta, atau keringanan cetak perbuku 1 Juta, dengan batas peserta 100 penulis. Sungguh angin surga bagi penulis ber-KTP Lamongan. Semoga lewat langkah ini, kebangkitan para penulis LA kian semarak, menembus batas-batas daya atas nilai terkandung dalam karya-karyanya. Semoga pula, keberadaan FP2L tidak menggeser yang dimulai lagi Candrakirana Kostela. Namun saling melengkapi, yang satu merayakan penerbitan buku, lainnya menyediakan ajang diskusi minimal sebulan sekali, jikalau melihat padatnya jadwal di atas. Lantas, dimanakah peran DKL (Dewan Kesenian Lamongan)? Apakah nanti hanya sebatas EO (Event Organizer) semata?
***
*) Pengelana yang tinggal di Pilang, Tejoasri, Laren, Lamongan (pulau terpencil yang dikelilingi Bengawan Solo).
NB:
Pagi hari ini 24 Januari 2020 saya posting catatan di atas, dan siang harinya Alang Khoiruddin mengirimkan makalah, yang pernah disampaikannya pada acara Diskusi Kelompok Terpumpun Penguatan Program Kerja Balai Bahasa Jawa Timur untuk Perlindungan Bahasa dan Sastra Indonesia, dengan judul “Peta Perkembangan Komunitas Sastra di Lamongan dan Sekitarnya,” Balai Bahasa Jawa Timur, Senin 6 November 2019. Dalam makalah tersebut tercatat, FP2L beralamat di T.B. Pustaka Ilalang, Jln. Airlangga, Sukodadi, LA, dan alamat ini merupakan kantor cabang Pustaka Ilalang, atau selama ini Perpusda hanya menyediakan tempat, misal Launching Program FP2L, dan bukan bentukan Perpusda LA sebagaimana dugaan saya. Ini diperkuat dengan saya menelpon Alang yang menyebutkan FP2L merupakan mengganti dari kevakuman Kostela. Jadi, tanda jempol pujian kedua (kritikan kedua dalam tulisan ini, paragraf kedua dari bawah), saya cabut untuk Perpusda LA.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar