Ahmad Syauqi Sumbawi
Dalam rangkaian
acara peringatan Hari Bela Negara pada bulan Desember lima tahun lalu, penulis
kebetulan berada di Masjid Istiqlal Jakarta. Melaksanakan shalat Dluhur
berjamaah, kemudian duduk-duduk di salah satu bagian serambi masjid tersebut.
Ketika mengarahkan mata ke langit, tanpa sengaja penulis melihat sebuah lanskap
yang indah, yakni bendera merah putih berkibar di puncak Monumen Nasional
bersanding dengan menara masjid Istiqlal. Tentunya, hal itu tidak cukup
dimaknai sebatas keindahan visual, tetapi juga keindahan kontekstual yang
mencerminkan harmonisasi antara ke-Islam-an dan Ke-Indonesia-an yang mengisi
ruang-ruang historis Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga dewasa ini.
Dalam
perspektif politik, puncak harmonisasi antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an,
dapat dilihat dari penerimaan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, setelah melalui serangkaian
perdebatan panjang yang mengerucut pada dikotomi antara Islam versus
Nasionalisme, Islam versus Pancasila, dan sebagainya. Karena itu, tidak keliru
dikatakan bahwa Pancasila merupakan konsensus nasional di bawah kepemimpinan
para founding fathers, yang secara historis, berkaitan erat dengan perjuangan
kemerdekaan bangsa dari belenggu kolonialisme. Eksistensi Pancasila tidak dapat
dilihat sebagai ideologi dan dasar negara an sich, tetapi juga sebagai hasil
perjuangan bangsa—kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme—, sekaligus sebagai
sumber inspirasi dan kekuatan, dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya
Negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Penerimaan
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara atas bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam, tentunya tidak bisa dilepaskan dari proses
universalisasi terhadap nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Pancasila itu
sendiri. Pada tataran ini, tampak sebuah pemahaman dan kesadaran di kalangan
umat Islam—terutama para elit—, terkait kesesuaian di antara keduanya. Proses
universalisasi ini pula yang kemudian secara sosiologis, menuntut dan
mengarahkan heterogenitas—baik suku, agama, ras dan sebagai—untuk membangun
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara konstruktif dan
positif. Sederhananya, apabila universalisme Islam mengarahkan pada sikap
keberagamaan yang toleran dan inklusif, serta menjauhkan dari radikalisme dan
eksklusivisme agama, maka universalisme Pancasila menunjuk pada integrasi
bangsa Indonesia secara dinamis.
Harmonisasi
antara Islam dan Pancasila, tidak dipungkiri menjadi permasalahan penting yang
secara terus-menerus dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Pertanyaan terkait
bagaimana wajah dan peran Islam Indonesia, terutama dalam menguatkan
kebangsaan, menjadi krusial mengingat berbagai ancaman dan tantangan yang
muncul terkait permasalahan agama, seperti radikalisme agama, eksklusivisme
agama, serta gerakan religio-politik trans-nasional. Begitupula dengan berbagai
persoalan sosial lain, seperti korupsi, kemiskinan, dampak negatif globalisasi
dan sebagainya. Karena itu, rekonstruksi Islam Indonesia menjadi sangat
mendesak, terutama dalam mewujudkan visi universalnya, yaitu rahmatan
lil-alamin.
Wajah Islam
Indonesia; Islam Yang Memerdekakan
Berangkat dari
simbol Masjid Istiqlal (ke-Islam-an) dan Monumen Nasional (ke-Indonesia-an) di
atas, istilah yang barangkali cukup proporsional untuk menyebut Islam Indonesia
adalah “Islam yang memerdekakan”. Sebagaimana diketahui, pendirian masjid yang
menjadi simbol kemerdekaan Republik Indonesia tersebut diprakarsai oleh para
tokoh Islam sekaligus tokoh nasional, seperti KH. Agus Salim, KH. A. Wahid
Hasyim dan sebagainya. Hal ini menunjukkan umat Islam tidak hanya telah
berhasil dalam harmonisasi antara Islam dengan nasionalisme Indonesia, tetapi
juga menjadi bagian penting dalam kemerdekaan serta pencapaian tujuan
didirikannya Republik Indonesia. Di sini, tampak bahwa Islam diposisikan
sebagai spirit yang menginspirasi perjuangan kemerdekaan dalam bingkai
ke-Indonesia-an.
Secara
historis, Islam telah menjadi inspirasi perjuangan kemerdekaan bangsa pribumi—Indonesia—,
jauh sebelum nasionalisme Indonesia lahir. Hal ini dapat kita lihat dari
berbagai perlawanan rakyat pribumi pra-Indonesia terhadap kolonialisme Barat,
seperti Perang Padri (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), Pemberontakan
Banten (1888), dan Perang Aceh (1873-1903). Tidak heran jika pemerintah
kolonial—Belanda—kemudian menganggap Islam sebagai elemen yang berbahaya bagi
kolonialisme, dimana pada gilirannya mempengaruhi lahirnya kebijakan terhadap
umat Islam. Pada proses inilah, C. Snouck Hurgronje muncul sebagai penasihat
utama dan tokoh penting di balik berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda
terhadap umat Islam, terutama di paruh kedua abad ke-19.
Menurut
Hurgronje, umat Islam di Hindia Belanda itu “damai”, namun kemampuan politik
fanatisme Islam tidak bisa dinafikan begitu saja. Di samping itu, meskipun
Islam di Hindia Belanda banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu,
umat Islam di wilayah koloni ini—pada masa itu—memandang agamanya (Islam)
sebagai alat pengikat, yang membedakan dirinya dari orang lain. Lebih jauh,
Islam dalam hal ini, bahkan dipandang sebagai simbol dari “kebangsaan” yang
melambangkan perlawanan terhadap kolonialisme Barat.
Nasionalisme
Indonesia, merupakan metamorfosa baru dari “kebangsaan” Islam—umat Islam— di
Hindia Belanda. Diawali dengan gerakan ethno-nasionalisme, nasionalisme
Indonesia mengalami perkembangan besar sejak tahun 1920-an dan mendapatkan
momentumnya pada peristiwa Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yang
menegaskan visi besarnya, yaitu “Satu Indonesia” yang merdeka.
Munculnya
kesadaran kebangsaan dan kesadaran nasional dalam manifestasi pergerakan dan
organisasi nasionalis, sebagaimana yang dapat dilihat pada peristiwa Sumpah
Pemuda di atas, mensyaratkan kehadiran golongan intelektual baru sebagai agen
dalam mengantarkan pada proses perubahan sosial. Pada konteks ini, stigma bahwa
perubahan-perubahan yang revolusioner di Asia, Afrika dan Timur Tengah sejak
awal abad ke-20 merupakan pengaruh peradaban Barat melalui westernisasi dan
modernisasi, tampaknya menjadi stigma yang tidak keliru. Meskipun demikian,
spirit nilai-nilai keagamaan dan primordialisme budaya lokal tidak bisa
diabaikan dalam proses tersebut, terutama dalam konstruksi pemikiran dan jati
diri sebuah bangsa. Pada titik inilah, permasalahan terkait inspirasi dan
ideologi dalam konstruksi Indonesia secara keseluruhan tampak menjadi wacana
penting serta menjadi perdebatan panjang di kalangan umat Islam, khususnya
antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai sekuler (non-Islam).
Penerimaan
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia, tidak
dipungkiri, menjadi titik temu dari perdebatan ideologis antara tokoh-tokoh
Islam dan tokoh-tokoh sekuler— yang notabene juga mayoritas beragama Islam— di
atas. Dari peristiwa ini, tampak terjadinya pergeseran pemikiran di kalangan
tokoh-tokoh Islam tersebut terkait Islam dan ke-Indonesia-an. Sederhananya,
jika perjuangan Islam melawan kolonialisme adalah perjuangan yang bersifat
universal (umum), maka perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bentuk dan
sifatnya yang partikular (khusus), dimana keduanya saling menguatkan satu
dengan yang lain. Hal inilah yang kemudian tampak pada perkembangan
selanjutnya, dimana perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai
jihad oleh para tokoh Islam, sebagaimana yang dapat ditemui dari fatwa-fatwa
jihad yang dikeluarkan oleh para ulama. Bahkan, sejarah pun tak luput mencatat,
bahwa pekik “Allahu Akbar” menjadi ungkapan yang mengobarkan semangat
perjuangan bangsa Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada pertempuran 10
November di Surabaya dan peristiwa lainnya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
Islam menjadi inspirasi teologis kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya umat
Islam.
Islam Indonesia
dan Pluralitas Sosial; Pancasila sebagai nilai-nilai Islam dalam Konteks
Ke-Indonesia-an
Kendati
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), diyakini sebagai
“konstruksi final” oleh mayoritas umat Islam, namun tuntutan terkait berdirinya
Negara Islam menjadi sesuatu yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Secara
historis, hal ini dapat kita lihat pada keberadaan DI/TII dan beberapa gerakan
umat Islam lain dengan tuntutan yang serupa. Fenomena ini, tentunya tidak bisa
dilepaskan dari interpretasi dan pemahaman umat Islam terkait posisi agama dan
negara. Karena itu, tidak heran jika pada periode berikutnya—bahkan hingga
kini—, para tokoh-tokoh Muslim tampak berusaha keras melakukan rekonstruksi
Islam Indonesia, terutama dalam upaya menguatkan kebangsaan dan mencegah disintegrasi.
Dalam rekonstruksi tersebut, universalisme Islam dan partikularisme
sosial-budaya (ke-Indonesia-an), tidak dipungkiri, menjadi tema besar dan
pijakan awal di dalamnya.
Pada umumnya,
umat Islam—melalui para tokohnya—meyakini Islam sebagai agama universal. Aspek
universalisme ini merupakan keniscayaan bagi Islam untuk dapat diterima, bahkan
“menumbuhkan”, baik pada setiap locus budaya maupun dalam mengiringi perubahan
zaman secara dinamis. Karena itu, pemaknaan Islam tidak bisa dipahami secara partikular
dan eksklusif, tetapi mengayomi eksistensi kemanusiaan seluruhnya, tanpa
batasan ruang dan waktu serta hambatan kualitas lahiriah manusia, baik
asal-usul rasial maupun kebahasaan. Pada titik ini, kontekstualisasi
ajaran-ajaran Islam merupakan keharusan untuk menyapa seluruh locus budaya
serta perubahan zaman, seperti keindonesiaan maupun gerak globalisasi.
Dalam pandangan
universalisme Islam, pluralitas masyarakat merupakan “fitrah sosial”
kemanusiaan, dimana pada tataran realitas dapat dilihat pada kehidupan
masyarakat Indonesia yang heterogen, meliputi suku, agama, budaya, dan
sebagainya. Tentunya, realitas tersebut tidak dapat dipandang sebagai
karakteristik Indonesia yang unik an sich, tetapi harus juga diposisikan
sebagai permasalahan tersendiri, mengingat stigma bahwa heterogenitas
masyarakat menyimpan potensi konflik horizontal yang tinggi, baik antar masyarakat
maupun dalam relasi antara agama dan negara.
Indonesia
dengan karakteristiknya di atas, diyakini memiliki posisi strategis dalam upaya
membangun titik temu antar agama. Keberadaan semua agama besar, pergumulan yang
panjang antar pemeluk agama dan sejarah keberagamaan—tanpa menafikan pasang
surut hubungan yang terjadi—, merupakan modal sosial yang melahirkan optimisme
bahwa suasana hidup beragama yang toleran dan terbuka (inklusif) bisa
diwujudkan di Indonesia. Pada titik ini, paradigma teologis yang inklusif dan
toleran merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap pemeluk agama
dalam kehidupan sosial.
Paradigma
teologi inklusif inilah, yang idealnya dikembangkan dalam keberagamaan umat
Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas. Secara sosiologis, urgensi hal
tersebut mengarah agar Islam (organized religion) tidak diposisikan sebagai
kebenaran mutlak dan tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi
seperti juga agama dan keyakinan lain, yaitu sebagai salah satu warna dari pluralitas
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hubungan sosial antar umat beragama
dapat terjalin secara konstrukstif. Di sisi lain secara politis, paradigma
teologis ini juga penting supaya permasalahan agama tidak diarahkan pada
berbagai kepentingan politik yang tendensius dan sempit, sebagaimana yang dapat
dilihat dari fenomena politisasi dan pendangkalan agama serta sikap eksklusif
di kalangan umat Islam.
Penegasan di
atas merupakan otokritik terhadap umat Islam Indonesia sendiri terkait relasi
antara agama dan negara. Fakta sejarah menunjukkan bahwa gerakan ideologisasi
Islam, baik tuntutan mendirikan negara Islam, desakan formalisasi syariat Islam
melalui legalisasi Piagam Jakarta, dan sebagainya, tidak dipungkiri menjadi
masalah sosio-politik yang mengiringi historisitas negara Indonesia hingga
dewasa ini.
Terkait hal di
atas, tidak dipungkiri, bahwa urgensi Pancasila tidak hanya merupakan jalan
tengah bagi penyelesaian perdebatan ideologis terkait agama dan negara,
sekaligus untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Di samping itu, meskipun
tidak ada simbol-simbol Islam di dalamnya, Pancasila merupakan ideologi yang
selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar