[28 Desember 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta]
Nurel Javissyarqi **
Bangsa Indonesia merupakan salah
satu bangsa terbesar di dunia, dalam dirinya terhimpun bersuku-suku,
berbangsa-bangsa pun pelbagai bahasa (bahasa daerah) yang menghidupi cakrawala
penalaran-kalbunya, demikian pula adat istiadat serta budayanya beragam
melimpah dengan wewarna alam keindahan hayatnya. Namun barangkali, kita masih
patut bersyukur atas datangnya gelombang penjajahan tempo dulu, (dari kata
namun itu, senada esai saya yang bertitel “Indonesia Merangkak Menuju Matahari,
di buku Trilogi Kesadaran, hal 6, PUstaka puJAngga, 2005) lantaran olehnya,
kita dipersatukan di bawah arak-arakan awan nasib yang sama, yakni takdir
ketertindasan, perbudakan, pembuangan. Tapi alangkah sayang, meski pintu gerbang
kemerdekaan telah terbuka, tidak lantas bisa lepas merdeka dari bekas tuan-tuan
kita hingga sekarang, dikarena masih suka menggembol perasaan minder terlalu
atau kepercayaan diri yang belum tegak berdiri kokoh di bumi pertiwi.
Adalah sangat baik sekaligus
cantik, berbijak menimba pengetahuan dari berbagai belahan penjuru dunia, tapi
setelah memperolehnya kerap kali lupa nilai-nilai luhur, mutiara kearifan agung
yang mendenyut-nafaskan kebangsaan sejak jaman lama, sebagaimana
prasasti-prasasti kuno yang diketemukan kemudian hari di bentangan peradaban
Nusantara. Dan walau betapa mulianya nyanyian siur melambai riang anak-anak
bumi putra, masih selalu diragukan kedudukannya, dengan berpaling terus
menyerukan nada-nada suara asing mereka di telinga. Bukan hanya di situ,
sejarah berdirinya kampus-kampus pertama di Indonesia, tidak dijadikan model
rujukan demi perbaikan karakter generasi selanjutnya, malahan mengambil
cara-cara yang dibuat bekas tuan-tuan kita, padahal sudah sampai pada titik
menyadari yang dimaui mereka, namun tetap perasaan inferior menyudutkan diri ke
ambang kematian semu, menjadi kembang bayang istilah Jawanya.
Akhir tahun ini menjelang 2019,
Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menggelar Pilihan Presiden beserta
wakilnya, namun apa yang dihidangkan lima tahun sekali itu kepada rakyat
jelata, menunjukkan semakin rapuhnya tali goni persaudaraan, persatuan;
golongan-golongan itu par tai gurem pula besar, tidak lebih saling unjuk gigi
demi memperebutkan kekuasaan, atau hampir semuanya dipastikan fanatik buta
terhadap gerombolannya. Di saat itu bekas tuan-tuan kita sedang tertawa
terbahak-bahak melihat mulut-mulut tersebut begitu lincah menyuarakan himne
humanisme, pruralisme, hak asasi manusia, dsb, hingga jauh melupakan
bulir-bulir perolehan mulia dari nenek moyang, lantaran dianggapnya telah
usang; tepo seliro, ewuh pakewuh, tenggang rasa, kasih sesama, bhineka
tunggal ika, dst.
Menjelang hura-hura pesta pora
PilPres, saya tidak menyebut pesta rakyat, apalagi menulisnya dengan huruf
tebal, sebab di hadapan kami (putra-putri Indonesia), peristiwa itu sekadar
menyuarakan nafsu kelompok, kepentingan sempit, pendek, sementara, seolah hukum
rimba yang dijalankan. Padahal musibah bencana berkali-kali menegur lelangkah
kita, dan keinsafan menjelma panggung tontonan, sandiwara, bahasa lain
pencitraan. Kita seakan tidak mengenal tuhan lagi, karena sudah menuhankan
kekuasaan, dan menjelma berhala-berlaha di layar televisi, pada puncaknya
kekhilafan ucap dan perilaku ditampakkan para petinggi, yang otaknya sudah
dicuci oleh bekas tuan-tuan. Lalu di atas pengetahuan yang telah terperoleh
dari negeri bekas tuan-tuan kita (imperialis), sudah pandai berdialektika,
bersilat lidah bermuka dua demi memenangkan pertarungan keserakahan, sambil
terus melupakan hati tulus sebening embun di daun pagi.
Barangkali kita tengah memasuki
jaman pancaroba penuh fitnah, lupa sanak-saudara kecuali yang sepaham
hasrat-hasrat rendah, dan sejauh mata memandang bolehlah dipastikan lebih
menderita terjajah sekarang, karena kian tumbuh suburnya bebentuk penghianatan;
wabah koruptor merajalela tidak ditumpas dengan hukuman jerah, sehingga
bertambah membiak mental-mental pecundang beranak-pinak. Tidak sampai di situ,
kesengsaraan sebab mengkonsumsi gaya-gaya mereka, hingga muncullah kata-kata
teroris, dan di antara kita sampai di ambang putus asa menjadi kambing hitam
sesama, lalu oleh kesibukan saling sikut berebut kuasa, luputlah sudah tidak
menjadikan perhatian atas temuan-temuan adi luhung dari anak-anak bumi putra.
Mungkin di garis ini nilai-nilai ketimuran mulai memudar, jiwa-jiwa kesatria
tergerus menghilang, yang tampak tinggallah dagelan rendah.
Sudah banyak kita memakan
prodak-prodak turunan nalar mereka; demokrasi, sosialisme, marxisme,
liberalisme, nasionalisme, dlsb, yang sesuai iklim tropis di bentangan zamrud
khatulistiwa, bolehlah ditiup lembut angin segarnya, dan bayu keindahan
pemikiran tersebut sudah disaring sebaik-baiknya oleh para tokoh perjuangan,
Bung Hatta dan M. Yamin contohnya, namun kita seolah tidak ingin menjadi bangsa
yang besar, lantaran tidak menghargai pengorbanan para pahlawan, ataukah sudah
terserang racun kemalasan, lantas sekadar mengambil apa yang mudah dari
jangkauan, yakni kekinian yang lepas dari akar pengabdian tulus kepada leluhur.
Jangankan menghormati moyang, kasih sayang bagi anak-anak pun sebatas
pandangan, atau kurangnya perhatian lebih, tepatnya tidak memiliki rasa
pengorbanan demi kejayaan akan datang, semuanya dikeruk habis demi hawa nafsu
sepintas nyawa di badan.
Menumpuknya hutang yang seakan
tidak terbayar sampai tujuh turunan, merupakan strategi para bekas tuan-tuan
kita di dalam menancapkan kuku-kuku tajam penjajahan, dengan gampangnya tergiur
iming-iming kemudahan, gula-gula luaran dalam menjalani hidup disaat memenuhi
kebutuhan, namun nyatanya seolah dikejar-kejar setan, karena sudah terlanjur
larut ingin memenuhi desakan kebutuhan jasmani sampai luput menguri-uri ruhani.
Bagaimana bisa beribadah khusyuk, mencari ilmu bersikap tawadhuk, jika impian
sebatas materi, sebesar ketakutannya sendiri, sehingga tidak lagi sanggup
memaknai indahnya daun-daun berdzikir, bunga-bunga menebarkan sholawat, karena
batang-batangnya menderita oleh paku-paku yang menancapkan wajah-wajah para
calon perusak bangsa. Yang tersisa dalam diri hanyalah keluguan semu, karena
paras kelicikan sudah sedemikian rupa pura-pura begitu pintar mengadali sesama.
Sejarah juang demi perjuangan untuk
memperjuangkan kemerdekaan tempo dulu di samping taktik strategi yang
dikembangkannya, tidak menjadikan perhatian serius senantiasa giat
mendalam-maknai bagi laluan berikutnya, sehingga kelicikan adu domba yang
dilancarkan bekas tuan-tuan kita kian merusak kerukunan memecah belah, oleh di
antara kita dengan bangga menjadi duta-duta wacana mereka, tubuh-tubuh sudah
dicap besi panas pendidikan tinggi dengan gagahnya mengangkangi hasil-hasil
ikhtiar para pejuang sendiri, misalkan tidak diperkenankannya mengambil rujukan
dari tahun-tahun lawas, padahal seyogyanya masih patut menyinauhi jaman
keemasan; bangunan percandian tegak berdiri, gunungan pesawahan menghampar luas
dengan pola pengairan nan menyejukkan, kerajaan-kerajaan dari Sabang sampai
Merauke sudi berdaulat ke dalam negeri tercinta Indonesia demi menekan
timbulkan bibi-bibit pemberontakan, sehingga tidak terbelah bangsa-bangsa yang
telah dipersatukan dalam himpunan besar bangsa Indonesia untuk merdeka
sendiri-sendiri, dan atau gambaran perpecahan terjadi sebab ketidakmampuan
mengolah hargai capaian luhur leluhur, di sisi nafsu seraka terhadap kekuasaan
yang dipercayakan kepada para wakil kita yang nyata nalarnya sebatas umur
jagung, yakni para petinggi yang selalu disibukkan merebut-langgengkan
kekuasaan semata, lebih buruk lagi jika itu semacam arisan. Maka alangkah
eloknya kita kembali menyuntuki ujaran salah satu santri Gebang Tinatar,
Tegalsari, Ponorogo, muridnya Kyai Ageng Hasan Besari, HOS Cokroaminoto;
Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat!
Maka semoga dengan kegiatan Andong
Buku #3 kali ini lewat tajuk Sumilir, kesadaran terhadap pentingnya pendidikan
(khazanah ilmu pengetahuan) seperti angin yang sumilir, laksana air jernih
mengalir menyebarnya alam dunia perbukuan ke pelosok-pelosok negeri;
menggalakkan terjemahan karya, berdiskudi atas karya-karya sendiri disetiap
kesempatan, merenung dalam di pojok-pojok kesendirian dikala keluar-masukkan
nafas-nafas bacaan sebagaimana kewajiban menyuntuki keilmuan hingga akhir
hayat. Ini menjadikan pegangan serius sebagai tongkat estafet demi mengejar
ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, dikarena “Buku bukan sekadar menyapa,
tapi juga sarana berdialog dengan dunia” ***. Di sini janganlah menunjukkan
satu-dua jari, tetapi mari kepalkan jemari tangan, agar jantung tetap berdegup
kencang dengan tujuan besar memukul bekas tuan-tuan kita untuk masa kejayaan
mendatang, Merdeka, sekali Merdeka tetap Merdeka!
*) Orasi budaya dalam acara Andong
Buku #3, tanggal 28-30 Desember 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jln. Suroto
2 Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta. Catatan ini Insyaallah dibaca dalam Grand
Opening, pukul 19:45 WIB sampai selesai.
**) Pengelana kelahiran Indonesia,
Lamongan. Buku terbarunya: Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra,
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, Buku Pertama: Esai-esai Pelopor
Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia, Penerbit PUstaka puJAngga
(PuJa), bekerjasama dengan Arti Bumi Intaran Yogyakarta, dan Sekolah Literasi
Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Cetakan I; Desember 2017, II; April 2018.
***) Motto Penerbit PuJa (PUstaka
puJAngga).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar