Judul Buku: Pramoedya Ananta Toer, Politik, dan Sastra
Penulis: Anandito Reza Bangsawan
Penerbit: Media Pessindo
Cetakan: 2017
Peresensi: Muhammad Ghufron *
“Menulis merupakan sebuah
keberanian,” ucap Pramoedya suatu kali.
BAGINYA melahirkan karya
merupakan suatu bentuk konkret mengekspresikan keberanian dalam menulis. Tak
heran jika karya Pramoedya Ananta Toer selama masih hidup banyak
mengisahkan perjuangan anak manusia yang berusaha melepaskan diri dari belenggu
penjajah. Keberanian inilah Pram sempat diasingkan di Pulau Buru selama 14
tahun.
Di masa Orde Baru, Pramoedya sempat mendapat tindakan
represif dan diskriminasi dari pemerintah karena situasi politik yang tak
menentu. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat Pram berkarya. Selama Orde
Baru, Pram menerbitkan karya sastra, sehingga menghasilkan sejumlah penghargaan
dari berbagai lembaga internasional.
Lewat buku ini, kita diajak untuk menyelami dinamika
perpolitikan Jawa pada masa Jawa Hindu dan Jawa Islam dari sudut dua karya
terakhir Pram Arus Balik dan Arok Dedes. Dua karya terakhir Pram yang sama-sama
membahas tentang kajian politik Jawa pada masa lalu menarik dikonsumsi publik.
Kontekstualisasinya masih berlaku hingga akhir kekuasaan Orde Baru, bahkan
sampai era reformasi.
Dominasi orang Jawa dalam kancah perpolitikan nasional
terbukti dengan masih berlangsungnya pemimpin negeri ini sejak era Soekarno
hingga era Jokowi. Hal ini menarik dibahas dengan menghadirkan Arus Balik dan
Arok Dedes yang sama-sama membahas dinamika perpolitikan Jawa masa lalu.
Relevansi kedua novel tersebut menarik untuk dikontekstualisasikan hingga
sekarang.
Cara politik Jawa dalam memperebutkan kekuasaan dengan cara
kudeta ala Jawa yang penuh intrik, lobi, lempar batu sembunyi tangan, serta
penuh dengan konspirasi. Hal ini terlihat jelas dalam Arok Dedes, bahwa orang
Jawa sejak masa Jawa Hindu sudah mengenal politik.
Secara konstekstual, Arus Balik menjelaskan proses
perdagangan serta akulturasi, ideologi, budaya, agama, dan ekonomi pada abad
ke-16 M (hlm 5). Pram mendeskripsikan politik Jawa pada masa kerajaan Islam
yang berkembang setelah runtuhnya Majapahit. Jelas terlihat perbedaan di antara
kedua novel tersebut. Arus Balik menggambarkan situasi politik masa Jawa
Islam. Arok Dedes menggambarkan saat Jawa Hindu.
Anandito tak lupa mencantumkan karakteristik kedua novel
tersebut. Enam karakteristik dalam mempertahankan kekuasaan dalam Arok Dedes.
Dinamika politik Jawa Islam dalam Arus Balik juga terdapat enam karakteristik.
Kedua novel yang mendeskripsikan politik Jawa pada masa kerajaan Hindu dan
Islam tersebut memiliki corak persamaan dan perbedaan.
Persamaan keduanya terletak pada cara pengelompokan dan
agenda politik, memata-matai dan mengawasi lawan politik serta motif kekuasaan.
Terlepas dari hal tersebut, perbedaan keduanya muncul sebagai karakteristik
yang menjadikan novel ini memiliki ciri khas berbeda-beda.
Penulis juga menyajikan perspektif Pramoedya mengenai
kemiripan cara kepemimpinan masa Jawa Islam serta Jawa Hindu dengan
merelevansikan era Soekarno hingga sekarang. Seperti halnya ada kemiripan
antara tokoh Arya Teja dan Sunan Rajeg dalam Arus balik dengan Gus Dur, yaitu
menggunakan agama Islam dan budaya sebagai alat legitimasi untuk proses
mendapatkan kekuasaan (hlm 231).
Pram memadukan kedua novel tersebut dengan perpolitikan
Jawa masa lalu. Karya ini layak disebut sebagai karya sastra yang kental dengan
ciri khas realisme sosialis. Pram menjelaskan realisme sosialis adalah istilah
di bidang sastra yang di dalamnya melingkupi adanya ”front” perjuangan, tak
boleh tidak harus punya watak yang jelas, yaitu satu, adalah militansi sebagai
ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Pram juga menggunakan konsep realisme
ilmiah untuk novel Arus Balik.
Buku ini dilengkapi daftar tabel dan siklus untuk
mengetahui peralihan kekuasaan, baik pada masa Jawa Hindu maupun Jawa Islam
serta dilengkapi glosarium untuk mempermudah pembaca mengenai istilah-istilah
Jawa pada masa Jawa Hindu dan Jawa Islam.
Kelemahan utama buku ini terletak pada keengganan Anandito untuk
melanjutkan analisis politik Jawa pada saat Soesilo Bambang Yudhoyono
memerintah yang sebenarnya ada kemiripan dengan rezim Soeharto sebagaimana juga
karakteristiknya yang diekspresikan secara sangat menarik oleh Pram dalam
Arok Dedes dan Arus Balik (hlm 25).
Pelajaran berharga dari buku ini adalah kedalaman data dan
kecanggihan analisis Anandito membaca Arok Dedes dan Arus Balik serta
kontekstualisasinya dalam politik Indonesia kontemporer. Buku ini layak dibaca
politisi, pelajar, bahkan mahasiswa.
___________
*) Pustakawan PP. Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk
Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar