Ahda Imran
pikiran-rakyat.com 13 Mar
2018
DALAM catatannya
Facebook-nya (4 Februari 2018), Soni Farid Maulana ada menyebut ihwal kagaduhan
setelah terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh (2014). Buku yang salah
satu pangkal kegaduhannya adalah munculnya nama Denny JA (DJA) sebagai salah
seorang tokoh, karena puisi esai ”temuannya” yang dianggap jadi fenomena sastra.
Di situ Soni mencatat
bahwa Maman S. Mahayana mengundurkan diri sebagai anggota Tim 8, bahkan
mengembalikan honorariumnya.
Rupanya, urusan
pengembalian duit ini sangat mengusik Denny JA (DJA) sehingga ia berkomentar,
”Setahu saya Maman S Mahayana tak pernah memulang honor penulisannya. Mohon
ditanya pada Kang Maman, ia pulangkan dananya 25 juta itu kepada siapa?”
Pertanyaan DJA yang
reaktif ini sangat menarik. Alih-alih sebagai pertanyaan, ia sesungguhnya
melontarkan pernyataan membantah catatan Soni ihwal Maman Mahayana.
Pertanyaannya, dari mana DJA tahu bawa Maman Mahayana belum mengembalikan
honornya? Dalam kapasitas apa DJA mengurusi urusan honor Tim 8? Bukankah ia
tidak punya posisi apa pun dalam tim penyusunan buku itu kecuali orang yang
dipilih oleh Tim 8 sebagai salah seorang tokoh paling berpengaruh?
Begitu awal dari skandal
yang terjadi empat tahun yang lalu, yang ternyata terus berbiak dan kini
menamakan dirinya Gerakan Puisi Esai Nasional, gerakan yang tentu saja masih
dimotori oleh DJA. Tak tanggung-tanggung, konsultan politik termasyhur itu kini
bergerak lebih masif dan sistematis demi mencari pembenaran atas klaim
ketokohannya sebagai pembaru dalam dunia sastra. Ada 34 buku kumpulan puisi
esai yang terbit dari 170 penulis yang berasal dari 34 provinsi, yang setiap
provinsi diwakili oleh satu kumpulan puisi esai. Semua itu demi apa yang
disebutnya sebagai memotret batin Indonesia. Potret batin yang lahir dengan
cara mengijon puisi.
Ijon puisi artinya?puisi
esai yang ditulis oleh 170 penulis itu bukan lahir dari proses keinginan
mereka menulis puisi esai. Melainkan ditulis karena konsekuensi menerima ajakan
menulis satu bentuk puisi, dengan segala aturan dan arahannya, dengan honor
lima juta rupiah. Kesediaan itu dituangkan dalam bentuk kontrak meski puisi
esai itu belum ditulis, yang kelak hak cipta puisi esai itu ada di tangan DJA.
Alih-alih benar
menghadirkan potret batin Indonesia, karya 170 penulis esai itu terasa menjadi
ironi.
Arahan dan aturan
Bagaimana mungkin seorang
penulis yang menulis dengan sejumlah arahan dan aturan yang telah ditentukan,
tema, bentuk, tengat waktu, dan segala pasal dalam kontrak, tulisannya bisa
dibaca sebagai suara batin? Bisakah suara batin manusia diijon? Lalu potret apa
yang sebenarnya lebih hadir dari mekanisme ijon batin seperti itu, atau
jangan-jangan sebetulnya lebih mencerminkan potret hasrat DJA di tengah
gelanggang sastra Indonesia?
Selain melalui lomba
menulis puisi esai yang begitu besar, kemunculan puisi esai memang selalu
melalui ijon. Oleh karena itu, hingga hari ini belum pernah ada penulis yang
menulis puisi esai di luar demi lomba dan pesanan yang diadakan oleh tim DJA.
Jangan lagi dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh penerbit di luar jaringan
DJA, terlebih yang biaya penerbitannya ditanggung sendiri oleh penyairnya. Oleh
karena itu, logis juga mencurigai bahwa tulisan para sastrawan dan kritikus
senior Indonesia dalam bunga rampai ”Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi
Indonesia”, atau yang termuat dalam Jurnal Kritik, lahir dari proses ijon
serupa itu.
Ijon sebagai siasat yang
banyak dipakai para tengkulak dalam masyarakat pertanian tempo dulu, mudah
kita temukan dalam banyak ihwal. Dunia seni rupa pernah juga dihebohkan oleh
skandal goreng-menggoreng, ketika banyak cukong bersedia membeli karya terbaru
seorang pelukis yang namanya menyugesti pasar, meski kanvasnya masih kosong.
Jangan sebut lagi dalam dunia politik. Para petualang politik sangat terampil
mengadopsi kelakuan para pengijon demi membeli suara. Sistem ijon adalah
muslihat dari radikalisme modal dalam berbagai kepiawaiannya membuat
pembenaran.
Radikalisme modal,
terutama di dunia seni, sangat sulit dideteksi. Tak ada undang-undang dan
konstitusi yang dilanggarnya. Termasuk manakala radikalisme modal, yang
bekerja lewat sistem ijon itu, membuat beragam klaim seperti dinyatakan DJA,
yang segera diamini dan diimanioleh para ”karyawannya”, bahwa telah lahir angkatan
baru dalam sastra Indonesia, Angkatan Puisi Esai.
Dipaksa lahir
Lepas dari perdebatan
penting tidaknya suatu angkatan, bisakah sebuah genre disebut telah melahirkan
angkatan baru bagi sejarah sastra Indonesia sementara sejarah itu dipaksa lahir
dari sistem ijon? Sejarah kerap memang harus diciptakan sebagaimana sejarah
adalah bagian dari kerja politik. Termasuk kerja dari seorang pengijon yang
hasratnya sedang ”disejarah-sejarahkan”, sebagaimana kerja sistematis sebuah
skandal yang ”dimarketing-marketingkan”.
Melengkapi pernyataan
tentang kelahiran Angkatan Puisi Esai, dengan nada yang bijak dan merendah DJA
mengatakan bahwa 170 penulis puisi esai itu adalah para Foundingfather Angkatan
Puisi Esai. Namun, di balik pernyataannya yang bijak dan merendah itu, timbul
kesan bahwa tanggung jawab atas apa yang dinyatakannya sendiri sebagai
kelahiran Angkatan Puisi Esai, tidak berada di pundaknya sendirian. Selain
pernyataan tersebut mengandung klaim bahwa kelahiran angkatan tersebut
merupakan aspirasi banyak orang, DJA juga sedang mengirim isyarat pada 170
penulis agar berdiri mati-matian melawan para penentang dan membela angkatan
yang baru mereka lahirkan itu.
Terhadap para penentangnya
yang muncul dalam berbagai aliansi, termasuk yang membuat petisi penolakan yang
telah ditandatangi oleh lebih dari 3.000 orang, DJA menyebut mereka sebagai
orang-orang yang hidup dalam pola pikir lama, yang gemetar di depan perubahan
dan inovasi-inovasi baru. Termasuk yang ngotot bersikap menolak motif-motif
ekonomi dalam proses penulisan puisi, atau yang membiarkan puisi tetap dalam
keagungannya yang mengawang-awang, dan terpisah dari kehidupan nyata. Oleh
karena itu, perubahan harus dilakukan, genre baru harus dilahirkan, pro-kontra
harus diciptakan, berapa pun biayanya.
Mencermati pernyataan DJA
dan sekalian rekayasa yang dilakukannya dengan radikalisme modal seperti yang
dilakukan oleh para pengijon dalam masyarakat pertanian dulu,?baiknya kita
cermati benar ke arah mana tudingan telunjuk DJA diarahkan. Mengijonkan sastra
Indonesia demi hasrat mendapat pengakuan sebagai pembaru?di tahun-tahun penuh
pilkada ini rasanya tak perlu kaget benar. Tak ada yang berubah dengan pola
pikir radikalisme modal, masih dengan pola pikir lama, yaitu?memakai sistem
ijon. Sistem yang terlalu terhormat untuk ditaruh sebagai pro-kontra, apalagi
memadangnya sebagai polemik.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar