Satyagraha Hoerip *
id.klipingsastra.com
MEREKA MENYUSURI PANTAI, bergandengan. Di upuk barat matahari siap tenggelam, dan muncul kembali baru esok hari. Separo langit di sana seperti disepuh warna emas campur lembayung. Menyilaukan.
Dalam hati Pramu tersenyum. Bagaimana jadinya, andaikata tiba-tiba muncul kenalan, atau bahkan seseorang dari gerejanya di Jakarta? Dan melihat dia bergandeng tangan dengan cewek bule, mana cuma mengenakan baju pantai? Ooh, disgusting! Macam pria muda 40-45 tahunan saja, remaja kedua.
“Look,” seru Brenda kekanakan. “Isn’t that amazing, Prem! Flying towards sunset.”
Pramu betul-betul tersenyum, sekarang. Kumisnya jadi sebaris.
Gila juga cewek ini, ujarnya di hati. Kapal terbang menggebu ke Barat saja, dibilangnya amazing. Apanya yang amazing, sih? Lha kalau plane ke arah barat, padahal waktunya sore hari; mau tidak mau kan ya harus begitu. Ah, tidak; tiba-tiba ada suara lain dalam hatinya yang membantah dengan tegas. Itu kan karena Brenda lagi bahagia, itu saja. Ia senang bersama-samaku, itu saja. Makanya tutur kata dan tingkah-lakunya, jadi kekanak-kanakan. Padahal tadi malam ngakunya sudah berumur di atas 30 tahun.
“I’ll be there myself, the day after tomorrow! I mean, in that same flight,” ucap Brenda, beralih murung. “Oh, I really hate that!, Prem. So, promise me that we’ll meet again, here, next ….”
Premu tersenyum lagi, ketika mengangguk-angguk kepalanya.
Ia bangga. Soalnya, di umur mau 55 tahun ini ternyata dia laku pada cewek yang semuda dan sesegar Brenda. Dia juga masih sering orang taksir, seolah-olah baru berusia antara 40-45 tahun. Tentu itu karena di pipi dan lehernya tak ada lemak yang menggelembir. Dan perutnya pun tidak buncit macam perut perempuan bunting. Padahal gigi Pramu semuanya palsu. Tak ada lagi sisanya yang asli.
“Awet muda memang sedaaap,” tahu-tahu otaknya berteriak.
Pikirnya lalu beralih ke Brenda: Ucapannya serba spontan. Kalau benci langsung bilang benci. Suka ya suka. Idem kalau mencium bau tak enak keringat orang lain. Atau mendadak merasa lapar.
“I told you, last night, I had never been touched by a man, this whole year,” ucap Brenda sambil memandang dagu Pramu. “So, remember that we’ll be seeing again, next year!”
Pramu cuma tersenyum. Mata kirinya mengerdip sejenak. Kembali hatinya cemas: Kalau-kalau saja mendadak ada seseorang Indonesia yang kenal dia, apalagi kalau rekannya segereja di Jakarta, yang melihatnya seperti itu; ooh, tentu rumah tangganya akan kembali terancam pecah. Masuk akal bahwa istrinya akan marah-marah, begitu pula anak-anak perempuannya kendati mereka sudah berumah tangga.
Pramu kembali bangga akan dirinya, bahwa ada cewek bule yang semuda dan sesegar Brenda mabok kepayang pada dirinya. “Apa ini bukan ‘national achievement!’ yang luar biasa?” guraunya pada diri sendiri. “Padahal kemarin itu jelas aku tidak merayu dia, kan.”
Dia tahu, Brenda kesepian sekali, sesudah menjanda; sambungnya. Dan karena dia kebetulan bisa melayani cewek itu ngobrol mengenai banyak hal—film, makanan, sastra, seks, filsafat—Brenda pun merasa akrab kepadanya. Tapi bukankah di Barat terhitung biasa: Wanita muda terpikat pada laki-laki di atas 50-an? Konon karena pria seumur itu tidak sedemikian agresip. Sanggup menunggu. Dan baru menerkam kalau sudah sip benar. Tapi terkamannya wahai! Dan tentu juga karena lelaki seumur itu, umumnya secara materiil jauh lebih stabil ketimbang yang muda-muda.
“Do you really mean it, darling!?” Pramu mendadak kelepasan.
Bule itu tidak menjawab. Dadanya ia gosok-gosokkan ke T-shirt Pramu. Lalu ia pelukkan tangannya, sedangkan matanya memejam. Kelihatan benar bahwa ia bahagia, digoda oleh pacarnya yang baru.
Sepasang wisatawan dalam negeri berjalan lambat-lambat ke arah mereka. Pasti umur mereka baru di atas 40 tahunan, pikir Pramu, tapi coba lihat itu: keriput di mana-mana. Di pipi, dagu, leher. Mana tubuh mereka sudah melebar kian-kemari, tidak ketolongan. Itulah kalau tidak tahu estetika. Dikiranya enak, apa, nonton begituan.
“Believe me, Prem, while in Europe I’ll be dying for you. Honest!” jawab Brenda, lama kemudian. Matanya masih tertutup.
Tahu bahwa hal itu tentunya nantinya tidak benar, Pramu pun berkata setengah menggoda, “Did you say, ‘Honest’?”
Seperti macan betina tangan Brenda lalu meremas-remas punggung jantannya. “Listen, I’m going to hurt you, tonight! I promise, I will.”
Angin menderu-deru. Menyibukkan sekaligus mengasyikkan bagi para turis yang senja itu menikmati pemandangan senja pantai Kutha. Dan Brenda seolah-olah tak peduli. Kini tangan Pramu yang ia remasi.
“Let’s go back to my place!” ucap Pramu, mendadak.
“Oh, you funny duck,” potong Brenda. Matanya melotot tapi bukan marah. “Why in such a hurry? I hate to leave the beach right now.”
Tapi akhirnya gadis berbikini itu patuh juga. Berlari-larian di muka Pramu beberapa langkah, makin tampak betapa bahagianya, ia.
Pramu jadi yakin bahwa Brenda Hallahan, seperti diakuinya tadi malam, amat kesepian sepeninggal John. Suaminya kecelakaan mobil di Promenade des Anglais kota Nice. Sedih dan pedih hatinya bukan kepalang. Brenda kemudian curiga, jangan-jangan semua pria yang ia kenal di sana hanya menginginkan tubuhnya. Bukan mau mengenal jiwa dan kedukaannya. Apalagi mengobati.
Iseng-iseng membaca majalah wisata mendorong Brenda coba-coba pergi ke Bali pada cuti tahunan kantornya; persis dia sendiri. Di malam ketujuh—sesudah merasa tetap bosan hidup—barulah ia kenal Pramu, di disko di tepi pantai. Mereka lebih banyak ngobrol ketimbang berdansa. Hanya kalau lagunya super-slow saja. Ia kemudian tak menolak waktu diajak Pramu ke tempatnya, dan menginap. Ia katakan Pramu-lah macam pria yang ia rindukan selama menjanda ini. Ia tak menduga bahwa bukan seorang pria seperti dia, tapi dari Asia.
“Are you not a policeman?” tanya Brenda, waktu mereka mula-mula memasuki kamar Pramu. Matanya cepat mengedar ke seluruh kamar.
“Oh, I’m more than that of course,” sahut Pramu, bergurau.
“More than just a policeman? What do you mean?”
“Well, I mean, I’m more than just a policeman!”
“Yes, but what?”
“I am … I am a … talisman!, ho-hooo, ha-haaa ….”
Lalu cekikik-cekikik mereka pun matilah. Sebab ada yang lebih mengasyikkan bagi mereka berdua. Apalagi malam pun sudah semakin sepi. Kecuali angin, yang di luar rumah menderu-deru seperti marah. Dan ombak, yang bergulung-gulung dahsyat.
SUDAH KEBIASAAN Drs. Pramudito, tiap cuti tahunan dia akan bepergian seorang diri. Bukan dengan keluarga, dalam hal ini istri dan kedua anaknya yang masih belum kawin. Libur dua minggu itu akan dia pakai berkelana entah ke mana saja. Dan sekali dalam tiga tahun ia akan ke Bali. Dan istirahatnya di Kutha kali ini adalah dalam rangka cutinya yang keenam itulah. Yang pertama, enam tahun yang silam Pramu habiskan di wilayah Ubud. Lalu tiga tahun yang lalu di Kutha dan Kintamani. Ini kali khusus di Kutha saja.
Pramu sebetulnya bisa saja menginap di Denpasar ataupun Sanur, di hotel yang mewah-mewah. Tapi sebagai wakil kepala pemasaran di sesuatu biro perjalanan, dia lebih suka mendapatkan sebanyak mungkin kenalan baru ketimbang menikmati fasilitas mewah. Dan terutama di Kutha itulah dia merasa paling ‘pas’. Apalagi warung dan tempat disko di desa turis itu serba murah. Para pengunjungnya heterogen dan cukup tak acuh terhadap apa yang dilakukan orang lain, selama tidak terlampau ‘gila’. Cari koran ibu kota juga tidak terlalu sulit.
Senja sudah pergi. Meski tanpa bulan namun langit cukup terang. Deru ombak semakin mereka tinggalkan. Lalu lalang para turis masih seramai tadi-tadi. Banyak yang masih berbaju mandi, meskipun sudah agak lama mereka meninggalkan pantai. Minum-minum di warung-warung atau restoran-restoran kecil, sambil tidak mengacuhkan musik yang sengaja distel cukup nyaring oleh pemilik masing-masing.
“Why did you suddenly change your mind?” tanya Brenda. Nadanya kesal namun tidak mampu menolak kemauan Pramu.
“Bimasena” tua itu dengan malas menjawab, bahwa ia menantikan seorang tamu, laki-laki muda Amerika. Orang itu pernah menjadi mahasiswanya ketika ‘oleh kesalahan sejarah’ Pramu diundang kasih kuliah di sesuatu universitas di Amerika Serikat, tiga semester.
Brenda kaget, mendengar keterangan tersebut.
Ia hanya tahu bahasa Inggris Pramu memang luar biasa. Juga bahwa ia tahu tentang buah karya para sastrawan dunia seperti Albert Camus, Franz Kafka, Simone de Beauvoir dan Sartre, lalu Dostoyevski, Jorge Luis Borges ataupun Heinrich Böll dan satu-dua penulis Jepang. Tapi bahwa Pramu ternyata pernah kasih kuliah di Amerika Serikat padahal mengaku bukan seorang sarjana dari bidang apa pun, Brenda sungguh tak menduga. Pikirnya: Adakah ini karena orang Timur pada umumnya lebih suka merendah-rendah?
“Well, well, well. Why didn’t you tell me, last night, Professor?” ucapnya, tak urung; sedangkan tangannya lalu langsung menggandeng tangan Pramu.
Lelaki itu menjawab bahwa dia punya riwayat hidup hampir 55 tahun panjangnya. Padahal mereka baru berkenalan kurang dari 24 jam. Itu pun bukan buat ngobrol seluruhnya.
Kata Pramu adalah sudah lumayan bahwa dia bilang telah beberapa kali ke Eropa Barat, juga Australia dan Kanada. Masih banyak pengalamannya yang dia rasa tak usah diceritakannya kepada Brenda. Misalkan bahwa, dulu, ia pernah ikut perang melawan Belanda, meski kurang dari setahun. Dan itu pun hanya ikut-ikutan, mengingat umurnya yang masih muda.
Seperti menjumpai sesuatu atraksi yang baru dan penuh dengan pesona, Brenda tambah bermanja-manja tingkahnya. Dia tatap wajah laki-laki tua itu bukan hanya dengan pandangan mesra; melainkan juga dengan rasa kagum. Ia merasa bahwa ia sudah menemukan “yang dia dambakan”, sesudah setahunan ini mencarinya kian-kemari.
“Pramu? Won’t you be angry if I ask you something?”
“Of course I won’t. Ask me, please,” sahut Pramu.
Brenda bilang bahwa ia mau membayar lunas dulu penginapannya. Dan jika Pramu setuju mereka pindah berkumpul di penginapan lain, yang lebih baik, malam itu juga. Pramu setuju dan Brenda pun kabur.
Sangat aneh, saat itu Pramu mendadak ingat akan Byuti, Debi, dan Desi, anak-anaknya di Jakarta yang sudah memberinya cucu-cucu yang lucu. Dan mendadak pula, Pramu merasa diri tua kembali.
“Hay, is that you, Pak Pramu?” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan Barat, menegornya dari muka penjual togog dan kain-kain Bali yang murahan.
Pramu tertegun berhenti. Maklum ia tidak berkacamata. Lagi pula perempuan itu, seperti Brenda tadi, hanya berpakaian minim. Rambutnya dipotong pendek, kulitnya terbakar matahari. Badannya kekar-segar dan bintik-bintik di seluruh atas pusarnya tak mungkin lolos dari pandangan Pramu. Gigi perempuan itu putih rapi, tampak waktu pemiliknya berbicara. Warna biru kutangnya meniru warna matanya.
“Saya Patsy, Pak. Pak lupa? Patricia Spencer. Saya dulu murid Bapak, di ….”
“Oiya, tentu saja saya ingat,” sambar Pramu. Seketika tangannya meraih leher wanita muda itu dan hidungnya cepat mencium pipinya. “What a small world, Patsy! Ini sungguh tidak masuk akal!”
Patsy Spencer, seperti banyak mantan mahasiswa-mahasiswinya di Amerika Serikat dulu, di Jakarta pernah menginap di rumah Pramu. Mahasiswi antropologi itu cerita bahwa dia berhasil menggondol gelar doktor, dengan thesis tentang pengobatan tradisional suku Nias.
Untuk merayakan itu ia dan calon suaminya, yang sedang mengetik di motel, mengunjungi Bali selama seminggu. Besok sore mereka sudah harus ke Singapura dan dari sana, mampir di Kairo, balik ke London. Katanya, calon suaminya itu penulis-wisata dari dan berkebangsaan Inggris.
“Some of these prices, here are crazy,” ucap Patsy, ketika mereka berjalan ke penginapannya. Hari pun bertambah gelap.
“Ah, di mana-mana tourist spot selalu begitu, bukan?” sambar Pramu agak tersinggung. “Mereka spekulasi, kalau-kalau para turis asing dapat ditipu sedikit. Syukur kalau banyak, ha ha-haa ….”
Keduanya tertawa. Dalam pada itu Patsy tidak lupa mengucapkan terima kasih, kepada Pramu maupun keluarganya. Kalau saja dulu ia tidak diajari bahasa Indonesia dengan tekun oleh Pramu, barangkali ia takkan dapat memahami peta-batin penduduk Nias pada khususnya; dan tidak mendapat gelar Ph. D.-nya seperti sekarang. Ia juga menyesal nanti malam sudah ada kencan bersama tunangannya mau ke Karambitan. Memenuhi undangan keluarga raja setempat. Padahal esok pagi bermaksud ke Ubud, pamit ke kawan; lalu sorenya terbang.
Sebagai orang terpelajar yang sopan, tentu saja Patsy tidak lupa kirim salam kepada seluruh keluarga Pramu. Ia berjanji bahwa entah dari bandar-udara mana akan kirim kartupos bergambar.
“My goodness,” ucap Pramu, “your Indonesian is still perfect, Patsy. Unbelievable.”
“Tentu, tentu,” sahut wanita itu tertawa riang. “Jangan Bapak lupa, siapakah dosen yang mengajar saya di Athens dulu. Orangnya hebat. Ingat? Oh, you haven’t changed, Pak. You even look younger.”
Tersipu-sipu Pramu oleh pujian itu. Sampai ketika dia meninggalkan Patsy, yang masuk ke pekarangan motel, hatinya masih menggunung oleh pertemuan tak terduga tersebut. Batinnya, untung dia tidak sedang berpeluk pinggul dengan Brenda, dalam baju renangnya.
Beginilah kalau nasib sedang mujur, sambung batinnya; bersyukur.
KARENA LEBIH DARI sejam ditunggu-tunggu Bruce tidak juga datang, akhirnya Pramu membayar kamarnya. Berdua ia berjalan bersama Brenda, menyangking barang-barangnya. Motel pilihan Brenda, seperti sudah diduga Pramu, terletak di pantai. Kamar pilihannya pun demikian, menghadap pantai. Debur ombak seolah-olah mau menelan motel itu.
Kutha masih ramai. Atau lebih tepat, makin ramai. Kehidupan malam mulai tumbuh. Selain para wisatawan dalam dan luar negeri yang menginap di motel-motel dan homestays ataupun hotel-hotelnya berdatangan pula orang dari lain-lain pelosok Bali. Tak terkecuali anak-anak Denpasar dengan sepeda motor mereka yang meraung-raung membelah udara malam. Bunyi lagu-lagu Bali hiruk-pikuk bersaing melawan lagu-lagu Barat dari irama panas. Sedangkan sepanjang jalan utamanya, yang membentang dari Kutha hingga ke Seminyak melewati Legian, entah berkebangsaan apa sajakah gerangan orang-orang yang lalu-lalang itu? Pasti ada pula yang sengaja datang dari Afrika. Apalagi kalau hanya dari Jepang atau Amerika Latin.
Hari masih belum jam 9:00 waktu Indonesia Tengah. Pramudito dan Brenda menyelesaikan makan malam mereka di luar hotel. Di sebuah restoran remang-remang yang terkenal oleh Sirloin steak-nya dan terletak di tengah kebon kelapa yang luas. Untung ada pagar bambu Cina yang melingkari sehingga jika angin agak kuat berhembus maka debu tidak masuk. Juga tirai-tirai yang mengitari pendopo-nya, ikut menghalangi serbuan debu.
Pramu terus terang bahwa dia tidak ingin ke disko, malam itu. Dia juga berterus terang, bahwa akibat telah kesedot habis dalam pergumulan semalam, maka sebentar lagi sebaiknya mereka cepat balik ke hotel. Ia ingin cepat tidur. Seolah-olah guna menguatkan ucapanya itu mulutnya berkali-kali menguap.
Brenda agak kecewa mendengar pengakuan itu, namun mengerti. Sesudah menghabiskan kopi masing-masing keduanya lalu balik ke penginapan. Debur ombak pun makin nyaring, mengalahkan bunyi gamelan Bali dari radio restoran.
“It’s the most beautiful evening I ever had, here,” terdengar Brenda berkata. Suaranya berderai menyerbu kuping kawannya.
“Really? Was it not yesterday, darling?”
“No. Yesterday night was the most delicious night, he-heeh,” sambar Brenda gesit. “You know what I mean, don’t you?”
Di pintu halaman depan mereka disambut gonggongan tiga ekor anjing milik pemilik hotel. Sesudah mendapat kunci kamar dan cuci kaki bersih-bersih, Pramu cepat membaringkan diri. Tenyata tak usah menunggu 10 menit dengkurnya sudah memenuhi ruangan. Brenda yang membawa pocket-book dalam pakaian minim di sisinya, dia kecup pipinya pun tidak sempat. Tapi perempuan itu tidak marah. Ia ingin mengerti, mengapa dari Jakarta kenalan barunya itu sampai membawa sebuah buku lama, The Yogi and The Commissar karangan Arthur Koestler. Padahal pengarang tersebut tak pernah ia menyukai buah karyanya.
Dan malam pun merambat pula di Kutha, sebagaimana halnya di Amuntai, Singapura, Kyoto, Hongkong, dan Manila. Berjuta-juta peristiwa bisa saja terjadi, juga di Kutha; sebagaimana halnya di Ubud, Jakarta, Bangkok, Shanghai, dan Pnom Penh, atau Hanoi. Dan Pramudito pun tidur dengan lelapnya. Mendengkur. Enak sekali.
Entah sudah berapa lama, dia pun terbangun. Sebab lampu kamar ternyata padam, padahal pintu agak terbuka sedangkan Brenda tidak dia lihat. Pintu kamar kecil pun terbuka. Mustahil ia di sana.
Aneh, dada Pramu berdegup. Ada sesuatu yang mendebarkannya. Denyut darahnya juga tiba-tiba lebih cepat, dan keringat dingin mengucur begitu saja. Padahal tadi tak ada impian buruk yang dia peroleh. Dan sesudah dia kuasai, barulah Pramu mendengar percakapan dalam bahasa Inggris antara laki dengan perempuan.
Berjingkat kaki Pramu ke luar kamar. Pintu dia buka pelan-pelan lalu berhenti di dekat dinding luar. He, benarkah itu suara ….
“Listen, Susan, this is serious business, you know,” terdengar suara laki-laki asing itu berkata.
“Whatever you may think, I’m trying to save you,” mendadak menyambarlah Susan. Pramu kaget sekali. Itu kan Brenda, pikirnya.
Dan laki-laki itu, pasti itu Bruce Douglas, mahasiswanya waktu dia kasih kuliah di Amerika dahulu. “Jadi mereka sudah saling kenal? Tapi kenapa nama mereka harus diganti? Penyamaran?” batin Pramu.
“Look, I kept my word, I turned up. All right I was late but ….”
“Shut up!” tukas Brenda. “Sit down, Jack. If you don’t sit down then I’ll knock you down. I promise, that’s what I’ll do.”
Pramu terkejut. Bukan saja sebab Brenda yang menggemaskan itu semula mengesankan diri sebagai wanita yang kesepian. Dan nyatanya sanggup bertingkah seperti macan betina. Sedangkan Jack alias Bruce yang dahulu dia sangka seorang tough-guy itu nyatanya jinak saja. Bruce Douglas tiga hari yang lalu dia papasi di Sanglah, Denpasar; tapi karena mereka sama-sama terburu-buru maka berencana menghubungi dirinya malam tadi, di Kutha. Tetapi tahu-tahu … ada yang aneh, ini.
Brenda berbicara agak lemah. Mungkin selain karena Jack mengabulkan perintahnya juga karena angin kebetulan menderu-deru maupun ombak laut kembali berdebur-debur. Pramu tak menangkap apa yang selanjutnya mereka percakapkan. Apalagi di depan kantor hotel terdengar ada jip dan mobil memasuki pekarangan berurutan. Disambut oleh anjing hotel dengan gonggongan yang riuh.
“Give it to me. Come on, Susan. Do what I say,” suara Bruce kembali terdengar. Nadanya memerintah.
“It isn’t yours, you know that. It’s mine. He gave it to me.”
“No. He stole it from me, you know that!” sambar Bruce. “I swear it’s mine.”
“Couldn’t he be a local cop either? Oh, I know that I was being followed all the time. And I really hate that!” ujar Brenda. Nadanya menyurut ke kesal atau bahkan mau putus asa.
Pramu sengaja batuk-batuk. Nyaring dan berpuluh-puluh detik.
MENDENGAR BATUKNYA, BRUCE dan Susan menghentikan pembicaraan mereka. Dan sebelum keduanya pergi Pramu keluar dari ‘persembunyian’nya. Langkahnya dia mantap-mantapkan.
“Selamat malam, Pak. Maaf, kami menganggu Bapak,” sambut Bruce, begitu mereka saling melihat. “Pak Pramu tidur enak sekali, ya.”
“Hi, Jack!” tegur Pramu, sengaja bukan dengan nama Bruce sebagaimana yang dia kenal sejak di USA dulu. “And you, Susan, how are you?” tanyanya sinis, kepada Brenda.
Kedua bule itu tampak kaget campur tersipu-sipu. Apalagi waktu Pramu menjelaskan, bahwa dia bukan polisi lokal yang menyamar. Cepat-cepat Bruce memotong bahwa yang dimaksud oleh Susan tadi memang bukan Pramu. Melainkan seorang pria Indonesia lainnya. Orang Bali, mitra-niaga mereka.
Dalam kamar, “Jack” dan “Susan” lambat laun mengaku bahwa sudah saling kenal. Bahkan datang di Bali ini buat sesuatu bisnis yang mahapenting dan mahabesar nilainya, yang sayangnya tidak dapat mereka katakan kepada Pramu. Mereka juga menyesal bahwa untuk keperluan itu sampai-sampai harus menggunakan nama samaran.
Atas desakan Pramu akhirnya mereka mengaku pula, bahwa paspor yang mereka pakai juga palsu. Hal ini tentu saja cepat membuat Pramu curiga. Matanya melotot. Gerahamnya bergeretak. Namun anehnya, baik tangan, kaki bahkan mulutnya sekonyong-konyong lemah dan kelu.
Pada saat itu bunyi sesuatu kesibukan terdengar mendekati kamar mereka, diiringi oleh gonggong anjing-anjing hotel yang berkepanjangan. Makin lama semakin riuh. Membuat ketiga orang dalam kamar itu menghentikan percakapan mereka. Dada Pramu kembali berdegup dengan cepat. Darah berdesir lebih cepat pula ketimbang biasa. Dilihatnya beberapa lampu senter bersilangan kian-kemari, dibarengi gema sepatu lars berderap-derap pada kerikil.
Hiruk-pikuk makin mendekat. Akhirnya pintu kamar Pramu diketuk. “Siapa?” tanya Pramu. Suaranya dia buat-buat agar berwibawa.
“Saya, Pak.”
“Saya siapa?”
“Saya Putu, Pak. Dari kantor. Ada tamu, Pak, bapak-bapak polisi dari Kutha.”
Mendengar hal itu Bruce ternyata bergerak dari kursi, mau lari. Bagaikan kilat Pramu pun melonjorkan kakinya. Bruce terjengkal, jatuh. Kepalanya membentur meja rotan, menyebabkan air minum di sana tumpah menyiram sebagian mukanya.
“Silakan masuk, Pak, kebetulan sekali,” sambut Pramu.
Dua orang polisi berbaju dinas muncul di muka pintu. Yang ada pistol di pinggangnya memberi hormat kepada Pramu. Gerak kepalanya memerintahkan anak buahnya untuk masuk ke kamar. Lima orang. Semuanya bersenjata.
“Bapak mau perlu sama orang-orang ini?” tanya Pramu. Matanya sekilas menyapu Brenda maupun Bruce. “Tanyai saja, Pak. Saya sendiri dengan rela, membantu Bapak; kalau memang diperlukan kasih keterangan tentang yang saya kira-kira tahu.”
Kamar digeledah. Bruce tangannya diborgol ke belakang, namun tidak Brenda dan Pramu. Tas mereka dibawa juga, berikut kartu penduduk Pramu. Mereka lalu dinaikkan pick-up terbuka, di belakang.
Kutha ternyata masih belum lelap. Masih banyak orang yang lalu-lalang, di antaranya penduduk asli. Banyak yang tidak memperdulikan, tatkala kendaraan polisi setempat itu beriringan melewati mereka.
Pemeriksaan berjalan seru. Sebuah jip penuh polisi berpakaian sipil datang khusus dari Denpasar. Mereka bertiga diperiksa terpisah. Pramu gembira mendengar polisi Denpasar ada yang lancar berbahasa Inggris, meskipun logat Balinya menonjol sekali dan tentu saja tatabahasanya cukup acak-acakan. Lama kemudian Bruce baru mengaku bahwa dia sanggup diperiksa dalam bahasa Indonesia.
Menjelang pagi, Pramu diantar kembali ke motel di pantai itu. Barang-barangnya disertakan. Brenda dan barang-barangnya dan Bruce tetap tinggal. Mereka ternyata dicurigai terlibat penyebaran narkotika. Rekanannya yang orang Bali sudah ketangkap dan mengaku.
“Saya betul-betul tidak menduga, Pak. Bahkan tidak mau percaya, kalau tadi itu tidak lihat sendiri,” ucap Pramu di dalam jip.
“Apanya, Pak, yang meragu-ragukan Bapak?” tanya si polisi yang mengemudikan jip. “Tadi Pak kan dengar sendiri. Eh, ngomong-ngomong, Pak, perempuannya montok, ya. Mana jegeg; kayak perempuan kita saja.”
Dia senyum. Namun Pramu malas menanggapi. Matanya berat oleh kantuk. Perutnya lapar. Padahal jelas tak ada warung ataupun restoran yang buka. Juga restoran di bekas hotelnya semalam.
Jalan raya di wilayah Kutha yang kalau siang hari ramai itu, kini tebal dliputi kabut. Udara masih dingin. Namun sudah banyak orang lari pagi, laki-perempuan, tua-muda; penduduk setempat.
“Gila ah, si Bruce,” keluh Pramu. Waktu itu jip menikung ke jalan Legian. Bunyi ban berdesing. “Saya kecewa betul, adalah dia anak pinter, Pak. Calon ahli sejarah Asia Tenggara yang bisa kita harapkan. Heran saya, kok ya mau-maunya lho, ikut-ikutan jaringan narkotika internasional.”
“Ah, Bapak. Yang lebih gila juga ada kan, Pak,” sambar polisi yang tadi. “Jangan Bapak pura-pura lupa, lagi.”
Pramu menatapnya. Mulutnya kembali malas bicara.
“Betul, Pak. Itu, bapak-bapak yang kalau melihat potongan badan mereka, spontan bikin kita pengin terus menghormat! Tapi, eeee, sekalinya merugikan negara, langsung bermilyar-milyar rupiah,” kata polisi itu lalu tertawa-tawa.
Pramu pura-pura menguap. Pikirnya; “Kalau polisi sendiri sudah bilang begitu, apanya lagi yang perlu aku bantah?”
_________________
*) Satyagraha Hoerip, kelahiran Lamongan, Jawa Timur. Pernah mengikuti International Writing Program pada Universitas Iowa, 1972-73; serta pernah mengajar pada Indonesian Studies Summer Institute, Universitas Ohio, 1982. Tiga tahun terakhir ini, sambil menganggur, mengusahakan menerbitkan buku antologi cerpen Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (Matra, Juli 1989)
***
Terimakasih dan apresiasi sebesar-besarnya kami haturkan kepada Dyah Setyowati Anggrahita yang telah berkenan mengirimkan karya cerpen lama ini kepada klipingsastra. Salam Sastra
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Satyagraha Hoerip
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Majalah Matra" Juli 1989
http://id.klipingsastra.com/2016/01/selewat-senja-di-kutha.html
id.klipingsastra.com
MEREKA MENYUSURI PANTAI, bergandengan. Di upuk barat matahari siap tenggelam, dan muncul kembali baru esok hari. Separo langit di sana seperti disepuh warna emas campur lembayung. Menyilaukan.
Dalam hati Pramu tersenyum. Bagaimana jadinya, andaikata tiba-tiba muncul kenalan, atau bahkan seseorang dari gerejanya di Jakarta? Dan melihat dia bergandeng tangan dengan cewek bule, mana cuma mengenakan baju pantai? Ooh, disgusting! Macam pria muda 40-45 tahunan saja, remaja kedua.
“Look,” seru Brenda kekanakan. “Isn’t that amazing, Prem! Flying towards sunset.”
Pramu betul-betul tersenyum, sekarang. Kumisnya jadi sebaris.
Gila juga cewek ini, ujarnya di hati. Kapal terbang menggebu ke Barat saja, dibilangnya amazing. Apanya yang amazing, sih? Lha kalau plane ke arah barat, padahal waktunya sore hari; mau tidak mau kan ya harus begitu. Ah, tidak; tiba-tiba ada suara lain dalam hatinya yang membantah dengan tegas. Itu kan karena Brenda lagi bahagia, itu saja. Ia senang bersama-samaku, itu saja. Makanya tutur kata dan tingkah-lakunya, jadi kekanak-kanakan. Padahal tadi malam ngakunya sudah berumur di atas 30 tahun.
“I’ll be there myself, the day after tomorrow! I mean, in that same flight,” ucap Brenda, beralih murung. “Oh, I really hate that!, Prem. So, promise me that we’ll meet again, here, next ….”
Premu tersenyum lagi, ketika mengangguk-angguk kepalanya.
Ia bangga. Soalnya, di umur mau 55 tahun ini ternyata dia laku pada cewek yang semuda dan sesegar Brenda. Dia juga masih sering orang taksir, seolah-olah baru berusia antara 40-45 tahun. Tentu itu karena di pipi dan lehernya tak ada lemak yang menggelembir. Dan perutnya pun tidak buncit macam perut perempuan bunting. Padahal gigi Pramu semuanya palsu. Tak ada lagi sisanya yang asli.
“Awet muda memang sedaaap,” tahu-tahu otaknya berteriak.
Pikirnya lalu beralih ke Brenda: Ucapannya serba spontan. Kalau benci langsung bilang benci. Suka ya suka. Idem kalau mencium bau tak enak keringat orang lain. Atau mendadak merasa lapar.
“I told you, last night, I had never been touched by a man, this whole year,” ucap Brenda sambil memandang dagu Pramu. “So, remember that we’ll be seeing again, next year!”
Pramu cuma tersenyum. Mata kirinya mengerdip sejenak. Kembali hatinya cemas: Kalau-kalau saja mendadak ada seseorang Indonesia yang kenal dia, apalagi kalau rekannya segereja di Jakarta, yang melihatnya seperti itu; ooh, tentu rumah tangganya akan kembali terancam pecah. Masuk akal bahwa istrinya akan marah-marah, begitu pula anak-anak perempuannya kendati mereka sudah berumah tangga.
Pramu kembali bangga akan dirinya, bahwa ada cewek bule yang semuda dan sesegar Brenda mabok kepayang pada dirinya. “Apa ini bukan ‘national achievement!’ yang luar biasa?” guraunya pada diri sendiri. “Padahal kemarin itu jelas aku tidak merayu dia, kan.”
Dia tahu, Brenda kesepian sekali, sesudah menjanda; sambungnya. Dan karena dia kebetulan bisa melayani cewek itu ngobrol mengenai banyak hal—film, makanan, sastra, seks, filsafat—Brenda pun merasa akrab kepadanya. Tapi bukankah di Barat terhitung biasa: Wanita muda terpikat pada laki-laki di atas 50-an? Konon karena pria seumur itu tidak sedemikian agresip. Sanggup menunggu. Dan baru menerkam kalau sudah sip benar. Tapi terkamannya wahai! Dan tentu juga karena lelaki seumur itu, umumnya secara materiil jauh lebih stabil ketimbang yang muda-muda.
“Do you really mean it, darling!?” Pramu mendadak kelepasan.
Bule itu tidak menjawab. Dadanya ia gosok-gosokkan ke T-shirt Pramu. Lalu ia pelukkan tangannya, sedangkan matanya memejam. Kelihatan benar bahwa ia bahagia, digoda oleh pacarnya yang baru.
Sepasang wisatawan dalam negeri berjalan lambat-lambat ke arah mereka. Pasti umur mereka baru di atas 40 tahunan, pikir Pramu, tapi coba lihat itu: keriput di mana-mana. Di pipi, dagu, leher. Mana tubuh mereka sudah melebar kian-kemari, tidak ketolongan. Itulah kalau tidak tahu estetika. Dikiranya enak, apa, nonton begituan.
“Believe me, Prem, while in Europe I’ll be dying for you. Honest!” jawab Brenda, lama kemudian. Matanya masih tertutup.
Tahu bahwa hal itu tentunya nantinya tidak benar, Pramu pun berkata setengah menggoda, “Did you say, ‘Honest’?”
Seperti macan betina tangan Brenda lalu meremas-remas punggung jantannya. “Listen, I’m going to hurt you, tonight! I promise, I will.”
Angin menderu-deru. Menyibukkan sekaligus mengasyikkan bagi para turis yang senja itu menikmati pemandangan senja pantai Kutha. Dan Brenda seolah-olah tak peduli. Kini tangan Pramu yang ia remasi.
“Let’s go back to my place!” ucap Pramu, mendadak.
“Oh, you funny duck,” potong Brenda. Matanya melotot tapi bukan marah. “Why in such a hurry? I hate to leave the beach right now.”
Tapi akhirnya gadis berbikini itu patuh juga. Berlari-larian di muka Pramu beberapa langkah, makin tampak betapa bahagianya, ia.
Pramu jadi yakin bahwa Brenda Hallahan, seperti diakuinya tadi malam, amat kesepian sepeninggal John. Suaminya kecelakaan mobil di Promenade des Anglais kota Nice. Sedih dan pedih hatinya bukan kepalang. Brenda kemudian curiga, jangan-jangan semua pria yang ia kenal di sana hanya menginginkan tubuhnya. Bukan mau mengenal jiwa dan kedukaannya. Apalagi mengobati.
Iseng-iseng membaca majalah wisata mendorong Brenda coba-coba pergi ke Bali pada cuti tahunan kantornya; persis dia sendiri. Di malam ketujuh—sesudah merasa tetap bosan hidup—barulah ia kenal Pramu, di disko di tepi pantai. Mereka lebih banyak ngobrol ketimbang berdansa. Hanya kalau lagunya super-slow saja. Ia kemudian tak menolak waktu diajak Pramu ke tempatnya, dan menginap. Ia katakan Pramu-lah macam pria yang ia rindukan selama menjanda ini. Ia tak menduga bahwa bukan seorang pria seperti dia, tapi dari Asia.
“Are you not a policeman?” tanya Brenda, waktu mereka mula-mula memasuki kamar Pramu. Matanya cepat mengedar ke seluruh kamar.
“Oh, I’m more than that of course,” sahut Pramu, bergurau.
“More than just a policeman? What do you mean?”
“Well, I mean, I’m more than just a policeman!”
“Yes, but what?”
“I am … I am a … talisman!, ho-hooo, ha-haaa ….”
Lalu cekikik-cekikik mereka pun matilah. Sebab ada yang lebih mengasyikkan bagi mereka berdua. Apalagi malam pun sudah semakin sepi. Kecuali angin, yang di luar rumah menderu-deru seperti marah. Dan ombak, yang bergulung-gulung dahsyat.
SUDAH KEBIASAAN Drs. Pramudito, tiap cuti tahunan dia akan bepergian seorang diri. Bukan dengan keluarga, dalam hal ini istri dan kedua anaknya yang masih belum kawin. Libur dua minggu itu akan dia pakai berkelana entah ke mana saja. Dan sekali dalam tiga tahun ia akan ke Bali. Dan istirahatnya di Kutha kali ini adalah dalam rangka cutinya yang keenam itulah. Yang pertama, enam tahun yang silam Pramu habiskan di wilayah Ubud. Lalu tiga tahun yang lalu di Kutha dan Kintamani. Ini kali khusus di Kutha saja.
Pramu sebetulnya bisa saja menginap di Denpasar ataupun Sanur, di hotel yang mewah-mewah. Tapi sebagai wakil kepala pemasaran di sesuatu biro perjalanan, dia lebih suka mendapatkan sebanyak mungkin kenalan baru ketimbang menikmati fasilitas mewah. Dan terutama di Kutha itulah dia merasa paling ‘pas’. Apalagi warung dan tempat disko di desa turis itu serba murah. Para pengunjungnya heterogen dan cukup tak acuh terhadap apa yang dilakukan orang lain, selama tidak terlampau ‘gila’. Cari koran ibu kota juga tidak terlalu sulit.
Senja sudah pergi. Meski tanpa bulan namun langit cukup terang. Deru ombak semakin mereka tinggalkan. Lalu lalang para turis masih seramai tadi-tadi. Banyak yang masih berbaju mandi, meskipun sudah agak lama mereka meninggalkan pantai. Minum-minum di warung-warung atau restoran-restoran kecil, sambil tidak mengacuhkan musik yang sengaja distel cukup nyaring oleh pemilik masing-masing.
“Why did you suddenly change your mind?” tanya Brenda. Nadanya kesal namun tidak mampu menolak kemauan Pramu.
“Bimasena” tua itu dengan malas menjawab, bahwa ia menantikan seorang tamu, laki-laki muda Amerika. Orang itu pernah menjadi mahasiswanya ketika ‘oleh kesalahan sejarah’ Pramu diundang kasih kuliah di sesuatu universitas di Amerika Serikat, tiga semester.
Brenda kaget, mendengar keterangan tersebut.
Ia hanya tahu bahasa Inggris Pramu memang luar biasa. Juga bahwa ia tahu tentang buah karya para sastrawan dunia seperti Albert Camus, Franz Kafka, Simone de Beauvoir dan Sartre, lalu Dostoyevski, Jorge Luis Borges ataupun Heinrich Böll dan satu-dua penulis Jepang. Tapi bahwa Pramu ternyata pernah kasih kuliah di Amerika Serikat padahal mengaku bukan seorang sarjana dari bidang apa pun, Brenda sungguh tak menduga. Pikirnya: Adakah ini karena orang Timur pada umumnya lebih suka merendah-rendah?
“Well, well, well. Why didn’t you tell me, last night, Professor?” ucapnya, tak urung; sedangkan tangannya lalu langsung menggandeng tangan Pramu.
Lelaki itu menjawab bahwa dia punya riwayat hidup hampir 55 tahun panjangnya. Padahal mereka baru berkenalan kurang dari 24 jam. Itu pun bukan buat ngobrol seluruhnya.
Kata Pramu adalah sudah lumayan bahwa dia bilang telah beberapa kali ke Eropa Barat, juga Australia dan Kanada. Masih banyak pengalamannya yang dia rasa tak usah diceritakannya kepada Brenda. Misalkan bahwa, dulu, ia pernah ikut perang melawan Belanda, meski kurang dari setahun. Dan itu pun hanya ikut-ikutan, mengingat umurnya yang masih muda.
Seperti menjumpai sesuatu atraksi yang baru dan penuh dengan pesona, Brenda tambah bermanja-manja tingkahnya. Dia tatap wajah laki-laki tua itu bukan hanya dengan pandangan mesra; melainkan juga dengan rasa kagum. Ia merasa bahwa ia sudah menemukan “yang dia dambakan”, sesudah setahunan ini mencarinya kian-kemari.
“Pramu? Won’t you be angry if I ask you something?”
“Of course I won’t. Ask me, please,” sahut Pramu.
Brenda bilang bahwa ia mau membayar lunas dulu penginapannya. Dan jika Pramu setuju mereka pindah berkumpul di penginapan lain, yang lebih baik, malam itu juga. Pramu setuju dan Brenda pun kabur.
Sangat aneh, saat itu Pramu mendadak ingat akan Byuti, Debi, dan Desi, anak-anaknya di Jakarta yang sudah memberinya cucu-cucu yang lucu. Dan mendadak pula, Pramu merasa diri tua kembali.
“Hay, is that you, Pak Pramu?” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan Barat, menegornya dari muka penjual togog dan kain-kain Bali yang murahan.
Pramu tertegun berhenti. Maklum ia tidak berkacamata. Lagi pula perempuan itu, seperti Brenda tadi, hanya berpakaian minim. Rambutnya dipotong pendek, kulitnya terbakar matahari. Badannya kekar-segar dan bintik-bintik di seluruh atas pusarnya tak mungkin lolos dari pandangan Pramu. Gigi perempuan itu putih rapi, tampak waktu pemiliknya berbicara. Warna biru kutangnya meniru warna matanya.
“Saya Patsy, Pak. Pak lupa? Patricia Spencer. Saya dulu murid Bapak, di ….”
“Oiya, tentu saja saya ingat,” sambar Pramu. Seketika tangannya meraih leher wanita muda itu dan hidungnya cepat mencium pipinya. “What a small world, Patsy! Ini sungguh tidak masuk akal!”
Patsy Spencer, seperti banyak mantan mahasiswa-mahasiswinya di Amerika Serikat dulu, di Jakarta pernah menginap di rumah Pramu. Mahasiswi antropologi itu cerita bahwa dia berhasil menggondol gelar doktor, dengan thesis tentang pengobatan tradisional suku Nias.
Untuk merayakan itu ia dan calon suaminya, yang sedang mengetik di motel, mengunjungi Bali selama seminggu. Besok sore mereka sudah harus ke Singapura dan dari sana, mampir di Kairo, balik ke London. Katanya, calon suaminya itu penulis-wisata dari dan berkebangsaan Inggris.
“Some of these prices, here are crazy,” ucap Patsy, ketika mereka berjalan ke penginapannya. Hari pun bertambah gelap.
“Ah, di mana-mana tourist spot selalu begitu, bukan?” sambar Pramu agak tersinggung. “Mereka spekulasi, kalau-kalau para turis asing dapat ditipu sedikit. Syukur kalau banyak, ha ha-haa ….”
Keduanya tertawa. Dalam pada itu Patsy tidak lupa mengucapkan terima kasih, kepada Pramu maupun keluarganya. Kalau saja dulu ia tidak diajari bahasa Indonesia dengan tekun oleh Pramu, barangkali ia takkan dapat memahami peta-batin penduduk Nias pada khususnya; dan tidak mendapat gelar Ph. D.-nya seperti sekarang. Ia juga menyesal nanti malam sudah ada kencan bersama tunangannya mau ke Karambitan. Memenuhi undangan keluarga raja setempat. Padahal esok pagi bermaksud ke Ubud, pamit ke kawan; lalu sorenya terbang.
Sebagai orang terpelajar yang sopan, tentu saja Patsy tidak lupa kirim salam kepada seluruh keluarga Pramu. Ia berjanji bahwa entah dari bandar-udara mana akan kirim kartupos bergambar.
“My goodness,” ucap Pramu, “your Indonesian is still perfect, Patsy. Unbelievable.”
“Tentu, tentu,” sahut wanita itu tertawa riang. “Jangan Bapak lupa, siapakah dosen yang mengajar saya di Athens dulu. Orangnya hebat. Ingat? Oh, you haven’t changed, Pak. You even look younger.”
Tersipu-sipu Pramu oleh pujian itu. Sampai ketika dia meninggalkan Patsy, yang masuk ke pekarangan motel, hatinya masih menggunung oleh pertemuan tak terduga tersebut. Batinnya, untung dia tidak sedang berpeluk pinggul dengan Brenda, dalam baju renangnya.
Beginilah kalau nasib sedang mujur, sambung batinnya; bersyukur.
KARENA LEBIH DARI sejam ditunggu-tunggu Bruce tidak juga datang, akhirnya Pramu membayar kamarnya. Berdua ia berjalan bersama Brenda, menyangking barang-barangnya. Motel pilihan Brenda, seperti sudah diduga Pramu, terletak di pantai. Kamar pilihannya pun demikian, menghadap pantai. Debur ombak seolah-olah mau menelan motel itu.
Kutha masih ramai. Atau lebih tepat, makin ramai. Kehidupan malam mulai tumbuh. Selain para wisatawan dalam dan luar negeri yang menginap di motel-motel dan homestays ataupun hotel-hotelnya berdatangan pula orang dari lain-lain pelosok Bali. Tak terkecuali anak-anak Denpasar dengan sepeda motor mereka yang meraung-raung membelah udara malam. Bunyi lagu-lagu Bali hiruk-pikuk bersaing melawan lagu-lagu Barat dari irama panas. Sedangkan sepanjang jalan utamanya, yang membentang dari Kutha hingga ke Seminyak melewati Legian, entah berkebangsaan apa sajakah gerangan orang-orang yang lalu-lalang itu? Pasti ada pula yang sengaja datang dari Afrika. Apalagi kalau hanya dari Jepang atau Amerika Latin.
Hari masih belum jam 9:00 waktu Indonesia Tengah. Pramudito dan Brenda menyelesaikan makan malam mereka di luar hotel. Di sebuah restoran remang-remang yang terkenal oleh Sirloin steak-nya dan terletak di tengah kebon kelapa yang luas. Untung ada pagar bambu Cina yang melingkari sehingga jika angin agak kuat berhembus maka debu tidak masuk. Juga tirai-tirai yang mengitari pendopo-nya, ikut menghalangi serbuan debu.
Pramu terus terang bahwa dia tidak ingin ke disko, malam itu. Dia juga berterus terang, bahwa akibat telah kesedot habis dalam pergumulan semalam, maka sebentar lagi sebaiknya mereka cepat balik ke hotel. Ia ingin cepat tidur. Seolah-olah guna menguatkan ucapanya itu mulutnya berkali-kali menguap.
Brenda agak kecewa mendengar pengakuan itu, namun mengerti. Sesudah menghabiskan kopi masing-masing keduanya lalu balik ke penginapan. Debur ombak pun makin nyaring, mengalahkan bunyi gamelan Bali dari radio restoran.
“It’s the most beautiful evening I ever had, here,” terdengar Brenda berkata. Suaranya berderai menyerbu kuping kawannya.
“Really? Was it not yesterday, darling?”
“No. Yesterday night was the most delicious night, he-heeh,” sambar Brenda gesit. “You know what I mean, don’t you?”
Di pintu halaman depan mereka disambut gonggongan tiga ekor anjing milik pemilik hotel. Sesudah mendapat kunci kamar dan cuci kaki bersih-bersih, Pramu cepat membaringkan diri. Tenyata tak usah menunggu 10 menit dengkurnya sudah memenuhi ruangan. Brenda yang membawa pocket-book dalam pakaian minim di sisinya, dia kecup pipinya pun tidak sempat. Tapi perempuan itu tidak marah. Ia ingin mengerti, mengapa dari Jakarta kenalan barunya itu sampai membawa sebuah buku lama, The Yogi and The Commissar karangan Arthur Koestler. Padahal pengarang tersebut tak pernah ia menyukai buah karyanya.
Dan malam pun merambat pula di Kutha, sebagaimana halnya di Amuntai, Singapura, Kyoto, Hongkong, dan Manila. Berjuta-juta peristiwa bisa saja terjadi, juga di Kutha; sebagaimana halnya di Ubud, Jakarta, Bangkok, Shanghai, dan Pnom Penh, atau Hanoi. Dan Pramudito pun tidur dengan lelapnya. Mendengkur. Enak sekali.
Entah sudah berapa lama, dia pun terbangun. Sebab lampu kamar ternyata padam, padahal pintu agak terbuka sedangkan Brenda tidak dia lihat. Pintu kamar kecil pun terbuka. Mustahil ia di sana.
Aneh, dada Pramu berdegup. Ada sesuatu yang mendebarkannya. Denyut darahnya juga tiba-tiba lebih cepat, dan keringat dingin mengucur begitu saja. Padahal tadi tak ada impian buruk yang dia peroleh. Dan sesudah dia kuasai, barulah Pramu mendengar percakapan dalam bahasa Inggris antara laki dengan perempuan.
Berjingkat kaki Pramu ke luar kamar. Pintu dia buka pelan-pelan lalu berhenti di dekat dinding luar. He, benarkah itu suara ….
“Listen, Susan, this is serious business, you know,” terdengar suara laki-laki asing itu berkata.
“Whatever you may think, I’m trying to save you,” mendadak menyambarlah Susan. Pramu kaget sekali. Itu kan Brenda, pikirnya.
Dan laki-laki itu, pasti itu Bruce Douglas, mahasiswanya waktu dia kasih kuliah di Amerika dahulu. “Jadi mereka sudah saling kenal? Tapi kenapa nama mereka harus diganti? Penyamaran?” batin Pramu.
“Look, I kept my word, I turned up. All right I was late but ….”
“Shut up!” tukas Brenda. “Sit down, Jack. If you don’t sit down then I’ll knock you down. I promise, that’s what I’ll do.”
Pramu terkejut. Bukan saja sebab Brenda yang menggemaskan itu semula mengesankan diri sebagai wanita yang kesepian. Dan nyatanya sanggup bertingkah seperti macan betina. Sedangkan Jack alias Bruce yang dahulu dia sangka seorang tough-guy itu nyatanya jinak saja. Bruce Douglas tiga hari yang lalu dia papasi di Sanglah, Denpasar; tapi karena mereka sama-sama terburu-buru maka berencana menghubungi dirinya malam tadi, di Kutha. Tetapi tahu-tahu … ada yang aneh, ini.
Brenda berbicara agak lemah. Mungkin selain karena Jack mengabulkan perintahnya juga karena angin kebetulan menderu-deru maupun ombak laut kembali berdebur-debur. Pramu tak menangkap apa yang selanjutnya mereka percakapkan. Apalagi di depan kantor hotel terdengar ada jip dan mobil memasuki pekarangan berurutan. Disambut oleh anjing hotel dengan gonggongan yang riuh.
“Give it to me. Come on, Susan. Do what I say,” suara Bruce kembali terdengar. Nadanya memerintah.
“It isn’t yours, you know that. It’s mine. He gave it to me.”
“No. He stole it from me, you know that!” sambar Bruce. “I swear it’s mine.”
“Couldn’t he be a local cop either? Oh, I know that I was being followed all the time. And I really hate that!” ujar Brenda. Nadanya menyurut ke kesal atau bahkan mau putus asa.
Pramu sengaja batuk-batuk. Nyaring dan berpuluh-puluh detik.
MENDENGAR BATUKNYA, BRUCE dan Susan menghentikan pembicaraan mereka. Dan sebelum keduanya pergi Pramu keluar dari ‘persembunyian’nya. Langkahnya dia mantap-mantapkan.
“Selamat malam, Pak. Maaf, kami menganggu Bapak,” sambut Bruce, begitu mereka saling melihat. “Pak Pramu tidur enak sekali, ya.”
“Hi, Jack!” tegur Pramu, sengaja bukan dengan nama Bruce sebagaimana yang dia kenal sejak di USA dulu. “And you, Susan, how are you?” tanyanya sinis, kepada Brenda.
Kedua bule itu tampak kaget campur tersipu-sipu. Apalagi waktu Pramu menjelaskan, bahwa dia bukan polisi lokal yang menyamar. Cepat-cepat Bruce memotong bahwa yang dimaksud oleh Susan tadi memang bukan Pramu. Melainkan seorang pria Indonesia lainnya. Orang Bali, mitra-niaga mereka.
Dalam kamar, “Jack” dan “Susan” lambat laun mengaku bahwa sudah saling kenal. Bahkan datang di Bali ini buat sesuatu bisnis yang mahapenting dan mahabesar nilainya, yang sayangnya tidak dapat mereka katakan kepada Pramu. Mereka juga menyesal bahwa untuk keperluan itu sampai-sampai harus menggunakan nama samaran.
Atas desakan Pramu akhirnya mereka mengaku pula, bahwa paspor yang mereka pakai juga palsu. Hal ini tentu saja cepat membuat Pramu curiga. Matanya melotot. Gerahamnya bergeretak. Namun anehnya, baik tangan, kaki bahkan mulutnya sekonyong-konyong lemah dan kelu.
Pada saat itu bunyi sesuatu kesibukan terdengar mendekati kamar mereka, diiringi oleh gonggong anjing-anjing hotel yang berkepanjangan. Makin lama semakin riuh. Membuat ketiga orang dalam kamar itu menghentikan percakapan mereka. Dada Pramu kembali berdegup dengan cepat. Darah berdesir lebih cepat pula ketimbang biasa. Dilihatnya beberapa lampu senter bersilangan kian-kemari, dibarengi gema sepatu lars berderap-derap pada kerikil.
Hiruk-pikuk makin mendekat. Akhirnya pintu kamar Pramu diketuk. “Siapa?” tanya Pramu. Suaranya dia buat-buat agar berwibawa.
“Saya, Pak.”
“Saya siapa?”
“Saya Putu, Pak. Dari kantor. Ada tamu, Pak, bapak-bapak polisi dari Kutha.”
Mendengar hal itu Bruce ternyata bergerak dari kursi, mau lari. Bagaikan kilat Pramu pun melonjorkan kakinya. Bruce terjengkal, jatuh. Kepalanya membentur meja rotan, menyebabkan air minum di sana tumpah menyiram sebagian mukanya.
“Silakan masuk, Pak, kebetulan sekali,” sambut Pramu.
Dua orang polisi berbaju dinas muncul di muka pintu. Yang ada pistol di pinggangnya memberi hormat kepada Pramu. Gerak kepalanya memerintahkan anak buahnya untuk masuk ke kamar. Lima orang. Semuanya bersenjata.
“Bapak mau perlu sama orang-orang ini?” tanya Pramu. Matanya sekilas menyapu Brenda maupun Bruce. “Tanyai saja, Pak. Saya sendiri dengan rela, membantu Bapak; kalau memang diperlukan kasih keterangan tentang yang saya kira-kira tahu.”
Kamar digeledah. Bruce tangannya diborgol ke belakang, namun tidak Brenda dan Pramu. Tas mereka dibawa juga, berikut kartu penduduk Pramu. Mereka lalu dinaikkan pick-up terbuka, di belakang.
Kutha ternyata masih belum lelap. Masih banyak orang yang lalu-lalang, di antaranya penduduk asli. Banyak yang tidak memperdulikan, tatkala kendaraan polisi setempat itu beriringan melewati mereka.
Pemeriksaan berjalan seru. Sebuah jip penuh polisi berpakaian sipil datang khusus dari Denpasar. Mereka bertiga diperiksa terpisah. Pramu gembira mendengar polisi Denpasar ada yang lancar berbahasa Inggris, meskipun logat Balinya menonjol sekali dan tentu saja tatabahasanya cukup acak-acakan. Lama kemudian Bruce baru mengaku bahwa dia sanggup diperiksa dalam bahasa Indonesia.
Menjelang pagi, Pramu diantar kembali ke motel di pantai itu. Barang-barangnya disertakan. Brenda dan barang-barangnya dan Bruce tetap tinggal. Mereka ternyata dicurigai terlibat penyebaran narkotika. Rekanannya yang orang Bali sudah ketangkap dan mengaku.
“Saya betul-betul tidak menduga, Pak. Bahkan tidak mau percaya, kalau tadi itu tidak lihat sendiri,” ucap Pramu di dalam jip.
“Apanya, Pak, yang meragu-ragukan Bapak?” tanya si polisi yang mengemudikan jip. “Tadi Pak kan dengar sendiri. Eh, ngomong-ngomong, Pak, perempuannya montok, ya. Mana jegeg; kayak perempuan kita saja.”
Dia senyum. Namun Pramu malas menanggapi. Matanya berat oleh kantuk. Perutnya lapar. Padahal jelas tak ada warung ataupun restoran yang buka. Juga restoran di bekas hotelnya semalam.
Jalan raya di wilayah Kutha yang kalau siang hari ramai itu, kini tebal dliputi kabut. Udara masih dingin. Namun sudah banyak orang lari pagi, laki-perempuan, tua-muda; penduduk setempat.
“Gila ah, si Bruce,” keluh Pramu. Waktu itu jip menikung ke jalan Legian. Bunyi ban berdesing. “Saya kecewa betul, adalah dia anak pinter, Pak. Calon ahli sejarah Asia Tenggara yang bisa kita harapkan. Heran saya, kok ya mau-maunya lho, ikut-ikutan jaringan narkotika internasional.”
“Ah, Bapak. Yang lebih gila juga ada kan, Pak,” sambar polisi yang tadi. “Jangan Bapak pura-pura lupa, lagi.”
Pramu menatapnya. Mulutnya kembali malas bicara.
“Betul, Pak. Itu, bapak-bapak yang kalau melihat potongan badan mereka, spontan bikin kita pengin terus menghormat! Tapi, eeee, sekalinya merugikan negara, langsung bermilyar-milyar rupiah,” kata polisi itu lalu tertawa-tawa.
Pramu pura-pura menguap. Pikirnya; “Kalau polisi sendiri sudah bilang begitu, apanya lagi yang perlu aku bantah?”
_________________
*) Satyagraha Hoerip, kelahiran Lamongan, Jawa Timur. Pernah mengikuti International Writing Program pada Universitas Iowa, 1972-73; serta pernah mengajar pada Indonesian Studies Summer Institute, Universitas Ohio, 1982. Tiga tahun terakhir ini, sambil menganggur, mengusahakan menerbitkan buku antologi cerpen Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (Matra, Juli 1989)
***
Terimakasih dan apresiasi sebesar-besarnya kami haturkan kepada Dyah Setyowati Anggrahita yang telah berkenan mengirimkan karya cerpen lama ini kepada klipingsastra. Salam Sastra
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Satyagraha Hoerip
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Majalah Matra" Juli 1989
http://id.klipingsastra.com/2016/01/selewat-senja-di-kutha.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar