Rabu, 07 November 2012

SASTRA “VERSI IKLAN KECAP” INDONESIA *

Nurel Javissyarqi

“Nun, demi kalam (pena) dan apa yang mereka tuliskan.” [QS. al Qalam (68) ayat 1].
Judul makalah ini mengambil olok-olokkannya kritikus Dami N. Toda kepada A. Teeuw dalam esainya “Mempertanyakan Sastra Itu Kembali” di bukunya “Apakah Sastra?” Cetakan Pertama, IndonesiaTera 2005. Yang juga ‘versi iklan kecap’ menurut saya!

Kebetulan saya sedang menggarap buku kritik, yang rencana judul besarnya: “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” lewat esainya Dr. Ignas Kleden, Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri,’ yang sudah mendekati empat ratus halaman, entah ketebalannya kelak sampai berapa. Sajian kini tidak jauh dari yang teranalisa demi memudahkan diri berselancar.  Yang jua termaksud versi iklan kecap bunyinya begini tulisan Dami, “…temuan diksi puitik berupa fonem “Q”, ataupun diksi puisi persenyawaan “sepisaupi sepisaupa”, diksi puisi berupa morfem-morfem sungsang (winka, sihka) dan ‘tanda baca’ menjadi absah dalam “karya sastra” Sutardji Calzoum Bachri; murni temuan cipta diksi puitik si pengarang Sutardji Calzoum Bachri pribadi dalam karya ciptaan tertentu. Gejala pilihan ‘kata’ seperti itu tiada ter-reka dalam semiotik Culler, Greimas, apalagi Teeuw yang berpegang pada leksikografi linguistik konvensional.” (Hlm 4).

Mungkin, sangking geregetannya Dami terhadap A. Teeuw, ia mengkopi paragrafnya di dalam esai lain dengan gaya bahasa agak berbeda. Tengok halaman 2-3 dan 29-30, di buku yang saya sebut di muka seperti berikut: “…Contoh mitos “teori sastra mutakhir” yang diberi label etiket ilmiah dapat dibaca dari bunyi teks iklan kulit buku kumpulan esai A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, pada Penerbit Gramedia (Jakarta), 1983. Tertulis di sana antara lain:”

“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teeuw dalam buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael Riffaterre (Prancis), Hans Robert Jausz (Jerman Barat), Jurij M. Lotman (Rusia), Jan Mukarovosky dan Felix Vodicka (Cekoslovakia), dan lain-lain.”

“Tidak tanggung-tanggung wacana iklan neket tersebut menjual kumpulan esai Prof. A. Teeuw dengan versi iklan kecap: “…teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra.” Benarkah ‘ketinggalan’ mengetahui teori mutakhir berakibat pada ketidakmampuan orang Indonesia membaca dan memahami (baca: ‘menikmati’) karya sastra tradisi (daerah) dan sastra baru yang ditulis pengarang mereka sendiri? Benarkah komunikasi “membaca dan memahami karya sastra” lama (semisal: Ronggowarsito) atau baru (semisal: Sutardji Calzoum Bachri) bagi pembaca awak dalam negeri perlu menanti tembusan pengetahuan “ilmiah” teori sastra mutakhir dengan nama-nama aneh diimpor jauh-jauh dengan bahasa susah Cekoslovakia, Rusia, Prancis, Jerman, lewat kuliah “Program Leiden” (Belanda)? Haruskah pembaca awak yang telah bernikmat diri membaca sastra bangsa sendiri harus kembali mencurigai kejujuran kenikmatan penerimaan dan apresiasi membacanya karena belum diabsahkan membaca “teori sastra mutakhir” beristilah asing? Suatu hal pasti bahwa nabi-nabi asing teori sastra kubu linguistik: Mukarovsky, Jakobson, Lotman, Barthes, Riffaterre, Jausz belum pernah tahu dan membaca tradisi puitik sastra Jawa, Bali, sastra Pustaha Batak, La Galigo Bugis-Makasar, Sa’dan Toraja, sastra teks asli Indonesia dan aneka sastra daerah Indonesia. (I.1. Mempertanyakan Sastra Itu Kembali, Hlm 2-3 buku Apakah Sastra?).

“Contoh pengelu-eluan mitos “teori sastra mutakhir” yang diterima sebagai etiket ‘ilmiah’ di Indonesia dapat disaksikan dari penyajian teks iklan berlebih-lebihan pada reklame kulit buku kumpulan esai A. Teeuw (Membaca dan Menilai Sastra) terbitan Penerbit Gramedia, Jakarta, tahun 1983. Tertulis di sana antara lain:”

“Teori sastra telah berkembang dengan pesat pada paruh kedua abad ke-20 ini, sehingga teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra. Di Indonesia teori-teori mutakhir ini jarang dikenal atau hanya sedikit diketahui orang. Akibatnya, teori sastra Indonesia sering ketinggalan zaman. Karangan-karangan Teeuw dalam buku ini justru memperkenalkan teori sastra Roland Barthes dan Michael Riffaterre (Prancis), Hans Robert Jausz (Jerman Barat), Jurij M. Lotman (Rusia), Jan Mukarovosky dan Felix Vodicka (Cekoslovakia), dan lain-lain.”

“Tanpa tanggung-tanggung tawaran Prof. A. Teeuw tersebut diiklankan dengan wacana: “…teori-teori lama tidak dapat diandalkan lagi untuk membaca dan memahami karya sastra”. Apakah benar ‘ketinggalan’ mengetahui teori mutakhir di Indonesia berakibat dari ketidakmampuan kita di sini membaca dan memahami (baca: ‘menikmati) karya sastra tradisi (daerah) dan sastra Indonesia yang ditulis pengarang kita sendiri? Apakah benar bahwa komunikasi “membaca dan memahami karya sastra” lama (semisal: Ronggowarsito) atau baru (semisal: Sutardji Calzoum Bachri) bagi pembaca awak di Indonesia harus menanti dan tergantung pada tembusan pengetahuan “ilmiah” teori sastra mutakhir yang jauh-jauh diimpor dengan bahasa susah dari Cekoslovakia, Rusia, Prancis, Jerman lewat kuliah “Program Leiden” (Belanda)? Hampir pasti selain A. Teeuw, nabi-nabi teori sastra asing dari kubu linguistik, seperti Mukarovsky, Jakobson, Lotman, Barthes, Riffaterre, Jausz belum pernah mampu membaca bahasa & tradisi puitik sastra Jawa, Bali, sastra Pustaha Batak, La Galigo Bugis-Makasar, Sa’dan Toraja ataupun aneka daerah Indonesia. (I.3. Sastra Menciptakan Hukum Diksi Penciptaan, Hlm 29-30 buku Apakah Sastra?).
***

Suatu hari, berkisar lima tahun lalu saya naik kereta api (mungkin) kelas ekonomi. Ini agak lupa sambil mengingat-ingat perihal terwedar belum terkisah sebelumnya berupa tulisan. Sehingga tidak seolah mengkopi meskipun kepunyaan sendiri dan sah. Tetapi saat kepanjangan seakan pemalas, atau puas temuan itu saja. Gerbong kereta tertumpangi dari Stasiun Tugu Jogjakarta ke Jakarta (Manggarai atau Senen; penyebutan dua stasiun untuk mengurangi bentuk ketlingsut ingatan, sebab menyebut salah satunya terasa kurang nyaman). Jika menyusuri peristiwa yang kan terceritakan, seperti dari Stasiun Tugu ke Stasiun Senen. Dalam gerbong entah deretan keberapa dari depan, pun bangku nomor berapa sedari belakang, seingat saya duduk berdampingan seorang kuli. Sebut saja namanya Tardjo, Ia mendongeng panjang-lebar pengalamannya bertahun-tahun jadi kuli, dan keberangkatan kali itu katanya akan memasang kaca di kampus UI. Secara spontan pikiran saya melejit, ‘wah ini menarik!’ Ngobrol ngalor-ngidur dalam perbincangannya, nalar saya kembara.

Tentu pembaca tak menyangka, saya bisa baca perjalanan seseorang lewat mengamati raut muka, baju yang dikenakan, potongan kuku jemari, pula gerak-geriknya. Apalagi (andai) tahu rumahnya, saya bisa tanyai dedaunan serta bebunga menghiasi kediamannya, sehingga mudah peroleh informasi tanpa banyak abang-abang lambe (pemanis bercengkerama). Saya bayangkan tukang kaca itu besok memotong bebidang kaca dengan pisau intan mungil mata tajamnya, jika membelinya berupa lembaran lebar, yang digarit seukuran tertentu sesuai kebutuhannya. Lalu memasangnya pelahan sederajat imbang, ini dikerjakan berkali-kali sampai gedung-gedung kampus Universitas Indonesia terbungkus kaca tebus, selain dinding temboknya.

Setelah kaca-kaca terpasang di tempat semestinya, dapat menghalau angin kencang memasuki reruang kelas, sehingga para mahasiswa tidak terserang tiupan bayu keras datang mengganggu acara belajarnya. Menghalangi masuknya air hujan saat musim penghujan melanda, dan para murid sesekali melihat bebintik air gerimis menetesi dinding kaca berkelembutan rupawan sehalus pemikiran jernih menatap bidang kemungkinan. Kaca itu membatasi sengatan mentari yang menerobos lewat dindingnya, sisi lain peredam suara dari kebisingan aktivitas di luar. Lain lagi pada kemiringan tertentu disentuh cahaya surya menimpai, kaca mewujud setengah cermin bagi mahasiswi pula para dosen yang sekali melintasi jalan merias diri di mukanya.

Banyak manfaat pekerjaan Tardjo bagi para pencari ilmu yang bersuntuk-suntuk belajar di ruangan. Dan ia hanya menganggap dirinya tak lebih tukang kaca semata. Mungkin mahasiswa yang tahu dirinya bekerja, bersikap cuek pingsan tak punya kepedulian lebih, memandangnya sekelas orang-orang yang tidak pernah merasai nikmatnya bangku pendidikan. Kaca-kaca itu berfungsi lama kecuali pecah oleh lemparan batu, retak memecah adanya pergeseran lempengan lapisan bumi, atau tak berguna kala direnovasi dengan kaca terbaru. Mungkin kaca tersebut melampaui usia belasan semester, beberapa generasi, dan daya gunanya bertambah sejauh penyaksi menguliti diri pribadi atasnya.

Di senggang waktu tertentu dibersihkan pihak kebersihan, sekali tempo dicoret-coreti mahasiswi iseng dengan pensil, spidol, atau menstempel lewat bibirnya jika merasai punya kecupan paling seksi. Pulalah terkena semprotan ludah yang kesal, serta berjenis-jenis peristiwa menimpai kaca. Jangan-jangan ruangan kampus tak sesuai bayangkan saya! Atau cukuplah dialamatkan tukang pasang kaca di kampus UI yang saya kenal di kereta api itu memasang kaca apa saja, genting kaca, kaca cermin di kamar mandi, &ll. Tak apalah, setidaknya menghibur di senggang masa menikmati perjalanan Jogja-Jakarta.
***

Suara kereta api bagi saya ialah musik istimewa. Musik itu kala mencapai percepatan lajunya senada irama musik klasik atas komposer Alexander Mosolov yang terkenal bersebutan ‘pabrik baja.’ Keistimewaannya mungkin karena saya lahir di dataran rawa-rawa jauh dari rel kereta, andai ada yang membangun di atas tanahnya, tentu memerlukan konstruksi khusus, agar tak cepat ambles ke dasar bumi oleh mendat-mentul-nya. Karena jarang menaiki pun mendengarkan suaranya, dan bisa dipastikan kala melewati palangan rel kereta api, serasa melesat ke surga. Istilah ‘keistimewaan’ berbeda dengan mewah, cantik pula mahal, tapi ibarat rasa lapar, dan naluri untuk makanlah yang ternilai.

Ketika suatu waktu inap di rumahnya kritikus sastra Maman S. Mahayana daerah Bojong Gede, Depok. Serasa mengalami keadaan istimewa setiap saat, karena kerap dihibur suara kereta api yang lewat di samping kediamannya. Suasananya jadi luar biasa membumbung lantaran bisa menikmati perpustakaan pribadinya. Musik itu menyusuri alam kenangan, semasa bocah diajak Mbah saya ke Kota Babat (wilayah Lamongan). Ia bilang (bernada bohong demi menghibur cucunya) kalau sudah sampai di Jakarta, dengan bukti melewati rel kereta api. Atau tidak bohong, tetapi ingatan saya yang lemah. Kata lain, Mbah saya menunjuk ke rel kereta api itu menuju Jakarta (benar).

Selalu, saat saya naik kereta api ke Jakarta membawa buku-buku karangan Soekarno dan Bung Hatta, sambil membayangkan keadaan jaman tempo dahulu masa perjuangan kemerdekaan. Di gerbong imaji saya liar merangkai bayangan, para penumpang ibarat pejuang melawan penjajah. Ini jarang tertemui dalam kereta api kelas bisnis, dan tak terjumpai di kelas eksekutif, kecuali memaksakan bayangan, tapi buntutnya malah seperti (menjadi) penjajahnya. Di setiap laluan nalar ini terus berlesatan, ada saja terpikirkan tak mau berhenti diam. Dan setiap tarikan nafas sering tersadar, bahwa perjalanan ini dimodali Tuhan dengan nyawa, maka saya tanamkan keseriusan di dalamnya.

Antara nyanyian kereta api, ada saja sosok para tokoh dunia muncul di hadapan saya, Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Muhammad Iqbal, Rabindranath Tagore &st. Saya kira, dataran India tidak berbeda jauh dari bencah tanah Jawa. Irama cepat musik itu senyawa karya-kaya sastrawan filsuf Nietzsche, senantiasa organisme dalam pepuncak temuannya. Dan kelambanannya sealur novel Siddharta (1922) karya pemenang Nobel Sastra tahun 1946 Hermann Hesse, yang mungkin pernah naik kereta api di Sumatera. Atau di usia 23 Pablo Neruda tahun 1927 (pemenang Nobel Sastra tahun 1971) berpelesiran bersama istri pertamanya Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzan (seorang Belanda pegawai bank) menaiki kereta api dari Jakarta ke Jogja. Tagore (pemenang Nobel Sastra tahun 1913) pun saya kira sempat naik kereta api di tanah Jawa (1927-1928). Istimewanya lagi, film ‘Before Sunrise’ berawal dari perjalanan dalam kereta api.

Di kereta api juga, teringat karangan penyadur jalang Chairil Anwar ‘Kerawang Bekasi,’ yang menurut sebagian kritikus kekaryaannya bernilai universal. Misalkan Ignas Kleden dalam petikan paragraf ini: “…Menghadapi semua ini, seorang peneliti akan tetap bertanya mengapa gagasan tentang universalitas kemanusiaan demikian mempengaruhi Chairil Anwar dan rekan-rekan seangkatannya, sehingga membuat mereka seakan tercerabut dari lokalitas di mana mereka semula berakar? Pertanyaan ini akan membawa seorang peneliti menyelidiki apa yang terjadi pada masa hidup Chairil Anwar dan dengan itu menyingkapkan juga konteks historis dari mana telah muncul sikap yang diperlihatkan oleh para sastrawan Angkatan 45. Jadi, konteks kehidupan para sastrawan angkatan ini barangkali tidak dibutuhkan untuk memahami karya mereka, tetapi sebaliknya, karya mereka mengharuskan kita untuk memahami mengapa mereka seakan-akan berkarya secara lepas dari konteks historis yang terdekat dengan kehidupan mereka.” (“Pengantar Penulis, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan,” terbitan Grafiti & Freedom Institute 2004). Saya pikir lebih bijak para peneliti memahami usia kesunyiannya, dan kecerobohannya yang dibela mati-matihan kritikus sastra H.B. Jassin.
***

Tubuh Tardjo bergoyang-goyang seperti badan saya, selaju kereta api ekonomi kami tumpangi. Kadang pelan terkadang kencan mengikuti suara musik kereta. Berbagi pengalaman menebarkan keakraban. Saya amati tatkala ia menatapi kaca jendela kereta api. Mungkin, sedang membayangkan pekerjaan yang dihadapinya besok. Pandangannya tekun menyelidik sudut-sudut kesimbangan. Barangkali tersirat di kaca itu gambaran anak dan istrinya di rumah, yang menantinya pulang bawa oleh-oleh dari Jakarta. Senyuman khas menandai kesabaran melakoni hidup, alisnya naik-turun dielus-elus jemari seolah memikirkan sesuatu. Ketika tersadar saya perhatikan. Ia berlagak seperti teman lama, sambil mengepulkan asap rokok yang dihisapnya.

Pikiran saya terus mengembara. Pada suatu malam kampus UI mengundang para penyair Ibu Kota, untuk membacakan sajak-sajaknya sendiri-sendiri. Sebagai gong acara, Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri baca puisinya berjudul “Q,” yang secara teks banyak tanda serunya, dan semacam ada tulisan Alif Lam Mim tanpa aturan / semaunya. Mungkin, agar pembaca teks itu bisa menangkap keajaiban racikannya, seolah-oleh ingin mengundang daya sugesti. Katanya puisi mantra, jadi sejenis rajah huruf abjad barangkali. Dan membaca puisi yang berlabel ‘Tragedi Winka & Sihkha,’ serta puisi yang ada susunan huruf-huruf ‘sepisaupi sepisaupa.’ Saya tidak tahu, apakah Tardjo pemasang kaca melihatnya atau tak! Jika menyaksikan tentu terheran-heran kagum sambil bergumam, ‘Oh begitu ya penyair membacakan puisinya.’ Dan gedek takjub sedikit miring oleh ketidakpahaman, atau masuk ke alam hipnotis pembodohan. Karena hadirin pun tidak mengerti yang dimaui Sutardji, Raja Mantra ‘palsu’ itu.

Kritikus Dami N. Toda ialah penyokong paling setia pada ‘perpuisian SCB.’ Sayangnya terlepas akar tradisi, seperti jua ‘puisi-mantra Sutadji’ yang tak memiliki tali-temali kemelayuan, kalau dicermati jeli obyektif ataupun jujur bijaksana. Menengok ‘Kredo Puisi’-nya,’ paham ‘alibi’-nya; ‘tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya’ sebagaimana Tuhan, katanya. Terlebih-lebih keberangasan mengartikan “Kun Fayakun” menjelma “Jadi, lantas jadilah!” dan “Jadi maka jadilah!” Saya cuplik saja paragraf-paragrafnya:

“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas: mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.” (“Kredo Puisi” Sutardji Calzoum Bachri. O Amuk Kapak, Bandung, 30 Maret 1973). Apakah kata-kata “Alif Lam Mim,” jika penulisannya tidak beraturan? Apakah termasuk kata-kata, pada: winka, sihkha, sepisaupi, sepisaupa? Lantas beralibilah:

“Puisi adalah alibi kata-kata.
Para pembaca puisi, yang dalam kehidupan sehari-hari sering hanya bertemu dengan kata-kata yang terpenjara dalam makna yang diinginkan oleh penguasanya, mengandung kepalsuan dan hipokrisi, tidak lagi akan menyalakan kata-kata. Dengan puisi, orang tahu, kata-kata sebenarnya bebas, tidak terhukum dengan beban makna, yang diinginkan para penguasanya, karena kata-kata berada di tempat lain, memiliki alibinya dalam puisi.
Mengingat kata-kata masih memiliki alibi, orang bisa mendapatkan optimisme dalam keabsurdan hidup sehari-hari yang sering penuh tekanan dan hipokrisi, karena makna kata sebenarnya ada di tempat lain dalam puisi.” (SCB: Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998, Catatan Kebudayaan, Horison XXXII/5/1998). Jadi, sepertinya tidak masalah menulis maupun membacakan kata-kata “Alif Lam Mim” semaunya! Sebab?

“Peran penyair menjadi unik, karena—sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya— secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.” (‘Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair;’ orasi budayanya SCB dalam acara Pekan Presiden Penyair, Republika, 9 September 2007). Karena merasa ‘sebagaimana Tuhan,’ dirombaklah “Kun Fayakun:”

“Pada mulanya Tuhan Sang Maha Penyair berfirman, “Jadi, lantas jadilah!” Itulah kata paling utama dari puisi di mana kata adalah benda adalah ikhwal adalah makna adalah diri ekspresi adalah eksistensi. Kesanalah penyair menuju-sebagai pedoman-mencoba meraih kata yang adalah makna itu sendiri” (Sambutan Sutardji Calzoum Bachri Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra Mastera, Bandar Seri Begawan 14 Maret 2006, ‘Isyarat’ hlm 20).

“Pada mulanya Sang Maha Penyair berucap, “Jadi maka jadilah!” Itulah kata yang paling hakiki dari puisi. Kata adalah makna itu sendiri. Jadi adalah Jadi itu sendiri. Dalam dan pada Jadi itulah dunia dan makna menghadirkan diri. Ke sanalah penyair menuju, terobsesi mencoba meraih kata yang makna hakiki itu sendiri” (“Bukan” Sutardji Calzoum Bachri -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-, “Bentara” Kompas, 11 Januari 2003, ‘Isyarat’ hlm 22).
***

Untuk para kritikus maupun Sutardji sendiri, tidak usahlah jauh-jauh mengecilkan peran Jacques Derrida, Roland Barthes, atau lainnya. Hadapi saja teks-teks bertenaga balik ini dengan satuan gugusan buku yang tak hanya esai-esai bernasib tanggung, sebelum membabat gagasan dalam buku-buku mereka. Sehingga dunia susastra tidak meragukan kehadiran sampean dalam pergaulan di belantika sastra Internasional. Hadapilah, seumpama ingin menteorikan perpuisian tersebut -katanya puisi mantra- sambil memantabkan kengelanturan kutipan-kutipan di atas yang menurut saya salah besar, dan tidak berlandaskan asas ilmu pengetahuan kecuali akal-akalan! Mungkin begitu, agar sejarah kesusastraan Indonesia lebih dihargai, daripada memitos simsalabim abrakadabra!

Saya lihat Tardjo pemasang kaca-kaca jendela di kampus UI tertidur oleh goyangan gerbong kereta api kelas ekonomi yang kami tumpangi. Sedangkan diri ini masih menerawang pada catatan-catatan yang belum rampung untuk buku sebagaimana disebutkan di awal. Kepada para penulis yang hadir, saya mohon doanya, guna selesainya buku yang sedang tergarap pelahan, agar bisa keluar sedari rezim susastra kejahiliahan. Sehingga mampu memahami sebening hati berjernih fikiran, di dalam setiap menelaah pelajaran hidup, dengan tidak menelan mentah-mentah yang ‘serupa-rupa keilmuan,’ meski dari para guru kita sendiri!

Demikian buncahan singkat, selebihnya wallahualam bissawab. Dan terus berikhtiar, demi meraih keilmuan peroleh kidungan damai keselamatan di dunia sampai akhirat, amin…  Serat Kala Tida (Sinom): VII. “Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah kersa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada.” Terjemahan bebasnya: “Jaman yang dilalui itu memang jaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila (menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti tidak akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, bagaimanapun juga sebahagia-bahagia yang lupa diri masih bahagia yang senantiasa ingat serta waspada.” (“R. Ng. Ronggowarsito Apa Yang Terjadi?” Disusun Anjar Any, penerbit Aneka Ilmu, Cetakan tahun 2002).

6 Nopember 2012, Selasa Anggara Masehi
21 Besar 1945, Selasa Wage Jawa
21 Dzul Hijjah 1433 Hijriah
Di Bumi Reog Ponorogo, Tanah Jawa.

* Makalah mengisi acara di kampus UnMuh Ponorogo. Sabtu, 10 November 2012 di ruang seminar (Dome Universitas Muhammadiyah Ponorogo).
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/11/sastra-versi-iklan-kecap-indonesia/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Alexander A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Dahana A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.C. Andre Tanama A.J. Susmana A.S. Laksana A’an Jindan AS Abd. Mun’im Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Rauf Singkil Abdul Walid Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adek Alwi Adhi Pandoyo Adhitia Armitrianto Adhy Rical Adi Faridh Adian Husaini Adin Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrizas Adu Pesona Sang Wakil Presiden RI AF. Tuasikal Afri Meldam Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agit Yogi Subandi Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Rakasiwi Agus Sulton Agus Wibowo Agus Wirawan Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ah. Atok Illah Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Anshori Ahmad Damanik Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Gaus Ahmad Hasan MS Ahmad Jauhari Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad S. Zahari Ahmad Syafii Maarif Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fiah Akbar Ananda Speedgo Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Siddiq Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al-Fairish Al-Ma'ruf I Al-Ma'ruf II Alang Khoiruddin Albert Camus Ali Mahmudi Ch Alia Swastika Alvi Puspita Alvin Amien Wangsitalaja Aminah Aming Aminoedhin Ana Mustamin Anam Rahus Anas AG Andhi Setyo Wibowo Andi Gunawan Andry Deblenk Angela Anggie Melianna Anindita S. Thayf Anis Ceha Anitya Wahdini Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anugerah Ronggowarsito Anwar Nuris Aprillia Ika Arida Fadrus Aridus Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Ariel Heryanto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Arwan Aryo Wisanggeni Aryo Wisanggeni Gentong AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Ashadi Ik Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asro Kamal Rokan Astrid Reza Asvi Warman Adam Atafras Atok Witono Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azwar Nazir Baca Puisi Badrus Siroj Bahrul Ulum A. Malik Balada Bambang kempling Bambang Riyanto Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Berita Utama Bernando J. Sujibto Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Biografi Bre Redana Brunel University Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Jay Utomo Budi P. Hatees Budi Palopo Budi Setyarso Budi Sp. Indrajati Budiman S. Hartoyo Budiman Sudjatmiko Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Choirul Rikzqa Christian Heru Cahyo Saputro Cover Buku D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dadang Widjanarko Damiri Mahmud Dani Fuadhillah Daniel Paranamesa Darju Prasetya Dati Wahyuni Dawet Jabung Ponorogo Dedykalee Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Deshinta Arofah Dewi Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan Dewi Anggraeni Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Didik Kusbiantoro Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dorothea Rosa Herliany Dr Andi Irawan Dr Siti Muti’ah Setiawati Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Drs. Solihin Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddi Koben Edeng Syamsul Ma’arif Edy Apriyanto Sudiyono Edy Firmansyah Edy Susanto Efri Ritonga EH Ismail Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hartono Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elita Sitorini Elly Trisnawati Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Em. Syuhada' Emha Ainun Nadjib Encep Abdullah Eni Sulistiyawati Eny Rose Esai Ester Lince Napitupulu Etik Widya Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathan Mubarak Fathul Qodir Fathul Qorib Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Seni Surabaya 2011 Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fikri. MS Fiqih Arfani Firman Daeva Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Forum Santri Nasional (FSN) Free Hearty Galuh Tulus Utama Gandis Uka Ganug Nugroho Adi Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gendut Riyanto Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Pratama Glenn Fredly Goenawan Mohamad Golput Gombloh Gombloh (1948 – 1988) Grathia Pitaloka Gugun el-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur H.B. Jassin Hadi Napster Hafis Azhari Halim HD Halimi Zuhdy Hamid Dabashi Han Gagas Hardi Hamzah Hari Prasetyo Haris Del Hakim Haris Saputra Hary B Kori’un Hasan Basri Marwah Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Hendro Situmorang Henri Nurcahyo Henry H Loupias Hera Khaerani Heri CS Heri Kris Heri Latief Heri Listianto Herman RN Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Kuntoyo Heru Kurniawan Hikmat Darmawan Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humaidi Humam S Chudori I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I. B. Putera Manuaba IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ichwan Prasetyo Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Munadjat Imam Nawawi Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Herdiana Imron Arlado Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indigo Art Space Madiun Indra Tjahyadi Indrian Koto Ingki Rinaldi Iqmal Tahir Is Faridatul Arifah Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Isra’ Mi’raj Iswadi Pratama Iswara N Raditya Iva Titin Shovia Iwan Awaluddin Yusuf Iwan Gunadi J. Sumardianta Jamrin Abubakar Jansen Sinamo Janu Jolang Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jemie Simatupang Jenny Ang Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jl Simo Jo Batara Surya Jodhi Yudono Joko Budhiarto Joko Sadewo Joko Sandur Joko Widodo Jones Gultom Joni Ariadinata Joresan Mlarak Ponorogo Joseph E. Stiglitz Jual Buku Paket Hemat Junus Satrio Jurnalisme Sastra K. Hirzuddin Hasbullah K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.H. Masrikhan Asy'ari K.H. Mudzakir Ma'ruf Kadjie MM Kajian Kitab Nashoihul 'Ibad Kang Daniel Karanggeneng Kartika Foundation Kasanwikrama Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kekal Hamdani Kemah Budaya Panturan (KBP) Kesenian KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Anwar Khoirul Inayah Khoirul Naim Khoirul Rosyadi Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kitab Puisi Suluk Berahi karya Gampang Prawoto Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Koko Sudarsono Komaruddin Hidayat Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopuisi Korban Gempa di Lombok Kospela KPRI IKMAL Lamongan Kris Razianto Mada Kritik Sastra Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kusni Kasdut Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto Lagu Laili Rahmawati Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Latif Fianto Leila S. Chudori Leo Tolstoy Lina Kelana Listiyono Santoso Liya Izzatul Iffah Liza Wahyuninto Lucky Aditya Ramadhan Ludruk Jawa Timur Lukisan Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lustantini Septiningsih Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Ismail M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Iqbal Dawami M. Irfan Hidayatullah M. Latief M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Mushthafa M. Riza Fahlevi M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Maghfur Munif Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahwi Air Tawar Majelis Ulama Indonesia Makalah Tinjauan Ilmiah Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mantan Pastur Hafidz Al-Qur'an Maqhia Nisima Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Marjohan Marsel Robot Martin Aleida Martin Hatch Marwan Ja'far Marwita Oktaviana Marzuki Mustamar Mashuri Masjid Tegalsari di Pesantren Gerbang Tinatar Masuki M. Astro Matroni el-Moezany Matroni Muserang Max Arifin Maya Handhini Mbah Kalbakal Medco Media Jawa Timur Medri Osno Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Misbahul Huda Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh Samsul Arifin Moh. Ghufron Cholid Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Mts Putra-Putri Simo-Sungelebak Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ghannoe Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Rain Muhammad Taufik Muhammad Yasir Muhammad Zia Ulhaq Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukhsin Amar Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Mun'im Sirry Muntamah Cendani Museum Bikon Blewut Ledalero Musfarayani Musfi Efrizal Musyayana Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nabi Adam Nanang Fahrudin Nandang Darana Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Ni Luh Made Pertiwi F Nindya Herdianti Ninin Nurzalina Wati Nitis Sahpeni Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noorsam Noval Jubbek Novel Pekik Novianti Setuningsih Nu’man ‘Zeus’ Anggara Nur Hamzah Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nuswantoro Nyimas Nyoman Tingkat Obrolan Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Opini Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Pameran Seni Rupa Panda MT Siallagan Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit SastraSewu Penerbitan dan Toko Buku PUstaka puJAngga Lamongan Pengajian Pengetahuan Perang Peringatan Hari Pahlawan 10 November Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pesantren Kampung Inggris Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Petrik Matanasi Pilang Tejoasri Laren Lamongan Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pilkada Piramid Giza Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pradana Boy ZTF Pradaningrum Mijarto Pramoedya Ananta Toer Prih Prawesti Febriani Pringadi AS Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Profil MA Matholi'ul Anwar Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Hartanto Puji Santosa Puput Amiranti N Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Satria Kusuma Putu Setia Putu Wijaya R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.Ng. Ronggowarsito Rabdul Rohim Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sazaly Rahmat Sularso Nh Raihul Fadjri Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Rengga AP Reni Lismawati Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Rieke Diah Pitaloka Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Rizka Halida Rizky Putri Pratimi Robin Al Kautsar Rocky Gerung Rodli TL Rofiqi Hasan Rohmad Hadiwijoyo Rohmah Maulidia Rohman Abdullah Rojiful Mamduh Rosdiansyah Rosi Rosidi Roso Titi Sarkoro Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rumah Literasi Rx King Motor S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Saifur Rohman Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Sardono W Kusumo Sartika Sari Sarworo Sp Sastra Facebook Satmoko Budi Santoso Satrio Lintang Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Savidapius Sayuri Yosiana Sayyid Fahmi Alathas Sejarah Sekolah Literasi Gratis SelaSAstra Boenga Ketjil SelaSAstra Boenga Ketjil #23 SelaSAstra Boenga Ketjil #24 Seni Ambeng Ponorogo Senirupa Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Shofiyatuz Zahroh Shohebul Umam JR Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Silfia Hanani Sindu Putra Sita Planasari Aquadini Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Hadi Purnomo Soediro Satoto Soegiharto Soeprijadi Tomodihardjo Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sony Wibisono Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Igustin Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Sriyanto Danoesiswoyo Stefanus P. Elu Stevani Elisabeth STKIP PGRI Ponorogo Student Center Kampus ISI Yogyakarta Subagio Sastrowardoyo Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Ariyadi Sukitman Sumenep Sumiati Anastasia Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungelebak Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Suyadi San Syafrizal Sahrun Syaifuddin Gani Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syamsul Rizal Syi'ir Syifa Amori Syifa Aulia T.A. Sakti Tajuddin Noor Ganie Tamrin Bey dan Robin Al Kautsar TanahmeraH ArtSpace Tarpin A. Nasri Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Roda UNISDA Lamongan Teater Sakalintang Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tawon Teater Tewol Teguh LR Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Teori Darwin Teori Fisika Hawking Tgk Abdullah Lam U Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute Theresia Purbandini Thomas Koten Tien Rostini Timur Arif Riyadi Tjahjono Widarmanto Tjut Zakiyah Anshari Toeti Adhitama Tosa Poetra Tri Andhi S Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Tutut Herlina Ucu Agustin Udo Z. Karzi Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Uniawati Unieq Awien Universitas Jember Usman Arrumy Ustadz Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vassilisa Agata Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Video Vino Warsono Virdika Rizky Utama Vita Devi Ajeng Pratiwi W. Haryanto W.S. Rendra Wakos R. Gautama Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Suryandoko William Shakespeare Wisnu Kisawa Wiwik Widiyati Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yayat R. Cipasang Yesi Devisa Yesi Devisa Putri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yulianto Yuliawati Yunanto Sutyastomo Yunus Supriyanto Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf AN Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Yuyuk Sugarman Z. Mustopa Zaim Rofiqi Zainal Arifin Thoha Zarra Martsella Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zen Hae Zii Zuhdi Swt