Mochammad A. Tomtom
Sastra-indonesia.com
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat dan sastra adalah salah satu mata rantai dalam lingkaran pendidikan bahasa dan sastra. Akan tetapi banyak hal yang belum dapat dipahami dengan baik oleh mahasiswa atau pemerhati bahasa dan sastra dalam ranah-ranah tersebut. Oleh sebab itu lingkaran pendidikan bahasa dan sastra terputus.
Penulisan makalah ini bertujuan menyambung mata rantai pendidikan bahasa dan sastra. Hal ini dilakukan agar lingkaran pendidikan tersebut dapat terjalin dengan baik. Makalah ini akan menguraikan hakikat filsafat sastra dengan landasan hubungan-hubungan antara filsafat dengan sastra. Dengan demikian dapat dipahami dengan baik hakikat filsafat sastra yang notabene sebagai mata rantai dalam lingkaran pendidikan bahasa dan sastra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut.
a. Bagaimanakah hubungan filsafat dengan sastra?
b. Bagaimanakah hakikat filsafat sastra?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan hubungan filsafat dengan sastra.
b. Mendeskripsikan hakikat filsafat sastra.
BAB 2. PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dipaparkan teori-teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini. Teori tersebut meliputi: 1) hubungan filsafat dengan sastra dan 2) hakikat filsafat sastra.
2.1 Hubungan Filsafat dengan Sastra
Filsafat dan sastra ibarat dua sisi mata uang. Sisi yang satu tidak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Hubungannya bersifat komplementer atau saling mengisi dan melengkapi (Mahayana, 2008). Demikianlah dasar hubungan antara filsafat dan sastra yang harus dipahami. Mengutip pemikiran Javissyarqi (2006) dalam kumpulan sajaknya yang berjudul Takdir Terlalu Dini, Javissyarqi menjelaskan bahwa barat dan timur itu tak dapat dipisahkan karena hubungannya bersifat komplementer. Sisi Barat (bagaimanapun bentuknya) tidak akan pernah ada tanpa sisi Timur. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Sisi Timur (bagaimanapun bentuknya) tidak akan pernah ada tanpa sisi Barat. Demikian pula dengan filsafat dengan sastra.
Bagaimanapun perbedaan yang terdapat dalam filsafat dan sastra, muara keduanya tetaplah sama, yaitu manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahayana (2008) yang menjelaskan bahwa filsafat dan sastra merupakan refleksi atas kehidupan manusia. Sutrisno (1995) menegaskan bahwa filsafat dan sastra memiliki muara yang sama, yaitu kehidupan manusia.
Sejak manusia mengenal mitos, sejak itu pula hubungan filsafat dan sastra tidak bisa dipisahkan. Banyak sekali filsafat-filsafat yang dituangkan dalam bentuk sastra. Hal ini merupakan salah satu cara filsafat menyentuh masyarakat dengan segala pencerahan kehidupan yang kandungnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam konteks tersebut, sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat.
Dalam konteks sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat, dapat dipahami bahwa sastra merupakan penghubung filsafat dengan masyarakat. Filsafat yang dikenal menggunakan ‘bahasa yang tinggi’ dan abstrak, menjadikannya sulit dipahami. Dengan adanya sastra sebagai corong filsafat, maka dengan mudah masyarakat memperoleh pencerahan kehidupan dari filsafat tersebut.
Selain sebagai corong filsafat untuk menyentuh masyarakat, sastra juga dapat berfungsi sebagai lahan filsafat untuk mengembangkan dahan-dahan falsafahnya. Sastra sebagai cermin kehidupan yang menyajikan cerita-cerita kehidupan adalah wadah filsuf dalam mengembangkan falsafah-falsafah baru bagi kehidupan manusia. Kehidupan yang terus berkembang tersebut (yang terurai dalam karya sastra) pada akhirnya terus diikuti oleh perkembangan filsafat yang berfungsi sebagai pemberi cahaya dalam kehidupan manusia agar lebih memiliki makna.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami hubungan filsafat dan sastra ibarat dua sisi mata uang yang bersifat komplementer. Filsafat tanpa sastra akan kehilangan salah satu corongnya dalam menyentuh kehidupan masyarakat. Apabila filsafat sudah tidak lagi bisa menyentuh masyarakat, maka filsafat akan kehilangan eksistensinya. Demikian pula dengan sastra. Sastra tanpa muatan falsafah kehidupan akan kehilangan ‘kesakralannya’.
2.2 Hakikat Filsafat Sastra
Berikut akan diuraikan hakikat filsafat sastra yang mengacu pada pendapat Djojosuroto (2007). Filsafat sastra adalah filsafat yang menganalisis nilai-nilai kehidupan manusia yang dijabarkan seorang sastrawan dalam karya sastranya; filsafat sastra adalah filsafat yang menganalisis karya sastra dengan latar belakang sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, sastra sebagai pranata sosial yang menggambarkan keadaan masyarakat dan kehidupan budaya pada masa tertentu, dan sastra sebagai refleksi kehidupan manusia dengan Tuhan; filsafat sastra merupakan wadah falsafah kehidupan yang menempatkan nilai kemanusiaan dengan semestinya, terutama di tengah-tengah kehidupan kemajuan sains dan teknologi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa filsafat sastra adalah filsafat yang mengupas hakikat nilai-nilai kehidupan manusia yang terkandung dalam karya sastra. Kehidupan manusia tersebut (beberapa di antaranya) meliputi hubungan manusia dengan manusia (hubungan horizontal), manusia dengan alam (hubungan horizontal), hingga manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal).
Berikut ini adalah contoh analisis filsafat yang dilakukan oleh Sutrisno (1995) pada kutipan karya sastra berjudul Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis.
“Manusia adalah makhluk Allah yang mempunyai kekeramatannya sendiri. Tak dapat disamakan dengan seekor ayam atau kerbau. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang khas.”
“Dengan akal dan budinya, manusia manusia menduduki tempat yang khusus di dalam jagad alam semesta. Manusia berpikir, manusia berakhlak dan berbudi, manusia berbahasa, manusia dapat menimbang baik dan buruk. Manusia adalah makhluk bernaluri, akan tetapi juga makhluk yang berpikir.”
Pada data di atas dapat disimpulkan bahwa Mochtar Lubis menjelaskan kodrat manusia. Manusia dilahirkan dengan kebebasan yang komplit dan bermartabat. Manusia bebas bertindak, bebas dalam hidup, dan tidak dihalangi atau dibatasi oleh sesuatu. Pada inti kodratnya terletak martabat manusia yang merupakan ruang khas untuk berkembang, bertindak bebas, berkeputusan, dan tidak berada dalam kuasa orang lain. Kodrat hakiki dengan harkat dan kebebasan tersebut bukanlah pemberian orang lain, melainkan anugerah dari Tuhan.
Berkat akal budi, manusia mampu menempatkan dirinya di jagad raya. Berkat akalnya, manusia mampu mengatur alam dan menguasainya, mengembangkan kebudayaan dan berbahasa. Juga dengan akalnya, manusia mampu menimbang kehidupan yang baik dan yang buruk. Berkat kehendak yang bebas, manusia mampu memilih dan dan melaksanakan sesuatu yang baik bagi dirinya dan bagi sesamanya.
Demikian contoh analisis filsafat sastra dalam menguak nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam karya sastra. Sesuai dengan analisis filsafat Sutrisno (1995) di atas, Javissyarqi dalam bukunya yang berjudul Trilogi Kesadaran (2006) menggambarkan kodrat manusia. Javissyarqi menguraikannya dengan analogi yang cantik.
“Seekor merpati kipas akan cantik dengan kodratnya terbang secara jinak rendah dan burung merpati pos begitu menawan jikalau mengikuti kodratnya sebagai pembala di lapangan udara.”
Demikianlah Javissyarqi menyampaikan bahwa manusia akan menawan dengan segala kelebihan dan kekurangannya jikalau tetap pada ‘jalur’ kodrati yang ada dalam dirinya, sehingga pada akhirnya manusia dapat Tampil Cantik dengan Filsafat (subjudul dalam Trilogi Kesadaran).
Dalam konteks yang lebih luas, filsafat sastra juga mengajarkan pada manusia bentuk berfilsafat. Koreksi dan perbaikan atas kehidupan yang telah dilaluinya akan menjaga ‘kesucian’ kehidupan yang akan dijalaninya.
Demikian uraian hakikat filsafat sastra. Uraian ini diakhiri dengan sebuah sajak karya Mochammad A. Tomtom yang menurut Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M. Pd. (pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu di Program Pascasarjana Undiksha Singaraja) sarat akan filsafat kehidupan.
“Kadang kala kita egois dan sama sekali tidak mau berpikir tentang sesuatu yang ada di sekitar kita. Bahkan tentang sesuatu yang ada pada diri kita. Misalnya tentang nafas. Pernahkah kita memikirkannya?”
“Kita semua tahu dalam nafas hanya ada dua hal, yaitu menarik dan menghembuskannya. Bagaimana jika kita menarik nafas kemudian tidak pernah menghembuskannya? Lantas bagaimana pula jika kita menghembuskan nafas kemudian tidak pernah menariknya lagi?”
“-MATI- itu pasti!
Namun sebelum itu, mengapa kita tidak berbuat sesuatu yang indah?
Setidaknya kita mengenali diri sendiri dan sesuatu yang ada di sekitar kita? Karena banyak di antara kita yang ‘pergi’ sebelum ia sempat mengenal dirinya sendiri dan sesuatu yang ada di sekitarnya. Sehingga ia tidak tahu di mana ia berpijak dan ke mana akan melangkah.
Semoga kita tidak!
Karena kita tidak hanya sebatas nama, tapi sebuah kekayaan se-kaya alam semesta. Kemudian kita mencoba untuk menceritakan pada dunia bahwa …
INILAH AKU YANG MENGHIASI NAFAS DEMI NAFASKU!”
BAB 3. PENUTUP
Pada bab ini akan diuraikan simpulan dari bab pembahasan dan saran bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil penulisan makalah ini.
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian materi pada bab pembahasan, dapat disimpulkan bahwa filsafat dan sastra adalah ilmu yang tidak dapat dipisahkan. Saling terkait satu dengan lainnya. Filsafat ‘membutuhkan’ sastra sebagai jembatan dalam ‘menyentuh’ masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Sastra ‘membutuhkan’ filsafat agar eksistensi nilai-nilai luhurnya tetap kokoh dalam terjangan kemajuan zaman. Dengan hubungan sedemikian rupa, maka terlahirlah kajian filsafat sastra.
Filsafat sastra adalah filsafat yang mengkaji hakikat (salah satunya) nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang terdapat dalam karya sastra.
3.2 Saran
Bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Filsafat ataupun pihak-pihak pemerhati bahasa khususnya dalam lingkup filsafat, disarankan menggunakan hasil makalah ini sebagai referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Javissyarqi, Nurel. 2006a. Takdir Terlalu Dini. Lamongan: Pustaka Pujangga.
Javissyarqi, Nurel. 2006b. Trilogi Kesadaran. Lamongan: Pustaka Pujangga.
Mahayana, Maman S. 2008. Hubungan Sastra dan Filsafat. Artikel. http://mahayana-mahadewa.com/2008/11/27/hubungan-sastra-dan-filsafat/. Diakses 9 November 2012.
Sutrisno, Mudji. 1995. Filsafat, Sastra, dan Budaya. Jakarta: Obor.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/filsafat-sastra/
Sastra-indonesia.com
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat dan sastra adalah salah satu mata rantai dalam lingkaran pendidikan bahasa dan sastra. Akan tetapi banyak hal yang belum dapat dipahami dengan baik oleh mahasiswa atau pemerhati bahasa dan sastra dalam ranah-ranah tersebut. Oleh sebab itu lingkaran pendidikan bahasa dan sastra terputus.
Penulisan makalah ini bertujuan menyambung mata rantai pendidikan bahasa dan sastra. Hal ini dilakukan agar lingkaran pendidikan tersebut dapat terjalin dengan baik. Makalah ini akan menguraikan hakikat filsafat sastra dengan landasan hubungan-hubungan antara filsafat dengan sastra. Dengan demikian dapat dipahami dengan baik hakikat filsafat sastra yang notabene sebagai mata rantai dalam lingkaran pendidikan bahasa dan sastra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut.
a. Bagaimanakah hubungan filsafat dengan sastra?
b. Bagaimanakah hakikat filsafat sastra?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan hubungan filsafat dengan sastra.
b. Mendeskripsikan hakikat filsafat sastra.
BAB 2. PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dipaparkan teori-teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini. Teori tersebut meliputi: 1) hubungan filsafat dengan sastra dan 2) hakikat filsafat sastra.
2.1 Hubungan Filsafat dengan Sastra
Filsafat dan sastra ibarat dua sisi mata uang. Sisi yang satu tidak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Hubungannya bersifat komplementer atau saling mengisi dan melengkapi (Mahayana, 2008). Demikianlah dasar hubungan antara filsafat dan sastra yang harus dipahami. Mengutip pemikiran Javissyarqi (2006) dalam kumpulan sajaknya yang berjudul Takdir Terlalu Dini, Javissyarqi menjelaskan bahwa barat dan timur itu tak dapat dipisahkan karena hubungannya bersifat komplementer. Sisi Barat (bagaimanapun bentuknya) tidak akan pernah ada tanpa sisi Timur. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Sisi Timur (bagaimanapun bentuknya) tidak akan pernah ada tanpa sisi Barat. Demikian pula dengan filsafat dengan sastra.
Bagaimanapun perbedaan yang terdapat dalam filsafat dan sastra, muara keduanya tetaplah sama, yaitu manusia dan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahayana (2008) yang menjelaskan bahwa filsafat dan sastra merupakan refleksi atas kehidupan manusia. Sutrisno (1995) menegaskan bahwa filsafat dan sastra memiliki muara yang sama, yaitu kehidupan manusia.
Sejak manusia mengenal mitos, sejak itu pula hubungan filsafat dan sastra tidak bisa dipisahkan. Banyak sekali filsafat-filsafat yang dituangkan dalam bentuk sastra. Hal ini merupakan salah satu cara filsafat menyentuh masyarakat dengan segala pencerahan kehidupan yang kandungnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam konteks tersebut, sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat.
Dalam konteks sastra merupakan corong filsafat dalam menyentuh masyarakat, dapat dipahami bahwa sastra merupakan penghubung filsafat dengan masyarakat. Filsafat yang dikenal menggunakan ‘bahasa yang tinggi’ dan abstrak, menjadikannya sulit dipahami. Dengan adanya sastra sebagai corong filsafat, maka dengan mudah masyarakat memperoleh pencerahan kehidupan dari filsafat tersebut.
Selain sebagai corong filsafat untuk menyentuh masyarakat, sastra juga dapat berfungsi sebagai lahan filsafat untuk mengembangkan dahan-dahan falsafahnya. Sastra sebagai cermin kehidupan yang menyajikan cerita-cerita kehidupan adalah wadah filsuf dalam mengembangkan falsafah-falsafah baru bagi kehidupan manusia. Kehidupan yang terus berkembang tersebut (yang terurai dalam karya sastra) pada akhirnya terus diikuti oleh perkembangan filsafat yang berfungsi sebagai pemberi cahaya dalam kehidupan manusia agar lebih memiliki makna.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami hubungan filsafat dan sastra ibarat dua sisi mata uang yang bersifat komplementer. Filsafat tanpa sastra akan kehilangan salah satu corongnya dalam menyentuh kehidupan masyarakat. Apabila filsafat sudah tidak lagi bisa menyentuh masyarakat, maka filsafat akan kehilangan eksistensinya. Demikian pula dengan sastra. Sastra tanpa muatan falsafah kehidupan akan kehilangan ‘kesakralannya’.
2.2 Hakikat Filsafat Sastra
Berikut akan diuraikan hakikat filsafat sastra yang mengacu pada pendapat Djojosuroto (2007). Filsafat sastra adalah filsafat yang menganalisis nilai-nilai kehidupan manusia yang dijabarkan seorang sastrawan dalam karya sastranya; filsafat sastra adalah filsafat yang menganalisis karya sastra dengan latar belakang sastra merupakan bagian dari kehidupan manusia, sastra sebagai pranata sosial yang menggambarkan keadaan masyarakat dan kehidupan budaya pada masa tertentu, dan sastra sebagai refleksi kehidupan manusia dengan Tuhan; filsafat sastra merupakan wadah falsafah kehidupan yang menempatkan nilai kemanusiaan dengan semestinya, terutama di tengah-tengah kehidupan kemajuan sains dan teknologi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa filsafat sastra adalah filsafat yang mengupas hakikat nilai-nilai kehidupan manusia yang terkandung dalam karya sastra. Kehidupan manusia tersebut (beberapa di antaranya) meliputi hubungan manusia dengan manusia (hubungan horizontal), manusia dengan alam (hubungan horizontal), hingga manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal).
Berikut ini adalah contoh analisis filsafat yang dilakukan oleh Sutrisno (1995) pada kutipan karya sastra berjudul Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis.
“Manusia adalah makhluk Allah yang mempunyai kekeramatannya sendiri. Tak dapat disamakan dengan seekor ayam atau kerbau. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang khas.”
“Dengan akal dan budinya, manusia manusia menduduki tempat yang khusus di dalam jagad alam semesta. Manusia berpikir, manusia berakhlak dan berbudi, manusia berbahasa, manusia dapat menimbang baik dan buruk. Manusia adalah makhluk bernaluri, akan tetapi juga makhluk yang berpikir.”
Pada data di atas dapat disimpulkan bahwa Mochtar Lubis menjelaskan kodrat manusia. Manusia dilahirkan dengan kebebasan yang komplit dan bermartabat. Manusia bebas bertindak, bebas dalam hidup, dan tidak dihalangi atau dibatasi oleh sesuatu. Pada inti kodratnya terletak martabat manusia yang merupakan ruang khas untuk berkembang, bertindak bebas, berkeputusan, dan tidak berada dalam kuasa orang lain. Kodrat hakiki dengan harkat dan kebebasan tersebut bukanlah pemberian orang lain, melainkan anugerah dari Tuhan.
Berkat akal budi, manusia mampu menempatkan dirinya di jagad raya. Berkat akalnya, manusia mampu mengatur alam dan menguasainya, mengembangkan kebudayaan dan berbahasa. Juga dengan akalnya, manusia mampu menimbang kehidupan yang baik dan yang buruk. Berkat kehendak yang bebas, manusia mampu memilih dan dan melaksanakan sesuatu yang baik bagi dirinya dan bagi sesamanya.
Demikian contoh analisis filsafat sastra dalam menguak nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam karya sastra. Sesuai dengan analisis filsafat Sutrisno (1995) di atas, Javissyarqi dalam bukunya yang berjudul Trilogi Kesadaran (2006) menggambarkan kodrat manusia. Javissyarqi menguraikannya dengan analogi yang cantik.
“Seekor merpati kipas akan cantik dengan kodratnya terbang secara jinak rendah dan burung merpati pos begitu menawan jikalau mengikuti kodratnya sebagai pembala di lapangan udara.”
Demikianlah Javissyarqi menyampaikan bahwa manusia akan menawan dengan segala kelebihan dan kekurangannya jikalau tetap pada ‘jalur’ kodrati yang ada dalam dirinya, sehingga pada akhirnya manusia dapat Tampil Cantik dengan Filsafat (subjudul dalam Trilogi Kesadaran).
Dalam konteks yang lebih luas, filsafat sastra juga mengajarkan pada manusia bentuk berfilsafat. Koreksi dan perbaikan atas kehidupan yang telah dilaluinya akan menjaga ‘kesucian’ kehidupan yang akan dijalaninya.
Demikian uraian hakikat filsafat sastra. Uraian ini diakhiri dengan sebuah sajak karya Mochammad A. Tomtom yang menurut Prof. Dr. Drs. I Wayan Rasna, M. Pd. (pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu di Program Pascasarjana Undiksha Singaraja) sarat akan filsafat kehidupan.
“Kadang kala kita egois dan sama sekali tidak mau berpikir tentang sesuatu yang ada di sekitar kita. Bahkan tentang sesuatu yang ada pada diri kita. Misalnya tentang nafas. Pernahkah kita memikirkannya?”
“Kita semua tahu dalam nafas hanya ada dua hal, yaitu menarik dan menghembuskannya. Bagaimana jika kita menarik nafas kemudian tidak pernah menghembuskannya? Lantas bagaimana pula jika kita menghembuskan nafas kemudian tidak pernah menariknya lagi?”
“-MATI- itu pasti!
Namun sebelum itu, mengapa kita tidak berbuat sesuatu yang indah?
Setidaknya kita mengenali diri sendiri dan sesuatu yang ada di sekitar kita? Karena banyak di antara kita yang ‘pergi’ sebelum ia sempat mengenal dirinya sendiri dan sesuatu yang ada di sekitarnya. Sehingga ia tidak tahu di mana ia berpijak dan ke mana akan melangkah.
Semoga kita tidak!
Karena kita tidak hanya sebatas nama, tapi sebuah kekayaan se-kaya alam semesta. Kemudian kita mencoba untuk menceritakan pada dunia bahwa …
INILAH AKU YANG MENGHIASI NAFAS DEMI NAFASKU!”
BAB 3. PENUTUP
Pada bab ini akan diuraikan simpulan dari bab pembahasan dan saran bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil penulisan makalah ini.
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian materi pada bab pembahasan, dapat disimpulkan bahwa filsafat dan sastra adalah ilmu yang tidak dapat dipisahkan. Saling terkait satu dengan lainnya. Filsafat ‘membutuhkan’ sastra sebagai jembatan dalam ‘menyentuh’ masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Sastra ‘membutuhkan’ filsafat agar eksistensi nilai-nilai luhurnya tetap kokoh dalam terjangan kemajuan zaman. Dengan hubungan sedemikian rupa, maka terlahirlah kajian filsafat sastra.
Filsafat sastra adalah filsafat yang mengkaji hakikat (salah satunya) nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang terdapat dalam karya sastra.
3.2 Saran
Bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Filsafat ataupun pihak-pihak pemerhati bahasa khususnya dalam lingkup filsafat, disarankan menggunakan hasil makalah ini sebagai referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Javissyarqi, Nurel. 2006a. Takdir Terlalu Dini. Lamongan: Pustaka Pujangga.
Javissyarqi, Nurel. 2006b. Trilogi Kesadaran. Lamongan: Pustaka Pujangga.
Mahayana, Maman S. 2008. Hubungan Sastra dan Filsafat. Artikel. http://mahayana-mahadewa.com/2008/11/27/hubungan-sastra-dan-filsafat/. Diakses 9 November 2012.
Sutrisno, Mudji. 1995. Filsafat, Sastra, dan Budaya. Jakarta: Obor.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/filsafat-sastra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar