Edy Firmansyah
http://www.suarakarya-online.com/
Setiap bulan April kita mengenang dua tokoh Indonesia yang erat hubungannya dengan imajinasi dan pembebasan. Kedua tokoh itu adalah RA Kartini dan penyair Chairil Anwar. Semua orang tahu 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Tapi hanya segelintir orang saja yang tahu bahwa 28 April diperingati sebagai Hari Sastra, untuk mengenang kematian penyair Chairil Anwar. Karenanya, tak salah kiranya jika Eka Budianta menganggap bulan April ini sebagai bulan imajinasi dan pembebasan.
Berkat imajinasinya yang kuat, Kartini bukan saja berhasil meletakkan cita-citanya ke dasar kehidupan, yakni menghendaki persamaan hak dan kewajiban perempuan dengan pria. Tetapi, sosok Kartini lahir sebagai sosok "pemberontak" sejati. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat, tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan, kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan (Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, hal. 67).
Chairil Anwar, dengan berimajinasi melalui sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan menganiayanya; walau kemudian ia dibebaskan.
Ironisnya, tak sedikit masyarakat kita justru menganggap imajinasi sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak memiliki arti di negeri ini serta cenderung membahayakan. Pada akhir tahun 60-an, misalnya, kritikus sastra terkemuka HB Jassin diajukan ke pengadilan karena memuat cerpen Langit Makin Mendung, karangan Ki Panji Kusmin. Cerpen itu dianggap "menginjak kaki" banyak orang, karena melukiskan pengalaman Nabi Muhammad dalam imajinasi pengarang.
Bahkan ketika Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tetralogi Bumi Manusia, pemerintah Orde Baru melalui kejaksaan agung mengeluarkan surat larangan atas buku-buku tersebut. Buku karangan Pram dianggap berbau Komunisme. Padahal apa yang ditulis Pram tak lebih hanya untuk membongkar budaya Jawa yang menindas. Hingga saat ini larangan itu belum dicabut.
Yang terbaru ketika Slank meluncurkan lagu Gosip Jalanan yang salah satu syairnya menyentil kinerja DPR. Kontan anggota Dewan menyalak dan hendak menuntut Slank karena dianggap mencemarkan nama baik. Meski akhirnya tuntutan itu tak jadi dilakukan, setidaknya niat DPR menuntut Slank merupakan salah satu bukti betapa kita memang Fobia imajinasi.
Sistem pendidikan juga tak jauh beda. Pendidikan (baca: sekolah) yang sejatinya menjadi tempat mengasah kreativitas dan mengembangkan imajinasi justru dikebiri hanya sekadar transfer ilmu belaka. Tak ada ruang sedikit pun bagi imajinasi. Murid hanya dianggap kendi kosong yang bisa diisi apa saja oleh guru. Pengajar masih sering menggunakan sistem pengajaran gaya bank; yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa, sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu mengembangkan imajinasi dan bernalar jadi kritis.
Padahal, bangunan kebangsaan kita terdiri atas varian-varian kebudayaan (subkultur) yang majemuk. Dan, bangunan tersebut bisa berdiri di tengah kemajemukan, karena--mengutip Benedict Anderson--merupakan komunitas terbayang (imagined communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama.
Sejak berumur belasan tahun Mohammad Hatta mengimajinasikan Indonesia merdeka. Demikian kuatnya imajinasi itu, sehingga kemudian menjadi cita-cita yang diperjuangkan. Soekarno juga demikian. Pada bulan Maret 1933, sambil berpakansi di Pangalengan, daerah selatan Bandung, Soekarno berimajinasi pula dan menuangkannya dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka Imajinasi-imajinasi Sokarno-Hatta dan imajinasi besar lainnya pada akhirnya memupuk bangsa yang tercerai-berai di berbagai pulau dan adat istiadat menjadi bangsa besar dan bersatu, yaitu Indonesia (Budianta, 1993).
Di tengah gempuran berbagai krisis multidimensi yang tak kunjung usai, di tengah maraknya korupsi yang dilakukan para birokrat dan penegak hukum, kita perlu mengelola kembali imajinasi-imajinasi besar menjadi sebuah langkah konkret untuk mengakhiri krisis. Dan, sangat potensial sekali jika pengembangan imajinasi dimulai sejak dari sekolah dasar, karena di tangan anak-anaklah tongkat estafet pembangunan negeri ini disematkan.
Tentu saja imajinasi yang dilandasi dengan cinta, perdamaian, keindahan dan menjunjung tinggi kehormatan. Bukan imajinasi liar yang membuat orang justru saling bermusuhan. Seperti imajinasi yang digarap salah seorang anggota parlemen Belanda, Geerts Wilders, berupa film berjudul Fitna. Karena imajinasi macam ini bisa dibeli di jalan-jalan. ***
Penulis adalah peneliti pada Institute of Reaseach Social
Politic and Democracy (IRSOD) Jakarta
Suara Karya: 22 April 2008
http://www.suarakarya-online.com/
Setiap bulan April kita mengenang dua tokoh Indonesia yang erat hubungannya dengan imajinasi dan pembebasan. Kedua tokoh itu adalah RA Kartini dan penyair Chairil Anwar. Semua orang tahu 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Tapi hanya segelintir orang saja yang tahu bahwa 28 April diperingati sebagai Hari Sastra, untuk mengenang kematian penyair Chairil Anwar. Karenanya, tak salah kiranya jika Eka Budianta menganggap bulan April ini sebagai bulan imajinasi dan pembebasan.
Berkat imajinasinya yang kuat, Kartini bukan saja berhasil meletakkan cita-citanya ke dasar kehidupan, yakni menghendaki persamaan hak dan kewajiban perempuan dengan pria. Tetapi, sosok Kartini lahir sebagai sosok "pemberontak" sejati. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Dengan kata lain, Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat, tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan, kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan (Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, hal. 67).
Chairil Anwar, dengan berimajinasi melalui sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan menganiayanya; walau kemudian ia dibebaskan.
Ironisnya, tak sedikit masyarakat kita justru menganggap imajinasi sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak memiliki arti di negeri ini serta cenderung membahayakan. Pada akhir tahun 60-an, misalnya, kritikus sastra terkemuka HB Jassin diajukan ke pengadilan karena memuat cerpen Langit Makin Mendung, karangan Ki Panji Kusmin. Cerpen itu dianggap "menginjak kaki" banyak orang, karena melukiskan pengalaman Nabi Muhammad dalam imajinasi pengarang.
Bahkan ketika Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tetralogi Bumi Manusia, pemerintah Orde Baru melalui kejaksaan agung mengeluarkan surat larangan atas buku-buku tersebut. Buku karangan Pram dianggap berbau Komunisme. Padahal apa yang ditulis Pram tak lebih hanya untuk membongkar budaya Jawa yang menindas. Hingga saat ini larangan itu belum dicabut.
Yang terbaru ketika Slank meluncurkan lagu Gosip Jalanan yang salah satu syairnya menyentil kinerja DPR. Kontan anggota Dewan menyalak dan hendak menuntut Slank karena dianggap mencemarkan nama baik. Meski akhirnya tuntutan itu tak jadi dilakukan, setidaknya niat DPR menuntut Slank merupakan salah satu bukti betapa kita memang Fobia imajinasi.
Sistem pendidikan juga tak jauh beda. Pendidikan (baca: sekolah) yang sejatinya menjadi tempat mengasah kreativitas dan mengembangkan imajinasi justru dikebiri hanya sekadar transfer ilmu belaka. Tak ada ruang sedikit pun bagi imajinasi. Murid hanya dianggap kendi kosong yang bisa diisi apa saja oleh guru. Pengajar masih sering menggunakan sistem pengajaran gaya bank; yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa, sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu mengembangkan imajinasi dan bernalar jadi kritis.
Padahal, bangunan kebangsaan kita terdiri atas varian-varian kebudayaan (subkultur) yang majemuk. Dan, bangunan tersebut bisa berdiri di tengah kemajemukan, karena--mengutip Benedict Anderson--merupakan komunitas terbayang (imagined communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama.
Sejak berumur belasan tahun Mohammad Hatta mengimajinasikan Indonesia merdeka. Demikian kuatnya imajinasi itu, sehingga kemudian menjadi cita-cita yang diperjuangkan. Soekarno juga demikian. Pada bulan Maret 1933, sambil berpakansi di Pangalengan, daerah selatan Bandung, Soekarno berimajinasi pula dan menuangkannya dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka Imajinasi-imajinasi Sokarno-Hatta dan imajinasi besar lainnya pada akhirnya memupuk bangsa yang tercerai-berai di berbagai pulau dan adat istiadat menjadi bangsa besar dan bersatu, yaitu Indonesia (Budianta, 1993).
Di tengah gempuran berbagai krisis multidimensi yang tak kunjung usai, di tengah maraknya korupsi yang dilakukan para birokrat dan penegak hukum, kita perlu mengelola kembali imajinasi-imajinasi besar menjadi sebuah langkah konkret untuk mengakhiri krisis. Dan, sangat potensial sekali jika pengembangan imajinasi dimulai sejak dari sekolah dasar, karena di tangan anak-anaklah tongkat estafet pembangunan negeri ini disematkan.
Tentu saja imajinasi yang dilandasi dengan cinta, perdamaian, keindahan dan menjunjung tinggi kehormatan. Bukan imajinasi liar yang membuat orang justru saling bermusuhan. Seperti imajinasi yang digarap salah seorang anggota parlemen Belanda, Geerts Wilders, berupa film berjudul Fitna. Karena imajinasi macam ini bisa dibeli di jalan-jalan. ***
Penulis adalah peneliti pada Institute of Reaseach Social
Politic and Democracy (IRSOD) Jakarta
Suara Karya: 22 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar