Djoko Pitono*)
http://www.jawapos.com/
ZAMAN sulit gini masih baca buku sastra? Sorry ya, buang-buang waktu saja! Itu hanya untuk orang-orang edan yang kurang kerjaan!Bayangkan, pernyataan ini muncul saat panitia Gebyar Buku Murah 2009 di DBL Arena, berencana meluncurkan novel Karti Kledek Ngrajek, Selasa (24/3). Acara itu mendatangkan dua sastrawan kawak, penyair Zawawi Imron dan Ahmad Tohari, novelis yang kondang dengan karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk (1981).
Ya, mengapa banyak orang membuang-buang waktu membaca cerita-cerita khayal, yang sering tak masuk akal pula? Seperti Harry Potter yang pintar main sihir? Mengapa novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, dan Ernest Hemingway diterjemahkan ke puluhan bahasa dan laris di banyak negara? Mengapa pula tokoh besar seperti Bung Karno suka baca buku-buku sejarah dan karya drama? Mengapa John F. Kennedy senang puisi-puisi Robert Frost, dan Jimmy Carter terpesona syair-syair Dylan Thomas?
Pertanyaan itu mungkin akan berlanjut ketika seseorang membaca laporan The New York Times (NYT) belum lama ini. Laporan itu, Reading on the Rise: A New Chapter in American Literacy, dikeluarkan berdasar data dari Survei Partisipasi Publik dalam seni yang dilakukan Biro Sensus Amerika Serikat pada 2008. Di antara temuan dari survei tersebut, untuk pertama kalinya sejak 1982, proporsi orang dewasa 18 tahun ke atas yang membaca karya sastra dalam 12 bulan terakhir telah meningkat. Rinciannya, pada 1982 tingkat warga yang membaca karya-karya sastra –novel, cerpen, puisi atau drama dalam bentuk cetak atau online– tercatat 56,9 persen. Tahun 1992 turun menjadi 54 persen, dan pada 2002 turun lagi tinggal 46,7 persen Namun pada 2008 meningkat lagi, menjadi 50,2 persen.
Berita tersebut muncul di saat industri penerbitan berkutat dengan penurunan oplah di tengah iklim ekonomi yang buruk. Sebagian media bahkan sudah bangkrut.
Proporsi orang dewasa yang membaca karya sastra belum melampaui proporsi pada 1982 atau 1992, dan proporsi mereka yang membaca puisi dan drama terus menurun. Namun proporsi secara keseluruhan meningkat di semua kelompok usia, etnis, dan kategori demografis sejak 2002. Peningkatan itu terlihat dramatis di antara generasi muda usia 18 hingga 24 tahun, yang sebelumnya merosot.
”Memang telah terjadi perubahan budaya yang berarti dalam komitmen masyarakat untuk membaca karya-karya sastra,” kata Dana Gioia, ketua National Endowment for the Arts. ”Dalam iklim budaya di saat kita hanya mendengar berita-berita buruk, kita sekarang mendapati fakta yang meyakinkan bahwa kecenderungan itu telah berbalik.”
Gioia mengatakan, membaca sastra di internet dimasukkan dalam data 2008, namun pertanyaan utama tak berubah sejak 1982. Tetapi, ia menyebutkan, dirinya tidak melihat perubahan tingkat membaca sastra itu akibat adanya internet. Ia mengatakan, peningkatan itu adalah berkat program-program komunitas seperti klub buku ”Big Read” yang dipandu Oprah Winfrey, buku serial Harry Potter dan Twilight karya Stephenie Meyer yang sangat populer. Juga berbagai upaya para guru, pustakawan, orang tua, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Banyak kalangan, termasuk para penerbit buku sastra dan para pengarang, gembira mendengar laporan tersebut. Tetapi, jelas, buku-buku sastra bukan sekadar urusan para pengarang dan penerbit. Buku-buku sastra sangat dibutuhkan untuk membersihkan jiwa manusia dan meningkatkan rasa simpati terhadap sesama manusia lainnya.
Tentang hal ini, Ahmad Tohari pernah mengajukan sinyalemen bahwa salah satu sebab kekacauan politik di Indonesia adalah karena para pemimpin nasionalnya tak pernah membaca karya-karya sastra. Orang boleh tidak sependapat, tetapi karya-karya sastra yang membedakan tokoh-tokoh seperti Bung Karno, John Kennedy, dan Jimmy Carter dengan tokoh-tokoh lainnya. Simpati dan perasaan keadilan mereka terhadap orang-orang yang terinjak-injak dan keserakat hidupnya amat menonjol. Mereka lebih humanis. Ini mungkin, seperti kata novelis Stephen King, fiksi adalah kebenaran di balik kebohongan. Atau dalam ungkapan penyair Ralph Waldo Emerson, fiksi mengungkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.
Karya-karya fiksi memang perlu ditumbuhkan, kata novelis Belinda Seaward, yang terkenal dengan karyanya, Hotel Juliet. Menurut dia, ketika kita meluangkan waktu untuk membaca fiksi, kita ingin tahu beragam karakter, setting dan ikut terhanyut dalam cerita-ceritanya. Membaca karya fiksi secara benar membutuhkan upaya keras. Begitu kita membaca sebuah buku, kita praktis “menyetubuhinya”. Kita tidak bisa membaca fiksi dengan pasif dan mengaku telah menikmatinya. Kita harus (ikut) merasakan kesedihan, penderitaan, kegembiraan, atau ketakutan.
”Bila kita membaca, kita menempatkan diri dalam situasi-situasi khayal secara intens yang tak pernah kita impikan dalam realitas. Ini memperkaya kita, membebaskan kita. Kita mungkin terlambat kerja, tertahan lagi oleh keterlambatan kereta, tetapi buku di tangan kita memberikan pada kita kesempatan untuk menjadi lebih dari sekadar diri sendiri,” kata Seaward.
Mau menjadi pengusaha yang baik? Bacalah karya-karya sastra, kata Russell Kirk, penulis buku The Conservative Mind. Dalam artikelnya 50 tahun yang lalu berjudul The Inhuman Businessman, Kirk mengatakan bahwa para pengusaha ”kurang disiplin dalam menumbuhkan imajinasi yang baik dan karakter moral yang kuat”, dan ia menyebut ini tidak baik bagi Amerika.
Di dunia pers, para jurnalis top banyak dibentuk oleh kesukaan mereka membaca karya-karya sastra. Laporan-laporan mereka jadi lebih hidup. Sebagian mereka juga menjadi sastrawan terkemuka, seperti Gabriel Garcia Marquez dan Ernest Hemingway. Keduanya adalah pemenang Hadiah Nobel Sastra.
Benar sekali ungkapan bahwa keindahan fiksi sebagai sebuah bentuk seni ibarat ruang angkasa yang terbuka. ”Banyak hal dapat terjadi. Novel yang bagus selalu royal kepada para pembacanya. Setiap kali kita membaca sebuah cerita yang menyentuh, kita menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi kita sendiri,” kata Seaward. (*)
*) Djoko Pitono adalah editor buku
http://www.jawapos.com/
ZAMAN sulit gini masih baca buku sastra? Sorry ya, buang-buang waktu saja! Itu hanya untuk orang-orang edan yang kurang kerjaan!Bayangkan, pernyataan ini muncul saat panitia Gebyar Buku Murah 2009 di DBL Arena, berencana meluncurkan novel Karti Kledek Ngrajek, Selasa (24/3). Acara itu mendatangkan dua sastrawan kawak, penyair Zawawi Imron dan Ahmad Tohari, novelis yang kondang dengan karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk (1981).
Ya, mengapa banyak orang membuang-buang waktu membaca cerita-cerita khayal, yang sering tak masuk akal pula? Seperti Harry Potter yang pintar main sihir? Mengapa novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, dan Ernest Hemingway diterjemahkan ke puluhan bahasa dan laris di banyak negara? Mengapa pula tokoh besar seperti Bung Karno suka baca buku-buku sejarah dan karya drama? Mengapa John F. Kennedy senang puisi-puisi Robert Frost, dan Jimmy Carter terpesona syair-syair Dylan Thomas?
Pertanyaan itu mungkin akan berlanjut ketika seseorang membaca laporan The New York Times (NYT) belum lama ini. Laporan itu, Reading on the Rise: A New Chapter in American Literacy, dikeluarkan berdasar data dari Survei Partisipasi Publik dalam seni yang dilakukan Biro Sensus Amerika Serikat pada 2008. Di antara temuan dari survei tersebut, untuk pertama kalinya sejak 1982, proporsi orang dewasa 18 tahun ke atas yang membaca karya sastra dalam 12 bulan terakhir telah meningkat. Rinciannya, pada 1982 tingkat warga yang membaca karya-karya sastra –novel, cerpen, puisi atau drama dalam bentuk cetak atau online– tercatat 56,9 persen. Tahun 1992 turun menjadi 54 persen, dan pada 2002 turun lagi tinggal 46,7 persen Namun pada 2008 meningkat lagi, menjadi 50,2 persen.
Berita tersebut muncul di saat industri penerbitan berkutat dengan penurunan oplah di tengah iklim ekonomi yang buruk. Sebagian media bahkan sudah bangkrut.
Proporsi orang dewasa yang membaca karya sastra belum melampaui proporsi pada 1982 atau 1992, dan proporsi mereka yang membaca puisi dan drama terus menurun. Namun proporsi secara keseluruhan meningkat di semua kelompok usia, etnis, dan kategori demografis sejak 2002. Peningkatan itu terlihat dramatis di antara generasi muda usia 18 hingga 24 tahun, yang sebelumnya merosot.
”Memang telah terjadi perubahan budaya yang berarti dalam komitmen masyarakat untuk membaca karya-karya sastra,” kata Dana Gioia, ketua National Endowment for the Arts. ”Dalam iklim budaya di saat kita hanya mendengar berita-berita buruk, kita sekarang mendapati fakta yang meyakinkan bahwa kecenderungan itu telah berbalik.”
Gioia mengatakan, membaca sastra di internet dimasukkan dalam data 2008, namun pertanyaan utama tak berubah sejak 1982. Tetapi, ia menyebutkan, dirinya tidak melihat perubahan tingkat membaca sastra itu akibat adanya internet. Ia mengatakan, peningkatan itu adalah berkat program-program komunitas seperti klub buku ”Big Read” yang dipandu Oprah Winfrey, buku serial Harry Potter dan Twilight karya Stephenie Meyer yang sangat populer. Juga berbagai upaya para guru, pustakawan, orang tua, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Banyak kalangan, termasuk para penerbit buku sastra dan para pengarang, gembira mendengar laporan tersebut. Tetapi, jelas, buku-buku sastra bukan sekadar urusan para pengarang dan penerbit. Buku-buku sastra sangat dibutuhkan untuk membersihkan jiwa manusia dan meningkatkan rasa simpati terhadap sesama manusia lainnya.
Tentang hal ini, Ahmad Tohari pernah mengajukan sinyalemen bahwa salah satu sebab kekacauan politik di Indonesia adalah karena para pemimpin nasionalnya tak pernah membaca karya-karya sastra. Orang boleh tidak sependapat, tetapi karya-karya sastra yang membedakan tokoh-tokoh seperti Bung Karno, John Kennedy, dan Jimmy Carter dengan tokoh-tokoh lainnya. Simpati dan perasaan keadilan mereka terhadap orang-orang yang terinjak-injak dan keserakat hidupnya amat menonjol. Mereka lebih humanis. Ini mungkin, seperti kata novelis Stephen King, fiksi adalah kebenaran di balik kebohongan. Atau dalam ungkapan penyair Ralph Waldo Emerson, fiksi mengungkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.
Karya-karya fiksi memang perlu ditumbuhkan, kata novelis Belinda Seaward, yang terkenal dengan karyanya, Hotel Juliet. Menurut dia, ketika kita meluangkan waktu untuk membaca fiksi, kita ingin tahu beragam karakter, setting dan ikut terhanyut dalam cerita-ceritanya. Membaca karya fiksi secara benar membutuhkan upaya keras. Begitu kita membaca sebuah buku, kita praktis “menyetubuhinya”. Kita tidak bisa membaca fiksi dengan pasif dan mengaku telah menikmatinya. Kita harus (ikut) merasakan kesedihan, penderitaan, kegembiraan, atau ketakutan.
”Bila kita membaca, kita menempatkan diri dalam situasi-situasi khayal secara intens yang tak pernah kita impikan dalam realitas. Ini memperkaya kita, membebaskan kita. Kita mungkin terlambat kerja, tertahan lagi oleh keterlambatan kereta, tetapi buku di tangan kita memberikan pada kita kesempatan untuk menjadi lebih dari sekadar diri sendiri,” kata Seaward.
Mau menjadi pengusaha yang baik? Bacalah karya-karya sastra, kata Russell Kirk, penulis buku The Conservative Mind. Dalam artikelnya 50 tahun yang lalu berjudul The Inhuman Businessman, Kirk mengatakan bahwa para pengusaha ”kurang disiplin dalam menumbuhkan imajinasi yang baik dan karakter moral yang kuat”, dan ia menyebut ini tidak baik bagi Amerika.
Di dunia pers, para jurnalis top banyak dibentuk oleh kesukaan mereka membaca karya-karya sastra. Laporan-laporan mereka jadi lebih hidup. Sebagian mereka juga menjadi sastrawan terkemuka, seperti Gabriel Garcia Marquez dan Ernest Hemingway. Keduanya adalah pemenang Hadiah Nobel Sastra.
Benar sekali ungkapan bahwa keindahan fiksi sebagai sebuah bentuk seni ibarat ruang angkasa yang terbuka. ”Banyak hal dapat terjadi. Novel yang bagus selalu royal kepada para pembacanya. Setiap kali kita membaca sebuah cerita yang menyentuh, kita menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi kita sendiri,” kata Seaward. (*)
*) Djoko Pitono adalah editor buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar