Sunlie Thomas Alexander
nostalgia.tabloidnova.com
IA merasa kehilangan lelaki muda itu. Berkali-kali ia mengintip keluar jendela dari balik gelap kaca nako, tetapi teras rumah kost itu tetap saja sepi. Hujan belum juga reda, tidak deras namun awet. Ia mengendus aroma bunga-bunga yang meruap wangi. Juga bau tanah yang sedikit menyengat.
Biasanya sore-sore begini, lelaki muda itu akan duduk di sana bermain gitar dan ia sibuk menyiram bunga-bunganya di teras atau memotong daun-daun bonsainya yang meranggas liar di halaman. Namun sudah dua hari, lelaki itu tidak kelihatan. Ke mana lelaki muda itu? Apa dia sakit?
Ia teringat sekantong jeruk sunkiss yang ia beli di supermarket tadi pagi. Ia ingin sekali menyambangi lelaki muda itu dengan membawa buah-buah segar yang saat ini ia simpan dalam kulkas itu. Tetapi segera ia buang jauh-jauh pikirannya. Lagipula belum tentu lelaki muda itu sakit kan? Ia berjalan mondar-mandir, berharap seseorang keluar dari rumah di seberang jalan itu. Seseorang yang dapat memberinya kabar tentang lelaki muda itu.
Tapi, ah, apa pedulimu sebenarnya? Lelaki muda itu bukan siapa-siapa bagimu, begitu juga kamu baginya.
Ada rasa malu yang menyelinap dalam hatinya… Ya, apa pedulinya? Bukankah hanya kebetulan saja ia mengenal lelaki muda itu sebagai salah seorang penghuni rumah kost di depan rumahnya. Sebatas itu, tidak lebih.
Ketika akhirnya seseorang-yang ia kenali sebagai teman sekost lelaki muda itu yang telah lama tinggal di sana-keluar dari rumah di seberang jalan itu, ia bergegas berlari ke teras. Ia hendak melambai memanggil. Tapi segera pula ia urungkan niatnya. Perlahan-lahan ia turunkan tangannya yang sudah terangkat setengah. Dengan murung, ia kembali masuk ke rumah. Lalu buru-buru melangkah ke dapur, setelah teringat belum menyiapkan makan malam. Tapi sebelumnya ia masih sempat menoleh sekilas lagi ke rumah seberang jalan itu. Teras itu tetaplah tinggal sepi.
***
SUDAH empat sore, lelaki muda itu tidak bermain gitar di sana, dan ia tidak menyiram bunga-bunganya di beranda atau memotong daun-daun bonsainya yang meranggas di halaman. Hujan terus berebahan.
Ia tidak begitu ingat, sudah berapa lama lelaki muda itu tinggal di sana. Tapi rasanya belum begitu lama. Mungkin baru setengah tahun, atau setahun, mungkin lebih. Ia betul-betul tak ingat. Karena awalnya, tentu saja, ia tidak peduli dengan kehadiran lelaki muda itu seperti juga ia tidak pernah mempedulikan penghuni lain di rumah kost itu. Tetapi lama kelamaan, entahlah, ia mulai merasa tertarik pada permainan gitar lelaki muda itu, bahkan kemudian menghafal lagu-lagu apa saja yang suka dimainkan lelaki muda itu setiap sore di teras rumah
seberang jalan. Setiap sore yang kemudian menimbulkan debar aneh di dadanya.
Ia lebih sering mengerling diam-diam. Tapi sesekali ia akan menoleh ke seberang jalan, lalu pandangan mereka pun bertemu dan ia melemparkan senyum dengan kikuk. Lelaki muda itu mengangguk dan balas tersenyum. Setelah itu mereka kembali dengan kesibukan masing-masing. Ia dengan bunga-bunga atau bonsainya, dan lelaki muda itu dengan gitar. Tak pernah lebih dari sekadar itu.
Lelaki muda itu tidak pernah tampak pada pagi atau siang hari. Dia hanya muncul pada sore hari dengan gitarnya di teras rumah seberang jalan itu, ketika ia sedang sibuk menyiram bunga-bunga atau memotong bonsai. Tanpa perlu berpaling ia sudah tahu kalau itu dia. Atau kadang-kadang dari balik jendela, ia melihat lelaki muda itu sekilas ketika hari telah larut malam. Lelaki muda itu keluar dari rumah kost dan berjalan dengan langkah-langkah bergegas ke persimpangan di ujung jalan, naik ke boncengan sebuah ojek yang mangkal di sana lalu lenyap bersama deru motor. Beberapa kali ia memergoki lelaki muda itu pulang subuh saat ia baru saja selesai menunaikan salat. Entahlah, ada sesuatu mendorongnya menyibak gordin lalu mengintip keluar jendela. Tentunya ia tidak tahu dari mana lelaki muda itu, ia hanya bertanya-tanya sendiri.
Hingga suatu sore. Sore yang cerah. Ia sedang menyiram bunga ester kesayangannya ketika tiba-tiba saja lelaki muda itu sudah ada di belakang ketika ia menoleh. Tak ada suara gitar. Gugup, ia tersenyum. Lelaki muda itu membalas dengan senyum tipis.
"Maaf, apakah saya mengganggu Mbak?" Tanya lelaki muda itu lembut sebagaimana juga tatapan kedua matanya. Ia cepat-cepat menggeleng, "Ah, tidak! Tidak!" Ia yakin saat itu ia terlihat amat kikuk. Terlebih karena tatapan mata lelaki muda itu.
"Tumben tidak main gitar, Mas?" Mungkin ia lontarkan pertanyaan itu sekadar menutupi kegugupan, mungkin juga karena memang kepingin tahu kenapa sore itu lelaki muda itu tidak memetik gitar sebagaimana biasa.
"Senar saya putus dan belum sempat mencari pengganti." Jawab lelaki muda itu datar.
"Oh!" suara yang keluar dari bibirnya itu barangkali terdengar mirip keluhan. Dan ia semakin jengah dengan mata lelaki muda itu. Mata yang menenteramkan sekaligus mencemaskan. Ia baru sadar hal itu.
"Bunga-bunga yang manis." Desis lelaki muda itu lirih, seolah pada diri sendiri, "Tentu karena telaten dirawat." Ia merasa yakin wajahnya saat itu berona merah, "Terima kasih. Mas suka bunga?"
"Dulu Ibuku juga suka menanamnya di teras rumah kami. Saya sering membantu menyiram." Kata lelaki muda itu sambil terus memperhatikan kesibukannya.
Tahu-tahu mereka sudah terlibat percakapan hangat tentang bunga. Sesekali mereka tertawa. Ia tidak menolak ketika lelaki muda itu menawarkan diri membantu menyiram bunga-bunganya.
Namun tiba-tiba gerimis turun dan lelaki muda itu berseru kaget. Ia terbeliak menyaksikan bagaimana sebuah pot kecil berisi bunga Lantana terguling rebah dan tumpah. Lelaki muda itu bergegas minta maaf.
INI sudah hari keenam lelaki muda itu menghilang dari teras rumah di seberang jalan itu. Ke mana sebenarnya lelaki muda itu? Apa yang sedang dilakukan dia? Atau apa yang terjadi pada dirinya? Ia tidak bisa menghalau pertanyaan-pertanyaan yang menyerbu pikirannya bertubi-tubi. Ia benar-benar dicekam kecemasan yang membuatnya benci. Ia merasa tak berkutik, walaupun cuma sekadar mengetahui secuil kabar berita lelaki muda itu. Dan ia merasa takut untuk merumuskan kecemasan semacam itu, bahkan juga malu untuk mengakui kecemasan tersebut bercokol dalam pikiran dan hatinya.
Siapa sangka bakal begini jadinya. Berkali-kali ia melemparkan pandang keluar jendela menembus gelap kaca nako dan menemukan kegelisahan yang semakin sempurna di teras rumah seberang jalan itu. Ya, kegelisahan yang semakin sempurna, yang tak mungkin ia bagi dengan siapa pun. Tentunya apalagi dengan seorang yang paling dekat dengannya.
Kalau saja suamimu tahu…
Ah, kamu merinding, tak berani membayangkan. Ada rasa takut yang sulit kamu cegah setiapkali dia menatap ke dalam sepasang matamu pada saat kalian makan malam atau sehabis bercinta. Kamu selalu bergegas memalingkan wajah, khawatir dia akan menemukan sesuatu pada mata dan wajahmu. Sesuatu yang kamu tak ingin dia, juga siapa pun mengetahuinya karena membayangkan risiko. Tapi kamu tak yakin sampai kapan kamu bisa menyembunyikannya lantaran kamu merasa matamu terlampau polos untuk berdusta.
Seharusnya sore-sore begini ia sedang menyiram bunga-bunganya di teras atau memotong daun-daun bonsai yang meranggas liar di halaman, dan lelaki muda itu sedang bermain gitar di teras rumah seberang jalan. Tetapi hujan belum juga berhenti. Sejak lelaki muda itu menghilang dari teras rumah seberang jalan itu, entah mengapa-ia bercuriga dengan sesuatu yang entah-hujan terus-terusan turun. Tak kenal waktu, hampir setiap hari.
Kenapa ia harus mengalami semua ini? Batinnya kesal. Ia menyakinkan dirinya kalau ia menyesal, tapi sia-sia. Meski ia merasa amat tersiksa, tapi ia seolah menikmati setiap dera yang datang. Setiap rajam yang menoreh hatinya, oleh hilangnya lelaki muda itu dari teras rumah seberang jalan, petikan gitar lelaki muda itu, lagu-lagunya, pandangan mata mereka yang sesekali bertemu dan senyum yang merekah setelah itu, juga obrolan ringan mereka yang berlangsung kadang-kadang. Ia ingin debar yang indah itu terus datang setiap sore. Debar yang akan membuat bunga-bunganya tampak semakin menawan dan petikan gitar lelaki muda itu semakin merdu.
Tetapi ia merasa suaminya seakan mengawasi hatinya. Ia terkadang curiga kalau diam-diam suaminya telah mengetahui sekian banyak rahasia yang ia sembunyikan. Ia merasa tidak nyaman dengan perasaannya setiapkali berada di dekat suaminya. Tanpa sadar ia berusaha menghindari suaminya, namun kemudian ia segera sadar kalau hal itu hanya akan semakin menambah kecurigaan. Karena itu, ia berusaha bersikap wajar setiap kali bersama suaminya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya yang membuncah. Namun, tak urung suatu malam suaminya bertanya, "Kenapa akhir-akhir ini kamu murung terus, Sayang? Kamu sakit? Wajahmu pucat."
Ia nyaris menjatuhkan piring yang sedang ia cuci dan cepat-cepat menggeleng. Ketika berpaling ia melihat suaminya sedang memperhatikannya begitu lekat dari meja makan.
Ia ingin mengutuki diri. Ia sudah berusaha keras melawan rasa kehilangan itu, kerinduan itu. Namun tetap saja teras rumah di seberang jalan itu menawarkan sepi yang begitu nyata mencekam, sepi yang tak bisa ia hindari. Justru karena lagu-lagu petikan lelaki muda itu terus-menerus bertandang ke telinganya.
Ah, mestinya kamu punya suatu cara untuk menyirap kabar lelaki muda itu. Adakah seseorang yang bisa menolongmu? Seseorang yang takkan bercuriga pada getar suaramu bertanya tentang lelaki muda itu?
Ia hanya bisa menduga-duga terus apa yang terjadi pada lelaki muda itu. Mungkin lelaki muda itu sudah pindah kost ke tempat lain? Barangkali dia hanya pergi entah ke mana untuk beberapa waktu, atau dia pulang kampung karena orang tuanya sakit. Atau dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu di suatu tempat. Bisa jadi lelaki muda itu menikah… Selalu hanya kemungkinan-kemungkinan yang membuat ia kian jengkel.
Sesuatu itu, yang kamu tak berani rumuskan namanya, kian bergelora seperti juga hujan kian deras singgah….
Ia mencoba mengingat-ingat apakah dulu dengan suaminya, ia juga mengalami kegelisahan yang serupa. Tapi rasa gelisah yang lebih tajam lagi menghunjamnya, membuatnya sempoyongan. Ia tercengang dengan napas tercekik.
Sesungguhnya ia cuma tahu amat sedikit tentang lelaki muda itu. Ia kadangkala tak sadar akan itu. Bahkan ia tidak tahu nama sebenarnya lelaki muda itu selain nama panggilannya saja, itu pun bukan dari mulut lelaki muda itu langsung melainkan ia dengar dari orang-orang memanggil dia. Ia tidak tahu lelaki muda itu berasal dari mana, apa pekerjaannya. Awalnya ia menduga lelaki muda itu seorang mahasiswa seperti penghuni lainnya di rumah kost seberang jalan itu. Tapi kemudian ia ragu karena tidak pernah melihat lelaki muda itu berangkat kuliah dengan buku-buku seperti yang lain. Lelaki muda itu hanya muncul sore hari di teras rumah kost itu saat ia sedang menyiram bunga atau memotong daun-daun bonsainya. Selebihnya dia menghilang entah ke mana setiap malam dan baru pulang waktu subuh, atau sesekali ketika matahari sudah tinggi.
Tentu saja ia ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang diri lelaki muda itu. Lebih banyak dan lebih banyak lagi. Tetapi ia tak pernah punya keberanian untuk bertanya ketika sesekali, dalam waktu yang amat pendek, mereka berbincang. Ia terlalu malu untuk itu, terlebih merasa tidak pantas. Keinginan itu hanya pantas ia simpan dalam hati, pikirnya galau.
Di luar hujan masih saja awet. Seolah-olah hendak turun sepanjang waktu. Dan teras rumah di seberang jalan itu seakan mengabur dalam balutan hujan. Semakin lama ia memandang ke sana, ia merasa teras itu semakin kabur oleh helai-helai tirai air yang jatuh dari langit yang kian gelap. Tiba-tiba ia tersadar kalau ia belum menyiapkan makan malam sama sekali. Ia terburu-buru melihat jam dinding di ruang tamu dan kaget melihat jarum jam. Biasanya, tak lebih sepuluh menit lagi suaminya akan sampai di rumah.***
Belinyu-Yogyakarta, April 2006
:buat Bayu Arshiadi Putra.
nostalgia.tabloidnova.com
IA merasa kehilangan lelaki muda itu. Berkali-kali ia mengintip keluar jendela dari balik gelap kaca nako, tetapi teras rumah kost itu tetap saja sepi. Hujan belum juga reda, tidak deras namun awet. Ia mengendus aroma bunga-bunga yang meruap wangi. Juga bau tanah yang sedikit menyengat.
Biasanya sore-sore begini, lelaki muda itu akan duduk di sana bermain gitar dan ia sibuk menyiram bunga-bunganya di teras atau memotong daun-daun bonsainya yang meranggas liar di halaman. Namun sudah dua hari, lelaki itu tidak kelihatan. Ke mana lelaki muda itu? Apa dia sakit?
Ia teringat sekantong jeruk sunkiss yang ia beli di supermarket tadi pagi. Ia ingin sekali menyambangi lelaki muda itu dengan membawa buah-buah segar yang saat ini ia simpan dalam kulkas itu. Tetapi segera ia buang jauh-jauh pikirannya. Lagipula belum tentu lelaki muda itu sakit kan? Ia berjalan mondar-mandir, berharap seseorang keluar dari rumah di seberang jalan itu. Seseorang yang dapat memberinya kabar tentang lelaki muda itu.
Tapi, ah, apa pedulimu sebenarnya? Lelaki muda itu bukan siapa-siapa bagimu, begitu juga kamu baginya.
Ada rasa malu yang menyelinap dalam hatinya… Ya, apa pedulinya? Bukankah hanya kebetulan saja ia mengenal lelaki muda itu sebagai salah seorang penghuni rumah kost di depan rumahnya. Sebatas itu, tidak lebih.
Ketika akhirnya seseorang-yang ia kenali sebagai teman sekost lelaki muda itu yang telah lama tinggal di sana-keluar dari rumah di seberang jalan itu, ia bergegas berlari ke teras. Ia hendak melambai memanggil. Tapi segera pula ia urungkan niatnya. Perlahan-lahan ia turunkan tangannya yang sudah terangkat setengah. Dengan murung, ia kembali masuk ke rumah. Lalu buru-buru melangkah ke dapur, setelah teringat belum menyiapkan makan malam. Tapi sebelumnya ia masih sempat menoleh sekilas lagi ke rumah seberang jalan itu. Teras itu tetaplah tinggal sepi.
***
SUDAH empat sore, lelaki muda itu tidak bermain gitar di sana, dan ia tidak menyiram bunga-bunganya di beranda atau memotong daun-daun bonsainya yang meranggas di halaman. Hujan terus berebahan.
Ia tidak begitu ingat, sudah berapa lama lelaki muda itu tinggal di sana. Tapi rasanya belum begitu lama. Mungkin baru setengah tahun, atau setahun, mungkin lebih. Ia betul-betul tak ingat. Karena awalnya, tentu saja, ia tidak peduli dengan kehadiran lelaki muda itu seperti juga ia tidak pernah mempedulikan penghuni lain di rumah kost itu. Tetapi lama kelamaan, entahlah, ia mulai merasa tertarik pada permainan gitar lelaki muda itu, bahkan kemudian menghafal lagu-lagu apa saja yang suka dimainkan lelaki muda itu setiap sore di teras rumah
seberang jalan. Setiap sore yang kemudian menimbulkan debar aneh di dadanya.
Ia lebih sering mengerling diam-diam. Tapi sesekali ia akan menoleh ke seberang jalan, lalu pandangan mereka pun bertemu dan ia melemparkan senyum dengan kikuk. Lelaki muda itu mengangguk dan balas tersenyum. Setelah itu mereka kembali dengan kesibukan masing-masing. Ia dengan bunga-bunga atau bonsainya, dan lelaki muda itu dengan gitar. Tak pernah lebih dari sekadar itu.
Lelaki muda itu tidak pernah tampak pada pagi atau siang hari. Dia hanya muncul pada sore hari dengan gitarnya di teras rumah seberang jalan itu, ketika ia sedang sibuk menyiram bunga-bunga atau memotong bonsai. Tanpa perlu berpaling ia sudah tahu kalau itu dia. Atau kadang-kadang dari balik jendela, ia melihat lelaki muda itu sekilas ketika hari telah larut malam. Lelaki muda itu keluar dari rumah kost dan berjalan dengan langkah-langkah bergegas ke persimpangan di ujung jalan, naik ke boncengan sebuah ojek yang mangkal di sana lalu lenyap bersama deru motor. Beberapa kali ia memergoki lelaki muda itu pulang subuh saat ia baru saja selesai menunaikan salat. Entahlah, ada sesuatu mendorongnya menyibak gordin lalu mengintip keluar jendela. Tentunya ia tidak tahu dari mana lelaki muda itu, ia hanya bertanya-tanya sendiri.
Hingga suatu sore. Sore yang cerah. Ia sedang menyiram bunga ester kesayangannya ketika tiba-tiba saja lelaki muda itu sudah ada di belakang ketika ia menoleh. Tak ada suara gitar. Gugup, ia tersenyum. Lelaki muda itu membalas dengan senyum tipis.
"Maaf, apakah saya mengganggu Mbak?" Tanya lelaki muda itu lembut sebagaimana juga tatapan kedua matanya. Ia cepat-cepat menggeleng, "Ah, tidak! Tidak!" Ia yakin saat itu ia terlihat amat kikuk. Terlebih karena tatapan mata lelaki muda itu.
"Tumben tidak main gitar, Mas?" Mungkin ia lontarkan pertanyaan itu sekadar menutupi kegugupan, mungkin juga karena memang kepingin tahu kenapa sore itu lelaki muda itu tidak memetik gitar sebagaimana biasa.
"Senar saya putus dan belum sempat mencari pengganti." Jawab lelaki muda itu datar.
"Oh!" suara yang keluar dari bibirnya itu barangkali terdengar mirip keluhan. Dan ia semakin jengah dengan mata lelaki muda itu. Mata yang menenteramkan sekaligus mencemaskan. Ia baru sadar hal itu.
"Bunga-bunga yang manis." Desis lelaki muda itu lirih, seolah pada diri sendiri, "Tentu karena telaten dirawat." Ia merasa yakin wajahnya saat itu berona merah, "Terima kasih. Mas suka bunga?"
"Dulu Ibuku juga suka menanamnya di teras rumah kami. Saya sering membantu menyiram." Kata lelaki muda itu sambil terus memperhatikan kesibukannya.
Tahu-tahu mereka sudah terlibat percakapan hangat tentang bunga. Sesekali mereka tertawa. Ia tidak menolak ketika lelaki muda itu menawarkan diri membantu menyiram bunga-bunganya.
Namun tiba-tiba gerimis turun dan lelaki muda itu berseru kaget. Ia terbeliak menyaksikan bagaimana sebuah pot kecil berisi bunga Lantana terguling rebah dan tumpah. Lelaki muda itu bergegas minta maaf.
INI sudah hari keenam lelaki muda itu menghilang dari teras rumah di seberang jalan itu. Ke mana sebenarnya lelaki muda itu? Apa yang sedang dilakukan dia? Atau apa yang terjadi pada dirinya? Ia tidak bisa menghalau pertanyaan-pertanyaan yang menyerbu pikirannya bertubi-tubi. Ia benar-benar dicekam kecemasan yang membuatnya benci. Ia merasa tak berkutik, walaupun cuma sekadar mengetahui secuil kabar berita lelaki muda itu. Dan ia merasa takut untuk merumuskan kecemasan semacam itu, bahkan juga malu untuk mengakui kecemasan tersebut bercokol dalam pikiran dan hatinya.
Siapa sangka bakal begini jadinya. Berkali-kali ia melemparkan pandang keluar jendela menembus gelap kaca nako dan menemukan kegelisahan yang semakin sempurna di teras rumah seberang jalan itu. Ya, kegelisahan yang semakin sempurna, yang tak mungkin ia bagi dengan siapa pun. Tentunya apalagi dengan seorang yang paling dekat dengannya.
Kalau saja suamimu tahu…
Ah, kamu merinding, tak berani membayangkan. Ada rasa takut yang sulit kamu cegah setiapkali dia menatap ke dalam sepasang matamu pada saat kalian makan malam atau sehabis bercinta. Kamu selalu bergegas memalingkan wajah, khawatir dia akan menemukan sesuatu pada mata dan wajahmu. Sesuatu yang kamu tak ingin dia, juga siapa pun mengetahuinya karena membayangkan risiko. Tapi kamu tak yakin sampai kapan kamu bisa menyembunyikannya lantaran kamu merasa matamu terlampau polos untuk berdusta.
Seharusnya sore-sore begini ia sedang menyiram bunga-bunganya di teras atau memotong daun-daun bonsai yang meranggas liar di halaman, dan lelaki muda itu sedang bermain gitar di teras rumah seberang jalan. Tetapi hujan belum juga berhenti. Sejak lelaki muda itu menghilang dari teras rumah seberang jalan itu, entah mengapa-ia bercuriga dengan sesuatu yang entah-hujan terus-terusan turun. Tak kenal waktu, hampir setiap hari.
Kenapa ia harus mengalami semua ini? Batinnya kesal. Ia menyakinkan dirinya kalau ia menyesal, tapi sia-sia. Meski ia merasa amat tersiksa, tapi ia seolah menikmati setiap dera yang datang. Setiap rajam yang menoreh hatinya, oleh hilangnya lelaki muda itu dari teras rumah seberang jalan, petikan gitar lelaki muda itu, lagu-lagunya, pandangan mata mereka yang sesekali bertemu dan senyum yang merekah setelah itu, juga obrolan ringan mereka yang berlangsung kadang-kadang. Ia ingin debar yang indah itu terus datang setiap sore. Debar yang akan membuat bunga-bunganya tampak semakin menawan dan petikan gitar lelaki muda itu semakin merdu.
Tetapi ia merasa suaminya seakan mengawasi hatinya. Ia terkadang curiga kalau diam-diam suaminya telah mengetahui sekian banyak rahasia yang ia sembunyikan. Ia merasa tidak nyaman dengan perasaannya setiapkali berada di dekat suaminya. Tanpa sadar ia berusaha menghindari suaminya, namun kemudian ia segera sadar kalau hal itu hanya akan semakin menambah kecurigaan. Karena itu, ia berusaha bersikap wajar setiap kali bersama suaminya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya yang membuncah. Namun, tak urung suatu malam suaminya bertanya, "Kenapa akhir-akhir ini kamu murung terus, Sayang? Kamu sakit? Wajahmu pucat."
Ia nyaris menjatuhkan piring yang sedang ia cuci dan cepat-cepat menggeleng. Ketika berpaling ia melihat suaminya sedang memperhatikannya begitu lekat dari meja makan.
Ia ingin mengutuki diri. Ia sudah berusaha keras melawan rasa kehilangan itu, kerinduan itu. Namun tetap saja teras rumah di seberang jalan itu menawarkan sepi yang begitu nyata mencekam, sepi yang tak bisa ia hindari. Justru karena lagu-lagu petikan lelaki muda itu terus-menerus bertandang ke telinganya.
Ah, mestinya kamu punya suatu cara untuk menyirap kabar lelaki muda itu. Adakah seseorang yang bisa menolongmu? Seseorang yang takkan bercuriga pada getar suaramu bertanya tentang lelaki muda itu?
Ia hanya bisa menduga-duga terus apa yang terjadi pada lelaki muda itu. Mungkin lelaki muda itu sudah pindah kost ke tempat lain? Barangkali dia hanya pergi entah ke mana untuk beberapa waktu, atau dia pulang kampung karena orang tuanya sakit. Atau dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu di suatu tempat. Bisa jadi lelaki muda itu menikah… Selalu hanya kemungkinan-kemungkinan yang membuat ia kian jengkel.
Sesuatu itu, yang kamu tak berani rumuskan namanya, kian bergelora seperti juga hujan kian deras singgah….
Ia mencoba mengingat-ingat apakah dulu dengan suaminya, ia juga mengalami kegelisahan yang serupa. Tapi rasa gelisah yang lebih tajam lagi menghunjamnya, membuatnya sempoyongan. Ia tercengang dengan napas tercekik.
Sesungguhnya ia cuma tahu amat sedikit tentang lelaki muda itu. Ia kadangkala tak sadar akan itu. Bahkan ia tidak tahu nama sebenarnya lelaki muda itu selain nama panggilannya saja, itu pun bukan dari mulut lelaki muda itu langsung melainkan ia dengar dari orang-orang memanggil dia. Ia tidak tahu lelaki muda itu berasal dari mana, apa pekerjaannya. Awalnya ia menduga lelaki muda itu seorang mahasiswa seperti penghuni lainnya di rumah kost seberang jalan itu. Tapi kemudian ia ragu karena tidak pernah melihat lelaki muda itu berangkat kuliah dengan buku-buku seperti yang lain. Lelaki muda itu hanya muncul sore hari di teras rumah kost itu saat ia sedang menyiram bunga atau memotong daun-daun bonsainya. Selebihnya dia menghilang entah ke mana setiap malam dan baru pulang waktu subuh, atau sesekali ketika matahari sudah tinggi.
Tentu saja ia ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang diri lelaki muda itu. Lebih banyak dan lebih banyak lagi. Tetapi ia tak pernah punya keberanian untuk bertanya ketika sesekali, dalam waktu yang amat pendek, mereka berbincang. Ia terlalu malu untuk itu, terlebih merasa tidak pantas. Keinginan itu hanya pantas ia simpan dalam hati, pikirnya galau.
Di luar hujan masih saja awet. Seolah-olah hendak turun sepanjang waktu. Dan teras rumah di seberang jalan itu seakan mengabur dalam balutan hujan. Semakin lama ia memandang ke sana, ia merasa teras itu semakin kabur oleh helai-helai tirai air yang jatuh dari langit yang kian gelap. Tiba-tiba ia tersadar kalau ia belum menyiapkan makan malam sama sekali. Ia terburu-buru melihat jam dinding di ruang tamu dan kaget melihat jarum jam. Biasanya, tak lebih sepuluh menit lagi suaminya akan sampai di rumah.***
Belinyu-Yogyakarta, April 2006
:buat Bayu Arshiadi Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar