Muh Muhlisin
http://cetak.kompas.com/
Kebudayaan berubah ketika seorang pangeran meninggalkan istana dan gelar, mengembara dan berbaur dengan rakyat jelata sebagai rakyat biasa. Kalaupun kisah Sidarta Gautama, cerita Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga terlalu jauh jarak waktunya untuk diingat, kita memiliki teladan yang lebih dekat dengan waktu kita hari ini. Ia adalah Raden Mas Kudiarmaji yang berganti nama menjadi Ki Ageng Suryo Mentaram, putra ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII.
Dikatakan kebudayaan berubah dengan laku beliau karena saat meninggalkan istana dan melepaskan gelar lalu melakukan kaweruh kepribadian di dalam kejelataan. Sebenarnya orientasi kebudayaan Jawa juga bergeser total dari keraton sebagai pusat ke rakyat, juga jelata sebagai pewahyu kebudayaan. Dalam hal ini, pertimbangan stabilitas sosial, budaya, dan politik menjadi pilihan yang dominan.
Adanya dua lingkup budaya, yakni tradisi santri (rakyat jelata) dengan keraton (kerajaan) sebagai perwakilan dari kaum elite (priayi) dijembatani dan mempertemukan keduanya untuk mewujudkan rasa percaya dan saling pengertian dan dapat mengeliminasi konflik-konflik yang mungkin dapat terjadi.
Ironisnya, cerita ini jarang sampai di telinga kita. Brosur-brosur wisata dan konservasi budaya Jawa yang ditulis belakangan masing mengira bahwa keraton adalah pusat budaya Jawa yang paling menentukan dalam keseluruhan laku budaya bangsa Jawa. Ini justru berbeda dari ajaran laku Ki Ageng Suryo Mentaram yang lebih menekankan pentingnya kedudukan pribadi sebagai bagian dari rantai kosmologi Tuhan “raja kawula” dengan “raja” sebagai “sentral”.
Dalam hal ini, pribadi Ki Ageng Suryo Mentaram telah mengubah posisi “raja kawula” ketempat setara dihadapan pribadi.
Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa menyebutkan adanya dua prinsip utama yang menjadi etika Jawa, yaitu rukun dan prinsip hormat yang hierarkis. Prinsip hormat mengatakan, setiap orang yang dalam cara berbicara membawakan diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Prinsip hormat berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan untuk membawa diri sesuai dengannya.
Budaya Jawa yang memandang raja adalah wakil Tuhan di bumi sebagaimana terdapat dalam Suluk Amongraga Raja memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan orang banyak (masyarakat). Keadaan raja laksana Tuhan itu sendiri. Raja pinandhita (raja dewa) ini merupakan tempat yang bersih bagi persatuan Tuhan dengan manusia karena segala kotoran yang melekat di tubuh telah sirna.”
Ini merupakan pandangan Jawa yang mengarah ke priayiisme, yakni nilai politik menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya ditunjukkan untuk mempertahankan kedudukan kelas yang bekuasa atau untuk mengeramatkan kedudukan raja dan pejabat kenegaraan sebagai priayi. Cara pandang yang salah ini kemudian menjadi titik tolak pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram. Dalam ajarannya, sahaja atau sahaya bukanlah suatu definisi kelas atau derajat sosial. Sahaya tidak harus berarti menghamba kepada grup atau kepada kekuasaan kelompok atau kekuasaan genetik seperti kepada raja dengan meniadakan pribadi.
Budaya “njawani”
Meminjam pendapat Boedhihartono dari Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, Ki Ageng Suryo Mentaram membebaskan dirinya dari kedudukan dan ikatan keluarga penguasa. Ia berbaur dan mengajak rakyat untuk berfikir kritis dan realistis. Ia mengedepankan nalar untuk menilai apa yang baik dan apa yang buruk serta menghindari ajaran yang bersifat doktrin. Hal ini tentu tidak lepas dari suasana politik dan sosial-budaya yang melingkupinya.
Dalam struktur politik dan sosial budaya yang amat feodal hierarkis, masyarakatnya menengok ke atas. Artinya, raja dan cara kehidupan priayi pencerminan dan idola mereka. Bagi wong cilik berusaha menduduki jabatan rendah seperti lurah desa amat bergantung pada belas kasihan sang raja dan golongan priayi. Loyalitas dan kesetiaan kepada raja menjadi ukuran utama.
Dalam ruang lingkup kondisi seperti itu, bagi Ki Ageng Suryo Mentaram, berpikir rasional dan realistis adalah penting. Karena dalam pandangannya, manusia seharusnya bisa bahagia tanpa bergantung pada keadaan dan waktu. Seseorang tidak harus memiliki kekayaan atau kekuasaan untuk bisa hidup bahagia.
Inilah yang disebut oleh Ki Ageng sebagai nerakanya dunia, yang terbagi kedalam empat perkara, yaitu banyak orang geton (menyesal), semelang (was-was), meri (iri), dan pembegan (sombong). Ketika punya rasa getun dan semelang, manusia tidak akan hidup tenang karena pikirannya dibayangi dengan penyesalan dan ketakutan pada sesuatu yang belum pasti. Mereka yang berhasil mengalahkan kedua rasa ini niscaya akan merasa tatag (percaya diri). Sifat meri dan pambegan akan membuat orang hidup tidak tenang. Jika mampu mengalahkan sifat itu, manusia akan mencapai ketentraman jiwa.
MUH MUHLISIN Direktur Pada Center for Religion and Cultur Studies (CRCS) Yogyakarta.
http://cetak.kompas.com/
Kebudayaan berubah ketika seorang pangeran meninggalkan istana dan gelar, mengembara dan berbaur dengan rakyat jelata sebagai rakyat biasa. Kalaupun kisah Sidarta Gautama, cerita Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga terlalu jauh jarak waktunya untuk diingat, kita memiliki teladan yang lebih dekat dengan waktu kita hari ini. Ia adalah Raden Mas Kudiarmaji yang berganti nama menjadi Ki Ageng Suryo Mentaram, putra ke-55 Sultan Hamengku Buwono VII.
Dikatakan kebudayaan berubah dengan laku beliau karena saat meninggalkan istana dan melepaskan gelar lalu melakukan kaweruh kepribadian di dalam kejelataan. Sebenarnya orientasi kebudayaan Jawa juga bergeser total dari keraton sebagai pusat ke rakyat, juga jelata sebagai pewahyu kebudayaan. Dalam hal ini, pertimbangan stabilitas sosial, budaya, dan politik menjadi pilihan yang dominan.
Adanya dua lingkup budaya, yakni tradisi santri (rakyat jelata) dengan keraton (kerajaan) sebagai perwakilan dari kaum elite (priayi) dijembatani dan mempertemukan keduanya untuk mewujudkan rasa percaya dan saling pengertian dan dapat mengeliminasi konflik-konflik yang mungkin dapat terjadi.
Ironisnya, cerita ini jarang sampai di telinga kita. Brosur-brosur wisata dan konservasi budaya Jawa yang ditulis belakangan masing mengira bahwa keraton adalah pusat budaya Jawa yang paling menentukan dalam keseluruhan laku budaya bangsa Jawa. Ini justru berbeda dari ajaran laku Ki Ageng Suryo Mentaram yang lebih menekankan pentingnya kedudukan pribadi sebagai bagian dari rantai kosmologi Tuhan “raja kawula” dengan “raja” sebagai “sentral”.
Dalam hal ini, pribadi Ki Ageng Suryo Mentaram telah mengubah posisi “raja kawula” ketempat setara dihadapan pribadi.
Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa menyebutkan adanya dua prinsip utama yang menjadi etika Jawa, yaitu rukun dan prinsip hormat yang hierarkis. Prinsip hormat mengatakan, setiap orang yang dalam cara berbicara membawakan diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Prinsip hormat berdasarkan pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan hierarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan untuk membawa diri sesuai dengannya.
Budaya Jawa yang memandang raja adalah wakil Tuhan di bumi sebagaimana terdapat dalam Suluk Amongraga Raja memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan orang banyak (masyarakat). Keadaan raja laksana Tuhan itu sendiri. Raja pinandhita (raja dewa) ini merupakan tempat yang bersih bagi persatuan Tuhan dengan manusia karena segala kotoran yang melekat di tubuh telah sirna.”
Ini merupakan pandangan Jawa yang mengarah ke priayiisme, yakni nilai politik menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya ditunjukkan untuk mempertahankan kedudukan kelas yang bekuasa atau untuk mengeramatkan kedudukan raja dan pejabat kenegaraan sebagai priayi. Cara pandang yang salah ini kemudian menjadi titik tolak pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram. Dalam ajarannya, sahaja atau sahaya bukanlah suatu definisi kelas atau derajat sosial. Sahaya tidak harus berarti menghamba kepada grup atau kepada kekuasaan kelompok atau kekuasaan genetik seperti kepada raja dengan meniadakan pribadi.
Budaya “njawani”
Meminjam pendapat Boedhihartono dari Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, Ki Ageng Suryo Mentaram membebaskan dirinya dari kedudukan dan ikatan keluarga penguasa. Ia berbaur dan mengajak rakyat untuk berfikir kritis dan realistis. Ia mengedepankan nalar untuk menilai apa yang baik dan apa yang buruk serta menghindari ajaran yang bersifat doktrin. Hal ini tentu tidak lepas dari suasana politik dan sosial-budaya yang melingkupinya.
Dalam struktur politik dan sosial budaya yang amat feodal hierarkis, masyarakatnya menengok ke atas. Artinya, raja dan cara kehidupan priayi pencerminan dan idola mereka. Bagi wong cilik berusaha menduduki jabatan rendah seperti lurah desa amat bergantung pada belas kasihan sang raja dan golongan priayi. Loyalitas dan kesetiaan kepada raja menjadi ukuran utama.
Dalam ruang lingkup kondisi seperti itu, bagi Ki Ageng Suryo Mentaram, berpikir rasional dan realistis adalah penting. Karena dalam pandangannya, manusia seharusnya bisa bahagia tanpa bergantung pada keadaan dan waktu. Seseorang tidak harus memiliki kekayaan atau kekuasaan untuk bisa hidup bahagia.
Inilah yang disebut oleh Ki Ageng sebagai nerakanya dunia, yang terbagi kedalam empat perkara, yaitu banyak orang geton (menyesal), semelang (was-was), meri (iri), dan pembegan (sombong). Ketika punya rasa getun dan semelang, manusia tidak akan hidup tenang karena pikirannya dibayangi dengan penyesalan dan ketakutan pada sesuatu yang belum pasti. Mereka yang berhasil mengalahkan kedua rasa ini niscaya akan merasa tatag (percaya diri). Sifat meri dan pambegan akan membuat orang hidup tidak tenang. Jika mampu mengalahkan sifat itu, manusia akan mencapai ketentraman jiwa.
MUH MUHLISIN Direktur Pada Center for Religion and Cultur Studies (CRCS) Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar