http://www.malang-post.com/
Apa jadinya jika cerpenis dari berbagai suku di Indonesia menggelar pesta dalam sebuah buku kumpulan cerpen berjudul Kolecer dan Hari Raya Hantu ? Seperti yang saya rasakan. Saya disuguhi aneka kisah dengan berbagai tema, gaya tutur dan aliran.
Masing-masing mengusung identitas kelokalan untuk mengemas 20 kisah yang ditulis 11 cerpenis. Di antara cerpenis-cerpenis tersebut, ada beberapa nama yang saya kenal di situs jejaring facebook seperti Hanna Fransisca, Saut Poltak Tambunan, Cessilia Ces, Benny Arnas dan Khrisna Pabichara. Ada juga yang saya ‘kenal’ setelah membaca buku kumpulan cerpennya seperti Gunawan Maryanto dan Oka Rusmini. Sedangkan cerpenis lain seperti Noena, Nenden Lilis A dan Sastri Bakry, juga sempat saya baca cerpennya lewat media online.
Saat membaca kumpulan cerpen itu, saya memang tidak tahu asal dari beberapa cerpenis tersebut. Namun kata pengantar Free Hearty yang juga mengulas asal usul penulisnya, membantu saya lebih ‘nyaman’ dengan berbagai kisah yang disajikan.
Hampir semua tema dalam cerpen ini mengangkat persoalan, dialog dan problematika sehari-hari masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan gaya tutur dan bahasa yang mudah dicerna, 20 cerpen ini mengajak saya berpesiar dari satu suku ke suku yang lain. Dari satu daerah ke daerah lain lalu berinteraksi dengan warganya.
Saat membaca kumpulan cerpen ini, judulnya saja sudah membuat penasaran, sehingga dua judul itulah yang pertama saya baca.
Bersetting kultur sunda Jawa barat, cerpen Kolecer dibungkus dengan dialeg sunda yang khas tentang kerinduan masa lalu. Pembaca yang bukan orang sunda tentunya akan kesulitan memahami maksud dialek yang turut dituliskan Nenden Lilis tersebut. Tapi apalah artinya makna bahasa daerah dalam Kumcer ini, jika maksud dalam cerpen itu sudah bisa kita tangkap. Dan akhirnya pembaca tahu apakah Kolecer itu, menjelang akhir kisah.
Begitu juga dengan Hari Raya Hantu. Siapa sangka ternyata hantu pun punya hari raya. Cerpen besutan Hanna Fransisca ini nyatanya menambah khasanah pengetahuan kita tentang tradisi orang Tionghoa. Saat membaca cerpen ini saya terpesona dari awal mulai akhir.
Menyimak sosok hantu bercakap mesra dengan manusia yang mengurai penyebab si hantu mati. Bahkan dengan detil, Hanna yang juga keturunan Tionghoa ini menunjukkan kepada kita bagaimana bisa melihat hantu.
Sungguh menarik bukan ? Juga remeh temeh yang dibutuhkan untuk berziarah leluhur di tradisi Tionghoa.
Berangkat dari dua dua judul cerpen itulah, akhirnya saya semakin penasaran dengan seluruh kisah dalam Kumcer ini.
Oka Rusmini yang berasal dari Bali, masih konsisten menyuarakan sastra perlawanan terhadap isu-isu yang memarjinalkan kaum perempuan. Lewat cerpen Pastu, Rusmini menggugat lembaga perkawinan yang telah membunuh sahabatnya. Tentu saja, nuansa yang disajikan tetap kental dengan tradisi Bali seperti yang sudah terstempel dalam hampir semua karya sastra Oka Rusmini.
Dan bagi anda yang sudah akrab dengan cerpen-cerpen Gunawan Maryanto berciri khas setting jadul-nya, bersiaplah dengan cerpen yang bernuansa mistis magis dan liris berjudul Sarpakenaka. Sosok wayang yang terbuat dari kulit manusia ! Lalu lewat Pengakuan Arya Mangkunegara di Hadapan Willem ter Smitten, kita akan diajak meloncat ke tahun 1728 menyimak pembelaan Arya Mangkunegara yang dituduh berselingkuh.
Lalu mari kita menyeberang ke Sulawesi Selatan bersama Khrisna Pabichara. Tiga cerpen besutannya patut kita simak. Salah satunya tentang kegamangan terhadap mitos lewat cerpen berjudul Pembunuh Parakang. Juga nasib perantau yang berakhir tragis lewat judul Laduka. Juga percintaan segi tiga yang ditingkahi mantra-mantra pengasihan lewat Selasar.
Benny Arnas, cerpenis muda ini menggejolak lewat tiga cerpennya yang mengusung nuansa kisah dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Antara lain cerpen Anak Ibu yang Kembali, Tujuh dan Tukang Cerita. Begitu juga jika anda ingin tahu apa yang terjadi di masyarakat Tapanuli ? Ada tiga cerpen milik Saut Poltak Tambunan berjudul Lali Panggora, Menunggu Matahari dan Omak yang dengan lugas menceritakan beberapa fenomena yang kontradiktif. Salah satunya lewat cerpen Lali Panggora berkisah tentang peristiwa kematian yang seharusnya menjadi kabar menyedihkan, namun juga menjadi hal yang dinanti.
Jika anda ingin terhibur dan tertawa geli di akhir membaca kumpulan cerpen ini, bolehlah cerpen berjudul Pak Gubernur Belum Mendengar Cerita Ini, milik Sutan Iwan Soekri Munaf dibaca sambil menghirup kopi manis.
* Jurnalis tinggal di Malang, 04 Desember 2010
Sumber: http://www.malang-post.com/index.php?option=com_content&view=article&id=22287:kumpulan-cerpen-rasa-nano-nano&catid=50:resensibuku&Itemid=81
Apa jadinya jika cerpenis dari berbagai suku di Indonesia menggelar pesta dalam sebuah buku kumpulan cerpen berjudul Kolecer dan Hari Raya Hantu ? Seperti yang saya rasakan. Saya disuguhi aneka kisah dengan berbagai tema, gaya tutur dan aliran.
Masing-masing mengusung identitas kelokalan untuk mengemas 20 kisah yang ditulis 11 cerpenis. Di antara cerpenis-cerpenis tersebut, ada beberapa nama yang saya kenal di situs jejaring facebook seperti Hanna Fransisca, Saut Poltak Tambunan, Cessilia Ces, Benny Arnas dan Khrisna Pabichara. Ada juga yang saya ‘kenal’ setelah membaca buku kumpulan cerpennya seperti Gunawan Maryanto dan Oka Rusmini. Sedangkan cerpenis lain seperti Noena, Nenden Lilis A dan Sastri Bakry, juga sempat saya baca cerpennya lewat media online.
Saat membaca kumpulan cerpen itu, saya memang tidak tahu asal dari beberapa cerpenis tersebut. Namun kata pengantar Free Hearty yang juga mengulas asal usul penulisnya, membantu saya lebih ‘nyaman’ dengan berbagai kisah yang disajikan.
Hampir semua tema dalam cerpen ini mengangkat persoalan, dialog dan problematika sehari-hari masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan gaya tutur dan bahasa yang mudah dicerna, 20 cerpen ini mengajak saya berpesiar dari satu suku ke suku yang lain. Dari satu daerah ke daerah lain lalu berinteraksi dengan warganya.
Saat membaca kumpulan cerpen ini, judulnya saja sudah membuat penasaran, sehingga dua judul itulah yang pertama saya baca.
Bersetting kultur sunda Jawa barat, cerpen Kolecer dibungkus dengan dialeg sunda yang khas tentang kerinduan masa lalu. Pembaca yang bukan orang sunda tentunya akan kesulitan memahami maksud dialek yang turut dituliskan Nenden Lilis tersebut. Tapi apalah artinya makna bahasa daerah dalam Kumcer ini, jika maksud dalam cerpen itu sudah bisa kita tangkap. Dan akhirnya pembaca tahu apakah Kolecer itu, menjelang akhir kisah.
Begitu juga dengan Hari Raya Hantu. Siapa sangka ternyata hantu pun punya hari raya. Cerpen besutan Hanna Fransisca ini nyatanya menambah khasanah pengetahuan kita tentang tradisi orang Tionghoa. Saat membaca cerpen ini saya terpesona dari awal mulai akhir.
Menyimak sosok hantu bercakap mesra dengan manusia yang mengurai penyebab si hantu mati. Bahkan dengan detil, Hanna yang juga keturunan Tionghoa ini menunjukkan kepada kita bagaimana bisa melihat hantu.
Sungguh menarik bukan ? Juga remeh temeh yang dibutuhkan untuk berziarah leluhur di tradisi Tionghoa.
Berangkat dari dua dua judul cerpen itulah, akhirnya saya semakin penasaran dengan seluruh kisah dalam Kumcer ini.
Oka Rusmini yang berasal dari Bali, masih konsisten menyuarakan sastra perlawanan terhadap isu-isu yang memarjinalkan kaum perempuan. Lewat cerpen Pastu, Rusmini menggugat lembaga perkawinan yang telah membunuh sahabatnya. Tentu saja, nuansa yang disajikan tetap kental dengan tradisi Bali seperti yang sudah terstempel dalam hampir semua karya sastra Oka Rusmini.
Dan bagi anda yang sudah akrab dengan cerpen-cerpen Gunawan Maryanto berciri khas setting jadul-nya, bersiaplah dengan cerpen yang bernuansa mistis magis dan liris berjudul Sarpakenaka. Sosok wayang yang terbuat dari kulit manusia ! Lalu lewat Pengakuan Arya Mangkunegara di Hadapan Willem ter Smitten, kita akan diajak meloncat ke tahun 1728 menyimak pembelaan Arya Mangkunegara yang dituduh berselingkuh.
Lalu mari kita menyeberang ke Sulawesi Selatan bersama Khrisna Pabichara. Tiga cerpen besutannya patut kita simak. Salah satunya tentang kegamangan terhadap mitos lewat cerpen berjudul Pembunuh Parakang. Juga nasib perantau yang berakhir tragis lewat judul Laduka. Juga percintaan segi tiga yang ditingkahi mantra-mantra pengasihan lewat Selasar.
Benny Arnas, cerpenis muda ini menggejolak lewat tiga cerpennya yang mengusung nuansa kisah dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Antara lain cerpen Anak Ibu yang Kembali, Tujuh dan Tukang Cerita. Begitu juga jika anda ingin tahu apa yang terjadi di masyarakat Tapanuli ? Ada tiga cerpen milik Saut Poltak Tambunan berjudul Lali Panggora, Menunggu Matahari dan Omak yang dengan lugas menceritakan beberapa fenomena yang kontradiktif. Salah satunya lewat cerpen Lali Panggora berkisah tentang peristiwa kematian yang seharusnya menjadi kabar menyedihkan, namun juga menjadi hal yang dinanti.
Jika anda ingin terhibur dan tertawa geli di akhir membaca kumpulan cerpen ini, bolehlah cerpen berjudul Pak Gubernur Belum Mendengar Cerita Ini, milik Sutan Iwan Soekri Munaf dibaca sambil menghirup kopi manis.
* Jurnalis tinggal di Malang, 04 Desember 2010
Sumber: http://www.malang-post.com/index.php?option=com_content&view=article&id=22287:kumpulan-cerpen-rasa-nano-nano&catid=50:resensibuku&Itemid=81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar