Maman S Mahayana *
http://mahayana-mahadewa.com/
Hanna Fransisca, Konde Penyair Han (Jakarta: Katakita, 2010), 141 halaman.
Kwee Tek Hoay, awal tahun 1900-an. Perintis sastra Indonesia ini berhasil membangun tradisi berdiskusi di kalangan penulis peranakan Tionghoa. Ia juga kerap menghidupkan pantun dan syair dalam pesta para nyonya Tionghoa. Pada zamannya, sastrawan peranakan Tionghoa—sebagaimana dicatat Claudine Salmon—berhasil menyebarkan karya-karyanya ke seantero negeri ini. Sesungguhnya, dari situlah langkah perjalanan sastra Indonesia dalam tradisi cetak, dimulai!
Tetapi, kekuasaan kolonial Belanda, membelokkan perjalanan sejarah. Sastra yang ditulis kelompok etnik ini menjadi sesuatu yang dianggap rendah, marginal, dan berada di luar mainstream. Ia dikesankan eksklusif. Perlahan-lahan, kabar beritanya hilang: tenggelam atau ditenggelamkan. Lalu, pada zaman Orde Baru, hampir semuanya berubah: sastrawan atau bukan, beramai-ramai menyembunyikan marga dan identitas diri: berganti nama Indonesia yang tak jelas cantelan akar budayanya.
***
Kini terbit antologi puisi berjudul Konde Penyair Han karya Hanna Fransisca (Jakarta: Katakita, 2010, 141 halaman). Siapakah gerangan penyair Han ini? Ia keturunan etnis Tionghoa, asal Singkawang. Lalu masih perlukah persoalan etnik dibincangkan ketika zaman telah berubah dan kita merayakan keberbagaian dalam keindonesiaan? Tentulah perkara etnik dalam wilayah politik sudah usang dan sejak lama usai. Tetapi, sejauh mana kekayaan etnisitas muncul dan menjadi ruh keseluruhan puisinya, sebagaimana banyak diusung sastrawan yang lahir dan hidup dalam lingkungan kultur etnik?
Bagaimanapun, judul mesti dicurigai ada implikasinya pada isi. Bukankah kata Han di sana mengisyaratkan sebuah ras yang punya sejarah panjang ketika berhadapan dengan bangsa Mongolia atau Tibet? Jika tidak, atau sekadar sapaan: Hanna, tentu ia boleh dianggap coba menderetkan nama di antara —menyebut beberapa— Eka Budianta, Tan Lioe Ie, Kurniawan Junaedhie, Wilson Tjandinegara, Medy Loekito, atau bahkan Abdul Hadi WM? Jika gagal bertahan, seperti pernyataan Budi Darma yang memlesetkan larik puisi Chairil Anwar: sekali (tidak) berarti, setelah itu mati, maka kehadiran antologi ini, anggaplah sebagai perayaan sesaat, dan setelah itu tenggelam dalam tidur panjang.
Ada 66 puisi dalam buku ini dengan sebuah ulasan penyair kondang yang juga gurubesar FIB-UI, Sapardi Djoko Damono. Seperti lazimnya ekspresi puitik dalam proses kreatif, ada tema-tema yang pengucapannya cukup diselesaikan dalam dua sampai tujuh larik saja, sehingga membentuk puisi pendek. Dari sekitar 18-an puisi pendek itu, di antaranya, coba bermain dengan citraan (image), meski tak cukup kuat untuk menghidupkan saklar asosiasi yang mengisyaratkan sebuah tema tentang sisi kehidupan. Penyair seperti hendak mewartakan sesuatu yang datang selintasan (“Hujan Puisi” atau “Kail”). Keinginan untuk mengangkat keindahan bahasa atau kesamaan bunyi, lebih menonjol dibandingkan semangat mengeksploitasi citraan. Padahal, substansi dan kekuatan puisi, justru terletak dalam citraan. Meski tak ada larangan menulis model puisi apa pun, problemnya segera tampak ketika kita coba membandingkan puisi “Malam Pengantin, 1” dan “Malam Pengantin, 2” yang lebih asosiatif, lantaran penyair punya kesempatan memanfaatkan metafora dan sarana simbolisme.
Meski begitu, dalam puisi lain yang mendominasi keseluruhan antologi ini, penyair laksana tak punya pilihan kecuali menyampaikannya sebagai puisi naratif. Sebagian besar, terasa seperti menawarkan banyak hal baru. Setidaknya, secara tematik: judul Konde Penyair Han mengisyaratkan tradisi sosio—kultural bangsa Han (Tionghoa) yang hidup di negeri ini, sekaligus menyajikan beberapa persoalan ketika kelompok etnik ini menyikapi posisinya dalam berhadapan dengan perubahan politik bangsa (: pemerintah) kita.
Pengucapan Hanna yang sederhana, mengalir begitu saja. Tak terhindarkan membawa ingatan subjektif saya pada gaya Li Tai Po (701—762), penyair Tionghoa zaman dinasti Tang (618—907). Meski kesederhanaan dan kejujuran ungkapkan perasaan pada diri Hanna, tak berhubungan dengan pemujaan pada anggur, sebagaimana penyair Li, setidaknya, puisi-puisi dalam antologi ini, tak terjebak pada gerak bahasa yang diindah-indahkan, atau disajikan begitu rumit, sehingga sulit dipahami. Kemengaliran segala perangkat puitiknya itulah salah satu kekuatan antologi ini.
Dalam puisi-puisinya yang lain, ada suasana getir yang mengingatkan pada cerita klasik Liang Shan Bo dan Zhu Ting Tai karya Zhao Qing-Ge. Tetapi, Hanna tak mengisahkan tragedi cinta, melainkan tragedi etniknya di negeri yang sangat dicintainya. Di sinilah, puisi menjadi pewarta yang baik tentang: kultur, kepercayaan, tradisi, peristiwa, atau bahkan penganiayaan dan tindakan diskriminatif. Periksa sekadar menyebut beberapa—puisi “Air Mata Tanah Air”, “Puisi Mei”, “Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi”, “Kepada Kerbau”, “Di Depan Kuburan Keluarga”, “Cap Go Meh”, atau “Surat buat Pahlawan”.
Dalam sejumlah puisi itu, kita seperti melihat dunia lain nun jauh di sana yang sesungguhnya bagian tak terpisahkan dengan kehidupan bangsa ini. Maka, kisah-kisah yang disajikan jadi terkesan eksotik, meski di sana tersimpan kepedihan ketika ia bercerita tentang tragedi dan duka marga etnik. Di luar kisah tragedi, bukankah tema-tema itu dulu pernah semarak lalu menghilang begitu lama. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Hanna menjadi penting lantaran ia seperti menghidupkan kembali tema-tema dan gaya pengucapan yang sekian lama tenggelam. Dalam konteks itulah, Konde Penyair Han, sepatutnya ditempatkan.
*) Pengajar FIB-UI, Kini mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. ***
http://mahayana-mahadewa.com/
Hanna Fransisca, Konde Penyair Han (Jakarta: Katakita, 2010), 141 halaman.
Kwee Tek Hoay, awal tahun 1900-an. Perintis sastra Indonesia ini berhasil membangun tradisi berdiskusi di kalangan penulis peranakan Tionghoa. Ia juga kerap menghidupkan pantun dan syair dalam pesta para nyonya Tionghoa. Pada zamannya, sastrawan peranakan Tionghoa—sebagaimana dicatat Claudine Salmon—berhasil menyebarkan karya-karyanya ke seantero negeri ini. Sesungguhnya, dari situlah langkah perjalanan sastra Indonesia dalam tradisi cetak, dimulai!
Tetapi, kekuasaan kolonial Belanda, membelokkan perjalanan sejarah. Sastra yang ditulis kelompok etnik ini menjadi sesuatu yang dianggap rendah, marginal, dan berada di luar mainstream. Ia dikesankan eksklusif. Perlahan-lahan, kabar beritanya hilang: tenggelam atau ditenggelamkan. Lalu, pada zaman Orde Baru, hampir semuanya berubah: sastrawan atau bukan, beramai-ramai menyembunyikan marga dan identitas diri: berganti nama Indonesia yang tak jelas cantelan akar budayanya.
***
Kini terbit antologi puisi berjudul Konde Penyair Han karya Hanna Fransisca (Jakarta: Katakita, 2010, 141 halaman). Siapakah gerangan penyair Han ini? Ia keturunan etnis Tionghoa, asal Singkawang. Lalu masih perlukah persoalan etnik dibincangkan ketika zaman telah berubah dan kita merayakan keberbagaian dalam keindonesiaan? Tentulah perkara etnik dalam wilayah politik sudah usang dan sejak lama usai. Tetapi, sejauh mana kekayaan etnisitas muncul dan menjadi ruh keseluruhan puisinya, sebagaimana banyak diusung sastrawan yang lahir dan hidup dalam lingkungan kultur etnik?
Bagaimanapun, judul mesti dicurigai ada implikasinya pada isi. Bukankah kata Han di sana mengisyaratkan sebuah ras yang punya sejarah panjang ketika berhadapan dengan bangsa Mongolia atau Tibet? Jika tidak, atau sekadar sapaan: Hanna, tentu ia boleh dianggap coba menderetkan nama di antara —menyebut beberapa— Eka Budianta, Tan Lioe Ie, Kurniawan Junaedhie, Wilson Tjandinegara, Medy Loekito, atau bahkan Abdul Hadi WM? Jika gagal bertahan, seperti pernyataan Budi Darma yang memlesetkan larik puisi Chairil Anwar: sekali (tidak) berarti, setelah itu mati, maka kehadiran antologi ini, anggaplah sebagai perayaan sesaat, dan setelah itu tenggelam dalam tidur panjang.
Ada 66 puisi dalam buku ini dengan sebuah ulasan penyair kondang yang juga gurubesar FIB-UI, Sapardi Djoko Damono. Seperti lazimnya ekspresi puitik dalam proses kreatif, ada tema-tema yang pengucapannya cukup diselesaikan dalam dua sampai tujuh larik saja, sehingga membentuk puisi pendek. Dari sekitar 18-an puisi pendek itu, di antaranya, coba bermain dengan citraan (image), meski tak cukup kuat untuk menghidupkan saklar asosiasi yang mengisyaratkan sebuah tema tentang sisi kehidupan. Penyair seperti hendak mewartakan sesuatu yang datang selintasan (“Hujan Puisi” atau “Kail”). Keinginan untuk mengangkat keindahan bahasa atau kesamaan bunyi, lebih menonjol dibandingkan semangat mengeksploitasi citraan. Padahal, substansi dan kekuatan puisi, justru terletak dalam citraan. Meski tak ada larangan menulis model puisi apa pun, problemnya segera tampak ketika kita coba membandingkan puisi “Malam Pengantin, 1” dan “Malam Pengantin, 2” yang lebih asosiatif, lantaran penyair punya kesempatan memanfaatkan metafora dan sarana simbolisme.
Meski begitu, dalam puisi lain yang mendominasi keseluruhan antologi ini, penyair laksana tak punya pilihan kecuali menyampaikannya sebagai puisi naratif. Sebagian besar, terasa seperti menawarkan banyak hal baru. Setidaknya, secara tematik: judul Konde Penyair Han mengisyaratkan tradisi sosio—kultural bangsa Han (Tionghoa) yang hidup di negeri ini, sekaligus menyajikan beberapa persoalan ketika kelompok etnik ini menyikapi posisinya dalam berhadapan dengan perubahan politik bangsa (: pemerintah) kita.
Pengucapan Hanna yang sederhana, mengalir begitu saja. Tak terhindarkan membawa ingatan subjektif saya pada gaya Li Tai Po (701—762), penyair Tionghoa zaman dinasti Tang (618—907). Meski kesederhanaan dan kejujuran ungkapkan perasaan pada diri Hanna, tak berhubungan dengan pemujaan pada anggur, sebagaimana penyair Li, setidaknya, puisi-puisi dalam antologi ini, tak terjebak pada gerak bahasa yang diindah-indahkan, atau disajikan begitu rumit, sehingga sulit dipahami. Kemengaliran segala perangkat puitiknya itulah salah satu kekuatan antologi ini.
Dalam puisi-puisinya yang lain, ada suasana getir yang mengingatkan pada cerita klasik Liang Shan Bo dan Zhu Ting Tai karya Zhao Qing-Ge. Tetapi, Hanna tak mengisahkan tragedi cinta, melainkan tragedi etniknya di negeri yang sangat dicintainya. Di sinilah, puisi menjadi pewarta yang baik tentang: kultur, kepercayaan, tradisi, peristiwa, atau bahkan penganiayaan dan tindakan diskriminatif. Periksa sekadar menyebut beberapa—puisi “Air Mata Tanah Air”, “Puisi Mei”, “Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi”, “Kepada Kerbau”, “Di Depan Kuburan Keluarga”, “Cap Go Meh”, atau “Surat buat Pahlawan”.
Dalam sejumlah puisi itu, kita seperti melihat dunia lain nun jauh di sana yang sesungguhnya bagian tak terpisahkan dengan kehidupan bangsa ini. Maka, kisah-kisah yang disajikan jadi terkesan eksotik, meski di sana tersimpan kepedihan ketika ia bercerita tentang tragedi dan duka marga etnik. Di luar kisah tragedi, bukankah tema-tema itu dulu pernah semarak lalu menghilang begitu lama. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Hanna menjadi penting lantaran ia seperti menghidupkan kembali tema-tema dan gaya pengucapan yang sekian lama tenggelam. Dalam konteks itulah, Konde Penyair Han, sepatutnya ditempatkan.
*) Pengajar FIB-UI, Kini mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar