IBM. Dharma Palguna
http://www.balipost.co.id/
SALAH satu ciri yang paling sering dibicarakan orang tentang karya-karya pujangga Rabindranath Tagore adalah Alam. Janganlah seorang guru membawa alam ke dalam kelas, tapi seorang guru hendaknya membawa kelas ke dalam alam. Begitu salah satu bunyi kalimat yang paling sering dipinjam oleh para pendidik aliran Tagoreisme.
JADI, kembali ke alam. Begitulah satu pesan yang dirumuskan oleh orang setelah membaca karya-karya Tagore. Kembali ke alam menurut rumusan itu tidak sama dengan membangun sekolah, di tebing-tebing, di jurang-jurang pinggir sungai, di lereng gunung yang curam, atau di tengah gua yang gelap. Jika di akhir abad 20 para pengusaha pariwisata di Bali, Gianyar khususnya, membawa turis ke alam dengan membuatkan mereka tempat bubuk di tebing-tebing, di jurang, di lereng, pinggir sungai, rupanya para pebisnis itu menggunakan referensi berbeda. Bukan referensi kembali ke alam seperti apa kata sastra, tapi kembali ke alam seperti apa kata pasar. Sastra dan Pasar, dua sahabat yang semakin mengintimkan hubungan mereka.
SEKARANG semua orang tahu bahwa pasar adalah institusi yang lebih kuat jaringannya daripada sastra. Kekuatan pasar itu justru ketika ia berwujud alus dan cantik, seperti bersatupadunya keindahan alam dengan keindahan polesan tangan-tangan seni. Jadi, kembali ke alam bukan hanya milik sastra, tapi juga milik pasar dan modal.
JAUH sebelum Tagore, karya-karya sastra Jawa Kuno juga dengan cara berbeda berbicara tentang kembali ke alam. Sangat banyak contoh karya sastra Jawa Kuno yang bisa dijadikan bukti bahwa kembali ke alam sudah menjadi gagasan nenek moyang. Salah satu kata kuncinya adalah wisata.
KATA wisata ini adalah kata Jawa Kuno yang kurang lebih berarti pikiran-perasaan-hati yang terbebas karena sadar bahwa dirinya adalah alam itu sendiri. Dalam perkembangannya kemudian, kata wisata menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia. Dari kata serapan itu munculah kata jadian, seperti pariwisata, wisatawan, wisman, pramuwisata, wisata-budaya, departemen pariwisata, kantor pariwisata, kampung wisata, dan seterusnya. Dari sejarah kata ini saja, kita sudah cukup mengetahui bahwa wisata telah menjadi sebuah kerajaan bisnis yang akhirnya diurus oleh negara.
PERUBAHAN tidak hanya terjadi pada makna kata. Karena bukankah perubahan makna kata adalah muara dari perubahan-perubahan yang mendahuluinya. Misalnya, perubahan cara pandang.
Dalam sastra Jawa Kuno sering duilukiskan perjalanan Tokoh Cerita yang berwisata ke jurang, pangkung, lereng, tebing, loloan, dan tempat-tempat yang bukan saja indah tapi juga seram dan menakutkan bagi orang kebanyakan. Karena tempat itu konon sangat bertenaga. Di sana bermuara sejumlah energi yang selain tidak selalu sama satu sama lainnya, juga sering bertolak-belakang satu sama lainnya. Seperti air terjun yang tinggi di tengah jurang lebar, selain memiliki kekuatan menekan, juga menyedot, dan menolak.
PARA TOKOH cerita itu senang berwisata ke tempat-tempat seperti itu, namun mereka tidak tinggal di sana. Menurut pandangan pengarangnya, yaitu para Kawi dan para Wiku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat yang bagus dikunjungi untuk tujuan tertentu, tapi bukan tempat yang pantas dihuni mahluk seperti manusa. Para Kawi dan Wiku itu memang membedakan jenis-jenis mahluk penghuni Bumi, seperti apa yang mereka sebut detya, raksasa, apsara, gandharwa, pisaca, dewa, manusa, dan sebagainya.
CARA PANDANG ala Kawi Wiku itu masih ada dan masih diberlakukan oleh para penerus mereka di Bali. Hanya saja cara pandang itu tidak lagi menjadi satu-satunya yang berpengaruh. Telah ada cara pandang dengan referensi berbeda di tengah masyarakat Bali. Contohnya, orang-orang yang senang melihat keindahan tebing yang curam dan seram, akhirnya ramai-ramai mendirikan tempat tinggal di keindahan itu. Mereka yang senang melihat air terjun, termasuk senang mendengar gemuruh suaranya, kemudian membuat rumah sebisa mungkin sedekat mungkin dengan keindahan itu.
Demikianlah, cara pandang mengalami perubahan dengan perlahan tapi pasti. Demikian pula perubahan perilaku yang pada mulanya tentu mengagetkan, tapi kemudian ditiru oleh banyak orang. Dan akhirnya, terjadilah perubahan makna kata, termasuk makna kata wisata itu. Sekarang kata wisata adalah sebuah kata yang menghidupkan. Kawasan yang mulanya mati, bisa disihir menjadi hidup oleh kekuatan kata wisata. Ekonomi yang nyaris pingsan, bisa siuman kembali setelah dibisiki mantra wisata.
Maju? Ya. Ini maju. Karena menurut Kamus, maju itu berarti berpindah posisi ke depan. Kata wisata sekarang menjadi sebuah kata yang menempati urutan terdepan.
PERUBAHAN POSISI posisi ke depan alias maju, apa salahnya? Tidak ada yang salah dengan perubahan posisi itu. Akan salah bila ada pengingkaran dari perubahan posisi itu. Pengingkaran adalah salah satu bentuk penerimaan dengan cara terbalik. Seperti bayangan diri di cermin, bayangan itu memberitahu bagaimana penampakan kita dengan cara terbalik.
Senin, 30 Januari 2010 | BP
http://www.balipost.co.id/
SALAH satu ciri yang paling sering dibicarakan orang tentang karya-karya pujangga Rabindranath Tagore adalah Alam. Janganlah seorang guru membawa alam ke dalam kelas, tapi seorang guru hendaknya membawa kelas ke dalam alam. Begitu salah satu bunyi kalimat yang paling sering dipinjam oleh para pendidik aliran Tagoreisme.
JADI, kembali ke alam. Begitulah satu pesan yang dirumuskan oleh orang setelah membaca karya-karya Tagore. Kembali ke alam menurut rumusan itu tidak sama dengan membangun sekolah, di tebing-tebing, di jurang-jurang pinggir sungai, di lereng gunung yang curam, atau di tengah gua yang gelap. Jika di akhir abad 20 para pengusaha pariwisata di Bali, Gianyar khususnya, membawa turis ke alam dengan membuatkan mereka tempat bubuk di tebing-tebing, di jurang, di lereng, pinggir sungai, rupanya para pebisnis itu menggunakan referensi berbeda. Bukan referensi kembali ke alam seperti apa kata sastra, tapi kembali ke alam seperti apa kata pasar. Sastra dan Pasar, dua sahabat yang semakin mengintimkan hubungan mereka.
SEKARANG semua orang tahu bahwa pasar adalah institusi yang lebih kuat jaringannya daripada sastra. Kekuatan pasar itu justru ketika ia berwujud alus dan cantik, seperti bersatupadunya keindahan alam dengan keindahan polesan tangan-tangan seni. Jadi, kembali ke alam bukan hanya milik sastra, tapi juga milik pasar dan modal.
JAUH sebelum Tagore, karya-karya sastra Jawa Kuno juga dengan cara berbeda berbicara tentang kembali ke alam. Sangat banyak contoh karya sastra Jawa Kuno yang bisa dijadikan bukti bahwa kembali ke alam sudah menjadi gagasan nenek moyang. Salah satu kata kuncinya adalah wisata.
KATA wisata ini adalah kata Jawa Kuno yang kurang lebih berarti pikiran-perasaan-hati yang terbebas karena sadar bahwa dirinya adalah alam itu sendiri. Dalam perkembangannya kemudian, kata wisata menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia. Dari kata serapan itu munculah kata jadian, seperti pariwisata, wisatawan, wisman, pramuwisata, wisata-budaya, departemen pariwisata, kantor pariwisata, kampung wisata, dan seterusnya. Dari sejarah kata ini saja, kita sudah cukup mengetahui bahwa wisata telah menjadi sebuah kerajaan bisnis yang akhirnya diurus oleh negara.
PERUBAHAN tidak hanya terjadi pada makna kata. Karena bukankah perubahan makna kata adalah muara dari perubahan-perubahan yang mendahuluinya. Misalnya, perubahan cara pandang.
Dalam sastra Jawa Kuno sering duilukiskan perjalanan Tokoh Cerita yang berwisata ke jurang, pangkung, lereng, tebing, loloan, dan tempat-tempat yang bukan saja indah tapi juga seram dan menakutkan bagi orang kebanyakan. Karena tempat itu konon sangat bertenaga. Di sana bermuara sejumlah energi yang selain tidak selalu sama satu sama lainnya, juga sering bertolak-belakang satu sama lainnya. Seperti air terjun yang tinggi di tengah jurang lebar, selain memiliki kekuatan menekan, juga menyedot, dan menolak.
PARA TOKOH cerita itu senang berwisata ke tempat-tempat seperti itu, namun mereka tidak tinggal di sana. Menurut pandangan pengarangnya, yaitu para Kawi dan para Wiku, tempat-tempat seperti itu adalah tempat yang bagus dikunjungi untuk tujuan tertentu, tapi bukan tempat yang pantas dihuni mahluk seperti manusa. Para Kawi dan Wiku itu memang membedakan jenis-jenis mahluk penghuni Bumi, seperti apa yang mereka sebut detya, raksasa, apsara, gandharwa, pisaca, dewa, manusa, dan sebagainya.
CARA PANDANG ala Kawi Wiku itu masih ada dan masih diberlakukan oleh para penerus mereka di Bali. Hanya saja cara pandang itu tidak lagi menjadi satu-satunya yang berpengaruh. Telah ada cara pandang dengan referensi berbeda di tengah masyarakat Bali. Contohnya, orang-orang yang senang melihat keindahan tebing yang curam dan seram, akhirnya ramai-ramai mendirikan tempat tinggal di keindahan itu. Mereka yang senang melihat air terjun, termasuk senang mendengar gemuruh suaranya, kemudian membuat rumah sebisa mungkin sedekat mungkin dengan keindahan itu.
Demikianlah, cara pandang mengalami perubahan dengan perlahan tapi pasti. Demikian pula perubahan perilaku yang pada mulanya tentu mengagetkan, tapi kemudian ditiru oleh banyak orang. Dan akhirnya, terjadilah perubahan makna kata, termasuk makna kata wisata itu. Sekarang kata wisata adalah sebuah kata yang menghidupkan. Kawasan yang mulanya mati, bisa disihir menjadi hidup oleh kekuatan kata wisata. Ekonomi yang nyaris pingsan, bisa siuman kembali setelah dibisiki mantra wisata.
Maju? Ya. Ini maju. Karena menurut Kamus, maju itu berarti berpindah posisi ke depan. Kata wisata sekarang menjadi sebuah kata yang menempati urutan terdepan.
PERUBAHAN POSISI posisi ke depan alias maju, apa salahnya? Tidak ada yang salah dengan perubahan posisi itu. Akan salah bila ada pengingkaran dari perubahan posisi itu. Pengingkaran adalah salah satu bentuk penerimaan dengan cara terbalik. Seperti bayangan diri di cermin, bayangan itu memberitahu bagaimana penampakan kita dengan cara terbalik.
Senin, 30 Januari 2010 | BP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar