Judul : Tangan untuk Utik
Penulis : Bamby Cahyadi
Tebal : 133 halaman
Edisi : cetakan I, vii + 133 halaman, 140 mm x 210 mm
Oktober 2009
Penerbit : Koekoesan
Peresensi : Lina Kelana
http://lina-kelana.blogspot.com/
Tak ada yang bisa saya ucapkan untuk mewakili karya dalam buku ini. Kumpulan cerpen karya sahabat Bamby Cahyadi kalau boleh saya mengatakan adalah karya yang cerdas, apik. Terlepas dari sang penulis adalah sahabat baik saya atau tidak, saya mengacungi jempol atas cerpen cerpen yang dijilid dalam satu buku berjudul Tangan Untuk Upik ini.
Pertama kali buku ini saya dapat, cerpen yang saya lahap adalah Tangan Untuk Utik. Sesuai dengan judul buku saya penasaran dengan bagaimana ceritanya. Jika Bang Hudan Hidayat atau sahabat Khrisna Pabichara dalam epilognya memandang dan menganalisa buku ini dengan ilmu ilmu mereka. Tentu saya tak bisa menjangkaunya dengan segala keterbatasan saya. Saya menikmatinya hanya sebagai pembaca awam.
Sebua ketulusan dituangkan dalamTangan Untuk Utik. Keinginan memberi sesuatu yang berharga pada diri kita kepada oranglain. Seorang bocah yang hendak memberikan tangannya untuk sahabatnya yang cacat. Solidaritas antar bocah yang tak tercampuri nafsu, atau tendensi lain demi keuntungan pribadi. Sudahkah kita bersikap seperti bocah bocah itu? sepertinya kita harus menilik kembali bahwa kita selalu menarik ulur setiap bantuan yang hendak kita berikan kepada yang lain.
Sebuah misteri juga disuguhkan begitu apik oleh Bang Bamby. Seorang Karyawan Tua sengaja mengakhiri hidupnya karena masa pensiun telah menjemputnya. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Mungkin ketakrelaan pensiun yang mau tak mau harus diterimanya lantaran usia yang sudah tua menjadikan si Pak Tua mengundurkan diri dari hidupnya ataukah karena khawatir hari harinya dipeluk rasa sepi yang mencekat oleh sebab tak ada kesibukan lagi setelah tak bekerja. Pak Tua putus asa. Ia dan keluarga imajinasinya sangat bergantung pada pekerjaannya. Maka bunuh diri adalah jalan yang ditempuh pak Tua untuk melepaskan diri dari masalah yang membelitnya.
Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku adalah ide sederhana yang dikemas sangat menawan. Keinginan untuk membahagiakan sang ibu. Keinginan sederhana, namun sulit dalam dilaksanakan. Kekeukeuhan sang ibu agar televisi jadul peninggalan ayah tetap dipelihara meski berkali kali rusak dan masuk ke rumah servis menguatkan ketakmengertian anak anaknya, dari sinilah muncul konflik yang unik. Kesalahpahaman menjadi menu menarik dalam hubungan ibu_anak. Kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari.
Lunturnya rasa Nasionalisme sebagai Warga Negeri bisa kita temu dalam Bendera itu Tak Lagi Berkibar di Sini. Saya tergelitik takjub melihat Topo yang kebingungan mencari bendera bendera yang biasa bertengger di tiang tiang di depan tiap rumah. “hari ini adalah hari penting, hari kemerdekaan, kenapa tak seorangpun memasang bendera?”. Hal sederhana yang sering kita lakukan bukan? Ironis sekali, sedang kita tahu kita sering meneriakkan dan mengibarkan bendera bendera_dengan banyak warna_ entah bendera apa yang kita junjung dan sanjung sanjungkan demi untuk mengibarkan nama kita, tetapi mengapa untuk sebuah nama besar Negara kita keberatan melakukannya? Apa karena pemerintahan yang kurang keras berkoar meneriakkan kemerdekaaan yang pingsan ini? Atau kurang adilkah pembagian “upeti”pemerintah kepada rakyatnya? Ataukan memang rakyat telah bosan menjadi bangsa dari negeri ini? Ah saya tak tahu.
Tak kalah yang membuat saya terpesona adalah ketika saya jatuh dalam Rancana Bunuh Diri. Cara praktis yang bisa dilakukan untuk mengakhiri hidup. Tetapi yang unik di sini adalah, si calon pelaku sangat memperhitungkan untung ruginya melakukan bunuh diri, tepatnya pada saat proses bunuh diri. Dia tak mau terlalu mahal, lama, merepotkan, juga sakit. Tetapi bagaimana bisa? Yang kena jarum saja sakit, apalagi menggorok urat nadi, atau meloncat dari gedung, atau tercekik racun tikus, sepertinya semua terasa sakit, hehehe. Pernah saya membuat sket cerpen begini, persis(maaf bang Bam, kebetulan kita punya ide yang sama, hehehe). Namun terabaikan karena fokus ke yang lain. Jujur satu cerpen ini membuat saya sangat suka, pergolakan datang silih bergsanti mulai dari awal cerita. Tetapi saya kurang greget dengan kematian sang calon pelaku bunuh diri ini, sebab kematiannya sangat sederhana dan santun. Berbanding terbalik dengan repotnya dia menimbangtakar sisi enak tidaknya proses menjemput mati dengan bunuh diri.
Percakapan dengan Bayi memang sedikit “meng_ada” jika kita lihat sekilas. Atau bahkan kita cermatipun mungkin ini kejadian yang muskil dilakukan semua orang dewasa kepada setiap bayi. Bukan meng_ada pula jika saya katakan kejadian ini benar adanya. Secara nyata maupun simbolis. Saya berani mengatakan ini nyata sebab saya pernah mengalaminya. Waktu itu saya sedang diminta menunggui keponakan yang baru berumur kurang dari satu bulan. Awalnya saya cuek pada bayi yang tengah berbaring, tetapi tidak tidur. Dia menatapku. Aku perhatikan sorot mata itu. Sorot mata seorang bayi yang tak mampu berbicara atau mengatakan apapun. Tetapi kemudian saya terkejut, sang bayi tengah mengungkapkan sesuatu kepada saya. Awalnya batinku menolak dan mengingkari kejadian itu adalah perasaanku saja, tetapi setelah saya berdamai dengan diri sendiri saya menemukan apa yang dia katakan. Dia berbicara tentang mengapa dia ada, tentang apa yang diembannya dan apa yang diinginkan Tuhan kepadanya. Kami berbincang lewat mata dan bahasa hati. Saya yakin diapun tak menyadari dia telah mengatakan itu kepada saya. Tetapi saya yakin, kesucian hatinya telah membawa kekuatan sang Maha untuk menyampaikan sesuatu agar kita “membaca”. Waktu yang kami habiskan memang tidak banyak. Tak sampai lima menit. Tetapi kami telah berbincang banyak hal. Believe or not, terserah anda. Percakapan dengan bayi mengajak kita untuk “bertindak” seperti dia, berucap dan bersikap tanpa kebohongan, kepura-puraan, dan sebagainya. Semakin dewasa seseorang, kemungkinan melakukan (kesalahan)itu semakin besar. Sehingga tak heran jika bayi yang ditemui Kinar tak menginginkan tumbuh menjadi dewasa. Karena manusia dewasa itu kejam!
Kisah lain yang terjadi di masyarakat diungkap Bang Bamby dalam Koran Minggu . fenomena yang banyak kita temu dalam masyarakat kelas rata rata menengah bawah khususnya. Dimana himpitan ekonomi menjadi masalah yang riskan dalam kehidupan rumahtangga, pun kepribadian. Emosi yang labil menunjang pertengkaran dan pergolakan batin. Keinginan suami untuk membahagiakan istri dan keluarga terpaksa harus dibayar mahal oleh laki laki yang telah diPHK dari tempatnya bekerja. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang penulis surat kabar. Beberapa adegan yang menyuguhkan konflik diramu dengan indah oleh bang Bamby, sebagai pembaca awam, saya sempat bergulat di cerita ini.
Tema sederhana (yang sering kita abaikan) diusung Bang bamby, dengan gaya tutur yang komunikatif dan cerdas memberikan banyak ruang untuk lebih luas memahami setiap pesan yang disampaikan dalam kumpulan cerpen ini. Tameng Untuk Ayah, Mimpi dalam setoples kaca dansebagainya syarat dengan hikmah. Terimakasih Bang Bamby telah memberikan pencerahan bagi masyarakat lewat tangan lentiknya yang terangkum dalam buku bermanfaat ini.
Mari bermimpi bersama. Membangunnya di atas geladak ketulusan, agar terberi untuk kebaikan sesama. Mungkin itu simpulan pesan yang disuguhkan Bang Bamby dalam bukunya tersebut.
Penulis : Bamby Cahyadi
Tebal : 133 halaman
Edisi : cetakan I, vii + 133 halaman, 140 mm x 210 mm
Oktober 2009
Penerbit : Koekoesan
Peresensi : Lina Kelana
http://lina-kelana.blogspot.com/
Tak ada yang bisa saya ucapkan untuk mewakili karya dalam buku ini. Kumpulan cerpen karya sahabat Bamby Cahyadi kalau boleh saya mengatakan adalah karya yang cerdas, apik. Terlepas dari sang penulis adalah sahabat baik saya atau tidak, saya mengacungi jempol atas cerpen cerpen yang dijilid dalam satu buku berjudul Tangan Untuk Upik ini.
Pertama kali buku ini saya dapat, cerpen yang saya lahap adalah Tangan Untuk Utik. Sesuai dengan judul buku saya penasaran dengan bagaimana ceritanya. Jika Bang Hudan Hidayat atau sahabat Khrisna Pabichara dalam epilognya memandang dan menganalisa buku ini dengan ilmu ilmu mereka. Tentu saya tak bisa menjangkaunya dengan segala keterbatasan saya. Saya menikmatinya hanya sebagai pembaca awam.
Sebua ketulusan dituangkan dalamTangan Untuk Utik. Keinginan memberi sesuatu yang berharga pada diri kita kepada oranglain. Seorang bocah yang hendak memberikan tangannya untuk sahabatnya yang cacat. Solidaritas antar bocah yang tak tercampuri nafsu, atau tendensi lain demi keuntungan pribadi. Sudahkah kita bersikap seperti bocah bocah itu? sepertinya kita harus menilik kembali bahwa kita selalu menarik ulur setiap bantuan yang hendak kita berikan kepada yang lain.
Sebuah misteri juga disuguhkan begitu apik oleh Bang Bamby. Seorang Karyawan Tua sengaja mengakhiri hidupnya karena masa pensiun telah menjemputnya. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Mungkin ketakrelaan pensiun yang mau tak mau harus diterimanya lantaran usia yang sudah tua menjadikan si Pak Tua mengundurkan diri dari hidupnya ataukah karena khawatir hari harinya dipeluk rasa sepi yang mencekat oleh sebab tak ada kesibukan lagi setelah tak bekerja. Pak Tua putus asa. Ia dan keluarga imajinasinya sangat bergantung pada pekerjaannya. Maka bunuh diri adalah jalan yang ditempuh pak Tua untuk melepaskan diri dari masalah yang membelitnya.
Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku adalah ide sederhana yang dikemas sangat menawan. Keinginan untuk membahagiakan sang ibu. Keinginan sederhana, namun sulit dalam dilaksanakan. Kekeukeuhan sang ibu agar televisi jadul peninggalan ayah tetap dipelihara meski berkali kali rusak dan masuk ke rumah servis menguatkan ketakmengertian anak anaknya, dari sinilah muncul konflik yang unik. Kesalahpahaman menjadi menu menarik dalam hubungan ibu_anak. Kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan sehari hari.
Lunturnya rasa Nasionalisme sebagai Warga Negeri bisa kita temu dalam Bendera itu Tak Lagi Berkibar di Sini. Saya tergelitik takjub melihat Topo yang kebingungan mencari bendera bendera yang biasa bertengger di tiang tiang di depan tiap rumah. “hari ini adalah hari penting, hari kemerdekaan, kenapa tak seorangpun memasang bendera?”. Hal sederhana yang sering kita lakukan bukan? Ironis sekali, sedang kita tahu kita sering meneriakkan dan mengibarkan bendera bendera_dengan banyak warna_ entah bendera apa yang kita junjung dan sanjung sanjungkan demi untuk mengibarkan nama kita, tetapi mengapa untuk sebuah nama besar Negara kita keberatan melakukannya? Apa karena pemerintahan yang kurang keras berkoar meneriakkan kemerdekaaan yang pingsan ini? Atau kurang adilkah pembagian “upeti”pemerintah kepada rakyatnya? Ataukan memang rakyat telah bosan menjadi bangsa dari negeri ini? Ah saya tak tahu.
Tak kalah yang membuat saya terpesona adalah ketika saya jatuh dalam Rancana Bunuh Diri. Cara praktis yang bisa dilakukan untuk mengakhiri hidup. Tetapi yang unik di sini adalah, si calon pelaku sangat memperhitungkan untung ruginya melakukan bunuh diri, tepatnya pada saat proses bunuh diri. Dia tak mau terlalu mahal, lama, merepotkan, juga sakit. Tetapi bagaimana bisa? Yang kena jarum saja sakit, apalagi menggorok urat nadi, atau meloncat dari gedung, atau tercekik racun tikus, sepertinya semua terasa sakit, hehehe. Pernah saya membuat sket cerpen begini, persis(maaf bang Bam, kebetulan kita punya ide yang sama, hehehe). Namun terabaikan karena fokus ke yang lain. Jujur satu cerpen ini membuat saya sangat suka, pergolakan datang silih bergsanti mulai dari awal cerita. Tetapi saya kurang greget dengan kematian sang calon pelaku bunuh diri ini, sebab kematiannya sangat sederhana dan santun. Berbanding terbalik dengan repotnya dia menimbangtakar sisi enak tidaknya proses menjemput mati dengan bunuh diri.
Percakapan dengan Bayi memang sedikit “meng_ada” jika kita lihat sekilas. Atau bahkan kita cermatipun mungkin ini kejadian yang muskil dilakukan semua orang dewasa kepada setiap bayi. Bukan meng_ada pula jika saya katakan kejadian ini benar adanya. Secara nyata maupun simbolis. Saya berani mengatakan ini nyata sebab saya pernah mengalaminya. Waktu itu saya sedang diminta menunggui keponakan yang baru berumur kurang dari satu bulan. Awalnya saya cuek pada bayi yang tengah berbaring, tetapi tidak tidur. Dia menatapku. Aku perhatikan sorot mata itu. Sorot mata seorang bayi yang tak mampu berbicara atau mengatakan apapun. Tetapi kemudian saya terkejut, sang bayi tengah mengungkapkan sesuatu kepada saya. Awalnya batinku menolak dan mengingkari kejadian itu adalah perasaanku saja, tetapi setelah saya berdamai dengan diri sendiri saya menemukan apa yang dia katakan. Dia berbicara tentang mengapa dia ada, tentang apa yang diembannya dan apa yang diinginkan Tuhan kepadanya. Kami berbincang lewat mata dan bahasa hati. Saya yakin diapun tak menyadari dia telah mengatakan itu kepada saya. Tetapi saya yakin, kesucian hatinya telah membawa kekuatan sang Maha untuk menyampaikan sesuatu agar kita “membaca”. Waktu yang kami habiskan memang tidak banyak. Tak sampai lima menit. Tetapi kami telah berbincang banyak hal. Believe or not, terserah anda. Percakapan dengan bayi mengajak kita untuk “bertindak” seperti dia, berucap dan bersikap tanpa kebohongan, kepura-puraan, dan sebagainya. Semakin dewasa seseorang, kemungkinan melakukan (kesalahan)itu semakin besar. Sehingga tak heran jika bayi yang ditemui Kinar tak menginginkan tumbuh menjadi dewasa. Karena manusia dewasa itu kejam!
Kisah lain yang terjadi di masyarakat diungkap Bang Bamby dalam Koran Minggu . fenomena yang banyak kita temu dalam masyarakat kelas rata rata menengah bawah khususnya. Dimana himpitan ekonomi menjadi masalah yang riskan dalam kehidupan rumahtangga, pun kepribadian. Emosi yang labil menunjang pertengkaran dan pergolakan batin. Keinginan suami untuk membahagiakan istri dan keluarga terpaksa harus dibayar mahal oleh laki laki yang telah diPHK dari tempatnya bekerja. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi seorang penulis surat kabar. Beberapa adegan yang menyuguhkan konflik diramu dengan indah oleh bang Bamby, sebagai pembaca awam, saya sempat bergulat di cerita ini.
Tema sederhana (yang sering kita abaikan) diusung Bang bamby, dengan gaya tutur yang komunikatif dan cerdas memberikan banyak ruang untuk lebih luas memahami setiap pesan yang disampaikan dalam kumpulan cerpen ini. Tameng Untuk Ayah, Mimpi dalam setoples kaca dansebagainya syarat dengan hikmah. Terimakasih Bang Bamby telah memberikan pencerahan bagi masyarakat lewat tangan lentiknya yang terangkum dalam buku bermanfaat ini.
Mari bermimpi bersama. Membangunnya di atas geladak ketulusan, agar terberi untuk kebaikan sesama. Mungkin itu simpulan pesan yang disuguhkan Bang Bamby dalam bukunya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar