S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/
Membuat segala sesuatu menjadi sederhana dan mudah diterima bukanlah pekerjaan yang sederhana. Butuh kejelian dan kematangan menguasai hal-hal yang tidak sederhana. Di zaman serbasulit kesederhanaan menjadi “barang mewah” yang tak mudah mendapatkannya. Sehingga tidak lagi dikatakan langkah sederhana.
Mengungkai kesederhanaan dengan upaya yang tidak sederhana, mungkin itulah yang sedang dilakukan Komunitas Berkat Yakin (Kober). Komunitas yang diasuh Ari Pahala Hutabarat ini, beberapa bulan terakhir (mulai Juni 2010), concern menggarap mikroteater, sebagai terobosan untuk menggairahkan kembali dunia perteateran di Lampung.
Pertunjukan teater yang semula identik dengan banyaknya pemain, lamanya durasi pementasan, dan rumitnya jalan cerita, “disederhanakan” menjadi pementasan yang lebih singkat; durasi antara 5—20 menit, dengan sedikitnya aktor, bahkan dapat dilakukan dengan seorang saja (monolog), tanpa mengurangi pesan cerita, bobot teatrikal, dan estetika pementasan.
Sekali lagi, ini bukan pekerjaan sederhana. Butuh kekuatan dari masing-masing komponen, terutama aktor, untuk membetot perhatian penonton menyimak pesan yang disampaikannya. Seorang aktor yang memainkan lakon dalam mikroteater ditutut untuk seefisien mungkin melakukan gerak, ekspresi, juga improvisasi. Segala hal yang ditampilkan harus mewakili pesan, tidak ada hal-hal “mubazir” dalam mikroteater. Kesalahan kecil saja yang diperbuat aktor dalam mikroteater, akan mencederai pertunjukan. Tapi jika sang aktor bisa mermain all out, akan menjadi prestasi dengan bobot berlipat, karena mampu berbuat maksimal dengan personel yang minim. Butuh kesungguhan dan kemampuan akting mumpuni bagi aktor mikroteater.
Begitu pun aksesori panggung. Setiap yang tertangkap mata wajib benda-benda yang mewakili tujuan mementasan. Tak ada “lemak” pada “tubuh” mikroteater. Inilah kerja menuju sederhana yang tidak sederhana itu. Butuh keseriusan dan konsistensi bagi setiap kru mikroteater.
Ini telah ditunjukan oleh aktor-aktor Kober dalam empat kali pementasan yang dilakukan pada November—Desember 2010, di tempat berbeda. Diawali dari pementasan di “rumah sendiri”, di UKMBS Unila, Kober mementaskan lakon Tua, apresiasi dari cerpen Putu Wijaya, diperankan Eka Yulianti. Lalu Kehendak Menjadi Hening, yang mengapresiasi puisi Aripahala Hutabaratm, diaktori Arya Wunanda; dan Hati yang Meracau, karya Edgar Allan Poem, dengan aktor Yulizar Fadli.
Pada pementasan kedua, di Gedung FKIP Unila, dan ketiga, di Umitra, dipentaskan lakon Tua, dengan pemeran yang sama dengan pementasan pertama, dan Bara di Hamparan Salju, karya Osman Saadi, lakon hasil improvisasi Iswadi Pratama, dipentaskan oleh Kiki Rahmatika.
Sedangkan pada pergelaran di Metro, dipentaskan Tua, Bara di di Hamparan Salju, dan Hati yang Meracau. Untuk pementasan keempat, di UML, pada Kamis (24-11), ditampilkan Kehendak Menjadi Hening, Bara di Hamparan Salju, dan Merdeka, karya Putu Wijaya, yang dimainkan Ahmad Thohamudin. Pementasan akan terus berlangsung di 13 kota/kabupaten hingga Oktober 2011, dengan 50 kali pementasan.
Dari empat kali pementasan ini bisa menjadi ukuran kebeberhasilan awal aktor Kober atas “uji coba” mikroteater di Lampung.
Sebagai contoh Bara di Tengah Salju, dilakonkan Kiki Rahmatika, yang memerankan tokoh Aisyah. Kekuatan akting Kiki, diimbangi aksesori panggung yang mendukung (tetap dengan konsep efisien-efektif), pementasan ini mampu menyedot emosi penonton. Menyimak pertunjukan ini seperti benar-benar menyaksikan Aisyah, gadis Aljazair di masa perang, yang sendirian di tengah hutan pada musim salju. Gadis malang itu menjadi gundah saat suara gemuruh pesawat pengintai tentara Prancis mendekat. Dia sekuat tenaga menghindarinya, terseok-seok di antara tebalnya salju dengan hawa dingin menusuk tulang. Deritanya belum tunai, karena pamannya, Sya’i, akhirnya syahid diberondong tentara Prancis. Gadis itu pun menyelamatkan diri di tempat persembunyiuan, dalam dingin salju dan cekam ketakutan setiap mendengar gemuruh pesawat tentara Prancis yang mengincarnya.
Sepenjang pertunjungan Bara di Hamparan Salju, penonton akan terbawa ke negeri yang jauh, dengan kekejaman tentara Prancis yang diekspresikan dengan tandas oleh Kiki. Meskipun dengan konsep efisian, tatanan panggung mampu menampilkan ganasnya musim salju, suara deru pesawat diimbangi ekspresi ketakuatan Aisyah membawa kita menyelam pada kejahatan perang, khususnya bagi perempuan.
Monolog Aisyah tentang kekejaman tentara Prancis, kehilangannya keluarga, derita trauma perang, lenyanya sang kekasih, membawa kita sampai pada keinsyafan bahwa di negeri lain, di tanah yang jauh itu, kemerdekaan sangat mahal. Seluruh cerita membawa penonton pada cekam kengerian perang yang dipuncaki dengan rebahnya gadis Aisyah hingga terkubur salju, membiarkan air duka kita meleleh. Kiki mampu memerankan Aisyah dengan apik, yang membuat kita ingin menyaksikannya lagi.
Lain Kiki, lain pula Eka Yulianti, yang berakting pada lakon Tua, karya Putu Wijaya. Diawali dengan pemandangan sosok nenek sedang duduk di kursi, yang dengan susah payah, karena matanya yang telah rabun, menjahit tangan pakaian. Kesenyapan yang terbangun memelantingkan kita pada sunyi hari tua yang mencemaskan. Dalam hening itu muncul tamu yang tidak dikenalnya, mengahadirkan ketidaknyamanan. Tamu itu mendekat, membuat sang nenek bereaksi menghindar. Tapi dia terus mendekat dan merapat, sekuat tenaga wanita tua itu menghindarinya. Dilemparkannya benda-benda yang bisa diraihnya hingga mengenai tamu asingnya. Tapi tamu itu terus mendekat dan merapat hingga merasuk ke dalam tubuh si nenek. Eka Yulianti memerankan nenek dengan piawai, dan mampu mendalami kecemasan dan ketakutan si nenek pada tamu, tamu ketuaan, yang menderanya. Penonton terbawa pada suguhan kengerian sang nenek pada teror tua yang menderanya. Pementasan ini menjadi warna lain pada perjalanan mikroteater yang tak kalah menarik.
Begitu juga lakon lain, Kehendak Menjadi Hening dan Merdeka, yang dipentaskan dengan durasi singkat, tapi mampu mendedah ruang kosong diri penonton.
Pementasan awal dari rencana panjang ini menjadi gambaran “keberhasilan” terobosan yang mampu dilakukan mikroteater. Dengan jumlah penonton yang selalu memenuhi ruangan, bisa menjadi ukuran bahwa “uji coba” dan kerja-kerja cerdas ini diterima. Dengan banyaknya jam terbang yang akan mereka jalani, pasti akan menghibahkan banyak pelajaran baru juga kematangan bertakting.
Terlalu sayang bagi penyuka teater melewatkan pentas-pentas selanjutnya yang akan mendedah keheningan dunia perteateran Lampung. Langkah berani ini dapat menjadi hadiah indah di ujung tahun bagi dunia perteateran kita. Selamat berkreasi, selamat menyaksikan.
*) Cerpenis, tinggal di Lampung
http://www.lampungpost.com/
Membuat segala sesuatu menjadi sederhana dan mudah diterima bukanlah pekerjaan yang sederhana. Butuh kejelian dan kematangan menguasai hal-hal yang tidak sederhana. Di zaman serbasulit kesederhanaan menjadi “barang mewah” yang tak mudah mendapatkannya. Sehingga tidak lagi dikatakan langkah sederhana.
Mengungkai kesederhanaan dengan upaya yang tidak sederhana, mungkin itulah yang sedang dilakukan Komunitas Berkat Yakin (Kober). Komunitas yang diasuh Ari Pahala Hutabarat ini, beberapa bulan terakhir (mulai Juni 2010), concern menggarap mikroteater, sebagai terobosan untuk menggairahkan kembali dunia perteateran di Lampung.
Pertunjukan teater yang semula identik dengan banyaknya pemain, lamanya durasi pementasan, dan rumitnya jalan cerita, “disederhanakan” menjadi pementasan yang lebih singkat; durasi antara 5—20 menit, dengan sedikitnya aktor, bahkan dapat dilakukan dengan seorang saja (monolog), tanpa mengurangi pesan cerita, bobot teatrikal, dan estetika pementasan.
Sekali lagi, ini bukan pekerjaan sederhana. Butuh kekuatan dari masing-masing komponen, terutama aktor, untuk membetot perhatian penonton menyimak pesan yang disampaikannya. Seorang aktor yang memainkan lakon dalam mikroteater ditutut untuk seefisien mungkin melakukan gerak, ekspresi, juga improvisasi. Segala hal yang ditampilkan harus mewakili pesan, tidak ada hal-hal “mubazir” dalam mikroteater. Kesalahan kecil saja yang diperbuat aktor dalam mikroteater, akan mencederai pertunjukan. Tapi jika sang aktor bisa mermain all out, akan menjadi prestasi dengan bobot berlipat, karena mampu berbuat maksimal dengan personel yang minim. Butuh kesungguhan dan kemampuan akting mumpuni bagi aktor mikroteater.
Begitu pun aksesori panggung. Setiap yang tertangkap mata wajib benda-benda yang mewakili tujuan mementasan. Tak ada “lemak” pada “tubuh” mikroteater. Inilah kerja menuju sederhana yang tidak sederhana itu. Butuh keseriusan dan konsistensi bagi setiap kru mikroteater.
Ini telah ditunjukan oleh aktor-aktor Kober dalam empat kali pementasan yang dilakukan pada November—Desember 2010, di tempat berbeda. Diawali dari pementasan di “rumah sendiri”, di UKMBS Unila, Kober mementaskan lakon Tua, apresiasi dari cerpen Putu Wijaya, diperankan Eka Yulianti. Lalu Kehendak Menjadi Hening, yang mengapresiasi puisi Aripahala Hutabaratm, diaktori Arya Wunanda; dan Hati yang Meracau, karya Edgar Allan Poem, dengan aktor Yulizar Fadli.
Pada pementasan kedua, di Gedung FKIP Unila, dan ketiga, di Umitra, dipentaskan lakon Tua, dengan pemeran yang sama dengan pementasan pertama, dan Bara di Hamparan Salju, karya Osman Saadi, lakon hasil improvisasi Iswadi Pratama, dipentaskan oleh Kiki Rahmatika.
Sedangkan pada pergelaran di Metro, dipentaskan Tua, Bara di di Hamparan Salju, dan Hati yang Meracau. Untuk pementasan keempat, di UML, pada Kamis (24-11), ditampilkan Kehendak Menjadi Hening, Bara di Hamparan Salju, dan Merdeka, karya Putu Wijaya, yang dimainkan Ahmad Thohamudin. Pementasan akan terus berlangsung di 13 kota/kabupaten hingga Oktober 2011, dengan 50 kali pementasan.
Dari empat kali pementasan ini bisa menjadi ukuran kebeberhasilan awal aktor Kober atas “uji coba” mikroteater di Lampung.
Sebagai contoh Bara di Tengah Salju, dilakonkan Kiki Rahmatika, yang memerankan tokoh Aisyah. Kekuatan akting Kiki, diimbangi aksesori panggung yang mendukung (tetap dengan konsep efisien-efektif), pementasan ini mampu menyedot emosi penonton. Menyimak pertunjukan ini seperti benar-benar menyaksikan Aisyah, gadis Aljazair di masa perang, yang sendirian di tengah hutan pada musim salju. Gadis malang itu menjadi gundah saat suara gemuruh pesawat pengintai tentara Prancis mendekat. Dia sekuat tenaga menghindarinya, terseok-seok di antara tebalnya salju dengan hawa dingin menusuk tulang. Deritanya belum tunai, karena pamannya, Sya’i, akhirnya syahid diberondong tentara Prancis. Gadis itu pun menyelamatkan diri di tempat persembunyiuan, dalam dingin salju dan cekam ketakutan setiap mendengar gemuruh pesawat tentara Prancis yang mengincarnya.
Sepenjang pertunjungan Bara di Hamparan Salju, penonton akan terbawa ke negeri yang jauh, dengan kekejaman tentara Prancis yang diekspresikan dengan tandas oleh Kiki. Meskipun dengan konsep efisian, tatanan panggung mampu menampilkan ganasnya musim salju, suara deru pesawat diimbangi ekspresi ketakuatan Aisyah membawa kita menyelam pada kejahatan perang, khususnya bagi perempuan.
Monolog Aisyah tentang kekejaman tentara Prancis, kehilangannya keluarga, derita trauma perang, lenyanya sang kekasih, membawa kita sampai pada keinsyafan bahwa di negeri lain, di tanah yang jauh itu, kemerdekaan sangat mahal. Seluruh cerita membawa penonton pada cekam kengerian perang yang dipuncaki dengan rebahnya gadis Aisyah hingga terkubur salju, membiarkan air duka kita meleleh. Kiki mampu memerankan Aisyah dengan apik, yang membuat kita ingin menyaksikannya lagi.
Lain Kiki, lain pula Eka Yulianti, yang berakting pada lakon Tua, karya Putu Wijaya. Diawali dengan pemandangan sosok nenek sedang duduk di kursi, yang dengan susah payah, karena matanya yang telah rabun, menjahit tangan pakaian. Kesenyapan yang terbangun memelantingkan kita pada sunyi hari tua yang mencemaskan. Dalam hening itu muncul tamu yang tidak dikenalnya, mengahadirkan ketidaknyamanan. Tamu itu mendekat, membuat sang nenek bereaksi menghindar. Tapi dia terus mendekat dan merapat, sekuat tenaga wanita tua itu menghindarinya. Dilemparkannya benda-benda yang bisa diraihnya hingga mengenai tamu asingnya. Tapi tamu itu terus mendekat dan merapat hingga merasuk ke dalam tubuh si nenek. Eka Yulianti memerankan nenek dengan piawai, dan mampu mendalami kecemasan dan ketakutan si nenek pada tamu, tamu ketuaan, yang menderanya. Penonton terbawa pada suguhan kengerian sang nenek pada teror tua yang menderanya. Pementasan ini menjadi warna lain pada perjalanan mikroteater yang tak kalah menarik.
Begitu juga lakon lain, Kehendak Menjadi Hening dan Merdeka, yang dipentaskan dengan durasi singkat, tapi mampu mendedah ruang kosong diri penonton.
Pementasan awal dari rencana panjang ini menjadi gambaran “keberhasilan” terobosan yang mampu dilakukan mikroteater. Dengan jumlah penonton yang selalu memenuhi ruangan, bisa menjadi ukuran bahwa “uji coba” dan kerja-kerja cerdas ini diterima. Dengan banyaknya jam terbang yang akan mereka jalani, pasti akan menghibahkan banyak pelajaran baru juga kematangan bertakting.
Terlalu sayang bagi penyuka teater melewatkan pentas-pentas selanjutnya yang akan mendedah keheningan dunia perteateran Lampung. Langkah berani ini dapat menjadi hadiah indah di ujung tahun bagi dunia perteateran kita. Selamat berkreasi, selamat menyaksikan.
*) Cerpenis, tinggal di Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar