Nuryana Asmaudi SA
http://www.balipost.co.id/
Jarum Jam Perempuan Terus Berputar…
PATUNG perempuan di perempatan jalan utama kota kecil itu mengacungkan obor di tangan kanan, tangan kirinya menuntun anak perempuan. Wajahnya menyemburatkan semangat perjuangan, juga sikap kasih ibu/ guru pada anak/ muridnya. Patung itu menghadap ke arah timur, menggambarkan sebuah perjalanan dalam kegelapan, menyongsong matahari.
Itulah patung Raden Ajeng Kartini (RA Kartini), tokoh emansipasi wanita Indonesia, yang didirikan tahun 1977, di jantung Kota Jepara, Jawa Tengah. Pada masa awal berdirinya dulu, patung itu menjadi pusat perhatian khalayak yang lewat, terutama para pelajar di kota tersebut — karena berada di lingkungan sekolahan; tepatnya di perempatan (ujung Jl. Kartini - Jl. K.S. Tuban - Jl. Pemuda - Jl. HOS. Cokroaminoto, 300 meter sebelah barat Pendopo Kabupaten Jepara: rumah dinas Bupati tempat dulu Kartini tinggal). Di seputar perempatan tersebut ada SMAN, SMEA Pemda, STM Pemda, SMA Kosgoro, SKKP-SKKA (sekolah kewanitaan yang dirintis Kartini), dan beberapa sekolah lain lagi yang jaraknya tak jauh dari tempat tersebut. Patung itu sengaja ditempatkan di sana agar memberi inspirasi, menggugah semangat warga (terutama para pelajar putri), meneladani Kartini. Sampai sekarang patung itu masih ada, meski kondisinya sudah tidak semulus dulu. Sekolah-sekolah di seputar patung tersebut juga masih ada, meski beberapa di antaranya sudah berubah status dan nama.
Tapi, para pelajar di kota tersebut sekarang masih adakah yang memperhatikan patung itu atau tidak? Yang pasti, dunia pendidikan kaum perempuan di Bumi Kartini tersebut maju pesat. Kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang perguruan tinggi makin merata. Tapi, di sisi lain, ada pergeseran pol gaya hidup masyarakat di sana yang kian pragmatis-materialis; mapan dalam hal perekonomian, tapi seni budayanya kian memudar.
Di kota tersebut kini tak lagi terlihat kehidupan kesenian yang marak seperti dulu. Pada pertengahan tahun 1970-an, sanggar seni rupa masih banyak. Demikian juga industri-seni seperti relief, ukiran unik, hingga patung macan kurung khas Jepara yang dulu banyak dijumpai sudut-sudut kota hingga desa-desa, kini sudah langka. Hampir tak lagi terlihat anak-anak muda belajar membuat relief dan macan kurung, karena lebih tertarik jadi pekerja-pengusaha mebel yang lebih menguntungkan; ukiran Jepara pun kini hanya sekadar untuk melengkapi beberapa perangkat industri mebel kayu yang belakangan memang berkembang pesat, bahkan jor-joran, dan membabi buta hingga menghabiskan hutan jati. Bahkan batik yang pada tahun 1980-an pernah hidup di kota tersebut (karena ada sekolah jurusan batik), kini sudah memudar lagi — menurut catatan sejarah pertumbuhan batik, konon Kartini dulu juga merintis seni Balik di Jepara. Kegiatan teater dan sastra juga cukup marak pada tahun 1980-an hingga tahun 1990.
Salah seorang penyair dan penggiat teater, mantan pelajar dari Jepara yang telah bermukim di kota lain, pada awal tahun 1990-an beberapa kali menghadiri kegiatan apresiasi sastra yang digalang oleh kawan-kawannya di kota kelahirannya itu. Pesertanya dari kalangan pelajar cukup banyak. Para pelajar SLTA, terutama yang putri, begitu semangat mengikuti kegiatan sastra, meski hanya sedikit yang menulis dan karyanya mampu menembus media massa lantaran susahnya menjangkau ruang sastra koran yang terbit di Semarang, ibu kota propinsi Jawa Tengah. Maka, beberapa tahun kemudian (pertengahan tahun 1990-an), ketika mantan pelajar Jepara tersebut merantau ke Bali, ia terhenyak melihat kehidupan sastra pelajar di Pulau Dewata, begitu marak dan ”mencengangkan”, berbeda jauh dengan kegiatan sastra di kota kelahirannya dan kota lain di Jawa Tengah yang pernah dia tinggali.
Bali tidak hanya harum oleh peran para sastrawannya (penyair dan pengarang sastra lainnya) di tingkat nasional, tetapi juga mengantarkan para pelajarnya mewarnai dunia sastra nasional. Para sastrawan senior, guru pembina-penggiat sastra, dan media massa di Bali memberi dukungan-bimbingan yang memadai buat para pelajar yang menekuni sastra. Banyak sanggar sastra muncul dan getol mengadakan kegiatan apresiasi di berbagai kota. Menariknya lagi, hal itu didukung dan diberi ajang sepenuhnya oleh pengasuh ruang Apresiasi sastra Bali Post Minggu (BPM) yang tidak hanya terjun langsung ke kantong-kantong apresiasi, tetapi juga memberi ajang yang luas untuk menampung karya mereka; bahkan memberi ”jatah” secara merata kepada para penulis (pelajar) di setiap kota untuk ditampung karyanya di ruang sastra BPM.
Berbeda dengan pelajar di daerah lain di luar Bali, semisal kota Kartini tadi, yang tak pernah mendapat kesempatan seperti itu: jumlah peminat sastra dan semangat bersastra pelajar di daerah tersebut pada awalnya memang marak dan nampak menjanjikan, tapi tak bisa berkembang karena kurang mendapat dukungan-gaulan-pembinaan kreativitas yang memadai. Jangankan didatangi pengasuh ruang sastra lalu diberi ”jatah” di ruang koran setempat, menghidupkan pergaulan-pembinaan sastra yang intens saja susah. Karenanya, benar-benar berkah dan keberuntungan luar biasa para pelajar di Bali yang ketemu pergaulan, memperoleh pembinaan, mendapat ruang, hingga mereka akhirnya bisa mengembangkan sayap kreativitas mampu menembus media massa di dalam dan luar Bali, membuat Bali dikenal sebagai gudangnya penyair pelajar.
Tapi, yang lebih menarik, dunia sastra pelajar di Bali selama ini didominasi pelajar perempuan. Aktivitas-aktivitas sanggar sastra pelajar di berbagai kota di Bali, juga para penyair pelajar yang muncul, kebanyakan adalah perempuan. Kegiatan apresiasi sastra pelajar belakangan ini memang agak mengendor, tapi para penulis/ penyair pelajar perempuan Bali terus bermunculan, mewarnai dunia sastra. Jarum jam kreativitas sastra perempuan Bali terus berputar, berdetak-detak di porosnya, menguasai lingkaran waktu.
Mungkin karena pengaruh budaya dan jiwa seni yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari, termotivasi para perempuan penulis pendahuluannya, atau boleh jadi karena obor Kartini telah menerangi jiwanya. Para pelajar perempuan Bali yang tak pernah melihat patung Kartini di dekat sekolahnya, justru mampu menyalakan obor Kartini dalam semangat dan jiwa kreativitasnya. Atau, jangan-jangan, anak perempuan (murid) yang dituntun Kartini telah berjalan ke timur hingga sampai Bali, menjadi pelajar perempuan yang terus menyalakan-mengacungkan obor di remang-kegelapan, mengobarkan semangat jiwa kreativitas-intelektual-sastra, menerangi ruang dan waktu, menyongsong matahari, menguasai hari.
*) InTenS-Beh, Denpasar Utara
http://www.balipost.co.id/
Jarum Jam Perempuan Terus Berputar…
PATUNG perempuan di perempatan jalan utama kota kecil itu mengacungkan obor di tangan kanan, tangan kirinya menuntun anak perempuan. Wajahnya menyemburatkan semangat perjuangan, juga sikap kasih ibu/ guru pada anak/ muridnya. Patung itu menghadap ke arah timur, menggambarkan sebuah perjalanan dalam kegelapan, menyongsong matahari.
Itulah patung Raden Ajeng Kartini (RA Kartini), tokoh emansipasi wanita Indonesia, yang didirikan tahun 1977, di jantung Kota Jepara, Jawa Tengah. Pada masa awal berdirinya dulu, patung itu menjadi pusat perhatian khalayak yang lewat, terutama para pelajar di kota tersebut — karena berada di lingkungan sekolahan; tepatnya di perempatan (ujung Jl. Kartini - Jl. K.S. Tuban - Jl. Pemuda - Jl. HOS. Cokroaminoto, 300 meter sebelah barat Pendopo Kabupaten Jepara: rumah dinas Bupati tempat dulu Kartini tinggal). Di seputar perempatan tersebut ada SMAN, SMEA Pemda, STM Pemda, SMA Kosgoro, SKKP-SKKA (sekolah kewanitaan yang dirintis Kartini), dan beberapa sekolah lain lagi yang jaraknya tak jauh dari tempat tersebut. Patung itu sengaja ditempatkan di sana agar memberi inspirasi, menggugah semangat warga (terutama para pelajar putri), meneladani Kartini. Sampai sekarang patung itu masih ada, meski kondisinya sudah tidak semulus dulu. Sekolah-sekolah di seputar patung tersebut juga masih ada, meski beberapa di antaranya sudah berubah status dan nama.
Tapi, para pelajar di kota tersebut sekarang masih adakah yang memperhatikan patung itu atau tidak? Yang pasti, dunia pendidikan kaum perempuan di Bumi Kartini tersebut maju pesat. Kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang perguruan tinggi makin merata. Tapi, di sisi lain, ada pergeseran pol gaya hidup masyarakat di sana yang kian pragmatis-materialis; mapan dalam hal perekonomian, tapi seni budayanya kian memudar.
Di kota tersebut kini tak lagi terlihat kehidupan kesenian yang marak seperti dulu. Pada pertengahan tahun 1970-an, sanggar seni rupa masih banyak. Demikian juga industri-seni seperti relief, ukiran unik, hingga patung macan kurung khas Jepara yang dulu banyak dijumpai sudut-sudut kota hingga desa-desa, kini sudah langka. Hampir tak lagi terlihat anak-anak muda belajar membuat relief dan macan kurung, karena lebih tertarik jadi pekerja-pengusaha mebel yang lebih menguntungkan; ukiran Jepara pun kini hanya sekadar untuk melengkapi beberapa perangkat industri mebel kayu yang belakangan memang berkembang pesat, bahkan jor-joran, dan membabi buta hingga menghabiskan hutan jati. Bahkan batik yang pada tahun 1980-an pernah hidup di kota tersebut (karena ada sekolah jurusan batik), kini sudah memudar lagi — menurut catatan sejarah pertumbuhan batik, konon Kartini dulu juga merintis seni Balik di Jepara. Kegiatan teater dan sastra juga cukup marak pada tahun 1980-an hingga tahun 1990.
Salah seorang penyair dan penggiat teater, mantan pelajar dari Jepara yang telah bermukim di kota lain, pada awal tahun 1990-an beberapa kali menghadiri kegiatan apresiasi sastra yang digalang oleh kawan-kawannya di kota kelahirannya itu. Pesertanya dari kalangan pelajar cukup banyak. Para pelajar SLTA, terutama yang putri, begitu semangat mengikuti kegiatan sastra, meski hanya sedikit yang menulis dan karyanya mampu menembus media massa lantaran susahnya menjangkau ruang sastra koran yang terbit di Semarang, ibu kota propinsi Jawa Tengah. Maka, beberapa tahun kemudian (pertengahan tahun 1990-an), ketika mantan pelajar Jepara tersebut merantau ke Bali, ia terhenyak melihat kehidupan sastra pelajar di Pulau Dewata, begitu marak dan ”mencengangkan”, berbeda jauh dengan kegiatan sastra di kota kelahirannya dan kota lain di Jawa Tengah yang pernah dia tinggali.
Bali tidak hanya harum oleh peran para sastrawannya (penyair dan pengarang sastra lainnya) di tingkat nasional, tetapi juga mengantarkan para pelajarnya mewarnai dunia sastra nasional. Para sastrawan senior, guru pembina-penggiat sastra, dan media massa di Bali memberi dukungan-bimbingan yang memadai buat para pelajar yang menekuni sastra. Banyak sanggar sastra muncul dan getol mengadakan kegiatan apresiasi di berbagai kota. Menariknya lagi, hal itu didukung dan diberi ajang sepenuhnya oleh pengasuh ruang Apresiasi sastra Bali Post Minggu (BPM) yang tidak hanya terjun langsung ke kantong-kantong apresiasi, tetapi juga memberi ajang yang luas untuk menampung karya mereka; bahkan memberi ”jatah” secara merata kepada para penulis (pelajar) di setiap kota untuk ditampung karyanya di ruang sastra BPM.
Berbeda dengan pelajar di daerah lain di luar Bali, semisal kota Kartini tadi, yang tak pernah mendapat kesempatan seperti itu: jumlah peminat sastra dan semangat bersastra pelajar di daerah tersebut pada awalnya memang marak dan nampak menjanjikan, tapi tak bisa berkembang karena kurang mendapat dukungan-gaulan-pembinaan kreativitas yang memadai. Jangankan didatangi pengasuh ruang sastra lalu diberi ”jatah” di ruang koran setempat, menghidupkan pergaulan-pembinaan sastra yang intens saja susah. Karenanya, benar-benar berkah dan keberuntungan luar biasa para pelajar di Bali yang ketemu pergaulan, memperoleh pembinaan, mendapat ruang, hingga mereka akhirnya bisa mengembangkan sayap kreativitas mampu menembus media massa di dalam dan luar Bali, membuat Bali dikenal sebagai gudangnya penyair pelajar.
Tapi, yang lebih menarik, dunia sastra pelajar di Bali selama ini didominasi pelajar perempuan. Aktivitas-aktivitas sanggar sastra pelajar di berbagai kota di Bali, juga para penyair pelajar yang muncul, kebanyakan adalah perempuan. Kegiatan apresiasi sastra pelajar belakangan ini memang agak mengendor, tapi para penulis/ penyair pelajar perempuan Bali terus bermunculan, mewarnai dunia sastra. Jarum jam kreativitas sastra perempuan Bali terus berputar, berdetak-detak di porosnya, menguasai lingkaran waktu.
Mungkin karena pengaruh budaya dan jiwa seni yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari, termotivasi para perempuan penulis pendahuluannya, atau boleh jadi karena obor Kartini telah menerangi jiwanya. Para pelajar perempuan Bali yang tak pernah melihat patung Kartini di dekat sekolahnya, justru mampu menyalakan obor Kartini dalam semangat dan jiwa kreativitasnya. Atau, jangan-jangan, anak perempuan (murid) yang dituntun Kartini telah berjalan ke timur hingga sampai Bali, menjadi pelajar perempuan yang terus menyalakan-mengacungkan obor di remang-kegelapan, mengobarkan semangat jiwa kreativitas-intelektual-sastra, menerangi ruang dan waktu, menyongsong matahari, menguasai hari.
*) InTenS-Beh, Denpasar Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar