Indra Tjahyadi*
http://www.suarakarya-online.com/
Entah mengapa di dalam lapangan perpuisian Indonesia keberadaan penyair Jawa Timur acapkali dilupakan. Sebagai contoh, sebut saja nama Aming Aminoedhin. Padahal penyair Jawa Timur yang bernama asli Mohammad Amir Toha, yang dilahirkan di kota Ngawi, 22 Desember 1957, ini pada era-era tahun 80-an sampai dengan awal tahun 90-an merupakan seorang penyair yang keberadaannya dalam lapangan perpuisian Indonesia cukup menarik perhatian.
Tak kurang media-media massa berskala nasional yang memuat puisi-puisinya. Juga majalah-majalah sastra dan budaya yang berwibawa di Indonesia kala itu memuat puisi-puisi yang diciptakannya. Pendeknya mulai Horison, Basis, Zaman sampai dengan Gadis adalah media-media di Indonesia yang berskala nasional yang pernah memuat karya-karya puisinya tersebut. Tapi, sekali lagi, entah mengapa, dalam perkembangannya kemudian, Aming Aminoedhin begitu saja seperti hilang dan terlupakan keberadaannya di dalam lapangan perpuisian Indonesia.
Seperti yang telah diketahui bersama, pada era-era 80-an, pada umumnya, lapangan perpuisian Indonesia disesaki oleh 2 (dua) macam gaya. Pertama, gaya-gaya puisi gelap, dan yang kedua, adalah gaya-gaya puisi yang cenderung memilih gaya pengungkapan yang sufistik. Nama-nama semacam Afrizal Malna, Kriapur, Nirwan Dewanto adalah nama-nama penyair yang kala itu yang oleh beberapa kritikus dan esais sastra Indoensia kala itu ditempatkan dalam ranah puisi dengan gaya ucap yang gelap, sedangkan nama semacam Acep Zamzam Noor adalah nama penyair yang lebih bisa ditempatkan pada wilayah puisi dengan gaya sufistik. Lantas dimanakah posisi seorang Aming Aminoedhin di tengah gaduhnya gaya puisi gelap dan sufistik dalam lapangan perpuisian Indonesia pada era 80-an sampai dengan awal 90-an kala itu?
Gaya puisinya yang cenderung mengingatkan orang pada gaya-gaya ucap Sitor Situmorang menempatkan seorang Aming Aminoedhin tidak di mana pun di dalam gaya puisi yang sedang booming dalam lapangan perpuisian Indonesia kala itu. Tengok saja puisinya yang berjudul “Mimpiku Kesejuta”:
kabar itu telah sampai
dibawa udara lintas di cakrawala
segar rindu mengurai
mengatasnama kekasih yang bakal tiba
debunga di halaman di jalanan
kusuruh menunda mekarnya
bersembulan
sebelum kekasih akan tiba
untuk menjemput bersama
(2004: 7).Atau juga pada puisinya yang
berjudul Perahu:
perahu itu telah patah layar patah dayung
tanpa tahu arah mana tanah dituju bersandar
segala tampak jauh untuk istirahat berlabuh
perahu itu di tengah laut mengapung
terombang-ambing badai angin
menggapai labuhan batin, tak sampai pantai
(2004:9)
Pada kedua puisi yang diciptakannya pada tahun 1983 dan 1985 itu dapatlah dilihat bahwa Aming Aminoedhin berusaha untuk tetap bersikukuh pada gaya puisi era Sitor Situmorang yang lebih cenderung untuk tetap berketat-ketat dengan keteraturan bunyi persajakan dan bahasa perlambangan yang begitu kental. Hal semacam ini membuat puisi-puisi Aming Amonoedhin seolah-olah jauh dari peradaban lapangan perpuisian yang sedang berlangsung saat itu. Coba saja, semisal, perbandingkan dengan puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor yang dia ciptakan pada kisaran tahun 1983. Seperti pada puisi yang berjudul Lagu Fajar:
Adakah yang lebih dingin dari langkah-langkah ini
Lebih beku dari tulang-tulangku kini:
Aku yang berjalan
Menyuruk hutan demi hutan, memahami sunyi,
aku yang asyik berjalan menggali kubur sendiri
(2004: 16).
Atau juga pada puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul Monologue Interieur: Wahai, kemarilah kamu Kemarilah hujan peluru. Daun-daun luruh Bertumpuk dan membusuk. Tinggal firman Musim dingin yang panjang (menetes dari lidahmu) Taubatku, sayang, airmata salju Kuhikmati waktu. Kupejamkan mataku (2004: 19). Dari puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor di atas dapatlah dilihat, betapa dia tidak lagi berkutat pada bunyi persajakan yang ketat dan bahasa perlambangan yang kental. Akan tetapi, puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor hadir dengan gaya bahasa yang lebih ekspresif dan tidak lagi bersibuk diri dengan bahasa perlambang. Hal yang sama juga terjadi pada puisi-puisi karya Kriapur, tengok saja puisinya yang dia beri judul Prahara Burung-burung.
Dalam puisinya yang pernah dimuat di majalah sastra Horison tersebut, sebagaimana juga dengan apa yang terjadi pada puisi karya Acep Zamzam Noor di atas, Kriapur juga seakan-akan telah melepaskan diri dari kecenderungan puisi yang lebih mementingkan ketetatan bunyi dan kemesraan bahasa perlambangan. Meskipun sama-sama diciptakan pada tahun 1983, gaya ucap puisi Kriapur hadir dengan semangat dan gayanya yang lebih ekspresif daripada gaya ucap puisi yang diciptakan oleh Aming Amonoedhin pada tahun yang sama. Lihat saja larik-larik puisi karya Kriapur yang berjudul Prahara Burung-burung tersebut:
dan lihatlah, kekasih
ruhku menggigil memanggilmu
dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan
atau dengarlah!
dari jauh suara burung-burung pindahan
menyerbu kota-kota
(Horison/XXII: 18).
Atau juga dapat dilihat pada larik puisi karya Kriapur lainnya seperti Luka di Mana-mana, yang juga diciptakan oleh Kriapur pada tahun 1983:
kuturut padamu
suara hujan di luar malam
bayang-bayangmu yang tajam
menancap di ulu tidurku
lalu mengggeram
(Horison/XXII: 19).
Edy A. Effendi dalam sebuah esainya yang berjudul Fanatisme dan Keseragaman dalam Puisi (Kompas, 9 Maret 1997) pernah mensinyalemen bahwa pada era tahun 80-an telah terjadi semacam fanatisme pada sebuah ideologi pengucapan puisi, yang pada akhirnya, membawa lapangan perpuisian Indonesia, pada era tersebut sampai pada keseragam gaya. Menurutnya, “Para penyair yang memasuki proses kreatif pada babakan 80-an, dan salah satunya diprakarsai oleh Afrizal Malna, telah ikut serta menanamkan benih fanatisme dan keseragaman dalam penciptaan puisi”
Fanatisme dan keseragaman dalam penciptaan puisi tersebut, apabila merujuk pada pemikiran Edy A. Effendi di atas, pada akhirnya, secara sadar atau tidak, akan membentuk suatu kanon estetika yang seragam dan begitu teguh dipeluk oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Sehingga yang muncul hanya kesamaan-kesamaan dan bukannya keberbedaan kepribadian sebuah karya. Ini merupakan sebuah krisis. Suatu krisis puitik yang membawa lapangan perpuisian Indonesia pada era tersebut hanya pada sampai batas booming gaya dan bukannya kemandirian ekspresi.
Bisa jadi, apabila merujuk pada pikiran Edy A. Effendi di atas, hal itulah yang membuat keberadaan kepenyairan Aming Aminoedhin pada era tahun 80-an sampai dengan era tahun 90-an tak lebih dari suara sayup dari negri asing. Keengganannya untuk mengikuti booming gaya puisi yang ada waktu itu membuatnya terasing, dan tak lebih dari kaum separatis yang muncul di dalam lapangan perpuisian Indonesia. ***
*) Penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. Kini berdomisili di Jl. Potro Agung II/5, Surabaya 60135.
http://www.suarakarya-online.com/
Entah mengapa di dalam lapangan perpuisian Indonesia keberadaan penyair Jawa Timur acapkali dilupakan. Sebagai contoh, sebut saja nama Aming Aminoedhin. Padahal penyair Jawa Timur yang bernama asli Mohammad Amir Toha, yang dilahirkan di kota Ngawi, 22 Desember 1957, ini pada era-era tahun 80-an sampai dengan awal tahun 90-an merupakan seorang penyair yang keberadaannya dalam lapangan perpuisian Indonesia cukup menarik perhatian.
Tak kurang media-media massa berskala nasional yang memuat puisi-puisinya. Juga majalah-majalah sastra dan budaya yang berwibawa di Indonesia kala itu memuat puisi-puisi yang diciptakannya. Pendeknya mulai Horison, Basis, Zaman sampai dengan Gadis adalah media-media di Indonesia yang berskala nasional yang pernah memuat karya-karya puisinya tersebut. Tapi, sekali lagi, entah mengapa, dalam perkembangannya kemudian, Aming Aminoedhin begitu saja seperti hilang dan terlupakan keberadaannya di dalam lapangan perpuisian Indonesia.
Seperti yang telah diketahui bersama, pada era-era 80-an, pada umumnya, lapangan perpuisian Indonesia disesaki oleh 2 (dua) macam gaya. Pertama, gaya-gaya puisi gelap, dan yang kedua, adalah gaya-gaya puisi yang cenderung memilih gaya pengungkapan yang sufistik. Nama-nama semacam Afrizal Malna, Kriapur, Nirwan Dewanto adalah nama-nama penyair yang kala itu yang oleh beberapa kritikus dan esais sastra Indoensia kala itu ditempatkan dalam ranah puisi dengan gaya ucap yang gelap, sedangkan nama semacam Acep Zamzam Noor adalah nama penyair yang lebih bisa ditempatkan pada wilayah puisi dengan gaya sufistik. Lantas dimanakah posisi seorang Aming Aminoedhin di tengah gaduhnya gaya puisi gelap dan sufistik dalam lapangan perpuisian Indonesia pada era 80-an sampai dengan awal 90-an kala itu?
Gaya puisinya yang cenderung mengingatkan orang pada gaya-gaya ucap Sitor Situmorang menempatkan seorang Aming Aminoedhin tidak di mana pun di dalam gaya puisi yang sedang booming dalam lapangan perpuisian Indonesia kala itu. Tengok saja puisinya yang berjudul “Mimpiku Kesejuta”:
kabar itu telah sampai
dibawa udara lintas di cakrawala
segar rindu mengurai
mengatasnama kekasih yang bakal tiba
debunga di halaman di jalanan
kusuruh menunda mekarnya
bersembulan
sebelum kekasih akan tiba
untuk menjemput bersama
(2004: 7).Atau juga pada puisinya yang
berjudul Perahu:
perahu itu telah patah layar patah dayung
tanpa tahu arah mana tanah dituju bersandar
segala tampak jauh untuk istirahat berlabuh
perahu itu di tengah laut mengapung
terombang-ambing badai angin
menggapai labuhan batin, tak sampai pantai
(2004:9)
Pada kedua puisi yang diciptakannya pada tahun 1983 dan 1985 itu dapatlah dilihat bahwa Aming Aminoedhin berusaha untuk tetap bersikukuh pada gaya puisi era Sitor Situmorang yang lebih cenderung untuk tetap berketat-ketat dengan keteraturan bunyi persajakan dan bahasa perlambangan yang begitu kental. Hal semacam ini membuat puisi-puisi Aming Amonoedhin seolah-olah jauh dari peradaban lapangan perpuisian yang sedang berlangsung saat itu. Coba saja, semisal, perbandingkan dengan puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor yang dia ciptakan pada kisaran tahun 1983. Seperti pada puisi yang berjudul Lagu Fajar:
Adakah yang lebih dingin dari langkah-langkah ini
Lebih beku dari tulang-tulangku kini:
Aku yang berjalan
Menyuruk hutan demi hutan, memahami sunyi,
aku yang asyik berjalan menggali kubur sendiri
(2004: 16).
Atau juga pada puisi Acep Zamzam Noor yang berjudul Monologue Interieur: Wahai, kemarilah kamu Kemarilah hujan peluru. Daun-daun luruh Bertumpuk dan membusuk. Tinggal firman Musim dingin yang panjang (menetes dari lidahmu) Taubatku, sayang, airmata salju Kuhikmati waktu. Kupejamkan mataku (2004: 19). Dari puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor di atas dapatlah dilihat, betapa dia tidak lagi berkutat pada bunyi persajakan yang ketat dan bahasa perlambangan yang kental. Akan tetapi, puisi-puisi karya Acep Zamzam Noor hadir dengan gaya bahasa yang lebih ekspresif dan tidak lagi bersibuk diri dengan bahasa perlambang. Hal yang sama juga terjadi pada puisi-puisi karya Kriapur, tengok saja puisinya yang dia beri judul Prahara Burung-burung.
Dalam puisinya yang pernah dimuat di majalah sastra Horison tersebut, sebagaimana juga dengan apa yang terjadi pada puisi karya Acep Zamzam Noor di atas, Kriapur juga seakan-akan telah melepaskan diri dari kecenderungan puisi yang lebih mementingkan ketetatan bunyi dan kemesraan bahasa perlambangan. Meskipun sama-sama diciptakan pada tahun 1983, gaya ucap puisi Kriapur hadir dengan semangat dan gayanya yang lebih ekspresif daripada gaya ucap puisi yang diciptakan oleh Aming Amonoedhin pada tahun yang sama. Lihat saja larik-larik puisi karya Kriapur yang berjudul Prahara Burung-burung tersebut:
dan lihatlah, kekasih
ruhku menggigil memanggilmu
dalam jerit dalam dekapan luka dan kegilaan
atau dengarlah!
dari jauh suara burung-burung pindahan
menyerbu kota-kota
(Horison/XXII: 18).
Atau juga dapat dilihat pada larik puisi karya Kriapur lainnya seperti Luka di Mana-mana, yang juga diciptakan oleh Kriapur pada tahun 1983:
kuturut padamu
suara hujan di luar malam
bayang-bayangmu yang tajam
menancap di ulu tidurku
lalu mengggeram
(Horison/XXII: 19).
Edy A. Effendi dalam sebuah esainya yang berjudul Fanatisme dan Keseragaman dalam Puisi (Kompas, 9 Maret 1997) pernah mensinyalemen bahwa pada era tahun 80-an telah terjadi semacam fanatisme pada sebuah ideologi pengucapan puisi, yang pada akhirnya, membawa lapangan perpuisian Indonesia, pada era tersebut sampai pada keseragam gaya. Menurutnya, “Para penyair yang memasuki proses kreatif pada babakan 80-an, dan salah satunya diprakarsai oleh Afrizal Malna, telah ikut serta menanamkan benih fanatisme dan keseragaman dalam penciptaan puisi”
Fanatisme dan keseragaman dalam penciptaan puisi tersebut, apabila merujuk pada pemikiran Edy A. Effendi di atas, pada akhirnya, secara sadar atau tidak, akan membentuk suatu kanon estetika yang seragam dan begitu teguh dipeluk oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Sehingga yang muncul hanya kesamaan-kesamaan dan bukannya keberbedaan kepribadian sebuah karya. Ini merupakan sebuah krisis. Suatu krisis puitik yang membawa lapangan perpuisian Indonesia pada era tersebut hanya pada sampai batas booming gaya dan bukannya kemandirian ekspresi.
Bisa jadi, apabila merujuk pada pikiran Edy A. Effendi di atas, hal itulah yang membuat keberadaan kepenyairan Aming Aminoedhin pada era tahun 80-an sampai dengan era tahun 90-an tak lebih dari suara sayup dari negri asing. Keengganannya untuk mengikuti booming gaya puisi yang ada waktu itu membuatnya terasing, dan tak lebih dari kaum separatis yang muncul di dalam lapangan perpuisian Indonesia. ***
*) Penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. Kini berdomisili di Jl. Potro Agung II/5, Surabaya 60135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar