S. Jai *
http://www.surabayapost.co.id/
SEPASANG orang nomor satu di Jatim, yang terpilih, mungkin belum yang terbaik, meski secara perhitungan angka politik memenangkan pilkada. Apalagi dengan perbedaan tipis.
Gubernur terpilih masih harus menghadapi ujian berat, termasuk diantaranya bersiap konfrontasi dengan pelbagai peraturan perundangan yang dibuat pemerintah pusat, atas nama kesejahteraan daerah. Betapa, makin banyak peraturan perundangan yang saling tabrakan di antara keduanya.
Antara tunduk atau memilih jalan pintas, kompromi atau kreativitas dan sebagainya—baik dengan pusat maupun dengan daerah-daerah yang dinilai perdanya bermasalah. Meski antara pusat dan daerah, mungkin terkesan saling menyalahkan atas nama otonomi daerah. Tapi syukurlah keduanya, telah memahami pelbagai tubrukan, simpang siur, silang sengkarut atau bahkan saling menghimpit utamanya di ranah pendapatan keuangan.
Bagi Gubernur terpilih, terpenting adalah bagaimana bersiap menghadapi himpitan perundangan dari pusat ini. Sekali lagi atas nama melindungi kepentingan daerah sendiri. Tahun 2009 adalah ujian awal bagi Gubernur Jatim terpilih. Apalagi belakangan, santer diberitakan tahun itu disebut-sebut tahun baru bagi bakal berlakunya Amandemen Undang-Undang (UU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Inilah tampaknya undang-undang dengan spirit menaklukkan “raja-raja kecil” di daerah.
Cukup banyak yang bisa disoal dari RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini. Selain satu hal yang tak bisa dianggap remeh adalah masalah pajak rokok yang menawarkan dua opsi. Pertama, pajak yang dikenakan berdasar prosentase cukai rokok atau kedua didasarkan kepada harga jual eceran. Sebagaimana diberitakan Kompas, Jumat (12/12) sebanyak 2.665 Raperda dan Perda terkait aturan pajak dan retribusi dibatalkan pemerintah pusat. Alasannya, karena cenderung menimbulkan biaya tinggi. Daerah berlomba-lomba menerapkan pungutan, antara lain pajak pengolahan minyak yang tumpang tindih dengan aturan di pusat. Di pusat sudah ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri pengolahan minyak. Contoh lain, retribusi atas pasar atau pelabuhan yang bukan milik pemerintah daerah (pemda). Pajak Hotel yang dikenakan atas jasa katering yang tumpang tindih dengan Undang-Undang PPN. Pajak Hiburan yang dikenakan atas taman rekreasi dan cagar budaya di daerah, padahal taman rekreasi bukan obyek Pajak Hiburan.
Fatalnya, Jawa Timur terbanyak perda bermasalah dan disebut-sebut mbanggel, diantara Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan yang bermasalah. Sinyalemennya meski sudah direkomendasikan batal, beberapa daerah mengabaikannya dan tetap menerapkan perda atau raperda yang sudah dibatalkan karena tidak ada sanksi bagi daerah yang nakal. Pemerintah mengusulkan dalam amandemen UU PDRD bakal memberikan sanksi pemotongan dana perimbangan bagi daerah yang melanggar rekomendasi pusat.
Sejak 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121 rancangan peraturan daerah (raperda). Dari jumlah tersebut, 67 persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi perda. Dari 11.401 perda yang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan pemerintah pusat. Perda tersebut mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Sementara itu, polemik amandemen UU PDRD seputar penerapan pajak rokok masih membayang-bayangi semenjak muncul usulan wewenang menaikkan maksimal 25 persen dari cukai rokok yang telah ditentukan, untuk agar masuk ke pundi-pundi pemerintah daerah, meski cukai rokok yang masuk ke kas negara tetap 100 persen dari ketentuan pajak. Bila itu benar terjadi, terlepas dari kesulitan-kesulitan penerapannya di lapangan, dampaknya tentu saja, harga rokok di pasar naik setidaknya sebesar kenaikan yang diambil prosentase oleh pemerintah daerah. Selain, adanya keharusan kenaikan maksimal 25 persen itu diperuntukkan bagi program kesehatan juga masih bisa disoal. Termasuk, alternatif kedua kenaikkan pajak maksimal 25 persen dari cukai rokok itu, langsung dikenakan pada harga jual di tingkat pengecer. Konsekuensinya, pemerintah daerah harus mendaftar toko atau supermarket yang menjual rokok untuk penghitungan berapa rokok yang dijual dalam sebulan. Lalu berapa musti dikenakan pajaknya dari angka itu kepada sejumlah pengecer, toko, supermarket yang sudah barangtentu tak mau dirugikan dari “gerilya” pemerintah daerah ini?
Bagi perputaran keuangan perpajakan daerah, terang saja tak sesederhana logika pasar bahwa harga rokok naik karena menangguh beban prosentase cukai, bakal disusul menurunnya permintaan rokok di pasar. Rokok adalah sesuatu gurita, tidak saja bagi pemerintah daerah, industri rokok, tapi juga gurita bagi masyarakat miskin para perokok. Sebagaimana data survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD), bahwa dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia 12 juta ayah dari keluarga miskin ini adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap maka mereka telah membelanjakan Rp 23 triliun pertahunnya untuk rokok. Boleh jadi sekalipun harga rokok melambung, mereka tetaplah miskin, mungkin juga mereka tetaplah sebagai perokok, meski dengan rokok ketengan.
Melihat masalah pelik ini, tentu saja, Jawa Timur membutuhkan gubernur yang berani dan kreatif untuk memilih satu diantara dua opsi. Yang daya kreatifnya bisa terlihat dari kemana pendapatan dari nominal maksimum 25 persen itu lantas mengalir. Pemkab Malang, mungkin patut diacungi jempol ketika bertekad mendirikan 7 klinik kesehatan di sekitar pabrik rokok, dari pendapatan Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau. Meski sebetulnya sesuai UU No.39 Tahun 2007 pasal 66A (1) dana itu diperuntukkan bagi 5 jenis kegiatan: peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri rokok, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberangusan cukai palsu.
Inilah kreativitas yang bukan tanpa resiko (melanggar undang-undang?), ketika mendahului ketentuan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebagai “penyeimbang” nilai cukai rokok yang mencapai triliunan diterima pemerintah dari pabrik-pabrik rokok di seluruh Indonesia. Bayangkan bila tahun 2007 pemerintah telah menerima sebesar Rp 43,8 triliun cukai rokok. Sementara penanganan penyakit yang ditimbulkan asap rokok terbesar justru dialami masyarakat miskin.
Dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau, Jawa Timur penerima Rp 135,849 miliar. Tahun 2009 dana yang sama sebesar Rp 960 miliar untuk seluruh daerah penghasil, dengan target penerimaan cukai Rp 48,2 triliun. Sulit untuk menjawab pertanyaan, amandemen UU PDRD diberlakukan dari angka-angka itu. Mungkin bakal terhapus atau setidak-tidaknya bakal melorot drastis akibat cukai rokok atau harga jual yang harus dilambungkan. Kendati kemungkinan lain timbul, dari prosentase 2 persen Dana Bagi Hasil Tembakau seperti yang sekarang diterima daerah, kemudian bisa mencapai 25 persen dari nominal total cukai yang dihasilkan daerah. Berkah bagi daerah-daerah tempat industri pabrik rokok.
Itulah suatu hal yang bukan mustahil terjadi dalam waktu dekat. Apalagi berkah itu musti dibagi sebesar 30 persen kepada pemerintah propinsi, 40 persen kepada daerah penghasil, dan sisanya termasuk 30 persen dibagikan kepada seluruh kabupaten atau kota yang ada di Jawa Timur yang bukan daerah penghasil. Akan tetapi baiklah, berkah boleh jadi amat tipis dengan musibah.
Artinya, membayangkan keadaan yang lebih runyam, semisal korupsi merajalela mungkin lebih baik bagi Gubernur sekarang bila kelak amandemen UU PDRD mulus diberlakukan. Mewaspadai tumbuh suburnya “raja-raja kecil” kiranya lebih bagus bila tak ingin keadaannya kelak lebih runyam. Tentu saja sambil mengembangkan spirit hidup masyarakat kecil yang lebih positif, sehat dan kreatif—amanah yang tak bisa ditinggalkan pimpinan Jatim ada atau tidak ada korupsi.
Gubernur baru perlu mempertimbangkan betul untung rugi pendapatan daerah dengan pemerintah pusat. Jikapun belum perlu mbanggel melihat tabrakan pelbagai aturan perundangan yang berpeluang potensi dampak menurunnya gairah dunia usaha, terutama akibat amandemen UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Betapa, pajak dan retribusi daerah dalam UU yang baru lebih banyak daripada UU sebelumnya,UU 34/2000. Betapa pemerintah malah memberi peluang legal pungutan secara “kreatif” bagi daerah sebagaimana disebut pemerintah pusat perda bermasalah. []
*) Penulis adalah pengarang, Bekerja pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.
http://www.surabayapost.co.id/
SEPASANG orang nomor satu di Jatim, yang terpilih, mungkin belum yang terbaik, meski secara perhitungan angka politik memenangkan pilkada. Apalagi dengan perbedaan tipis.
Gubernur terpilih masih harus menghadapi ujian berat, termasuk diantaranya bersiap konfrontasi dengan pelbagai peraturan perundangan yang dibuat pemerintah pusat, atas nama kesejahteraan daerah. Betapa, makin banyak peraturan perundangan yang saling tabrakan di antara keduanya.
Antara tunduk atau memilih jalan pintas, kompromi atau kreativitas dan sebagainya—baik dengan pusat maupun dengan daerah-daerah yang dinilai perdanya bermasalah. Meski antara pusat dan daerah, mungkin terkesan saling menyalahkan atas nama otonomi daerah. Tapi syukurlah keduanya, telah memahami pelbagai tubrukan, simpang siur, silang sengkarut atau bahkan saling menghimpit utamanya di ranah pendapatan keuangan.
Bagi Gubernur terpilih, terpenting adalah bagaimana bersiap menghadapi himpitan perundangan dari pusat ini. Sekali lagi atas nama melindungi kepentingan daerah sendiri. Tahun 2009 adalah ujian awal bagi Gubernur Jatim terpilih. Apalagi belakangan, santer diberitakan tahun itu disebut-sebut tahun baru bagi bakal berlakunya Amandemen Undang-Undang (UU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Inilah tampaknya undang-undang dengan spirit menaklukkan “raja-raja kecil” di daerah.
Cukup banyak yang bisa disoal dari RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini. Selain satu hal yang tak bisa dianggap remeh adalah masalah pajak rokok yang menawarkan dua opsi. Pertama, pajak yang dikenakan berdasar prosentase cukai rokok atau kedua didasarkan kepada harga jual eceran. Sebagaimana diberitakan Kompas, Jumat (12/12) sebanyak 2.665 Raperda dan Perda terkait aturan pajak dan retribusi dibatalkan pemerintah pusat. Alasannya, karena cenderung menimbulkan biaya tinggi. Daerah berlomba-lomba menerapkan pungutan, antara lain pajak pengolahan minyak yang tumpang tindih dengan aturan di pusat. Di pusat sudah ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri pengolahan minyak. Contoh lain, retribusi atas pasar atau pelabuhan yang bukan milik pemerintah daerah (pemda). Pajak Hotel yang dikenakan atas jasa katering yang tumpang tindih dengan Undang-Undang PPN. Pajak Hiburan yang dikenakan atas taman rekreasi dan cagar budaya di daerah, padahal taman rekreasi bukan obyek Pajak Hiburan.
Fatalnya, Jawa Timur terbanyak perda bermasalah dan disebut-sebut mbanggel, diantara Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan yang bermasalah. Sinyalemennya meski sudah direkomendasikan batal, beberapa daerah mengabaikannya dan tetap menerapkan perda atau raperda yang sudah dibatalkan karena tidak ada sanksi bagi daerah yang nakal. Pemerintah mengusulkan dalam amandemen UU PDRD bakal memberikan sanksi pemotongan dana perimbangan bagi daerah yang melanggar rekomendasi pusat.
Sejak 2001 hingga 10 Desember 2008, Departemen Keuangan telah mengevaluasi 1.121 rancangan peraturan daerah (raperda). Dari jumlah tersebut, 67 persen di antaranya dibatalkan atau direvisi dan 33 persen diizinkan diterapkan menjadi perda. Dari 11.401 perda yang berlaku, sebanyak 2.398 di antaranya dibatalkan pemerintah pusat. Perda tersebut mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Sementara itu, polemik amandemen UU PDRD seputar penerapan pajak rokok masih membayang-bayangi semenjak muncul usulan wewenang menaikkan maksimal 25 persen dari cukai rokok yang telah ditentukan, untuk agar masuk ke pundi-pundi pemerintah daerah, meski cukai rokok yang masuk ke kas negara tetap 100 persen dari ketentuan pajak. Bila itu benar terjadi, terlepas dari kesulitan-kesulitan penerapannya di lapangan, dampaknya tentu saja, harga rokok di pasar naik setidaknya sebesar kenaikan yang diambil prosentase oleh pemerintah daerah. Selain, adanya keharusan kenaikan maksimal 25 persen itu diperuntukkan bagi program kesehatan juga masih bisa disoal. Termasuk, alternatif kedua kenaikkan pajak maksimal 25 persen dari cukai rokok itu, langsung dikenakan pada harga jual di tingkat pengecer. Konsekuensinya, pemerintah daerah harus mendaftar toko atau supermarket yang menjual rokok untuk penghitungan berapa rokok yang dijual dalam sebulan. Lalu berapa musti dikenakan pajaknya dari angka itu kepada sejumlah pengecer, toko, supermarket yang sudah barangtentu tak mau dirugikan dari “gerilya” pemerintah daerah ini?
Bagi perputaran keuangan perpajakan daerah, terang saja tak sesederhana logika pasar bahwa harga rokok naik karena menangguh beban prosentase cukai, bakal disusul menurunnya permintaan rokok di pasar. Rokok adalah sesuatu gurita, tidak saja bagi pemerintah daerah, industri rokok, tapi juga gurita bagi masyarakat miskin para perokok. Sebagaimana data survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD), bahwa dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia 12 juta ayah dari keluarga miskin ini adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap maka mereka telah membelanjakan Rp 23 triliun pertahunnya untuk rokok. Boleh jadi sekalipun harga rokok melambung, mereka tetaplah miskin, mungkin juga mereka tetaplah sebagai perokok, meski dengan rokok ketengan.
Melihat masalah pelik ini, tentu saja, Jawa Timur membutuhkan gubernur yang berani dan kreatif untuk memilih satu diantara dua opsi. Yang daya kreatifnya bisa terlihat dari kemana pendapatan dari nominal maksimum 25 persen itu lantas mengalir. Pemkab Malang, mungkin patut diacungi jempol ketika bertekad mendirikan 7 klinik kesehatan di sekitar pabrik rokok, dari pendapatan Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau. Meski sebetulnya sesuai UU No.39 Tahun 2007 pasal 66A (1) dana itu diperuntukkan bagi 5 jenis kegiatan: peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri rokok, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberangusan cukai palsu.
Inilah kreativitas yang bukan tanpa resiko (melanggar undang-undang?), ketika mendahului ketentuan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebagai “penyeimbang” nilai cukai rokok yang mencapai triliunan diterima pemerintah dari pabrik-pabrik rokok di seluruh Indonesia. Bayangkan bila tahun 2007 pemerintah telah menerima sebesar Rp 43,8 triliun cukai rokok. Sementara penanganan penyakit yang ditimbulkan asap rokok terbesar justru dialami masyarakat miskin.
Dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.07/2008 tentang Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau, Jawa Timur penerima Rp 135,849 miliar. Tahun 2009 dana yang sama sebesar Rp 960 miliar untuk seluruh daerah penghasil, dengan target penerimaan cukai Rp 48,2 triliun. Sulit untuk menjawab pertanyaan, amandemen UU PDRD diberlakukan dari angka-angka itu. Mungkin bakal terhapus atau setidak-tidaknya bakal melorot drastis akibat cukai rokok atau harga jual yang harus dilambungkan. Kendati kemungkinan lain timbul, dari prosentase 2 persen Dana Bagi Hasil Tembakau seperti yang sekarang diterima daerah, kemudian bisa mencapai 25 persen dari nominal total cukai yang dihasilkan daerah. Berkah bagi daerah-daerah tempat industri pabrik rokok.
Itulah suatu hal yang bukan mustahil terjadi dalam waktu dekat. Apalagi berkah itu musti dibagi sebesar 30 persen kepada pemerintah propinsi, 40 persen kepada daerah penghasil, dan sisanya termasuk 30 persen dibagikan kepada seluruh kabupaten atau kota yang ada di Jawa Timur yang bukan daerah penghasil. Akan tetapi baiklah, berkah boleh jadi amat tipis dengan musibah.
Artinya, membayangkan keadaan yang lebih runyam, semisal korupsi merajalela mungkin lebih baik bagi Gubernur sekarang bila kelak amandemen UU PDRD mulus diberlakukan. Mewaspadai tumbuh suburnya “raja-raja kecil” kiranya lebih bagus bila tak ingin keadaannya kelak lebih runyam. Tentu saja sambil mengembangkan spirit hidup masyarakat kecil yang lebih positif, sehat dan kreatif—amanah yang tak bisa ditinggalkan pimpinan Jatim ada atau tidak ada korupsi.
Gubernur baru perlu mempertimbangkan betul untung rugi pendapatan daerah dengan pemerintah pusat. Jikapun belum perlu mbanggel melihat tabrakan pelbagai aturan perundangan yang berpeluang potensi dampak menurunnya gairah dunia usaha, terutama akibat amandemen UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Betapa, pajak dan retribusi daerah dalam UU yang baru lebih banyak daripada UU sebelumnya,UU 34/2000. Betapa pemerintah malah memberi peluang legal pungutan secara “kreatif” bagi daerah sebagaimana disebut pemerintah pusat perda bermasalah. []
*) Penulis adalah pengarang, Bekerja pada Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar