Afri Meldam
http://www.padangekspres.co.id/
Dalam konteks kekinian, karya sastra tak bisa lepas dari sistem kapitalisme. Tanpa dukungan pemilik modal, kecil kemunginan sebuah karya sastra bisa hadir di tengah-tengah masyarakat. Ketika masuk ke dalam lingkar kuasa kapitalisme, karya sastra tak lain adalah komoditas industri yang mau tak mau harus mendatangkan keuntungan bagi kaum pemilik modal yang mendanai pengadaan karya tersebut.
Kuasa pemilik modal terhadap karya sastra bukan saja memiskinkan nilai-nilai sastrawi karya tersebut, tetapi juga memberikan ‘beban’ yang besar terhadap suatu karya untuk bisa mendapatkan tempat di pasaran. Kasus semacam ini biasanya menimpa karya-karya penulis yang salah satu buku karya sastranya pernah menuai laris di pasaran.
Pada awalnya, penulis dan buku yang ia tulis memang hadir sebagai individu dan karya yang merdeka, namun hal tersebut akan berubah total ketika ‘tangan’ kapitalisme datang merangkul. Buku karya sastra berikutnya hasil karya penulis yang sama pun tak lagi hadir sebagai karya yang merdeka ketika dilemparkan ke pasaran. Karya-karya tersebut hadir sebagai ‘bayang-bayang’ dari karya sebelumnya dari penulis yang sama. Dengan demikian, karya tersebut tidak hadir sebagai ‘dirinya’, tetapi menumpang tenar kepada sang ‘kakak’ yang lebih dulu menjadi best-seller.
Hal tersebut terlihat dari maraknya buku-buku karya sastra yang pada sampulnya diberi keterangan bahwa penulis yang sama pernah menulis buku best-seller. Tujuannya tentu hanya satu: karya tersebut juga bisa diterima di pasaran dan terjual dengan laris seperti karya sebelumnya
Seorang penulis yang baik biasanya bisa mempertahankan kualitas isi karya-karyanya, namun bagaimana dengan penulis yang baru muncul ke permukaan dan buku pertamanya menjadi best-seller? Mampukah ia mempertahankan mutu karya sastra yang ia tulis ketika hasrat untuk mengumpulkan banyak uang datang menggoda? Jika penulis tergiur untuk selalu mendapatkan suntikan dana segar dari royalti buku yang ia tulis, maka muncul kekhawatiran tentang penurunan kuali tas karya yang kemudian sedang atau akan ia garap.
Selain itu, kaum pemilik modal pun akan membebankan tanggung jawab yang besar kepada buku karya sastra tersebut untuk bisa menghasilkan uang. Hal inilah yang menjadi pemicu mengapa banyak karya sastra hari ini hadir membawa beban ‘nama besar’ sang ‘kakak’.
Melepaskan ‘beban’ nama besar
Mengapa disebut sebagai ‘beban’? Karena pada hakikatnya karya tersebut akan selalu dihubung-hubungkan dengan karya sebelumnya, baik dari segi cerita secara kesuluruhan maupun capaian estetika yang didapat karya tersebut. Oleh karena itu, tak ada yang menanggapinya sebuah sebuah karya yang ‘merdeka’. Berbagai macam ekspektasi akan dibebankan begitu pembaca membuka halaman pertama sebuah novel atau kumpulan cerpen dari pengarang yang sebelumnya pernah menghasilkan karya yang menjadi best-seller. Ketika harapan-harapan yang dibebankan pembaca gagal disajikan dalam karya tersebut, maka umpatan atau bahkan cacian pun akan muncul sebagai ekspresi kekecewaan. Pertanyaan pun muncul: “kenapa karya ini tak sebagus karya si A sebelumnya?” Atau “kok karya si A yang dulu lebih ‘menggigit’?”
Dengan kata lain, karya yang muncul menyusul kesuksesan sebuah karya yang best-seller akan selamanya menjadi ‘bayang-bayang’ nama besar pendahulunya. Bagi industri penerbitan, nama besar sebuah karya sastra ‘best-seller’ yang dibebankan pada karya lain dari penulis yang sama merupakan sebuah strategi untuk merebut pasar. Karya yang dihasilkan oleh penulis yang mencetak rekor best-seller tentu akan menjadi magnet tersendiri bagi pembaca. Namun, sangat dikhawatirkan jika penulis ternyata juga memanfaatkan kondisi tersebut dengan tidak lagi menjaga mutu karya-karya yang ia tulis.
Dari segi pasar, hal ini bisa membuat pembaca ‘judge the book by its cover’. Ketenaran seorang penulis tidak serta merta menjamin bahwa karya-karya yang ia tulis selamanya bermutu tinggi. Pembaca seharusnya menyadari hal tersebut. Karena, jika yang menjadi pertimbangan ketika seseorang akan membeli buku adalah kisah sukses seorang penulis yang pernah menghasilkan karya best-seller, maka ditakutkan akan membawa dampak pada penulis yang bersangkutan.
Apabila karya seorang penulis diterima luas di masyarakat karena prestasi baik yang pernah ia capai dengan buku lain, maka penulis tersebut bisa menjadi termanjakan, lalai, dan lengah sehingga tak mau lagi bersusah payah untuk menulis karya yang berkualitas. Jika hal ini terjadi, maka bukan tak mungkin beberapa tahun kemudian karya sastra yang dihasilkan penulis-penulis tersebut adalah karya-karya picisan yang hanya menumpang tenar pada karya sebelumnya dengan tujuan mencari keuntungan materil.
Untuk itu, pembaca hendaknya tidak mudah terjebak oleh nama besar seorang penulis. Nilailah sebuah karya sastra sebagai karya yang merdeka; karya tanpa beban, terlepas dari ada atau tidaknya nama besar sang penulis yang pernah menoreh prestasi ‘best-selling author’. Lepaskan sebuah karya dari beban ‘bayang-bayang’ sang ‘best-seller’ yang disematkan oleh penerbit.
Dengan demikian, sebuah karya sastra akan hadir sebagai dirinya sendiridan jika kemudian diterima di pasaran, bukan karena label yang disematkan , melainkan karena memang karya tersebut pantas mendapatkan ‘tempat’.
Permasalahan ini sebenarnya tergantung kepada sang penulis. Jika penulis mampu menjaga mutu karya-karya yang ia tulis, maka kekhawatiran akan penuruna nilai sastrawi sebuah karya sastra tak akan ada. Penulislah yang memegang peranan kunci dalam hal ini.
Namun, patut ditekankan bahwa pemberian label ‘nama besar satu karya terhadap karya lain dari penulis yang sama hanya akan menjadi beban bagi karya tersebut. Novel-novel Habiburrahman El Shirazy yang ditulis pasca-meledaknya penjualan novel Ayat-ayat Cinta (AAC) di pasaran sebagai contoh merupakan karya yang mempunyai beban dan berada di bawah bayang-bayang nama besar AAC.
Animo pembaca yang begitu besar untuk membeli novel-novel karya Kang Abik tersebut tentu tidak terlepas dari sematan kata-kata sensasional ‘penulis novel Ayat-ayat Cinta’. Lalu muncul pertanyaan, apakah karya tersebut tetap akan diterima dengan baik jika tidak dibayang-bayangi nama besar AAC? Apakah, dengan demikian, pembaca hanya menilai karya dari nama besar sang penulis dan menjadi latah untuk hanya sekadar mengikuti trend?
Memang akan ada godaan untuk menjadi malas bagi penulis yang karyanya pernah bertengger di daftar teratas buku-buku laris mengingat royati yang ia peroleh memungkinkannya untuk tidak perlu lagi bekerja. Namun ini tentu hanya berlaku bagi penulis yang berorientasi pada uang. Bagi penulis yang baik dan terlepas dari godaan kapitalisme, ada tanggung jawab moral yang ia emban ketika mencipta sebuah karya sastra.
http://www.padangekspres.co.id/
Dalam konteks kekinian, karya sastra tak bisa lepas dari sistem kapitalisme. Tanpa dukungan pemilik modal, kecil kemunginan sebuah karya sastra bisa hadir di tengah-tengah masyarakat. Ketika masuk ke dalam lingkar kuasa kapitalisme, karya sastra tak lain adalah komoditas industri yang mau tak mau harus mendatangkan keuntungan bagi kaum pemilik modal yang mendanai pengadaan karya tersebut.
Kuasa pemilik modal terhadap karya sastra bukan saja memiskinkan nilai-nilai sastrawi karya tersebut, tetapi juga memberikan ‘beban’ yang besar terhadap suatu karya untuk bisa mendapatkan tempat di pasaran. Kasus semacam ini biasanya menimpa karya-karya penulis yang salah satu buku karya sastranya pernah menuai laris di pasaran.
Pada awalnya, penulis dan buku yang ia tulis memang hadir sebagai individu dan karya yang merdeka, namun hal tersebut akan berubah total ketika ‘tangan’ kapitalisme datang merangkul. Buku karya sastra berikutnya hasil karya penulis yang sama pun tak lagi hadir sebagai karya yang merdeka ketika dilemparkan ke pasaran. Karya-karya tersebut hadir sebagai ‘bayang-bayang’ dari karya sebelumnya dari penulis yang sama. Dengan demikian, karya tersebut tidak hadir sebagai ‘dirinya’, tetapi menumpang tenar kepada sang ‘kakak’ yang lebih dulu menjadi best-seller.
Hal tersebut terlihat dari maraknya buku-buku karya sastra yang pada sampulnya diberi keterangan bahwa penulis yang sama pernah menulis buku best-seller. Tujuannya tentu hanya satu: karya tersebut juga bisa diterima di pasaran dan terjual dengan laris seperti karya sebelumnya
Seorang penulis yang baik biasanya bisa mempertahankan kualitas isi karya-karyanya, namun bagaimana dengan penulis yang baru muncul ke permukaan dan buku pertamanya menjadi best-seller? Mampukah ia mempertahankan mutu karya sastra yang ia tulis ketika hasrat untuk mengumpulkan banyak uang datang menggoda? Jika penulis tergiur untuk selalu mendapatkan suntikan dana segar dari royalti buku yang ia tulis, maka muncul kekhawatiran tentang penurunan kuali tas karya yang kemudian sedang atau akan ia garap.
Selain itu, kaum pemilik modal pun akan membebankan tanggung jawab yang besar kepada buku karya sastra tersebut untuk bisa menghasilkan uang. Hal inilah yang menjadi pemicu mengapa banyak karya sastra hari ini hadir membawa beban ‘nama besar’ sang ‘kakak’.
Melepaskan ‘beban’ nama besar
Mengapa disebut sebagai ‘beban’? Karena pada hakikatnya karya tersebut akan selalu dihubung-hubungkan dengan karya sebelumnya, baik dari segi cerita secara kesuluruhan maupun capaian estetika yang didapat karya tersebut. Oleh karena itu, tak ada yang menanggapinya sebuah sebuah karya yang ‘merdeka’. Berbagai macam ekspektasi akan dibebankan begitu pembaca membuka halaman pertama sebuah novel atau kumpulan cerpen dari pengarang yang sebelumnya pernah menghasilkan karya yang menjadi best-seller. Ketika harapan-harapan yang dibebankan pembaca gagal disajikan dalam karya tersebut, maka umpatan atau bahkan cacian pun akan muncul sebagai ekspresi kekecewaan. Pertanyaan pun muncul: “kenapa karya ini tak sebagus karya si A sebelumnya?” Atau “kok karya si A yang dulu lebih ‘menggigit’?”
Dengan kata lain, karya yang muncul menyusul kesuksesan sebuah karya yang best-seller akan selamanya menjadi ‘bayang-bayang’ nama besar pendahulunya. Bagi industri penerbitan, nama besar sebuah karya sastra ‘best-seller’ yang dibebankan pada karya lain dari penulis yang sama merupakan sebuah strategi untuk merebut pasar. Karya yang dihasilkan oleh penulis yang mencetak rekor best-seller tentu akan menjadi magnet tersendiri bagi pembaca. Namun, sangat dikhawatirkan jika penulis ternyata juga memanfaatkan kondisi tersebut dengan tidak lagi menjaga mutu karya-karya yang ia tulis.
Dari segi pasar, hal ini bisa membuat pembaca ‘judge the book by its cover’. Ketenaran seorang penulis tidak serta merta menjamin bahwa karya-karya yang ia tulis selamanya bermutu tinggi. Pembaca seharusnya menyadari hal tersebut. Karena, jika yang menjadi pertimbangan ketika seseorang akan membeli buku adalah kisah sukses seorang penulis yang pernah menghasilkan karya best-seller, maka ditakutkan akan membawa dampak pada penulis yang bersangkutan.
Apabila karya seorang penulis diterima luas di masyarakat karena prestasi baik yang pernah ia capai dengan buku lain, maka penulis tersebut bisa menjadi termanjakan, lalai, dan lengah sehingga tak mau lagi bersusah payah untuk menulis karya yang berkualitas. Jika hal ini terjadi, maka bukan tak mungkin beberapa tahun kemudian karya sastra yang dihasilkan penulis-penulis tersebut adalah karya-karya picisan yang hanya menumpang tenar pada karya sebelumnya dengan tujuan mencari keuntungan materil.
Untuk itu, pembaca hendaknya tidak mudah terjebak oleh nama besar seorang penulis. Nilailah sebuah karya sastra sebagai karya yang merdeka; karya tanpa beban, terlepas dari ada atau tidaknya nama besar sang penulis yang pernah menoreh prestasi ‘best-selling author’. Lepaskan sebuah karya dari beban ‘bayang-bayang’ sang ‘best-seller’ yang disematkan oleh penerbit.
Dengan demikian, sebuah karya sastra akan hadir sebagai dirinya sendiridan jika kemudian diterima di pasaran, bukan karena label yang disematkan , melainkan karena memang karya tersebut pantas mendapatkan ‘tempat’.
Permasalahan ini sebenarnya tergantung kepada sang penulis. Jika penulis mampu menjaga mutu karya-karya yang ia tulis, maka kekhawatiran akan penuruna nilai sastrawi sebuah karya sastra tak akan ada. Penulislah yang memegang peranan kunci dalam hal ini.
Namun, patut ditekankan bahwa pemberian label ‘nama besar satu karya terhadap karya lain dari penulis yang sama hanya akan menjadi beban bagi karya tersebut. Novel-novel Habiburrahman El Shirazy yang ditulis pasca-meledaknya penjualan novel Ayat-ayat Cinta (AAC) di pasaran sebagai contoh merupakan karya yang mempunyai beban dan berada di bawah bayang-bayang nama besar AAC.
Animo pembaca yang begitu besar untuk membeli novel-novel karya Kang Abik tersebut tentu tidak terlepas dari sematan kata-kata sensasional ‘penulis novel Ayat-ayat Cinta’. Lalu muncul pertanyaan, apakah karya tersebut tetap akan diterima dengan baik jika tidak dibayang-bayangi nama besar AAC? Apakah, dengan demikian, pembaca hanya menilai karya dari nama besar sang penulis dan menjadi latah untuk hanya sekadar mengikuti trend?
Memang akan ada godaan untuk menjadi malas bagi penulis yang karyanya pernah bertengger di daftar teratas buku-buku laris mengingat royati yang ia peroleh memungkinkannya untuk tidak perlu lagi bekerja. Namun ini tentu hanya berlaku bagi penulis yang berorientasi pada uang. Bagi penulis yang baik dan terlepas dari godaan kapitalisme, ada tanggung jawab moral yang ia emban ketika mencipta sebuah karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar