D. Zawawi Imron
http://www.jawapos.com/
Di Rumah Puisi, di tengah alam tanah Minang yang permai, saya merenungkan adagium Minangkabau yang berbunyi: alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Alam memang terkembang. Terhampar. Kenapa dijadikan guru? Bukankah manusia lebih mulia dari alam?
Dipikir dan direnung, saya teringat bahwa dalam penciptaan langit dan bumi serta perkisaran siang dan malam adalah ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah. Kalau alam ini adalah ayat-ayat Tuhan, tentu saja manusia yang ingin mengambil manfaat dari alam harus rajin dan tekun membaca ayat-ayat Allah itu. Istilah ''membaca'' di sini bisa dimaknai mempelajari, meneliti, atau bereksperimen tentang benda-benda, flora, fauna, yang ada di alam. Karena semua kebutuhan hidup manusia itu tersedia di alam, maka manusia harus bersahabat dengan alam. Jadi, manusia bersekolah dan belajar di perguruan tinggi tidak lain belajar ''membaca'' alam dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Sejak kapan orang Minangkabau mencetuskan kearifan alam takambang jadi guru? Tak ada keterangan yang jelas. Yang jelas, manusia yang mencetuskan itu adalah seorang yang cerdas dan arif. Dengan demikian, manusia yang membaca alam dengan ilmu pertanian akan mampu menyemarakkan bumi dengan bercocok tanam sehingga akan memakmurkan bumi. Yang membaca laut dengan ilmu kelautan akan mampu mengarungi samudera serta menangkap ikan di laut untuk menjadi santapan bangsanya. Selanjutnya ada orang yang menanam kapas, di pihak lain ada yang memintal kapas menjadi beanng dan kemudian ditenun untuk dijadikan pakaian agar manusia tidak telanjang.
Semua kegiatan kehidupan itu karena alam yang terkembang dijadikan guru. Adagium Minangkabau tersebut bisa dimasukkan kepada kearifan tradisi. Meskipun itu warisan lama, tetapi masih relevan dengan kehidupan sekarang. Orang pergi ke bulan dan ke planet-planet lain juga merupakan upaya mengejar alam yang terkembang, dan terkembang untuk dipelajari dan diteliti.
Yang menarik dari kearifan ini, ia bisa menjadi alasan bahwa tidak setiap adagium lama itu rapuh dan tidak sesuai dengan kehidupan masa kini. Ternyata masih ada kearifan tua --kalau kita berpikir dengan akal sehat-- yang tak lekang de' panas dan tak lapuk de' hujan.
Contoh lain dalam membaca dan menghargai alam, misalnya, ada adagium Jawa yang berbunyi memayu hayuning bhawana, ''memperindah kecantikan alam'', sebagai tugas manusia di bumi. Alam yang dirias dengan aneka macam tanaman, lebih-lebih tanaman produktif, akan membuat bumi itu indah dengan kesuburan dan kemakmuran. Yang tersirat pada kearifan itu, manusia harus bersahabat dengan alam. Kalau alam itu ditanami, kemudian tanaman itu disiangi dan dipupuk dengan rajin dan cinta, alam akan membalas dengan panen yang melimpah, atau kemakmuran yang akan membuat alam dan manusia tersenyum dalam persahabatan yang hakiki. Persahabatan yang bukan hanya ideal di dalam hati dan dalam nyanyian, tetapi persahabatan dalam bentuk nyata yang membuahkan kesejahteraan yang konkret.
Penghargaan manusia kepada alam dan tumbuh-tumbuhan tidak lain adalah penghormatan terhadap hidup, karena manusia yang hidup harus menghormati semua yang hidup. Penghargaan terhadap tumbuh-tumbuhan yang menyuburkan bisa kita lihat pada relief Candi Borobudur. Aneka macam flora bisa disaksikan di situ melengkapi kehadiran manusia.
Pada dunia Arab yang tanahnya didominasi padang pasir, lahir ornamen arabesque yang ditandai dengan flora berupa sulur-sulur lengkap dengan variasi daun dan bunga yang beraneka ragam coraknya. Pada bagian lukisan klasik Tiongkok, kita temukan sebatang bambu lengkap dengan ranting dan daunnya yang tertiup angin. Dalam tiupan angin yang kencang itu batang bambu tampak melengkung, tetapi tidak patah karena hidup harus dipertahankan, meskipun ujian datang bertubi-tubi.
Begitulah sebagian besar karya seni, sejak dahulu kala menunjukkan kecintaannya dan keperpihakannya kepada semua yang hidup lewat berbagai isyarat dan metafora. Hal itu menjadi pertanda bahwa sejak kemanusiaan dan akal sehat berkembang, manusia punya rasa cinta dan keperpihakan terhadap hidup dan alam lingkungan. Hal inilah yang sangat penting untuk dikaji dan dihidupkan kembali sekarang, di tengah-tengah perusakan lingkungan, pembalakan liar, pencemaran laut, dan lain-lain. Alam yang dicederai dan dirusak tidak mau bersahabat dengan kita. Merebaknya banjir, rusaknya ozon, semburan lumpur, rusaknya habitat fauna di hutan dan lain-lain, menjadi sejenis sinyal bahwa alam sudah tidak ramah lagi kepada kita, dan itu karena ulah kita sendiri.
Penghormatan dan keperpihakan kepada hidup juga menghargai jiwa dan nyawa manusia. Adanya kerusuhan, penjarahan, dan perang yang membunuh banyak manusia, menunjukkan tidak adanya penghormatan dan keperpihakan terhadap hidup. Jadi, manusia yang suka berperang untuk kemenangan, tidak untuk membela kebenaran, kemerdekaan, dan keadilan, sebenarnya yang diperangi adalah kemanusiaan itu sendiri. (*)
http://www.jawapos.com/
Di Rumah Puisi, di tengah alam tanah Minang yang permai, saya merenungkan adagium Minangkabau yang berbunyi: alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Alam memang terkembang. Terhampar. Kenapa dijadikan guru? Bukankah manusia lebih mulia dari alam?
Dipikir dan direnung, saya teringat bahwa dalam penciptaan langit dan bumi serta perkisaran siang dan malam adalah ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah. Kalau alam ini adalah ayat-ayat Tuhan, tentu saja manusia yang ingin mengambil manfaat dari alam harus rajin dan tekun membaca ayat-ayat Allah itu. Istilah ''membaca'' di sini bisa dimaknai mempelajari, meneliti, atau bereksperimen tentang benda-benda, flora, fauna, yang ada di alam. Karena semua kebutuhan hidup manusia itu tersedia di alam, maka manusia harus bersahabat dengan alam. Jadi, manusia bersekolah dan belajar di perguruan tinggi tidak lain belajar ''membaca'' alam dalam pengertian yang seluas-luasnya.
Sejak kapan orang Minangkabau mencetuskan kearifan alam takambang jadi guru? Tak ada keterangan yang jelas. Yang jelas, manusia yang mencetuskan itu adalah seorang yang cerdas dan arif. Dengan demikian, manusia yang membaca alam dengan ilmu pertanian akan mampu menyemarakkan bumi dengan bercocok tanam sehingga akan memakmurkan bumi. Yang membaca laut dengan ilmu kelautan akan mampu mengarungi samudera serta menangkap ikan di laut untuk menjadi santapan bangsanya. Selanjutnya ada orang yang menanam kapas, di pihak lain ada yang memintal kapas menjadi beanng dan kemudian ditenun untuk dijadikan pakaian agar manusia tidak telanjang.
Semua kegiatan kehidupan itu karena alam yang terkembang dijadikan guru. Adagium Minangkabau tersebut bisa dimasukkan kepada kearifan tradisi. Meskipun itu warisan lama, tetapi masih relevan dengan kehidupan sekarang. Orang pergi ke bulan dan ke planet-planet lain juga merupakan upaya mengejar alam yang terkembang, dan terkembang untuk dipelajari dan diteliti.
Yang menarik dari kearifan ini, ia bisa menjadi alasan bahwa tidak setiap adagium lama itu rapuh dan tidak sesuai dengan kehidupan masa kini. Ternyata masih ada kearifan tua --kalau kita berpikir dengan akal sehat-- yang tak lekang de' panas dan tak lapuk de' hujan.
Contoh lain dalam membaca dan menghargai alam, misalnya, ada adagium Jawa yang berbunyi memayu hayuning bhawana, ''memperindah kecantikan alam'', sebagai tugas manusia di bumi. Alam yang dirias dengan aneka macam tanaman, lebih-lebih tanaman produktif, akan membuat bumi itu indah dengan kesuburan dan kemakmuran. Yang tersirat pada kearifan itu, manusia harus bersahabat dengan alam. Kalau alam itu ditanami, kemudian tanaman itu disiangi dan dipupuk dengan rajin dan cinta, alam akan membalas dengan panen yang melimpah, atau kemakmuran yang akan membuat alam dan manusia tersenyum dalam persahabatan yang hakiki. Persahabatan yang bukan hanya ideal di dalam hati dan dalam nyanyian, tetapi persahabatan dalam bentuk nyata yang membuahkan kesejahteraan yang konkret.
Penghargaan manusia kepada alam dan tumbuh-tumbuhan tidak lain adalah penghormatan terhadap hidup, karena manusia yang hidup harus menghormati semua yang hidup. Penghargaan terhadap tumbuh-tumbuhan yang menyuburkan bisa kita lihat pada relief Candi Borobudur. Aneka macam flora bisa disaksikan di situ melengkapi kehadiran manusia.
Pada dunia Arab yang tanahnya didominasi padang pasir, lahir ornamen arabesque yang ditandai dengan flora berupa sulur-sulur lengkap dengan variasi daun dan bunga yang beraneka ragam coraknya. Pada bagian lukisan klasik Tiongkok, kita temukan sebatang bambu lengkap dengan ranting dan daunnya yang tertiup angin. Dalam tiupan angin yang kencang itu batang bambu tampak melengkung, tetapi tidak patah karena hidup harus dipertahankan, meskipun ujian datang bertubi-tubi.
Begitulah sebagian besar karya seni, sejak dahulu kala menunjukkan kecintaannya dan keperpihakannya kepada semua yang hidup lewat berbagai isyarat dan metafora. Hal itu menjadi pertanda bahwa sejak kemanusiaan dan akal sehat berkembang, manusia punya rasa cinta dan keperpihakan terhadap hidup dan alam lingkungan. Hal inilah yang sangat penting untuk dikaji dan dihidupkan kembali sekarang, di tengah-tengah perusakan lingkungan, pembalakan liar, pencemaran laut, dan lain-lain. Alam yang dicederai dan dirusak tidak mau bersahabat dengan kita. Merebaknya banjir, rusaknya ozon, semburan lumpur, rusaknya habitat fauna di hutan dan lain-lain, menjadi sejenis sinyal bahwa alam sudah tidak ramah lagi kepada kita, dan itu karena ulah kita sendiri.
Penghormatan dan keperpihakan kepada hidup juga menghargai jiwa dan nyawa manusia. Adanya kerusuhan, penjarahan, dan perang yang membunuh banyak manusia, menunjukkan tidak adanya penghormatan dan keperpihakan terhadap hidup. Jadi, manusia yang suka berperang untuk kemenangan, tidak untuk membela kebenaran, kemerdekaan, dan keadilan, sebenarnya yang diperangi adalah kemanusiaan itu sendiri. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar