N. Syamsuddin CH. Haesy
http://jurnalnasional.com/
BAGAIMANA keluarga Indonesia menjalani kehidupan domestiknya? Jangan jawab pertanyaan ini dengan adegan sinetron Indonesia, yang semestinya menjadi realitas kedua dari realitas yang sesungguhnya. Kita akan terkaget-kaget, dan tersesat.
Adegan dalam sinetron Indonesia yang oleh AC Nielsen diberi poin dengan audience share yang bagus, sungguh tak mencerminkan perilaku keluarga Indonesia beradab. Kita tak mafhum, model budaya dari mana yang dipakai para kreator sinetron Indonesia untuk mendeskripsikan sosok keluarga Indonesia saat menghadapi konflik. Yang jelas: tak beradab, meski digambarkan para tokohnya berpendidikan tinggi dan lulusan luar negeri pula.
Simaklah dengan baik sinetron Cinta Fitri yang makin hari makin mentransformasikan kebebalan, atau Cucu Menantu yang makin hari makin "menghina" khalayak pemirsanya. Dua sinetron dengan TV rating tinggi yang menjadi cermin buram keluarga Indonesia.
Di kedua sinetron itu, cara keluarga Indonesia menghadapi friksi dan konflik internal, digambarkan laiknya keluarga modern dengan peradaban primitif. Tempeleng-menempeleng, dengan kegeraman yang ditimbulkan oleh hasutan dan prasumsi, menjadi model yang dipandang paling mudah mengekspresikan konflik. Hadir dan hilangnya para tokoh yang menjadi simbol kebaikan dan kebajikan, berlangsung begitu saja, sehingga seluruh anggota keluarga menjadi para "penjahat". Tak jelas lagi karakterisasi para tokohnya.
Karenanya, kita tak lagi bisa membedakan: mana sinetron Indonesia dan mana pula telenovela made in Indonesia. Kita tak menemukan dimensi adab dan keadaban, seolah-olah bangsa ini merupakan bangsa yang tak berakhlak. Dan sangat merisaukan, semua itu bisa berlangsung dan mengalir begitu saja, justru ketika kita mempunyai Komisi Penyiaran Indonesia. Institusi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang dan bertanggung jawab terhadap dimensi etik dalam penyiaran Indonesia!
Gambaran kasar dan bebal semacam itu, ironisnya, dibarengi dengan kegemaran para pengelola program siaran televisi kita, yang tampak gemar menghadirkan peristiwa kehidupan sosial yang tak pantas ditayangkan. Mulai dari demonstrasi mereka yang kecewa karena "jagoannya" kalah dalam pemilihan kepala desa, sampai amuk tak berotak dalam mengekspresikan kehendak. Ironisnya, semua itu diklaim sebagai ekspresi hidup berdemokrasi.
Dunia sinetron dan programa pertelevisian kita, seolah-olah sedang mempertontonkan dengan semena-mena, kecenderungan baru: perubahan total dari keberadaban menjadi kebiadaban. Mereka yang masuk ke dalam industri programa siaran televisi, khasnya sinetron, seolah-olah masyarakat bar bar yang kehilangan cultural responsibilty.
Tempeleng dan Amuk
SEBENARNYA, semua itu tak akan pernah terjadi, bila pemilik dan penyelenggara siaran televisi mau dan mampu merumuskan kategori programa siaran yang berkualitas, cerdas, dan beradab. Kemudian mampu merumuskan kriterium alias standar kelayakan internal.
Televisi merupakan medium yang paling berdaya dalam melakukan penetrasi secara hipodermis. Karenanya, televisi merupakan medium yang paling berdaya menciptakan selera pemirsa. Bukan sebaliknya: mendiseminasikan kebebalan dan kebiadaban untuk dan atas nama selera pemirsa.
Pengalaman mengelola programa siaran televisi selama ini menunjukkan, ketika mereka yang berada di balik layar mempunyai kecerdasan dan kearifan kultural, mampu menciptakan selera pemirsa. Kedasih, Halimun, Pak Belalang, Kabayan Orang Beken, Sitti Nurbaja, Rumah Masa Depan, Losmen, Pondokan, Abu Mawas, Mat Angin, Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, dan berbagai sinetron yang beranjak dari local wisdom Indonesia, menunjukkan kemampuannya sebagai sinetron yang digemari dan mampu membentuk selera khalayak pemirsa.
Para penyelenggara siaran televisi yang berwatak, berkepribadian, mempunyai wawasan budaya, kreatif, dan sungguh mafhum tentang dimensi adab dan keadaban masyarakat Indonesia, tentu mampu memilih dan memilah materi yang pas untuk khalayak Indonesia. Apalagi kini, ketika kemerdekaan kreatif sangat terbuka ruangnya.
Di tengah realitas sosial pertama kehidupan nyata yang sedang berada dalam guncangan, di tengah gagalnya sistem ekonomi yang disangga konspirasi, mestinya sinetron sebagai medium perjuangan budaya menjadi pilihan. Namun, sayangnya, industri sektor yang paling memengaruhi perangai masyarakat luas ini, hanya dikuasai pedagang kelontong.
Saya tak mafhum, mengapa institusi negara, seperti DPR, dan instansi pemerintah (khususnya Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan Nasional), Partai Politik, serta berbagai organisasi kemasyarakatan tak mempunyai daya untuk menghambat proses sosialisasi kebiadaban semacam ini?
Haruskah kita menunggu bangsa ini terpuruk, akibat tempeleng dan amok menjadi citra budaya, baru akan membuat kita peduli? Bila jawabannya: ya!, siap-siaplah menyambut kehancuran bangsa yang tiada tara.
http://jurnalnasional.com/
BAGAIMANA keluarga Indonesia menjalani kehidupan domestiknya? Jangan jawab pertanyaan ini dengan adegan sinetron Indonesia, yang semestinya menjadi realitas kedua dari realitas yang sesungguhnya. Kita akan terkaget-kaget, dan tersesat.
Adegan dalam sinetron Indonesia yang oleh AC Nielsen diberi poin dengan audience share yang bagus, sungguh tak mencerminkan perilaku keluarga Indonesia beradab. Kita tak mafhum, model budaya dari mana yang dipakai para kreator sinetron Indonesia untuk mendeskripsikan sosok keluarga Indonesia saat menghadapi konflik. Yang jelas: tak beradab, meski digambarkan para tokohnya berpendidikan tinggi dan lulusan luar negeri pula.
Simaklah dengan baik sinetron Cinta Fitri yang makin hari makin mentransformasikan kebebalan, atau Cucu Menantu yang makin hari makin "menghina" khalayak pemirsanya. Dua sinetron dengan TV rating tinggi yang menjadi cermin buram keluarga Indonesia.
Di kedua sinetron itu, cara keluarga Indonesia menghadapi friksi dan konflik internal, digambarkan laiknya keluarga modern dengan peradaban primitif. Tempeleng-menempeleng, dengan kegeraman yang ditimbulkan oleh hasutan dan prasumsi, menjadi model yang dipandang paling mudah mengekspresikan konflik. Hadir dan hilangnya para tokoh yang menjadi simbol kebaikan dan kebajikan, berlangsung begitu saja, sehingga seluruh anggota keluarga menjadi para "penjahat". Tak jelas lagi karakterisasi para tokohnya.
Karenanya, kita tak lagi bisa membedakan: mana sinetron Indonesia dan mana pula telenovela made in Indonesia. Kita tak menemukan dimensi adab dan keadaban, seolah-olah bangsa ini merupakan bangsa yang tak berakhlak. Dan sangat merisaukan, semua itu bisa berlangsung dan mengalir begitu saja, justru ketika kita mempunyai Komisi Penyiaran Indonesia. Institusi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang dan bertanggung jawab terhadap dimensi etik dalam penyiaran Indonesia!
Gambaran kasar dan bebal semacam itu, ironisnya, dibarengi dengan kegemaran para pengelola program siaran televisi kita, yang tampak gemar menghadirkan peristiwa kehidupan sosial yang tak pantas ditayangkan. Mulai dari demonstrasi mereka yang kecewa karena "jagoannya" kalah dalam pemilihan kepala desa, sampai amuk tak berotak dalam mengekspresikan kehendak. Ironisnya, semua itu diklaim sebagai ekspresi hidup berdemokrasi.
Dunia sinetron dan programa pertelevisian kita, seolah-olah sedang mempertontonkan dengan semena-mena, kecenderungan baru: perubahan total dari keberadaban menjadi kebiadaban. Mereka yang masuk ke dalam industri programa siaran televisi, khasnya sinetron, seolah-olah masyarakat bar bar yang kehilangan cultural responsibilty.
Tempeleng dan Amuk
SEBENARNYA, semua itu tak akan pernah terjadi, bila pemilik dan penyelenggara siaran televisi mau dan mampu merumuskan kategori programa siaran yang berkualitas, cerdas, dan beradab. Kemudian mampu merumuskan kriterium alias standar kelayakan internal.
Televisi merupakan medium yang paling berdaya dalam melakukan penetrasi secara hipodermis. Karenanya, televisi merupakan medium yang paling berdaya menciptakan selera pemirsa. Bukan sebaliknya: mendiseminasikan kebebalan dan kebiadaban untuk dan atas nama selera pemirsa.
Pengalaman mengelola programa siaran televisi selama ini menunjukkan, ketika mereka yang berada di balik layar mempunyai kecerdasan dan kearifan kultural, mampu menciptakan selera pemirsa. Kedasih, Halimun, Pak Belalang, Kabayan Orang Beken, Sitti Nurbaja, Rumah Masa Depan, Losmen, Pondokan, Abu Mawas, Mat Angin, Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, dan berbagai sinetron yang beranjak dari local wisdom Indonesia, menunjukkan kemampuannya sebagai sinetron yang digemari dan mampu membentuk selera khalayak pemirsa.
Para penyelenggara siaran televisi yang berwatak, berkepribadian, mempunyai wawasan budaya, kreatif, dan sungguh mafhum tentang dimensi adab dan keadaban masyarakat Indonesia, tentu mampu memilih dan memilah materi yang pas untuk khalayak Indonesia. Apalagi kini, ketika kemerdekaan kreatif sangat terbuka ruangnya.
Di tengah realitas sosial pertama kehidupan nyata yang sedang berada dalam guncangan, di tengah gagalnya sistem ekonomi yang disangga konspirasi, mestinya sinetron sebagai medium perjuangan budaya menjadi pilihan. Namun, sayangnya, industri sektor yang paling memengaruhi perangai masyarakat luas ini, hanya dikuasai pedagang kelontong.
Saya tak mafhum, mengapa institusi negara, seperti DPR, dan instansi pemerintah (khususnya Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan Nasional), Partai Politik, serta berbagai organisasi kemasyarakatan tak mempunyai daya untuk menghambat proses sosialisasi kebiadaban semacam ini?
Haruskah kita menunggu bangsa ini terpuruk, akibat tempeleng dan amok menjadi citra budaya, baru akan membuat kita peduli? Bila jawabannya: ya!, siap-siaplah menyambut kehancuran bangsa yang tiada tara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar