Dwi Fitria
http://jurnalnasional.com/
Kait mengait antara selera pasar, tuntutan rating, dan idealisme pembuatnya.
Tersebutlah Ujang (Ringgo Agus Rahman), seorang office boy di sebuah perusahaan. Karena pekerjaannya mengharuskan ia berkutat di dalam pantry, maka kemudian Ujang pun tenar dengan sebutan Ujang Pantry. Ujang tak ganteng, ia miskin. Perilakunya polos dan cenderung kampungan.
Di perusahaan yang sama bekerja Nadine (Dina Olivia) seorang creative director yang punya status dan “kasta” yang berbeda dengan Ujang. Ia cantik, kaya, berhasi,l dan terhormat. Suatu malam Nadine mabuk berat dan tak bisa menahan dirinya untuk tidak bercinta dengan Ujang yang kebetulan masih ada di kantor.
Nadine lalu hamil. Sementara Ujang sudah kadung jatuh cinta kepada Nadine. Dengan gaya khasnya, Ujang kemudian berusahan menunjukkan kepada Nadine bahwa ia telah jatuh cinta. Dengan telaten setiap hari ia mengantarkan jamu pahit yang baik untuk perempuan hamil. Sering kali ia hilir-mudik di depan Nadine sekadar mencuri perhatiannya. Mulanya Nadine risih, tapi lama kelamaan Ujang mulai mendapatkan tempat di hatinya.
Demikian sekilas kisah Ujang Pantry. Sebuah sinetron yang menjadi salah satu pengisi program I-Sinema yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi kita. Ujang Pantry ditayangkan di penghujung tahun 2006 silam.
Menonton sekilas Ujang Pantry, tak ubahnya menonton sebuah sinetron lainnya. Tapi jika dicermati, kisah ini menampilkan cukup banyak muatan yang kurang tersampaikan oleh sinetron-sinetron yang ngetop belakangan ini, seperti Cinta Fitri, Rafika, dan belasan sinetron lain berjudul nama perempuan.
Meski sederhana Ujang Pantry bisa menampilkan konflik dan realita cinta yang dihadapi manusia berbeda kelas. Dan ini dilakukan tanpa adegan-adegan super dramatis yang bertujuan menguras air mata penontonnya. (Walaupun masih harus dipertanyakan, jangan-jangan yang terkuras cuma air mata para pemainnya saja).
Sinetron ini dibesut oleh Guntur Soeharyanto yang dikenal publik lewat film-film layar lebarnya Otomatis Romantis dan Juli di Bulan Juni. Guntur terinspirasi membuat cerita ini setelah suatu hari bertemu dengan pihak televisi yang menjelaskan sinetron jenis apa yang menurut pandangannya akan disukai masyarakat kita .
“Yang diperlukan adalah sinetron yang mudah diikuti jalan ceritanya. Kalau bisa sambil menelepon pun orang akan paham. Jadi buatlah sinetron yang seluruh bahasanya verbal. Jangan ada simbolis-simbolisan, masyarakat kita belum pinter,” ujar Guntur menirukan penjelasan yang ia terima.
Sebenarnya, sempat ia balik bertanya, jika memang masyarakat belum cerdas, mengapa orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak berusaha membuat sesuatu yang edukatif. Pertanyaan ini kemudian berbenturan dengan argumen soal rating.
Selepas pertemuan itu ia kemudian mengajak berdiskusi Monty Tiwa. Mereka berdua mencoba membuat sebuah formula baru. “Sebuah sinetron yang cheesy tapi bukan berarti tak punya isi sama sekali.” Maka terciptalah Ujang Pantry. Dan rupa-rupanya formula itu berhasil. Sinetron itu mendapatkan sambutan positif dan meraih perhatian banyak pemirsa.
Sayangnya formula yang terbukti berhasil itu tak serta-merta menjadikannya kiblat pembuatan sinetron yang lebih baru. Atas nama rating, sinetron yang beredar dan (konon) laris di pasaran masih memakai formula akting superdramatis dengan jalan cerita berbelit dan antagonis yang benar-benar hitam, serta protagonis yang tak bercela.
Kali lain saat ia mempresentasikan karyanya Sebatas Aku Mampu, Guntur mendapatkan tantangan lain. Pihak televisi mengatakan bahwa yang dibutuhkan bukan piala tapi rating yang tinggi.
Menurut Guntur pola pikir rating adalah raja yang kemudian membuat kondisi sinetron Indonesia seperti sekarang. “Padahal hanya ada satu lembaga yang dianggap memberikan rating yang valid.” Untuk mulai membenahi kondisi persinetronan Indonesia diperlukan pikiran yang lebih kritis melihat rating. Juga mulai melihat sinetron tak semata media hiburan tapi juga wahana untuk memberikan pendidikan.
Penonton Tak Cerdas
Sementara menurut sutradara Upi Avianto, kondisi sinetron yang kini terjadi justru mencerminkan masyarakat pada umumnya.
“Menurut pandangan saya, layar TV itu ibarat kaca yang merefleksikan kultur budaya masyarakat kita. Jika banyak yang bilang nggak bermutu, nggak realistis, dangkal, itu artinya seperti itulah kondisi masyarakat kita. Jangan ditanya pada pembuatnya, tapi pertanyaannya kenapa mereka mau menonton?” jawab Upi dalam sebuah email kepada Jurnal Nasional pada Jumat (20/02) lalu.
Kondisi persinetronan Indonesia seperti benang kusut. Penonton dan jenis sinetron yang kini marak merambah layar kaca punya proporsi yang sama kuatnya membentuk format sinetron jadi demikian.
“Semua terpulang ke tingkat pendidikan masyarakat kita. Kalau masyarakat kita tingkat pendidikannya bagus, mereka tidak akan menyukai sinetron seperti itu. Dan kalau tidak ada yang menonton sinetron, tentu produser tidak akan memproduksinya,” ujar sutradara yang kondang lewat film-film 30 Hari Mencari Cinta; Realita,Cinta dan Rock’n Roll juga Radit dan Jani tersebut.
Sementara Guntur punya pandangan yang sedikit berbeda. “Kondisi sinetron yang ideal menurut hemat saya adalah saat idealisme pembuatnya bisa bertemu dengan idealisme produser. Sebuah sinetron yang berisi tapi juga laris di pasaran.” Dan ia optimis sinetron semacam ini bukannya mustahil diciptakan. “Asal semua pihak yang terlibat mau berpikir lebih keras.”
Sementara Upi tidak seoptimis Guntur. “Saya pikir kalau masyarakat masih menerima hal-hal seperti itu dan tingkat pendidikan masyarakat kita juga masih rendah, industrinya juga akan seperti itu terus. Jadi nggak usah berharap terlalu muluklah,” ujar Upi.
Jadi kapankah benang kusut sinetron Indonesia akan menemui ujungnya?
http://jurnalnasional.com/
Kait mengait antara selera pasar, tuntutan rating, dan idealisme pembuatnya.
Tersebutlah Ujang (Ringgo Agus Rahman), seorang office boy di sebuah perusahaan. Karena pekerjaannya mengharuskan ia berkutat di dalam pantry, maka kemudian Ujang pun tenar dengan sebutan Ujang Pantry. Ujang tak ganteng, ia miskin. Perilakunya polos dan cenderung kampungan.
Di perusahaan yang sama bekerja Nadine (Dina Olivia) seorang creative director yang punya status dan “kasta” yang berbeda dengan Ujang. Ia cantik, kaya, berhasi,l dan terhormat. Suatu malam Nadine mabuk berat dan tak bisa menahan dirinya untuk tidak bercinta dengan Ujang yang kebetulan masih ada di kantor.
Nadine lalu hamil. Sementara Ujang sudah kadung jatuh cinta kepada Nadine. Dengan gaya khasnya, Ujang kemudian berusahan menunjukkan kepada Nadine bahwa ia telah jatuh cinta. Dengan telaten setiap hari ia mengantarkan jamu pahit yang baik untuk perempuan hamil. Sering kali ia hilir-mudik di depan Nadine sekadar mencuri perhatiannya. Mulanya Nadine risih, tapi lama kelamaan Ujang mulai mendapatkan tempat di hatinya.
Demikian sekilas kisah Ujang Pantry. Sebuah sinetron yang menjadi salah satu pengisi program I-Sinema yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi kita. Ujang Pantry ditayangkan di penghujung tahun 2006 silam.
Menonton sekilas Ujang Pantry, tak ubahnya menonton sebuah sinetron lainnya. Tapi jika dicermati, kisah ini menampilkan cukup banyak muatan yang kurang tersampaikan oleh sinetron-sinetron yang ngetop belakangan ini, seperti Cinta Fitri, Rafika, dan belasan sinetron lain berjudul nama perempuan.
Meski sederhana Ujang Pantry bisa menampilkan konflik dan realita cinta yang dihadapi manusia berbeda kelas. Dan ini dilakukan tanpa adegan-adegan super dramatis yang bertujuan menguras air mata penontonnya. (Walaupun masih harus dipertanyakan, jangan-jangan yang terkuras cuma air mata para pemainnya saja).
Sinetron ini dibesut oleh Guntur Soeharyanto yang dikenal publik lewat film-film layar lebarnya Otomatis Romantis dan Juli di Bulan Juni. Guntur terinspirasi membuat cerita ini setelah suatu hari bertemu dengan pihak televisi yang menjelaskan sinetron jenis apa yang menurut pandangannya akan disukai masyarakat kita .
“Yang diperlukan adalah sinetron yang mudah diikuti jalan ceritanya. Kalau bisa sambil menelepon pun orang akan paham. Jadi buatlah sinetron yang seluruh bahasanya verbal. Jangan ada simbolis-simbolisan, masyarakat kita belum pinter,” ujar Guntur menirukan penjelasan yang ia terima.
Sebenarnya, sempat ia balik bertanya, jika memang masyarakat belum cerdas, mengapa orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak berusaha membuat sesuatu yang edukatif. Pertanyaan ini kemudian berbenturan dengan argumen soal rating.
Selepas pertemuan itu ia kemudian mengajak berdiskusi Monty Tiwa. Mereka berdua mencoba membuat sebuah formula baru. “Sebuah sinetron yang cheesy tapi bukan berarti tak punya isi sama sekali.” Maka terciptalah Ujang Pantry. Dan rupa-rupanya formula itu berhasil. Sinetron itu mendapatkan sambutan positif dan meraih perhatian banyak pemirsa.
Sayangnya formula yang terbukti berhasil itu tak serta-merta menjadikannya kiblat pembuatan sinetron yang lebih baru. Atas nama rating, sinetron yang beredar dan (konon) laris di pasaran masih memakai formula akting superdramatis dengan jalan cerita berbelit dan antagonis yang benar-benar hitam, serta protagonis yang tak bercela.
Kali lain saat ia mempresentasikan karyanya Sebatas Aku Mampu, Guntur mendapatkan tantangan lain. Pihak televisi mengatakan bahwa yang dibutuhkan bukan piala tapi rating yang tinggi.
Menurut Guntur pola pikir rating adalah raja yang kemudian membuat kondisi sinetron Indonesia seperti sekarang. “Padahal hanya ada satu lembaga yang dianggap memberikan rating yang valid.” Untuk mulai membenahi kondisi persinetronan Indonesia diperlukan pikiran yang lebih kritis melihat rating. Juga mulai melihat sinetron tak semata media hiburan tapi juga wahana untuk memberikan pendidikan.
Penonton Tak Cerdas
Sementara menurut sutradara Upi Avianto, kondisi sinetron yang kini terjadi justru mencerminkan masyarakat pada umumnya.
“Menurut pandangan saya, layar TV itu ibarat kaca yang merefleksikan kultur budaya masyarakat kita. Jika banyak yang bilang nggak bermutu, nggak realistis, dangkal, itu artinya seperti itulah kondisi masyarakat kita. Jangan ditanya pada pembuatnya, tapi pertanyaannya kenapa mereka mau menonton?” jawab Upi dalam sebuah email kepada Jurnal Nasional pada Jumat (20/02) lalu.
Kondisi persinetronan Indonesia seperti benang kusut. Penonton dan jenis sinetron yang kini marak merambah layar kaca punya proporsi yang sama kuatnya membentuk format sinetron jadi demikian.
“Semua terpulang ke tingkat pendidikan masyarakat kita. Kalau masyarakat kita tingkat pendidikannya bagus, mereka tidak akan menyukai sinetron seperti itu. Dan kalau tidak ada yang menonton sinetron, tentu produser tidak akan memproduksinya,” ujar sutradara yang kondang lewat film-film 30 Hari Mencari Cinta; Realita,Cinta dan Rock’n Roll juga Radit dan Jani tersebut.
Sementara Guntur punya pandangan yang sedikit berbeda. “Kondisi sinetron yang ideal menurut hemat saya adalah saat idealisme pembuatnya bisa bertemu dengan idealisme produser. Sebuah sinetron yang berisi tapi juga laris di pasaran.” Dan ia optimis sinetron semacam ini bukannya mustahil diciptakan. “Asal semua pihak yang terlibat mau berpikir lebih keras.”
Sementara Upi tidak seoptimis Guntur. “Saya pikir kalau masyarakat masih menerima hal-hal seperti itu dan tingkat pendidikan masyarakat kita juga masih rendah, industrinya juga akan seperti itu terus. Jadi nggak usah berharap terlalu muluklah,” ujar Upi.
Jadi kapankah benang kusut sinetron Indonesia akan menemui ujungnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar