Timur Arif Riyadi
http://jurnalnasional.com/
Masa depan bangsa ini, tak hanya ditentukan oleh mereka yang berkantong tebal.
BERHARAP ada bintang jatuh, biar aku bisa minta sesuatu...
Andai benar ada bintang jatuh, mungkin anak-anak jalanan, anak-anak pinggiran, yang menyaksikannya akan mengucapkan harapan, "Tuhan, beri rezeki untukku hari ini... Tuhan, buka mata hati para penguasa kota, para petugas Trantib, supaya tidak mengejar-ngejar diriku mirip buronan dan menjebloskanku ke panti sosial."
Itulah sebait puisi harapan karya Elok Dyah Messwati, salah seorang sahabat komunitas anak akar. Ia coba menggambarkan keprihatinan hidup komunitas terpinggirkan, termarginalkan, yang hidup penuh prihatin namun ulet dalam menantang hidup.
Jeritan hati pusi di atas adalah jeritan anak-anak jalanan yang tergabung dalam komunitas sanggar anak akar.
Keberadaannya, bagai alang-alang. Yang walau sudah dibabat habis, namun tetap saja tumbuh subur. Akarnya bisa menembus aspal keras, dan bahkan beton di atasnya. Menginginkan mentari untuk napasnya, dan terkadang mencuri makan unsur hara dari ladang petani. Bagaimanapun mereka tetap makhluk Tuhan, yang selalu ada dan coba bertahan hidup dari ganasnya hidup.
Gambaran makna filosofis itulah yang coba dijelaskan Abdurrahman (26), sukarelawan yang bertugas sebagai asisten akademik di sanggar anak akar. "Akar disini berarti sesuatu yang tak terlihat, termarginalkan, namun mereka tetap sebuah unsur penting bagi tunas kehidupan diatasnya." kata Doge, sapaan akrab Abdurrahman kepada Jurnal Nasional.
Tak hanya anak-anak jalanan, anggota sanggar akar ini juga adalah anak-anak dari keluarga perkotaan yang tidak mampu secara ekonomi. Mereka berasal dari berbagai lokasi di Jakarta.
Mereka yang bertempat tinggal di Cakung, umumnya anak-anak petani sayur yang menanam sayur di bantaran sungai. Anak-anak dari Bantar Gebang yang orangtuanya berprofesi sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah tersebut. Anak-anak dari Penas lama, yang biasanya anak-anak penjual gorengan, penjual ketoprak keliling, atau kuli bangunan.
Didirikan pada 22 November 1994, sanggar anak akar utamanya menjadi sebuah media, anak-anak dan remaja bisa menyalurkan sekaligus ditularkan semangat berkarya dan bekal hidup. Tentu dengan berbagai macam program.
"Drama, operet, dan berkesenian menjadi media yang tepat bagi anak-anak di komunitas ini terbiasa dengan beragam kegiatan positif di dalamnya," kata Doge.
Sudah tak terhitung pentas drama yang mereka coba hadirkan dalam pentas-pentas resmi. Taman Ismali MArzuki, merupakan salah satu langganan komunitas ini untuk memamerkan unjuk kebolehan mereka. Belum terhitung undangan acara bermusik dari anak-anak sanggar akar ini.
Dari situ, anak-anak ini coba dibiasakan dengan pendidikan. Pasalnya banyak dari mereka yang sudah tak lagi mengenyam bangku sekolah, bahkan sama sekali tak pernah tahu pendidikan formal. Walau banyak juga mereka yang saat pagi bersekolah, siang mencari nafkah di jalanan, dan sorenya baru bermain di sanggar ini.
Adalah Biro Advokasi Anak-Institut Sosial Jakarta yang dikomandoi Romo Sandyawan yang pertama kali memunculkan ide mendirikan komunitas ini. Melalui pendidikan, operet, drama, dan media pendidikan kreatif lainnya, Romo Sandyawan bersama anak-anak pinggiran membangun komunitas sanggar anak akar.
Seiring dengan berjalannya waktu, kesulitan untuk mencari tempat belajar dan bermain yang nyaman adalah salah satu alasan mendesak dibanggunnya sanggar.
Bentuk sanggar sengaja dipilih untuk memfasilitasi terciptanya proses "belajar sambil berkarya" dan membuka peluang sebanyak mungkin kegiatan kreatif yang mampu mendukung pengembangan potensi anak.
Di samping kegiatan membaca di perpustakaan, mereka juga membuat kerajinan (daur ulang, sablon), bermain musik, membuat tabloid, juga mengembangkan kegiatan dinamika kelompok belajar dan teater.
Untuk tabloid, karena terbentur ongkos cetak yang semakin melambung, maka media yang semula kertas, dipindah ke dalam internet. "Yang terpenting, nuansa sastra dan pelajaran berbahasa mereka tetap bisa tersalur," kata Doge yang juga hobi membaca dan mengutak-atik komputer tersebut.
Berpikir Kritis
Tak hanya itu, untuk melatih membaca, menulis, dan mendengar serta berbicara yang baik, setiap minggu anak-anak yang sebagian besar pengamen itu ditugaskan untuk menulis dan mempresentasikannya di kelas.
Acara yang biasa digelar setiap hari Minggu tersebut dan dihadiri oleh puluhan anak jalanan mengajarkan selama tiga jam mulai dari sosiodrama, latihan public speaking, mengkritik teman, dan bercerita lisan.
"Di situlah mereka diajarkan public speaking, sekaligus belajar mengkritisi dengan bahasa yang baik dan runut," kata Doge.
Ibe Karyanto, Direktur Eksekutif Akdemik Komunitas Sanggar Anak Akar mengatakan, yang juga menarik adalah bagaimana anak-anak di sanggar ini diajarkan rasa kepercayaan diri melalui bermacam kegiatan, seperti misalnya public speaking di atas. "Tak heran kalau anak-anak seusia 10-12 tahun telah mampu berpikir kritis," kata Ibe yang kini sedang sibuk membuat komunitas serupa di Magelang, Jawa Tengah.
Atin, kelas VI SD dan adiknya Nina, kelas V misalnya, sudah bisa membuat perbandingan antara film Heaven (Iran), Not One Less (China), dan Petualangan Sherina (Indonesia).
Ini baru salah satunya. Seluruh materi seperti sejarah, matematika, bahasa, lingkungan hidup yang disusun bersama sahabat Sanggar Akar, seperti Hilman Faried, John Roosa, Razif dari Jaringan Kerja Budaya, memang diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas, seperti tanggung jawab pribadi, usaha mandiri, dan kreatif; tanggung jawab sosial menyangkut kepekaan sosial, serta sumbangan pada pengembangan masyarakat; dan tanggung jawab pada alam.
Seluruh mata pelajaran juga ditujukan untuk mengasah kekritisan anak; termasuk dalam membaca buku pelajaran. Di antara para relawan pengajar terdapat pematung terkemuka, Dolorosa Sinaga.
Dikatakan Ibe, prinsip hubungan guru-murid juga adalah keterbukaan dan kesetaraan, karena gerakan pendidikan ini menolak prinsip anak sebagai tabula rasa (pengalamanlah yang mempengaruhi pibadi, Red).
"Selama belajar, anak tetap merupakan individu bebas, tetapi bukan tanpa disiplin. Di dalam kelas, yang berlaku bukan disiplin yang kaku, tetapi semacam tutorial," katanya.
Orientasinya bukan ketaatan, tetapi pada komitmen. Disiplin seperti ini diyakini akan mendorong motivasi dan kesadaran belajar. Tak hanya diterapkan pada anak, tetapi juga guru.
"Dalam gerakan ini pendidikan merupakan sebuah proses. Anak-anak dan kami akan terus berproses, berkembang dan kami berharap gerakan ini akan menjadi milik publik," kata Ibe.
Sekolah Komunitas
Lalu bagaimana dengan mimpi komunitas ini ke depan? Tak muluk-muluk, Doge mengatakan, dalam jangka panjang, sanggar anak akar menginginkan terwujudnya sebuah sekolah komunitas, yang tentunya gratis.
Modal bangunan empat lantai yang berdiri di lahan seluas 700 meter persegi menjadi modal awal yang cukup baik untuk mewujudkan mimpi tersebut. "Juni 2009 ini, kami coba akan buka pendaftaran bagi murid, dengan sasaran umur 12 hingga 18 tahun," kata Doge yang juga sebagai pengajar Seni Budaya di SMP dan SMA Theresia Depok ini.
Pelajaran yang akan didapatkan di antaranya, Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, Science (Biologi dan Fisika), serta seni budaya termasuk di dalamnya musik dan drama.
"Untuk mewujudkan hal itu, saat ini kami sedang merapihkan manajemen, dan mencoba membuat jadwal yang terstruktur untuk kurikulum di daerah," kata Doge.
Bagaiamana dengan dana? Sumbangan para donatur melalui proposal dan program selama ini menjadi andalan bagi tetap berdirinya komunitas sanggar anak akar. "Ada juga beberapa dermawan yang menyumbang piano, alat musik, dan buku-buku," kata Doge yang mahir memainkan alat musik biola, gitar, dan sedikit piano tersebut.
Bila sudah begitu, dia berharap masa depan bangsa ini, tak hanya bisa ditentukan oleh dan dibeli oleh mereka yang berkantong tebal. Bahwa hak pendidikan pada anak juga merupakan hak universal. Selamat berkarya anak akar.
http://jurnalnasional.com/
Masa depan bangsa ini, tak hanya ditentukan oleh mereka yang berkantong tebal.
BERHARAP ada bintang jatuh, biar aku bisa minta sesuatu...
Andai benar ada bintang jatuh, mungkin anak-anak jalanan, anak-anak pinggiran, yang menyaksikannya akan mengucapkan harapan, "Tuhan, beri rezeki untukku hari ini... Tuhan, buka mata hati para penguasa kota, para petugas Trantib, supaya tidak mengejar-ngejar diriku mirip buronan dan menjebloskanku ke panti sosial."
Itulah sebait puisi harapan karya Elok Dyah Messwati, salah seorang sahabat komunitas anak akar. Ia coba menggambarkan keprihatinan hidup komunitas terpinggirkan, termarginalkan, yang hidup penuh prihatin namun ulet dalam menantang hidup.
Jeritan hati pusi di atas adalah jeritan anak-anak jalanan yang tergabung dalam komunitas sanggar anak akar.
Keberadaannya, bagai alang-alang. Yang walau sudah dibabat habis, namun tetap saja tumbuh subur. Akarnya bisa menembus aspal keras, dan bahkan beton di atasnya. Menginginkan mentari untuk napasnya, dan terkadang mencuri makan unsur hara dari ladang petani. Bagaimanapun mereka tetap makhluk Tuhan, yang selalu ada dan coba bertahan hidup dari ganasnya hidup.
Gambaran makna filosofis itulah yang coba dijelaskan Abdurrahman (26), sukarelawan yang bertugas sebagai asisten akademik di sanggar anak akar. "Akar disini berarti sesuatu yang tak terlihat, termarginalkan, namun mereka tetap sebuah unsur penting bagi tunas kehidupan diatasnya." kata Doge, sapaan akrab Abdurrahman kepada Jurnal Nasional.
Tak hanya anak-anak jalanan, anggota sanggar akar ini juga adalah anak-anak dari keluarga perkotaan yang tidak mampu secara ekonomi. Mereka berasal dari berbagai lokasi di Jakarta.
Mereka yang bertempat tinggal di Cakung, umumnya anak-anak petani sayur yang menanam sayur di bantaran sungai. Anak-anak dari Bantar Gebang yang orangtuanya berprofesi sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah tersebut. Anak-anak dari Penas lama, yang biasanya anak-anak penjual gorengan, penjual ketoprak keliling, atau kuli bangunan.
Didirikan pada 22 November 1994, sanggar anak akar utamanya menjadi sebuah media, anak-anak dan remaja bisa menyalurkan sekaligus ditularkan semangat berkarya dan bekal hidup. Tentu dengan berbagai macam program.
"Drama, operet, dan berkesenian menjadi media yang tepat bagi anak-anak di komunitas ini terbiasa dengan beragam kegiatan positif di dalamnya," kata Doge.
Sudah tak terhitung pentas drama yang mereka coba hadirkan dalam pentas-pentas resmi. Taman Ismali MArzuki, merupakan salah satu langganan komunitas ini untuk memamerkan unjuk kebolehan mereka. Belum terhitung undangan acara bermusik dari anak-anak sanggar akar ini.
Dari situ, anak-anak ini coba dibiasakan dengan pendidikan. Pasalnya banyak dari mereka yang sudah tak lagi mengenyam bangku sekolah, bahkan sama sekali tak pernah tahu pendidikan formal. Walau banyak juga mereka yang saat pagi bersekolah, siang mencari nafkah di jalanan, dan sorenya baru bermain di sanggar ini.
Adalah Biro Advokasi Anak-Institut Sosial Jakarta yang dikomandoi Romo Sandyawan yang pertama kali memunculkan ide mendirikan komunitas ini. Melalui pendidikan, operet, drama, dan media pendidikan kreatif lainnya, Romo Sandyawan bersama anak-anak pinggiran membangun komunitas sanggar anak akar.
Seiring dengan berjalannya waktu, kesulitan untuk mencari tempat belajar dan bermain yang nyaman adalah salah satu alasan mendesak dibanggunnya sanggar.
Bentuk sanggar sengaja dipilih untuk memfasilitasi terciptanya proses "belajar sambil berkarya" dan membuka peluang sebanyak mungkin kegiatan kreatif yang mampu mendukung pengembangan potensi anak.
Di samping kegiatan membaca di perpustakaan, mereka juga membuat kerajinan (daur ulang, sablon), bermain musik, membuat tabloid, juga mengembangkan kegiatan dinamika kelompok belajar dan teater.
Untuk tabloid, karena terbentur ongkos cetak yang semakin melambung, maka media yang semula kertas, dipindah ke dalam internet. "Yang terpenting, nuansa sastra dan pelajaran berbahasa mereka tetap bisa tersalur," kata Doge yang juga hobi membaca dan mengutak-atik komputer tersebut.
Berpikir Kritis
Tak hanya itu, untuk melatih membaca, menulis, dan mendengar serta berbicara yang baik, setiap minggu anak-anak yang sebagian besar pengamen itu ditugaskan untuk menulis dan mempresentasikannya di kelas.
Acara yang biasa digelar setiap hari Minggu tersebut dan dihadiri oleh puluhan anak jalanan mengajarkan selama tiga jam mulai dari sosiodrama, latihan public speaking, mengkritik teman, dan bercerita lisan.
"Di situlah mereka diajarkan public speaking, sekaligus belajar mengkritisi dengan bahasa yang baik dan runut," kata Doge.
Ibe Karyanto, Direktur Eksekutif Akdemik Komunitas Sanggar Anak Akar mengatakan, yang juga menarik adalah bagaimana anak-anak di sanggar ini diajarkan rasa kepercayaan diri melalui bermacam kegiatan, seperti misalnya public speaking di atas. "Tak heran kalau anak-anak seusia 10-12 tahun telah mampu berpikir kritis," kata Ibe yang kini sedang sibuk membuat komunitas serupa di Magelang, Jawa Tengah.
Atin, kelas VI SD dan adiknya Nina, kelas V misalnya, sudah bisa membuat perbandingan antara film Heaven (Iran), Not One Less (China), dan Petualangan Sherina (Indonesia).
Ini baru salah satunya. Seluruh materi seperti sejarah, matematika, bahasa, lingkungan hidup yang disusun bersama sahabat Sanggar Akar, seperti Hilman Faried, John Roosa, Razif dari Jaringan Kerja Budaya, memang diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas, seperti tanggung jawab pribadi, usaha mandiri, dan kreatif; tanggung jawab sosial menyangkut kepekaan sosial, serta sumbangan pada pengembangan masyarakat; dan tanggung jawab pada alam.
Seluruh mata pelajaran juga ditujukan untuk mengasah kekritisan anak; termasuk dalam membaca buku pelajaran. Di antara para relawan pengajar terdapat pematung terkemuka, Dolorosa Sinaga.
Dikatakan Ibe, prinsip hubungan guru-murid juga adalah keterbukaan dan kesetaraan, karena gerakan pendidikan ini menolak prinsip anak sebagai tabula rasa (pengalamanlah yang mempengaruhi pibadi, Red).
"Selama belajar, anak tetap merupakan individu bebas, tetapi bukan tanpa disiplin. Di dalam kelas, yang berlaku bukan disiplin yang kaku, tetapi semacam tutorial," katanya.
Orientasinya bukan ketaatan, tetapi pada komitmen. Disiplin seperti ini diyakini akan mendorong motivasi dan kesadaran belajar. Tak hanya diterapkan pada anak, tetapi juga guru.
"Dalam gerakan ini pendidikan merupakan sebuah proses. Anak-anak dan kami akan terus berproses, berkembang dan kami berharap gerakan ini akan menjadi milik publik," kata Ibe.
Sekolah Komunitas
Lalu bagaimana dengan mimpi komunitas ini ke depan? Tak muluk-muluk, Doge mengatakan, dalam jangka panjang, sanggar anak akar menginginkan terwujudnya sebuah sekolah komunitas, yang tentunya gratis.
Modal bangunan empat lantai yang berdiri di lahan seluas 700 meter persegi menjadi modal awal yang cukup baik untuk mewujudkan mimpi tersebut. "Juni 2009 ini, kami coba akan buka pendaftaran bagi murid, dengan sasaran umur 12 hingga 18 tahun," kata Doge yang juga sebagai pengajar Seni Budaya di SMP dan SMA Theresia Depok ini.
Pelajaran yang akan didapatkan di antaranya, Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, Science (Biologi dan Fisika), serta seni budaya termasuk di dalamnya musik dan drama.
"Untuk mewujudkan hal itu, saat ini kami sedang merapihkan manajemen, dan mencoba membuat jadwal yang terstruktur untuk kurikulum di daerah," kata Doge.
Bagaiamana dengan dana? Sumbangan para donatur melalui proposal dan program selama ini menjadi andalan bagi tetap berdirinya komunitas sanggar anak akar. "Ada juga beberapa dermawan yang menyumbang piano, alat musik, dan buku-buku," kata Doge yang mahir memainkan alat musik biola, gitar, dan sedikit piano tersebut.
Bila sudah begitu, dia berharap masa depan bangsa ini, tak hanya bisa ditentukan oleh dan dibeli oleh mereka yang berkantong tebal. Bahwa hak pendidikan pada anak juga merupakan hak universal. Selamat berkarya anak akar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar