Djuli Djatiprambudi*
http://www.jawapos.com/
Air mukanya tampak menatap tajam, ketika suatu siang saya menyodorkan sebuah buku karya Helena Spanjaard berjudul Het Ideaal Van Een Moderne Indonesische Schilderkunst 1900-1995: De Creatie Van Een Nationale Culturele Identiteit kepada Pak Wi (panggilang akrab Prof Wiyoso Yudoseputro). Dia lantas bertanya, ''Apa sudah Anda baca buku itu?'' Tentu saja, segera saya jawab khas jawaban seorang mahasiswa pemalas, ''Sedikit-sedikit Pak.''
Saya jawab demikian, karena penguasaan bahasa Belanda saya masih grothal-grathul. Sejurus kemudian, saya melesatkan pertanyaan agak konyol, ''Apa Pak Wi sudah punya buku ini?'' Di luar dugaan saya, Pak Wi menjawab, ''Belum. Tolong saya di-copy-kan ya!'' Ketika itu, saya memang sedang mengambil perkuliahan Pak Wi di Program Pascasarjana Ilmu Seni Rupa di ITB, awal 2000-an. Pak Wi mengajarkan mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia selama dua semester.
Buku karya peneliti seni rupa Indonesia asal Belanda itu saya tunjukkan kepada Pak Wi, selain agar dia terkesan pada saya sebagai mahasiswanya yang sok serius, sebenarnya saya pingin tahu komentarnya lebih jauh soal buku itu. Asumsi saya ketika itu, Pak Wi sudah membaca tuntas dengan banyak catatan kritis. Bahasa Belanda bukan kendala berarti bagi guru besar sejarah seni rupa yang susah dicari tandingannya itu. Dia sangat memahami detail sejarah seni rupa Indonesia, bahkan seni rupa Timur (Mesir, India, Tiongkok, Jepang). Kalau menjelaskan seni rupa Indonesia periode pengaruh Hindu dan Islam, misalnya, dia akan menjelaskan dengan kata-kata yang susah dibendung, karena semua hafal di luar kepala. Dia guru yang mengagumkan dalam hal penguasaan materi, tetapi sayang tidak diikuti gaya mengajar yang menarik. Sebagai orang yang sedikit tahu teori metode belajar-mengajar, saya tentu agak risau mengikuti perkuliahan yang relatif monoton itu. Cara bicaranya datar, tidak ada ekspresi, dan sambil terus-menerus merokok sepanjang perkuliahan berlangsung.
Namun, di balik kemonotonan yang dipertontonkan kepada mahasiswa, saya justru merasakan hal lain. Betapa orang ini jenis manusia langka di negeri ini. Kepakarannya di bidang sejarah seni, sayang tidak mendapatkan saluran untuk menjadi magnum opus (karya akademik yang besar). Negeri ini siapa pun tahu tidak begitu peduli memfasilitasi orang-orang langka di bidang akademik dan penelitian untuk melahirkan karya besar. Bahkan, pemerintah dengan tetap berkedok mitos ''pengabdian'', seorang guru besar tega-teganya cuma diberi tunjangan jabatan 1,5 juta rupiah selama bertahun-tahun. Tapi, lagi-lagi dengan semangat ''pengabdian'' sebagai guru besar, untunglah Pak Wi masih sempat melahirkan sejumlah buku seni rupa, yang selalu menjadi rujukan mahasiswa seni rupa, termasuk karya terbarunya bertajuk Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama (2008). Buku ini terbit, seperti menjadi tanda khusus bagi dunia seni rupa tatkala kematian menjemputnya dalam usia 80 tahun beberapa bulan lalu, pertengahan 2008.
Tentu, dunia seni rupa berduka atas meninggalnya Pak Wi, begawan sejarah seni rupa kelahiran Salatiga, 1928. Suatu bidang yang jarang diminati oleh generasi sekarang, tatkala dunia seni rupa yang berkembang lepas kendali dari persoalan fondasi keilmuan dan penelitian. Orang sekarang dengan seenaknya menempatkan posisi seniman dan karyanya sesuai dengan kepentingannya, tanpa ada studi yang meyakinkan. Tanpa melalui penelitian sejarah dengan baik, tiba-tiba seorang seniman yang baru nongol beberapa tahun lalu, karyanya diapresiasi melesat jauh dengan nilai fantastik. Demi kepentingan pragmatis macam itu, yang berelasi dengan komodifikasi seni, aura yang dimiliki orang macam Pak Wi cenderung dilewatkan begitu saja.
***
Duka makin bertambah dalam ketika Jumat, 5 Desember 2008, tersiar kabar bahwa Prof Soedarso Sp. menyusul kepergian Pak Wi, menghadap Sang Khaliq dalam usia 72 tahun.
Saya bukan murid langsung Pak Darso, tapi saya mengenal guru besar yang amat berwibawa ini dalam berbagai kesempatan. Saya banyak mendengar kewibawaan Pak Darso dari sejumlah seniman yang pernah menjadi mahasiswanya, ketika mereka berkuliah di ISI Jogjakarta. Dia merupakan sosok guru yang sangat kuat penguasaan materi perkuliahannya, khususnya mata kuliah sejarah seni. Penguasaan itu tampak dalam sejumlah buku seni rupa yang ditulisnya, seperti Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern (1990) dan Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni (2006), sampai dianggap semacam ''kitab suci'' seni rupa. Dalam buku ini pemahaman mendasar soal seni dengan berbagai dimensinya dijelaskan dengan bahasa yang enak dan mengalir. Tidak dakik-dakik, tapi tetap ketat dalam hal mutu pemikirannya. Ini bukti, dia seorang guru besar sejati, yang bisa dengan mudah menjelaskan persoalan rumit dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh orang yang baru belajar seni rupa sekalipun. Karya terjemahannya dari buku Herbert Read The Meaning of Art pada dekade 70-an pun menjadi bacaan wajib mahasiswa seni rupa, karena begitu gampang dipahami, daripada harus berkeringat membaca buku aslinya.
Tapi, di balik sikap yang disiplin dan keras itu, Pak Darso sebenarnya sosok yang santun. Saya punya kesan yang mendalam soal sikapnya itu. Ketika dia masih menjabat Pembantu Rektor II ISI Jogjakarta, suatu siang di awal 1990-an, saya menemuinya di kantor barunya. Kala itu, ISI belum lama menempati kampus baru di Jalan Parangtritis. Saya diterima dengan baik, walaupun saya tidak mengenal akrab sebelumnya. Bahkan, dalam pertemuan itu sejumlah jurnal seni yang baru terbit diberikan kepada saya sebagai kenang-kenangan. Dia tampak bangga dengan jurnal seni yang dipimpinnya itu. Dia menilai jurnal seni sebagai identitas ISI yang tengah dipacu sebagai lembaga yang bukan hanya mendidik calon seniman yang terampil menciptakan karya seni, tapi juga pemikiran seni secara teoritis. Menurut dia, tanpa kehadiran jurnal, dunia pendidikan tinggi akan mandul dan menjadi tidak berwibawa. Karena itu, dia benar-benar menyiapkan strategi untuk mempertahankan kelangsungan jurnal seni itu. Saya tidak tahu, apakah jurnal itu kini masih terbit atau sudah mati?
Pak Wi dan Pad Darso tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan seni rupa modern Indonesia. Dari tangannya sejumlah tokoh seni rupa modern lahir melalui proses akademik yang dijaga secara ketat. Keduanya memiliki standar tinggi ketika harus menilai dan meluluskan mahasiswanya. Dua begawan meninggalkan makna bahwa keduanya adalah pilar penting perkembangan wacana seni rupa modern Indonesia. Tanpa kebegawanannya, saya sulit membayangkan bagaimana seni rupa Indonesia harus dijelaskan dalam bingkai teoritis dan historis.
Selamat beristirahat begawan! (*)
*) Kurator dan Kepala Jurusan Seni Rupa Unesa
http://www.jawapos.com/
Air mukanya tampak menatap tajam, ketika suatu siang saya menyodorkan sebuah buku karya Helena Spanjaard berjudul Het Ideaal Van Een Moderne Indonesische Schilderkunst 1900-1995: De Creatie Van Een Nationale Culturele Identiteit kepada Pak Wi (panggilang akrab Prof Wiyoso Yudoseputro). Dia lantas bertanya, ''Apa sudah Anda baca buku itu?'' Tentu saja, segera saya jawab khas jawaban seorang mahasiswa pemalas, ''Sedikit-sedikit Pak.''
Saya jawab demikian, karena penguasaan bahasa Belanda saya masih grothal-grathul. Sejurus kemudian, saya melesatkan pertanyaan agak konyol, ''Apa Pak Wi sudah punya buku ini?'' Di luar dugaan saya, Pak Wi menjawab, ''Belum. Tolong saya di-copy-kan ya!'' Ketika itu, saya memang sedang mengambil perkuliahan Pak Wi di Program Pascasarjana Ilmu Seni Rupa di ITB, awal 2000-an. Pak Wi mengajarkan mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia selama dua semester.
Buku karya peneliti seni rupa Indonesia asal Belanda itu saya tunjukkan kepada Pak Wi, selain agar dia terkesan pada saya sebagai mahasiswanya yang sok serius, sebenarnya saya pingin tahu komentarnya lebih jauh soal buku itu. Asumsi saya ketika itu, Pak Wi sudah membaca tuntas dengan banyak catatan kritis. Bahasa Belanda bukan kendala berarti bagi guru besar sejarah seni rupa yang susah dicari tandingannya itu. Dia sangat memahami detail sejarah seni rupa Indonesia, bahkan seni rupa Timur (Mesir, India, Tiongkok, Jepang). Kalau menjelaskan seni rupa Indonesia periode pengaruh Hindu dan Islam, misalnya, dia akan menjelaskan dengan kata-kata yang susah dibendung, karena semua hafal di luar kepala. Dia guru yang mengagumkan dalam hal penguasaan materi, tetapi sayang tidak diikuti gaya mengajar yang menarik. Sebagai orang yang sedikit tahu teori metode belajar-mengajar, saya tentu agak risau mengikuti perkuliahan yang relatif monoton itu. Cara bicaranya datar, tidak ada ekspresi, dan sambil terus-menerus merokok sepanjang perkuliahan berlangsung.
Namun, di balik kemonotonan yang dipertontonkan kepada mahasiswa, saya justru merasakan hal lain. Betapa orang ini jenis manusia langka di negeri ini. Kepakarannya di bidang sejarah seni, sayang tidak mendapatkan saluran untuk menjadi magnum opus (karya akademik yang besar). Negeri ini siapa pun tahu tidak begitu peduli memfasilitasi orang-orang langka di bidang akademik dan penelitian untuk melahirkan karya besar. Bahkan, pemerintah dengan tetap berkedok mitos ''pengabdian'', seorang guru besar tega-teganya cuma diberi tunjangan jabatan 1,5 juta rupiah selama bertahun-tahun. Tapi, lagi-lagi dengan semangat ''pengabdian'' sebagai guru besar, untunglah Pak Wi masih sempat melahirkan sejumlah buku seni rupa, yang selalu menjadi rujukan mahasiswa seni rupa, termasuk karya terbarunya bertajuk Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama (2008). Buku ini terbit, seperti menjadi tanda khusus bagi dunia seni rupa tatkala kematian menjemputnya dalam usia 80 tahun beberapa bulan lalu, pertengahan 2008.
Tentu, dunia seni rupa berduka atas meninggalnya Pak Wi, begawan sejarah seni rupa kelahiran Salatiga, 1928. Suatu bidang yang jarang diminati oleh generasi sekarang, tatkala dunia seni rupa yang berkembang lepas kendali dari persoalan fondasi keilmuan dan penelitian. Orang sekarang dengan seenaknya menempatkan posisi seniman dan karyanya sesuai dengan kepentingannya, tanpa ada studi yang meyakinkan. Tanpa melalui penelitian sejarah dengan baik, tiba-tiba seorang seniman yang baru nongol beberapa tahun lalu, karyanya diapresiasi melesat jauh dengan nilai fantastik. Demi kepentingan pragmatis macam itu, yang berelasi dengan komodifikasi seni, aura yang dimiliki orang macam Pak Wi cenderung dilewatkan begitu saja.
***
Duka makin bertambah dalam ketika Jumat, 5 Desember 2008, tersiar kabar bahwa Prof Soedarso Sp. menyusul kepergian Pak Wi, menghadap Sang Khaliq dalam usia 72 tahun.
Saya bukan murid langsung Pak Darso, tapi saya mengenal guru besar yang amat berwibawa ini dalam berbagai kesempatan. Saya banyak mendengar kewibawaan Pak Darso dari sejumlah seniman yang pernah menjadi mahasiswanya, ketika mereka berkuliah di ISI Jogjakarta. Dia merupakan sosok guru yang sangat kuat penguasaan materi perkuliahannya, khususnya mata kuliah sejarah seni. Penguasaan itu tampak dalam sejumlah buku seni rupa yang ditulisnya, seperti Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern (1990) dan Trilogi Seni: Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni (2006), sampai dianggap semacam ''kitab suci'' seni rupa. Dalam buku ini pemahaman mendasar soal seni dengan berbagai dimensinya dijelaskan dengan bahasa yang enak dan mengalir. Tidak dakik-dakik, tapi tetap ketat dalam hal mutu pemikirannya. Ini bukti, dia seorang guru besar sejati, yang bisa dengan mudah menjelaskan persoalan rumit dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami oleh orang yang baru belajar seni rupa sekalipun. Karya terjemahannya dari buku Herbert Read The Meaning of Art pada dekade 70-an pun menjadi bacaan wajib mahasiswa seni rupa, karena begitu gampang dipahami, daripada harus berkeringat membaca buku aslinya.
Tapi, di balik sikap yang disiplin dan keras itu, Pak Darso sebenarnya sosok yang santun. Saya punya kesan yang mendalam soal sikapnya itu. Ketika dia masih menjabat Pembantu Rektor II ISI Jogjakarta, suatu siang di awal 1990-an, saya menemuinya di kantor barunya. Kala itu, ISI belum lama menempati kampus baru di Jalan Parangtritis. Saya diterima dengan baik, walaupun saya tidak mengenal akrab sebelumnya. Bahkan, dalam pertemuan itu sejumlah jurnal seni yang baru terbit diberikan kepada saya sebagai kenang-kenangan. Dia tampak bangga dengan jurnal seni yang dipimpinnya itu. Dia menilai jurnal seni sebagai identitas ISI yang tengah dipacu sebagai lembaga yang bukan hanya mendidik calon seniman yang terampil menciptakan karya seni, tapi juga pemikiran seni secara teoritis. Menurut dia, tanpa kehadiran jurnal, dunia pendidikan tinggi akan mandul dan menjadi tidak berwibawa. Karena itu, dia benar-benar menyiapkan strategi untuk mempertahankan kelangsungan jurnal seni itu. Saya tidak tahu, apakah jurnal itu kini masih terbit atau sudah mati?
Pak Wi dan Pad Darso tidak bisa dipisahkan dengan perjalanan seni rupa modern Indonesia. Dari tangannya sejumlah tokoh seni rupa modern lahir melalui proses akademik yang dijaga secara ketat. Keduanya memiliki standar tinggi ketika harus menilai dan meluluskan mahasiswanya. Dua begawan meninggalkan makna bahwa keduanya adalah pilar penting perkembangan wacana seni rupa modern Indonesia. Tanpa kebegawanannya, saya sulit membayangkan bagaimana seni rupa Indonesia harus dijelaskan dalam bingkai teoritis dan historis.
Selamat beristirahat begawan! (*)
*) Kurator dan Kepala Jurusan Seni Rupa Unesa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar