Alia Swastika*
http://www.korantempo.com/
Berbagai medium dijelajahi dalam pameran desain Jerman ini: obyek tiga dimensi hingga instalasi.
Perkembangan seni rupa kontemporer sejak 1970-an telah menunjukkan persilangan sangat menarik ketika berbagai disiplin mengintervensi dan menjadi bagian dari seni rupa. Lahirnya performance art, misalnya, salah satu momen penting yang menautkan seni rupa dengan pertunjukan. Yang tak kalah diperdebatkan saat itu adalah masuknya perspektif dan bentuk-bentuk desain dalam visi estetika para seniman.
Pameran "Come-In" yang diselenggarakan Goethe Institut di Galeri Nasional, 28 Oktober hingga 30 November 2008, contoh nyata bagaimana perspektif desain digunakan untuk membangun karya seni dan fungsi diintegrasikan dengan estetika. Sebanyak 26 seniman Jerman turut dalam pameran yang telah berkeliling dunia selama enam tahun ini.
Selain di Indonesia, pameran ini pernah diadakan, antara lain, di beberapa negara Eropa, Jepang, dan Vietnam. Di setiap negara, mereka mengundang beberapa seniman setempat untuk berpartisipasi dengan tema serupa. Di Indonesia, kurator Enin Supriyanto memilih Davy Linggar (Jakarta) dan Wiyoga Muhardanto (Bandung).
Karya-karya yang ditampilkan di sini menunjukkan kemampuan imajinatif luar biasa para seniman, terutama dalam membuat obyek-obyek yang melulu berperan fungsional menjadi karya aplikatif. Berbagai medium dijelajahi untuk menunjukkan keberagaman latar belakang seniman: obyek tiga dimensi, gambar dan sketsa, video, instalasi, dan sebagainya.
Beberapa karya, secara sepintas, memang mempertahankan bentuknya sebagai mebel atau bentuk produk lainnya. Namun, jika dicermati kembali konsep yang mendasari lahirnya maupun eksekusi akhir dari produk-produk ini, akan terlihat keunikan yang khas karya seni.
Tengoklah karya seniman Berlin, Bjorn Dahlem, Club Betaflor. Dahlem membuat kursi yang terbuat dari bahan kayu, menyerupai bentuk pesawat. Kursi-kursi ini menimbulkan kesan sesuatu yang penuh kepastian karena sudut-sudutnya terasa kaku dan lebih menyerupai rangka. Karya yang dibuat pada 2001 ini memberikan gambaran tentang kontradiksi tentang kenyamanan pada desain-desain modern.
Simak pula karya Clauss Fottinger Hermann’s Donner Inn yang mengambil inspirasi dari fenomena yang sangat menonjol di Jerman tentang banjir imigran dari Turki. Sekarang, di berbagai sudut kota-kota besar, kios makanan Turki (Donner) berhamburan dan memenuhi jalanan kota.
Dengan cerdas, Clauss menciptakan sebuah kios makan mini yang ia coba hadapkan dengan restoran-restoran dari korporasi besar seperti McDonald’s. Di belakang kiosnya, ia letakkan lambang M yang terkenal itu. Dinding kios terbuat dari kolase foto-foto yang menceritakan kehidupan para imigran Turki di Berlin.
Sementara itu, Monstera Deliciousa-Yukka Ficus-Elastica Decora karya Peter Rosen mengambil inspirasi dari isu-isu militerisme di Jerman. Rosen membuat tiga tanaman dalam pot dari bahan kain pakaian militer. Secara bentuk dan ide, karya ini sederhana, tetapi dengan jitu menggabungkan konteks sosial politik dengan ruang personal warga. Tanaman menjadi simbol sesuatu yang berkaitan dengan "Rumah", dekat dan personal. Sementara militerisme sesuatu yang berkaitan dengan jarak dan negara.
Soal jarak, jauh-dekat dengan obyek, dan bagaimana ruang ditanggapi, menjadi perhatian Enin Supriyanto dalam diskusi bersama kurator pameran, Renate Goldman. Menurut Enin, membandingkan karya-karya seniman Jerman ini dengan sebagian besar karya perupa Indonesia, tampaklah bahwa seniman Indonesia selalu gagap menghadapi ruang-ruang personal. Sebagian seniman kita selalu memandang persoalan dengan jarak yang jauh sehingga karyanya kurang sentuhan personalitas, terutama jika sedang membicarakan isu yang intim.
Karya Davy Linggar diusung untuk menjadi contoh dari generasi seniman muda yang telah melampaui jarak itu. Davy membuat instalasi kamar tidur dengan warna dasar putih yang cukup pekat. Ia meletakkan obyek-obyek seperti meja, kap lampu, tempat tidur mini, kursi, foto, boneka juga cenderamata. Ia dengan jujur mengungkapkan nilai-nilai penting dalam kehidupan personalnya, sehingga tak ada pretensi yang membuatnya berjarak dengan obyek-obyek itu.
Sementara itu, Wiyoga Muhardanto membuat karya dengan tema rutinitas orang-orang kantor yang cenderung membosankan. Bersama beberapa kolega, Yoga, seniman lulusan ITB ini, mendobrak kebakuan dalam desain-desain alat-alat kantor sehingga menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif.
*) penulis seni independen dan bekerja sebagai kurator di Ark Galerie
http://www.korantempo.com/
Berbagai medium dijelajahi dalam pameran desain Jerman ini: obyek tiga dimensi hingga instalasi.
Perkembangan seni rupa kontemporer sejak 1970-an telah menunjukkan persilangan sangat menarik ketika berbagai disiplin mengintervensi dan menjadi bagian dari seni rupa. Lahirnya performance art, misalnya, salah satu momen penting yang menautkan seni rupa dengan pertunjukan. Yang tak kalah diperdebatkan saat itu adalah masuknya perspektif dan bentuk-bentuk desain dalam visi estetika para seniman.
Pameran "Come-In" yang diselenggarakan Goethe Institut di Galeri Nasional, 28 Oktober hingga 30 November 2008, contoh nyata bagaimana perspektif desain digunakan untuk membangun karya seni dan fungsi diintegrasikan dengan estetika. Sebanyak 26 seniman Jerman turut dalam pameran yang telah berkeliling dunia selama enam tahun ini.
Selain di Indonesia, pameran ini pernah diadakan, antara lain, di beberapa negara Eropa, Jepang, dan Vietnam. Di setiap negara, mereka mengundang beberapa seniman setempat untuk berpartisipasi dengan tema serupa. Di Indonesia, kurator Enin Supriyanto memilih Davy Linggar (Jakarta) dan Wiyoga Muhardanto (Bandung).
Karya-karya yang ditampilkan di sini menunjukkan kemampuan imajinatif luar biasa para seniman, terutama dalam membuat obyek-obyek yang melulu berperan fungsional menjadi karya aplikatif. Berbagai medium dijelajahi untuk menunjukkan keberagaman latar belakang seniman: obyek tiga dimensi, gambar dan sketsa, video, instalasi, dan sebagainya.
Beberapa karya, secara sepintas, memang mempertahankan bentuknya sebagai mebel atau bentuk produk lainnya. Namun, jika dicermati kembali konsep yang mendasari lahirnya maupun eksekusi akhir dari produk-produk ini, akan terlihat keunikan yang khas karya seni.
Tengoklah karya seniman Berlin, Bjorn Dahlem, Club Betaflor. Dahlem membuat kursi yang terbuat dari bahan kayu, menyerupai bentuk pesawat. Kursi-kursi ini menimbulkan kesan sesuatu yang penuh kepastian karena sudut-sudutnya terasa kaku dan lebih menyerupai rangka. Karya yang dibuat pada 2001 ini memberikan gambaran tentang kontradiksi tentang kenyamanan pada desain-desain modern.
Simak pula karya Clauss Fottinger Hermann’s Donner Inn yang mengambil inspirasi dari fenomena yang sangat menonjol di Jerman tentang banjir imigran dari Turki. Sekarang, di berbagai sudut kota-kota besar, kios makanan Turki (Donner) berhamburan dan memenuhi jalanan kota.
Dengan cerdas, Clauss menciptakan sebuah kios makan mini yang ia coba hadapkan dengan restoran-restoran dari korporasi besar seperti McDonald’s. Di belakang kiosnya, ia letakkan lambang M yang terkenal itu. Dinding kios terbuat dari kolase foto-foto yang menceritakan kehidupan para imigran Turki di Berlin.
Sementara itu, Monstera Deliciousa-Yukka Ficus-Elastica Decora karya Peter Rosen mengambil inspirasi dari isu-isu militerisme di Jerman. Rosen membuat tiga tanaman dalam pot dari bahan kain pakaian militer. Secara bentuk dan ide, karya ini sederhana, tetapi dengan jitu menggabungkan konteks sosial politik dengan ruang personal warga. Tanaman menjadi simbol sesuatu yang berkaitan dengan "Rumah", dekat dan personal. Sementara militerisme sesuatu yang berkaitan dengan jarak dan negara.
Soal jarak, jauh-dekat dengan obyek, dan bagaimana ruang ditanggapi, menjadi perhatian Enin Supriyanto dalam diskusi bersama kurator pameran, Renate Goldman. Menurut Enin, membandingkan karya-karya seniman Jerman ini dengan sebagian besar karya perupa Indonesia, tampaklah bahwa seniman Indonesia selalu gagap menghadapi ruang-ruang personal. Sebagian seniman kita selalu memandang persoalan dengan jarak yang jauh sehingga karyanya kurang sentuhan personalitas, terutama jika sedang membicarakan isu yang intim.
Karya Davy Linggar diusung untuk menjadi contoh dari generasi seniman muda yang telah melampaui jarak itu. Davy membuat instalasi kamar tidur dengan warna dasar putih yang cukup pekat. Ia meletakkan obyek-obyek seperti meja, kap lampu, tempat tidur mini, kursi, foto, boneka juga cenderamata. Ia dengan jujur mengungkapkan nilai-nilai penting dalam kehidupan personalnya, sehingga tak ada pretensi yang membuatnya berjarak dengan obyek-obyek itu.
Sementara itu, Wiyoga Muhardanto membuat karya dengan tema rutinitas orang-orang kantor yang cenderung membosankan. Bersama beberapa kolega, Yoga, seniman lulusan ITB ini, mendobrak kebakuan dalam desain-desain alat-alat kantor sehingga menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif.
*) penulis seni independen dan bekerja sebagai kurator di Ark Galerie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar