Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/
BERBICARA mengenai perfilman Indonesia yang tengah menggeliat, tak genap rasanya bila tidak menyebut nama Hanung Bramantyo. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana film Ayat-ayat Cinta hasil tangan dinginnya berhasil memikat lebih dari 4 juta penonton, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak itu, paradigma baru pun terbentuk, genre religi yang selama ini dianggap tak memiliki pasar berubah menjadi lahan basah untuk menghasilkan pundi-pundi uang di dunia hiburan. Maka, para produser berlomba-lomba membuat film dengan tema serupa.
Meski demikian, karya Hanung tetap unggul. Mungkin karena pria asal Yogyakarya ini selalu memberikan sentuhan baru sehingga karyanya selalu dinanti dan mendapat tempat tersendiri di hati penikmat film Tanah Air. Berikut petikan obrolan dengan Hanung Bramantyo di Planet Hollywood Jakarta, beberapa waktu lalu.
1. Bagaimana kriteria film yang baik itu?
Film itu harus memiliki proporsi hiburan dan isi yang seimbang. Tugas sutradara adalah menghitung detail berapa persentase renyah dan berapa persentase isi. Banyak produser yang berasumsi bahwa penonton Indonesia bodoh, sehingga hanya pantas disajikan hiburan renyah. Asumsi itu jelas-jelas saya tolak. Penonton Indonesia cukup cerdas untuk mengolah dan mepersepsikan sebuah film.
Film ibarat bola dunia, Anda melihat dari sisi sebelah sini belum tentu bisa melihat dari satunya lagi. Nah, agar dapat melihat film keseluruhan, diskusi adalah jalan terbaik supaya terbentuk wacana baru. Untuk itulah film disebut produk budaya dan dapat mengubah peradaban sebuah bangsa. Untuk menimbang baik buruknya sebuah karya film, tak bisa diterjemahkan hanya dari satu sisi. Banyak faktor yang mesti dicermati. Mengamati film seperti melihat bola dunia. Satu sisi terlihat, sisi lain boleh jadi tersembunyi.
2. Apakah jumlah penonton dapat dijadikan parameter baik atau buruknya sebuah film?
Penonton merupakan ukuran bahwa sebuah film layak untuk ditonton. Sementara baik atau buruknya tergantung pada latar belakang penilaian, karena tidak ada ukuran baku untuk menilai sebuah film. Film yang berhasil menyedot perhatian jutaan penonton belum tentu merupakan film yang baik. Sebaliknya, film yang sepi penonton belum tentu juga buruk. Oleh sebab itu, ada Cannes Film Festival, Toronto Film Festival, serta Oscar. Masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda. Film yang menang di Oscar belum tentu menang di festival lainnya.
3. Jadi, ada perbedaan antara film yang baik dengan film yang layak tonton?
Secara sinematografis, Ayat-ayat Cinta bukanlah film yang baik karena banyak sekali aspek yang hilang seperti ruang, geografis, serta konten. Tetapi, dari sudut penonton, film tersebut cukup dibanjiri penonton sehingga dapat saya katakan layak diapresiasi.
Saya melihat selama ini kita selalu terbentur dengan wacana pengkotakan film komersial dan film idealis. Padahal, menurut saya keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Komersial berada pada tataran marketing, sementara idealisme berada pada pada tataran otak. Sebagai contoh, Lord of the Ring dan Godfather merupakan film yang berhasil menggabungkan dua unsur tersebut, idealisme dan sukses menjadi box office. Tetapi, di Indonesia hanya hanya segelintir yang berhasil mengawinkan kedua unsur tersebut.
4. Anda sendiri membuat film yang bagaimana?
Film merupakan media untuk menyampaikan sebuah pesan. Di mata saya, film bak ayat penting yang harus diketahui oleh khalayak luas. Ibaratnya, jika seorang ustad menyampaikan ayat melalui mimbar, maka saya memilih menggunakan media audio visual. Saya ingin penonton dapat memetik manfaat dan pembelajaran. Sehingga, saat pulang mereka bisa mengambil hikmah dari film itu, baik untuk inspirasi diri sendiri atau kepada orang lain.
Saya ingin membuat film yang menghibur, tetapi juga berbagi bagaimana seharusnya menjalani kehidupan yang baik. Saya ingin memberi pembelajaran kepada masyarakat dalam rangka memajukan film nasional. Menurut saya, film yang ideal adalah film yang bisa membuat penonton meletakkan harapan pada film tersebut. Sehingga, ia bisa ikut menangis ketika tokoh utamanya terluka atau ikut tertawa ketika tokoh utamanya merasa bahagia.
5. Apakah penghargaan menjadi target Anda juga ketika membuat film?
Tidak, saya melihat penghargaan sebagai efek samping dari karya yang saya buat. Apabila film yang saya buat baik, maka efek samping yang dihasilkannya juga akan baik. Hal utama bagi saya ketika membuat film adalah agar pesan yang ingin saya sampaikan dapat dipahami oleh penonton.
6. Sejak kecil Anda memang bercita-cita jadi seorang sutradara?
Masa kecil saya berjalan biasa saja seperti anak-anak lain pada umumnya, tidak ada sesuatu yang terlalu istimewa. Ketertarikan saya terhadap dunia seni memang sudah terlihat sejak kecil. Semenjak masih duduk di bangku TK saya sudah senang menggambar, hampir semua buku sekolah pinggirnya saya gambari.
Ketika duduk dikelas empat SD, saya mulai berkenalan dengan dunia teater. Dari sebuah perkenalan yang tak disengaja membuat saya jatuh cinta dengan teater. Kecintaan itu terbawa hingga saya duduk di bangku SMP dan SMA.
Waktu SMA, ternyata di sekolah saya tidak ada ekstrakurikuler teater. Hal itu sempat membuat saya uring-uringan dan berpikiran untuk pindah sekolah. Namun, kemudian Bapak berkata pada saya, ‘Lho bukannya teater ini bisa kamu ciptakan, pemimpin itu harus bisa menciptakan.'
7. Langkah Anda total ke dunia seni direstui orang tua?
Sejak saya kecil, Ibu tidak terlalu peduli dengan hobi menggambar saya. Beliau akan merasa senang kalau saya mendapat nilai bagus dalam mata pelajaran IPA atau matematika. Lulus SMA, ketika hendak melanjutkan pendidikan ke ISI, saya mendapat tentangan dari Ayah, beliau lebih setuju kalau seni hanya saya jadikan hobi.
Menjalani pendidikan di jurusan yang tidak saya kehendaki menimbulkan pertentangan dalam batin saya. Kemudian saya pun memilih untuk hijrah ke Jakarta. Di Jakarta saya "magang" dengan sutradara Teguh Karya (mendiang) dan dari beliau saya belajar banyak hal. Lalu saya pun memutuskan untuk kuliah lagi di Jurusan Sinematografi IKJ.
8. Setelah kesuksesan Ayat-ayat Cinta, sepertinya Anda kecanduan membuat film religi?
Saya adalah orang pertama yang menyatakan tidak puas dengan film Ayat-ayat Cinta. Tetapi, saya harus mengakui bahwa film tersebut telah mengubah perspektif saya mengenai hidup, agama, dan cinta.
Setelah Ayat-ayat Cinta, saya kembali menggarap film bertema religi berjudul Doa yang Mengancam. Hanya saja, film ini disajikan dalam format yang berbeda yaitu komedi dan berbicara mengenai Tuhan di kalangan bawah. Lewat film-film religi tersebut saya ingin menyampaikan bahwa Tuhan mengajak manusia berdialog dengan cara yang tidak terbayangkan. Tuhan tidak memberi apa yang kita minta bukan karena Dia benci, melainkan ada yang terbaik untuk kita.
9. Kapan Anda akan mengakhiri masa duda Anda?
Seperti laki-laki pada umumnya, saya punya niat untuk menikah dan memiliki sebuah keluarga yang utuh. Tetapi, semuanya itu masih dalam tahap ikhtiar.
http://jurnalnasional.com/
BERBICARA mengenai perfilman Indonesia yang tengah menggeliat, tak genap rasanya bila tidak menyebut nama Hanung Bramantyo. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana film Ayat-ayat Cinta hasil tangan dinginnya berhasil memikat lebih dari 4 juta penonton, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejak itu, paradigma baru pun terbentuk, genre religi yang selama ini dianggap tak memiliki pasar berubah menjadi lahan basah untuk menghasilkan pundi-pundi uang di dunia hiburan. Maka, para produser berlomba-lomba membuat film dengan tema serupa.
Meski demikian, karya Hanung tetap unggul. Mungkin karena pria asal Yogyakarya ini selalu memberikan sentuhan baru sehingga karyanya selalu dinanti dan mendapat tempat tersendiri di hati penikmat film Tanah Air. Berikut petikan obrolan dengan Hanung Bramantyo di Planet Hollywood Jakarta, beberapa waktu lalu.
1. Bagaimana kriteria film yang baik itu?
Film itu harus memiliki proporsi hiburan dan isi yang seimbang. Tugas sutradara adalah menghitung detail berapa persentase renyah dan berapa persentase isi. Banyak produser yang berasumsi bahwa penonton Indonesia bodoh, sehingga hanya pantas disajikan hiburan renyah. Asumsi itu jelas-jelas saya tolak. Penonton Indonesia cukup cerdas untuk mengolah dan mepersepsikan sebuah film.
Film ibarat bola dunia, Anda melihat dari sisi sebelah sini belum tentu bisa melihat dari satunya lagi. Nah, agar dapat melihat film keseluruhan, diskusi adalah jalan terbaik supaya terbentuk wacana baru. Untuk itulah film disebut produk budaya dan dapat mengubah peradaban sebuah bangsa. Untuk menimbang baik buruknya sebuah karya film, tak bisa diterjemahkan hanya dari satu sisi. Banyak faktor yang mesti dicermati. Mengamati film seperti melihat bola dunia. Satu sisi terlihat, sisi lain boleh jadi tersembunyi.
2. Apakah jumlah penonton dapat dijadikan parameter baik atau buruknya sebuah film?
Penonton merupakan ukuran bahwa sebuah film layak untuk ditonton. Sementara baik atau buruknya tergantung pada latar belakang penilaian, karena tidak ada ukuran baku untuk menilai sebuah film. Film yang berhasil menyedot perhatian jutaan penonton belum tentu merupakan film yang baik. Sebaliknya, film yang sepi penonton belum tentu juga buruk. Oleh sebab itu, ada Cannes Film Festival, Toronto Film Festival, serta Oscar. Masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda. Film yang menang di Oscar belum tentu menang di festival lainnya.
3. Jadi, ada perbedaan antara film yang baik dengan film yang layak tonton?
Secara sinematografis, Ayat-ayat Cinta bukanlah film yang baik karena banyak sekali aspek yang hilang seperti ruang, geografis, serta konten. Tetapi, dari sudut penonton, film tersebut cukup dibanjiri penonton sehingga dapat saya katakan layak diapresiasi.
Saya melihat selama ini kita selalu terbentur dengan wacana pengkotakan film komersial dan film idealis. Padahal, menurut saya keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Komersial berada pada tataran marketing, sementara idealisme berada pada pada tataran otak. Sebagai contoh, Lord of the Ring dan Godfather merupakan film yang berhasil menggabungkan dua unsur tersebut, idealisme dan sukses menjadi box office. Tetapi, di Indonesia hanya hanya segelintir yang berhasil mengawinkan kedua unsur tersebut.
4. Anda sendiri membuat film yang bagaimana?
Film merupakan media untuk menyampaikan sebuah pesan. Di mata saya, film bak ayat penting yang harus diketahui oleh khalayak luas. Ibaratnya, jika seorang ustad menyampaikan ayat melalui mimbar, maka saya memilih menggunakan media audio visual. Saya ingin penonton dapat memetik manfaat dan pembelajaran. Sehingga, saat pulang mereka bisa mengambil hikmah dari film itu, baik untuk inspirasi diri sendiri atau kepada orang lain.
Saya ingin membuat film yang menghibur, tetapi juga berbagi bagaimana seharusnya menjalani kehidupan yang baik. Saya ingin memberi pembelajaran kepada masyarakat dalam rangka memajukan film nasional. Menurut saya, film yang ideal adalah film yang bisa membuat penonton meletakkan harapan pada film tersebut. Sehingga, ia bisa ikut menangis ketika tokoh utamanya terluka atau ikut tertawa ketika tokoh utamanya merasa bahagia.
5. Apakah penghargaan menjadi target Anda juga ketika membuat film?
Tidak, saya melihat penghargaan sebagai efek samping dari karya yang saya buat. Apabila film yang saya buat baik, maka efek samping yang dihasilkannya juga akan baik. Hal utama bagi saya ketika membuat film adalah agar pesan yang ingin saya sampaikan dapat dipahami oleh penonton.
6. Sejak kecil Anda memang bercita-cita jadi seorang sutradara?
Masa kecil saya berjalan biasa saja seperti anak-anak lain pada umumnya, tidak ada sesuatu yang terlalu istimewa. Ketertarikan saya terhadap dunia seni memang sudah terlihat sejak kecil. Semenjak masih duduk di bangku TK saya sudah senang menggambar, hampir semua buku sekolah pinggirnya saya gambari.
Ketika duduk dikelas empat SD, saya mulai berkenalan dengan dunia teater. Dari sebuah perkenalan yang tak disengaja membuat saya jatuh cinta dengan teater. Kecintaan itu terbawa hingga saya duduk di bangku SMP dan SMA.
Waktu SMA, ternyata di sekolah saya tidak ada ekstrakurikuler teater. Hal itu sempat membuat saya uring-uringan dan berpikiran untuk pindah sekolah. Namun, kemudian Bapak berkata pada saya, ‘Lho bukannya teater ini bisa kamu ciptakan, pemimpin itu harus bisa menciptakan.'
7. Langkah Anda total ke dunia seni direstui orang tua?
Sejak saya kecil, Ibu tidak terlalu peduli dengan hobi menggambar saya. Beliau akan merasa senang kalau saya mendapat nilai bagus dalam mata pelajaran IPA atau matematika. Lulus SMA, ketika hendak melanjutkan pendidikan ke ISI, saya mendapat tentangan dari Ayah, beliau lebih setuju kalau seni hanya saya jadikan hobi.
Menjalani pendidikan di jurusan yang tidak saya kehendaki menimbulkan pertentangan dalam batin saya. Kemudian saya pun memilih untuk hijrah ke Jakarta. Di Jakarta saya "magang" dengan sutradara Teguh Karya (mendiang) dan dari beliau saya belajar banyak hal. Lalu saya pun memutuskan untuk kuliah lagi di Jurusan Sinematografi IKJ.
8. Setelah kesuksesan Ayat-ayat Cinta, sepertinya Anda kecanduan membuat film religi?
Saya adalah orang pertama yang menyatakan tidak puas dengan film Ayat-ayat Cinta. Tetapi, saya harus mengakui bahwa film tersebut telah mengubah perspektif saya mengenai hidup, agama, dan cinta.
Setelah Ayat-ayat Cinta, saya kembali menggarap film bertema religi berjudul Doa yang Mengancam. Hanya saja, film ini disajikan dalam format yang berbeda yaitu komedi dan berbicara mengenai Tuhan di kalangan bawah. Lewat film-film religi tersebut saya ingin menyampaikan bahwa Tuhan mengajak manusia berdialog dengan cara yang tidak terbayangkan. Tuhan tidak memberi apa yang kita minta bukan karena Dia benci, melainkan ada yang terbaik untuk kita.
9. Kapan Anda akan mengakhiri masa duda Anda?
Seperti laki-laki pada umumnya, saya punya niat untuk menikah dan memiliki sebuah keluarga yang utuh. Tetapi, semuanya itu masih dalam tahap ikhtiar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar