Sihir Pasir
: Saudara Tua
mampirlah ke rumahku di pesisir, di pinggir pantai, di pinggir segala pinggir, tempat pasir memarkir takdir sebagai pembunuh; pasir yang saban hari tak lelah menjadi injakan kaki dan menjadi muara segala tubuh melabuh: tubuh lautan yang tak pernah mengeluh tapi menyulap keluh dengan nyanyian-nyanyian panjang
debur gelombang
kau akan mendengar karang ditabuh ombak, tubuh ditabuh riuh kehendak, kau akan melihat jejak-jejak retak yang membuatku tetap tegak meski gelap menggelegak bagai anggur memabukkan dan menyentak labirin kerongkonganku, kau akan menyaksikan…
ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam
mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti apa makna dari tepi: sepi yang berapi, merapi, sepi yang membahasakan diri di pucuk buih; bahasa-bahasa ombak yang menuntun mata; katupkan ufuk dengan cakrawala; rapatkan hiruk dengan rahasia
biduk asa yang tak berhenti untuk kembali
kau akan rasakan zenit meyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; doa putih, doa hitam; kau juga akan mendengar hingar doa yang memberi arus pada pasir, memberi ruh pada pasir, agar tubuh tak lagi berlabuh dalam gerak, tapi rubuh dan retak
lengan-lengan panjang yang merenda sejuta harapan
mampirlah ke rumahku, kau akan tahu, begitu banyak kanak belajar membunuh; mereka menghambur-hamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas mata; mereka membuat patung-patung pasir gaib sebagai malaikat pencabut nyawa yang menyelinap di balik tangkapan indera
begitu dupa dibakar, doa dihentakkan dan bibir melaju: fuh! pasir-pasir akan beterbangan memintal korban, memburu setiap lubang yang terhampar di sepanjang kulit, bangkitlah kesakitan; pasir pun akan merasuki dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan langit; langit hitam ---sampai terdengar suara-suara ratap, pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi; semuanya menyingkir untuk memberi jalan bagi kematian mengukir akhir
akhir penyaksian
kau akan tahu, bagaimana pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir lewat aorta; arus hidup akan membawa bulir-bulir pasir lurus ke jantung yang berdegup, asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu akan terus berasus ke ruas nafas, hingga hidup pun redup; jantung pun akan memberi jalan pada Sang Maut untuk bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”
mampirlah ke rumahku di pesisir, kau akan mengerti, begitu banyak kanak bermain-main takdir, mainkan sihir-sihir pasir, rapalkan mantra-mantra pengusir; mereka berlarian di pantai-pantai tak beratap; membangun bukit-bukit dan patung pasir dari jasad yang telah lumat; jasad yang telah disepuh dengan doa-doa merah; doa kaum teraniaya, blap!
gelap!
Surabaya, 2007
Bunting
istriku mengandung laut,
laut yang mencederai otakku dengan karang,
karang yang mengutip cakrawala
cakrawala dan kapal-kapal yang berlalu lalang
bahkan tenggelam dan terbakar di selat
selat yang selalu membuat istriku kumat
: “beri aku 1000 rakaat!”
aku pun ingat rabiah ---budak yang menapak
lewat batu, ke tangga penuh jejak wahyu
lalu sering kumat dengan mengganyang ribuan
rakaat dalam sekali malam dan sekali sikat
tapi istriku? mungkin ia sedang ngidam
begadang, malam-malam, di atas sajadah coklat
sambil mulutnya komat-kamit, penuh magnit
menarik, menombak dengan tepat
pikiranku yang sedang panik, dalam tidur
agar dengkurku tak lagi menjadi partitur
mimpi
mimpi tentang orang-orang yang terkubur
: kakek, nenek, buyut, canggah, wareng, gantung siwur...
aku bermimpi, tapi istriku sungguh telah mengandung
laut dan kumat dengan komat-kamit ribuan rakaat
dengan doa-doa panjang nan keramat
membanting harga diriku, dari lelap dan bisu
tentang asal-asul, tentang laut, tanah, udara, angin, api
juga sepi
ah, sungguhkah istriku bunting karena angin
laut, yang membawa berjuta plankton
ke ruang kosong... sungguhkah istriku hamil
karena gigil malam yang membugilinya diam-diam
di pantai, ketika lantai tak tepat lagi menjadi ranjang
tempat berbagi
ah, sungguhkah....
istriku mengandung laut
laut yang sering membuatku tercerabut
dari waktu; aih!
Sidoarjo, 2007
Persetubuhan Angka
1
aku ingin kau memberiku sembilan mawar, yang kau bungkus
dalam tiga kardus, ditali dengan tiga temali,
lalu kau letakkan berjajar
menghadap pintu
: untukku, untukmu dan untuk rindu
mari bersulang, o daging yang rawan harapan
selanjutnya, aku ingin kau suguhkan tujuh cawan anggur, yang
kau tuang
dari lima botol, lalu kau sorongkan ke bibirku
lalu kau menghitung satu, tiga, lima dan tujuh
aku pun mabuk tubuh, mabuk gemuruh
aku akan menujumu dalam satu altar,
satu meja
sebagaimana satu kehendak yang labuhkan hasrat ke tubuhmu:
aku akan menujumu dengan dua kursi yang disatukan tubuh
sebagaimana kakiku dua, tanganku, mata, telinga, lubang hidung,
telinga...
juga rambut, juga sejumput rambut,
bahkan kelaminku yang selalu ingin bersatu maut,
mautmu
2
aku ingin kau memberiku tujuh
: bumi, langit, surga, neraka, juga hari
dalam sebuah nampan sesaji
dalam sebuah mimpi
aku ingin kau tahu, aku juga menginginkan lima
pasaran-hari, juga ihwal soal sudut bintang
yang selalu kau mimpikan dalam tidurmu
seperti igauanku yang tak pernah
lelah untuk terus memanggil namamu, seirama
dengan lubang
sembilan, membungkus tubuhku dengan mawarmu
: aku ingin kita bersatu
3
aku ingin menghidupi angka-angka di tubuhku
dengan angka di tubuhmu
1+1= setubuh...
Sidoarjo, 2007
: Saudara Tua
mampirlah ke rumahku di pesisir, di pinggir pantai, di pinggir segala pinggir, tempat pasir memarkir takdir sebagai pembunuh; pasir yang saban hari tak lelah menjadi injakan kaki dan menjadi muara segala tubuh melabuh: tubuh lautan yang tak pernah mengeluh tapi menyulap keluh dengan nyanyian-nyanyian panjang
debur gelombang
kau akan mendengar karang ditabuh ombak, tubuh ditabuh riuh kehendak, kau akan melihat jejak-jejak retak yang membuatku tetap tegak meski gelap menggelegak bagai anggur memabukkan dan menyentak labirin kerongkonganku, kau akan menyaksikan…
ada gerak nan liar yang terpendam dalam diam
mampirlah ke rumahku; kau akan mengerti apa makna dari tepi: sepi yang berapi, merapi, sepi yang membahasakan diri di pucuk buih; bahasa-bahasa ombak yang menuntun mata; katupkan ufuk dengan cakrawala; rapatkan hiruk dengan rahasia
biduk asa yang tak berhenti untuk kembali
kau akan rasakan zenit meyentuh langit; doa-doa yang berdesing mengakrabi hening; doa putih, doa hitam; kau juga akan mendengar hingar doa yang memberi arus pada pasir, memberi ruh pada pasir, agar tubuh tak lagi berlabuh dalam gerak, tapi rubuh dan retak
lengan-lengan panjang yang merenda sejuta harapan
mampirlah ke rumahku, kau akan tahu, begitu banyak kanak belajar membunuh; mereka menghambur-hamburkan pasir di udara, dengan hembusan nafas yang telah terampas mata; mereka membuat patung-patung pasir gaib sebagai malaikat pencabut nyawa yang menyelinap di balik tangkapan indera
begitu dupa dibakar, doa dihentakkan dan bibir melaju: fuh! pasir-pasir akan beterbangan memintal korban, memburu setiap lubang yang terhampar di sepanjang kulit, bangkitlah kesakitan; pasir pun akan merasuki dan menyerbu darah dengan kekuatan-kekuatan langit; langit hitam ---sampai terdengar suara-suara ratap, pantai pun senyap, matahari gelap, awan berhenti, angin menepi; semuanya menyingkir untuk memberi jalan bagi kematian mengukir akhir
akhir penyaksian
kau akan tahu, bagaimana pasir-pasir itu menyatu darah, mengalir lewat aorta; arus hidup akan membawa bulir-bulir pasir lurus ke jantung yang berdegup, asal-akhir takdir Sang Hidup; pasir itu akan terus berasus ke ruas nafas, hingga hidup pun redup; jantung pun akan memberi jalan pada Sang Maut untuk bertitah: “berhentilah langkah, berhentilah darah!”
mampirlah ke rumahku di pesisir, kau akan mengerti, begitu banyak kanak bermain-main takdir, mainkan sihir-sihir pasir, rapalkan mantra-mantra pengusir; mereka berlarian di pantai-pantai tak beratap; membangun bukit-bukit dan patung pasir dari jasad yang telah lumat; jasad yang telah disepuh dengan doa-doa merah; doa kaum teraniaya, blap!
gelap!
Surabaya, 2007
Bunting
istriku mengandung laut,
laut yang mencederai otakku dengan karang,
karang yang mengutip cakrawala
cakrawala dan kapal-kapal yang berlalu lalang
bahkan tenggelam dan terbakar di selat
selat yang selalu membuat istriku kumat
: “beri aku 1000 rakaat!”
aku pun ingat rabiah ---budak yang menapak
lewat batu, ke tangga penuh jejak wahyu
lalu sering kumat dengan mengganyang ribuan
rakaat dalam sekali malam dan sekali sikat
tapi istriku? mungkin ia sedang ngidam
begadang, malam-malam, di atas sajadah coklat
sambil mulutnya komat-kamit, penuh magnit
menarik, menombak dengan tepat
pikiranku yang sedang panik, dalam tidur
agar dengkurku tak lagi menjadi partitur
mimpi
mimpi tentang orang-orang yang terkubur
: kakek, nenek, buyut, canggah, wareng, gantung siwur...
aku bermimpi, tapi istriku sungguh telah mengandung
laut dan kumat dengan komat-kamit ribuan rakaat
dengan doa-doa panjang nan keramat
membanting harga diriku, dari lelap dan bisu
tentang asal-asul, tentang laut, tanah, udara, angin, api
juga sepi
ah, sungguhkah istriku bunting karena angin
laut, yang membawa berjuta plankton
ke ruang kosong... sungguhkah istriku hamil
karena gigil malam yang membugilinya diam-diam
di pantai, ketika lantai tak tepat lagi menjadi ranjang
tempat berbagi
ah, sungguhkah....
istriku mengandung laut
laut yang sering membuatku tercerabut
dari waktu; aih!
Sidoarjo, 2007
Persetubuhan Angka
1
aku ingin kau memberiku sembilan mawar, yang kau bungkus
dalam tiga kardus, ditali dengan tiga temali,
lalu kau letakkan berjajar
menghadap pintu
: untukku, untukmu dan untuk rindu
mari bersulang, o daging yang rawan harapan
selanjutnya, aku ingin kau suguhkan tujuh cawan anggur, yang
kau tuang
dari lima botol, lalu kau sorongkan ke bibirku
lalu kau menghitung satu, tiga, lima dan tujuh
aku pun mabuk tubuh, mabuk gemuruh
aku akan menujumu dalam satu altar,
satu meja
sebagaimana satu kehendak yang labuhkan hasrat ke tubuhmu:
aku akan menujumu dengan dua kursi yang disatukan tubuh
sebagaimana kakiku dua, tanganku, mata, telinga, lubang hidung,
telinga...
juga rambut, juga sejumput rambut,
bahkan kelaminku yang selalu ingin bersatu maut,
mautmu
2
aku ingin kau memberiku tujuh
: bumi, langit, surga, neraka, juga hari
dalam sebuah nampan sesaji
dalam sebuah mimpi
aku ingin kau tahu, aku juga menginginkan lima
pasaran-hari, juga ihwal soal sudut bintang
yang selalu kau mimpikan dalam tidurmu
seperti igauanku yang tak pernah
lelah untuk terus memanggil namamu, seirama
dengan lubang
sembilan, membungkus tubuhku dengan mawarmu
: aku ingin kita bersatu
3
aku ingin menghidupi angka-angka di tubuhku
dengan angka di tubuhmu
1+1= setubuh...
Sidoarjo, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar