Jamrin Abubakar
kompasiana.com/jamrin_abubakar
MULANYA tidak begitu dikenal dan dianggap biasa saja, namun ketika Seminar Internasional I La Galigo digelar tahun 2002 yang dihadiri sejumlah seniman, budayawan dan peneliti dari berbagai Negara, praktis Desa Pancana begitu terkenal. Terbilang mengejutkan, sebelumnya tak banyak yang tahu kalau desa itu punya latar belakang sejarah dan budaya yang amat menarik. Bahkan merupakan salah satu pusat sastra dunia yang ditulis pujangga asli Bugis.
Sejak itu Pancana bukan saja dikenal sebagai salah satu desa kecil (luasnya hanya 9,2 km) di ujung Kabupaten Barru yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, tapi kini dapat dikatakan sebagai desa internasional di ujung Barru. Padahal dibanding desa-desa tetangga sekitar Pancana tak jauh beda, secara kultural mayoritas penduduknya beretnis Bugis yang hidup dari pertanian kebanyakan menggarap sawah dan sebagian hidup menjadi nelayan.
Namun khusus Pancana, Kecamatan Tanete Rilau punya keistimewaan, bukan saja telah dikenal sebagai salah satu kawasan wisata budaya andalan di Sulawesi Selatan yang selalu mendapat perhatian dan sering dikunjungi wisatawan. Tapi dapat dikatakan ini merupakan daerah wisata sastra yang berawal dari seminar epos I La Galigo yang digagas Dr. Nurjayati Rahman seorang peneliti dari UNHAS. Kumpulan makalah-makalah (dalam bahasa Indonesia & Inggris, dan sedikit cuplikan dalam bahasa Bugis) telah diterbitkan dalam bentuk buku sebagai referensi yang menarik.
Selain itu, di Pancana sering dilaksanakan berbagai jenis pertunjukan seni dan kemah budaya antarpelajar dalam rangkaian acara Sastra Kepulauan salah satu event sastra di Sulsel yang selalu menghadirkan sejumlah sastrawan terkenal. Atraksi para bissu Bugis DARI Segeri (Pangkep) yang semuanya calabai (laki-laki berperilaku perempuan) dengan kekebalan tusukan keris dalam atraksi, beberapa kali tampil mempertunjukkan kemampuan ritualnya di Pancana. Kesenian para bissu yang merupakan tradisi perpaduan seni sastra lisan, seni tari, musik, seni rupa dan instalasi juga berakar dari tradisi yang terkandung dalam epos I La Galigo. Di antara spiritnya mencerminkan kedikdayaan tokoh Sawerigading sebagai tokoh sentral yang memiliki kekuatan-kekuatan supranatural, menguasai tiga dunia; bawah, tengah dan atas hingga berkomunikasi dengan “dewa-dewa.”
Dalam sebuah kunjungan penulis ke Pancana untuk menghadiri Sastra Kepulauan, sempat menyaksikan pertunjukan Puang Matoa Saidi seorang pemimpin kaum Bissu. Bagi komunitas seni tradisi di Sulsel, nama Puang Saidi sangat popular, sudah berkali-kali melakukan pementasan, termasuk ke Bali, bahkan dia menjadi salah satu bagian dari pementasan teater La Galigo untuk pentas keliling di panggung-panggung teater terkenal di dunia. Sebab dalam sureq I La Galigo peran bissu memiliki kedudukan cukup penting dalam berbagai upacara zaman dahulu kala. Namun ketika masa Orde Baru sempat vakum menyusul pemandegan kebudayaan-kebudayaan yang kadang disalahpersepsikan oleh penguasa.
Menuju Pancana
Untuk jalan-jalan ke desa Pancana sangat mudah, karena bukanlah desa yang terisolasi dan masyarakatnya sudah mengikuti perkembangan zaman. Secara geografis berada di tepi pantai berhadapan langsung dengan Selat Makassar, untuk menjangkaunya selain lewat perairan laut, paling mudah ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau roda empat dengan melalui jalan trans Sulawsi dari arah utara maupun dari arah selatan.
Pengalaman penulis yang pernah jalan-jalan ke Pancana dalam rangkaian mengikuti acara Sastra Kepulauan yang dihadiri sejumlah penyair, budayawan, koreografer dan pemerhati seni Indonesia, untuk menuju desa tersebut tidaklah sulit. Paling gampang dan cepat adalah lewat jalur dari arah Kota Makassar bisa ditempuh dengan kendaraan bus penumpang sekitar tiga atau empat jam. Cuma saja pusat permukiman Pancana tidak berada di tepi jalan trans Sulawesi, melainkan mesti berbelok ke arah kiri dari arah selatan sekitar satu kilometer untuk menuju pusat keramaian.
Kampung tua yang tata ruangnya sangat apik dan teratur ini memiliki keindahan alam yang betul-betul mencerminkan suasana pedesaan di tepi pantai yang eksotis. Di tengahnya mengalir sebuah sungai yang cukup deras mengalir membelah permukiman penduduk, namun yang cukup ramai adalah di belahan bagian selatan. Makam para bangsawan dan panrrita (ulama) yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun silam masih terpelihara baik. Makam Datu We Tenrri Olle yang cukup besar dan eksotik di antara makam-makam lainnya menunjukkan kebesaran arung Pancana yang kini masih terpelihara baik sebagai salah satu obyek wisata religious.
Colliq Pujie
Populernya Pancana sebagai kampung wisata budaya internasional tidaklah datang begitu saja, melainkan punya latar belakang sejarah cukup panjang. Sekitar abad 19 di desa inilah pernah hidup seorang bangsawan wanita, dikenal sebagai pujangga Bugis yang sangat hebat bernama Ratna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa atau biasa disebut hanya Colliq Pujie. Namanya diabadikan pada salah satu jalan di desa Pancana dan nama sebuah Baruga sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa intelektualnya.
“Colliq Pujie adalah penulis epos terpanjang di dunia dan kisah I La Galigo itu jauh lepih panjang daripada epos Mahabarat dan Ramayana dari India yang selama ini sangat dikenal. Padahal yang sebenarnya epos terpanjang di dunia itu adalah karya sastra yang ditulis orang Bugis,” ungkap Nurhayati Rahman di suatu seminar di Makassar.
Kisah legenda heroisme Bugis itu sangat melegenda telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda sejak zaman kolonial dan beberpa tahun silam sebagian kecil episode I La Galigo telah dipentaskan keliling dunia dalam bentuk teater.
Pada zamannya Colliq Pujie punya peran besar sebagai sastrawan yang luar biasa melahirkan maha karya yang sulit dan takkan berulang saat zaman serba canggih ini. Kedudukannya dalam masyarakat bukan saja sebagai intelektual penjaga tradisi leluhur orang Bugis, tapi juga sebagai orang yang disegani punya kemampuan menulis gagasan saat serba keterbatasan alat tulis. Pujangga Pancana itu walau hanya menulis dengan tangan, ia mampu melahirkan kisah-kisah yang melegenda, namun dalam perkembangannya ketika penjajah Belanda masuk, Desa Pancana dan hampir seluruh desa lainnya di Sulsel berada dalam kungkungan, sementara karya-karya Colliq kemudian dibawa pemerintah kolonial ke Negara Belanda. Untungnya nasakah-naskah itu menurut sejumlah peneliti aksara Bugis termasuk Nurhayati Rahman, masih tersimpan dengan baik di Leiden. B.F. Matthes missionaris Belanda pada zaman produktif Colliq Pujie telah menyelamatkan naskah itu sehingga saat ini masih bisa dinikmati hasil salinannya.
Silaturahim budayawan
Dijadikannya desa budaya yang bertaraf internasional, Pancana ingin bangkit mengembalikan citranya yang pernah gemilang pada zamannya tempat lahirnya pujangga Bugis walau dengan semangat baru. Yaitu menjadi arena silaturahim para budayawan Indonesia maupun dari Negara lain dengan menjadi tuan rumah event seni budaya bertaraf internasional.
Sejumlah budayawan tanah air pernah mempresentasikan karya-karyanya di Pancana dalam bentuk pembacaan puisi, workshop dan orasi budaya. Di antaranya WS. Rendra, Ikra Negara, Zawawi Imron, Afrizal Malna,Halim HD dan sejumlah seniman dari Makassar. Setiap ada event selalu dipadati pengunjung terutama mahasiswa, masyarakat Pancana sendiri dan masyarakat desa tetangga selalu memberi dukungan.
Bahkan beberapa kali ada event budaya, penduduk desa Pancana selalu merelakan rumahnya dijadikan tempat penginapan bagi seluruh tamu dari luar. “Rumah saya sudah beberapa kali menjadi tempat tamu menginap setiap ada kegiatan kesenian di desa ini dengan permintaan kepala desa. Kita juga menyediakan makanan dengan biaya yang sudah diberikan dari panitia kegiatan atau pemerintah,” kata seorang pemilik rumah tempat penulis menginap.
Menurut beberapa warga yang dimintai tanggapannya, mengaku setiap ada kegiatan kesenian sangat senang, karena selain desanya ramai dikunjungi orang yang pasti berbelanja, juga desanya makin terkenal. “Hampir setiap tahun di desa Pancana ada kegiatan kesenian yang ramai dilaksanakan di baruga,” kata seorang penduduk Pancana.
Keistimewaan lain Pancana sebagai kampung budaya adalah dibangunnya sebuah baruga besar (Baruga Colliq Pujie) di tengah perkampungan masyarakat. Baruga tersebut dibangun atas dukungan pemerintah untuk dijadikan pusat kebudayaan berbagai aktivitas sosial masyarakat setempat. Bukan hanya untuk festival kesenian namun juga bagi kegiatan masalah pembangunan desa, bahkan pelantikan pejabat di jajaran Pemkab Barru juga biasa dilaksanakan di baruga.
***
kompasiana.com/jamrin_abubakar
MULANYA tidak begitu dikenal dan dianggap biasa saja, namun ketika Seminar Internasional I La Galigo digelar tahun 2002 yang dihadiri sejumlah seniman, budayawan dan peneliti dari berbagai Negara, praktis Desa Pancana begitu terkenal. Terbilang mengejutkan, sebelumnya tak banyak yang tahu kalau desa itu punya latar belakang sejarah dan budaya yang amat menarik. Bahkan merupakan salah satu pusat sastra dunia yang ditulis pujangga asli Bugis.
Sejak itu Pancana bukan saja dikenal sebagai salah satu desa kecil (luasnya hanya 9,2 km) di ujung Kabupaten Barru yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, tapi kini dapat dikatakan sebagai desa internasional di ujung Barru. Padahal dibanding desa-desa tetangga sekitar Pancana tak jauh beda, secara kultural mayoritas penduduknya beretnis Bugis yang hidup dari pertanian kebanyakan menggarap sawah dan sebagian hidup menjadi nelayan.
Namun khusus Pancana, Kecamatan Tanete Rilau punya keistimewaan, bukan saja telah dikenal sebagai salah satu kawasan wisata budaya andalan di Sulawesi Selatan yang selalu mendapat perhatian dan sering dikunjungi wisatawan. Tapi dapat dikatakan ini merupakan daerah wisata sastra yang berawal dari seminar epos I La Galigo yang digagas Dr. Nurjayati Rahman seorang peneliti dari UNHAS. Kumpulan makalah-makalah (dalam bahasa Indonesia & Inggris, dan sedikit cuplikan dalam bahasa Bugis) telah diterbitkan dalam bentuk buku sebagai referensi yang menarik.
Selain itu, di Pancana sering dilaksanakan berbagai jenis pertunjukan seni dan kemah budaya antarpelajar dalam rangkaian acara Sastra Kepulauan salah satu event sastra di Sulsel yang selalu menghadirkan sejumlah sastrawan terkenal. Atraksi para bissu Bugis DARI Segeri (Pangkep) yang semuanya calabai (laki-laki berperilaku perempuan) dengan kekebalan tusukan keris dalam atraksi, beberapa kali tampil mempertunjukkan kemampuan ritualnya di Pancana. Kesenian para bissu yang merupakan tradisi perpaduan seni sastra lisan, seni tari, musik, seni rupa dan instalasi juga berakar dari tradisi yang terkandung dalam epos I La Galigo. Di antara spiritnya mencerminkan kedikdayaan tokoh Sawerigading sebagai tokoh sentral yang memiliki kekuatan-kekuatan supranatural, menguasai tiga dunia; bawah, tengah dan atas hingga berkomunikasi dengan “dewa-dewa.”
Dalam sebuah kunjungan penulis ke Pancana untuk menghadiri Sastra Kepulauan, sempat menyaksikan pertunjukan Puang Matoa Saidi seorang pemimpin kaum Bissu. Bagi komunitas seni tradisi di Sulsel, nama Puang Saidi sangat popular, sudah berkali-kali melakukan pementasan, termasuk ke Bali, bahkan dia menjadi salah satu bagian dari pementasan teater La Galigo untuk pentas keliling di panggung-panggung teater terkenal di dunia. Sebab dalam sureq I La Galigo peran bissu memiliki kedudukan cukup penting dalam berbagai upacara zaman dahulu kala. Namun ketika masa Orde Baru sempat vakum menyusul pemandegan kebudayaan-kebudayaan yang kadang disalahpersepsikan oleh penguasa.
Menuju Pancana
Untuk jalan-jalan ke desa Pancana sangat mudah, karena bukanlah desa yang terisolasi dan masyarakatnya sudah mengikuti perkembangan zaman. Secara geografis berada di tepi pantai berhadapan langsung dengan Selat Makassar, untuk menjangkaunya selain lewat perairan laut, paling mudah ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau roda empat dengan melalui jalan trans Sulawsi dari arah utara maupun dari arah selatan.
Pengalaman penulis yang pernah jalan-jalan ke Pancana dalam rangkaian mengikuti acara Sastra Kepulauan yang dihadiri sejumlah penyair, budayawan, koreografer dan pemerhati seni Indonesia, untuk menuju desa tersebut tidaklah sulit. Paling gampang dan cepat adalah lewat jalur dari arah Kota Makassar bisa ditempuh dengan kendaraan bus penumpang sekitar tiga atau empat jam. Cuma saja pusat permukiman Pancana tidak berada di tepi jalan trans Sulawesi, melainkan mesti berbelok ke arah kiri dari arah selatan sekitar satu kilometer untuk menuju pusat keramaian.
Kampung tua yang tata ruangnya sangat apik dan teratur ini memiliki keindahan alam yang betul-betul mencerminkan suasana pedesaan di tepi pantai yang eksotis. Di tengahnya mengalir sebuah sungai yang cukup deras mengalir membelah permukiman penduduk, namun yang cukup ramai adalah di belahan bagian selatan. Makam para bangsawan dan panrrita (ulama) yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun silam masih terpelihara baik. Makam Datu We Tenrri Olle yang cukup besar dan eksotik di antara makam-makam lainnya menunjukkan kebesaran arung Pancana yang kini masih terpelihara baik sebagai salah satu obyek wisata religious.
Colliq Pujie
Populernya Pancana sebagai kampung wisata budaya internasional tidaklah datang begitu saja, melainkan punya latar belakang sejarah cukup panjang. Sekitar abad 19 di desa inilah pernah hidup seorang bangsawan wanita, dikenal sebagai pujangga Bugis yang sangat hebat bernama Ratna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa atau biasa disebut hanya Colliq Pujie. Namanya diabadikan pada salah satu jalan di desa Pancana dan nama sebuah Baruga sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa intelektualnya.
“Colliq Pujie adalah penulis epos terpanjang di dunia dan kisah I La Galigo itu jauh lepih panjang daripada epos Mahabarat dan Ramayana dari India yang selama ini sangat dikenal. Padahal yang sebenarnya epos terpanjang di dunia itu adalah karya sastra yang ditulis orang Bugis,” ungkap Nurhayati Rahman di suatu seminar di Makassar.
Kisah legenda heroisme Bugis itu sangat melegenda telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda sejak zaman kolonial dan beberpa tahun silam sebagian kecil episode I La Galigo telah dipentaskan keliling dunia dalam bentuk teater.
Pada zamannya Colliq Pujie punya peran besar sebagai sastrawan yang luar biasa melahirkan maha karya yang sulit dan takkan berulang saat zaman serba canggih ini. Kedudukannya dalam masyarakat bukan saja sebagai intelektual penjaga tradisi leluhur orang Bugis, tapi juga sebagai orang yang disegani punya kemampuan menulis gagasan saat serba keterbatasan alat tulis. Pujangga Pancana itu walau hanya menulis dengan tangan, ia mampu melahirkan kisah-kisah yang melegenda, namun dalam perkembangannya ketika penjajah Belanda masuk, Desa Pancana dan hampir seluruh desa lainnya di Sulsel berada dalam kungkungan, sementara karya-karya Colliq kemudian dibawa pemerintah kolonial ke Negara Belanda. Untungnya nasakah-naskah itu menurut sejumlah peneliti aksara Bugis termasuk Nurhayati Rahman, masih tersimpan dengan baik di Leiden. B.F. Matthes missionaris Belanda pada zaman produktif Colliq Pujie telah menyelamatkan naskah itu sehingga saat ini masih bisa dinikmati hasil salinannya.
Silaturahim budayawan
Dijadikannya desa budaya yang bertaraf internasional, Pancana ingin bangkit mengembalikan citranya yang pernah gemilang pada zamannya tempat lahirnya pujangga Bugis walau dengan semangat baru. Yaitu menjadi arena silaturahim para budayawan Indonesia maupun dari Negara lain dengan menjadi tuan rumah event seni budaya bertaraf internasional.
Sejumlah budayawan tanah air pernah mempresentasikan karya-karyanya di Pancana dalam bentuk pembacaan puisi, workshop dan orasi budaya. Di antaranya WS. Rendra, Ikra Negara, Zawawi Imron, Afrizal Malna,Halim HD dan sejumlah seniman dari Makassar. Setiap ada event selalu dipadati pengunjung terutama mahasiswa, masyarakat Pancana sendiri dan masyarakat desa tetangga selalu memberi dukungan.
Bahkan beberapa kali ada event budaya, penduduk desa Pancana selalu merelakan rumahnya dijadikan tempat penginapan bagi seluruh tamu dari luar. “Rumah saya sudah beberapa kali menjadi tempat tamu menginap setiap ada kegiatan kesenian di desa ini dengan permintaan kepala desa. Kita juga menyediakan makanan dengan biaya yang sudah diberikan dari panitia kegiatan atau pemerintah,” kata seorang pemilik rumah tempat penulis menginap.
Menurut beberapa warga yang dimintai tanggapannya, mengaku setiap ada kegiatan kesenian sangat senang, karena selain desanya ramai dikunjungi orang yang pasti berbelanja, juga desanya makin terkenal. “Hampir setiap tahun di desa Pancana ada kegiatan kesenian yang ramai dilaksanakan di baruga,” kata seorang penduduk Pancana.
Keistimewaan lain Pancana sebagai kampung budaya adalah dibangunnya sebuah baruga besar (Baruga Colliq Pujie) di tengah perkampungan masyarakat. Baruga tersebut dibangun atas dukungan pemerintah untuk dijadikan pusat kebudayaan berbagai aktivitas sosial masyarakat setempat. Bukan hanya untuk festival kesenian namun juga bagi kegiatan masalah pembangunan desa, bahkan pelantikan pejabat di jajaran Pemkab Barru juga biasa dilaksanakan di baruga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar